AK dan kritik-kritiknya dalam pengelelolaan CPR

- Kurang mengakomodasi proses sejarah, sosial, ekonomi dan politik yang melekat pada pengelolaan CPR Petrzelka Bell 2000; Cleaver 2000; - Konsep Jejaring-Aktor yang heterogen belum secara eksplisit dan detil dibahas, bahkan belum secara detil mengemukakan faktor-faktor sosio- psikologis para aktor yang berinteraksi. Cox et al. 2010 kemudian mengusulkan agar tiga prinsip dari 8 prinsip Ostrom disesuaikan kembali menjadi: - Pinsip 1A: Batas pengguna: Batas yang jelas antara pengguna yang legitimate dan non-pengguna harus didefinisikan dengan jelas; - Prinsip 1B: Batas sumber daya: Batas yang jelas yang menunjukkan sistem sumberdaya dengan lingkungan biofisik yang lebih luas; - Prinsip 2A: Kongruen dengan kondisi lokal: Aturan-aturan yang disesuaikanfleksibel dan aturan yang ditetapkan, kongruen dengan kondisinorma lokal serta kondisi lingkungan; - Prinsip 2B: Aturan-aturan yang disesuaikanfleksibel dan aturan yang ditetapkan: Manfaat yang diperoleh pengguna dalam CPR yang ditentukan oleh aturan yang disesuaikan, adalah proporsional terhadap input yang diperlukan dalam bentuk tenaga kerja, materialbahan, uang, sebagaimana dalam aturan-aturan yang ditetapkan; - Prinsip 4A: Monitoring atas pengguna; - Prinsip 4B: Monitoring atas sumber daya. Berdasarkan penelitian Nursidah 2012 di DAS Arau Sumatera Barat, direkomendasikan beberapa mofikasi dalam Disain Prinsip ini menjadi: - Pengaturan CPR berbasis moral etika yang sesuai dengan kondisi lokal dan mengutamakan fungsi fisik, sosial dan ekonomi bagi masyarakat; - Batas sumberdaya terdefinisi dengan jelas dan diakui otoritas lokal dan pengelola CPR; - Pengaturan pilihan kolektif dibuat partisipatif; - Lembaga pengelola CPR memiliki kekuasaan untuk memberikan sanksi dan penghargaan, serta diakui dan dihormati oleh masyarakat; - Pengaturan pengelolaan CPR bersifat spesifik lokasi. Institusi yang lebih tinggi dan cakupan lebih luas hanya mengatur aturan umum, sedangkan aturan operasionalnya di atur institusi pengelola yang lebih rendah, yang lebih mengetahui kondisi riil dan kesesuaian serta kemungkinan keberhasilan penerapan peraturan. Secara ringkas, Meinzen-Dick et al. 2004 mengakui adanya komplikasi dalam mengoperasionalisasikan konsep AK karena: Pertama, AK adalah proses yang dinamik yang berhubungan dengan hubungan-hubungan sosial, yang memiliki kesulitan tersendiri untuk mengukurnya secara langsung. Apalagi manifestasi AK yang bervariasi dari waktu ke waktu dan melintasi budaya dan masyarakat, maka sulit untuk menemukan ukuran perbandingan antar tempat dan periode waktu tertentu. Kedua, perbedaan pendekatan metodologi yang digunakan, telah mempengaruhi bagaimana konsep AK diaplikasikan di dalam berbagai kajian. Analisis ekonomi tradisional cenderung fokus pada insentif individu untuk berpartisipasi dalam AK; analis ekonomi kelembagaan memperluas cakupan dengan memasukkan pilihan indigenous melalui kerangka institusi, yaitu insentif individu dan kekuatan tawar individu; sementara pendekatan sosiologi cenderung melihat perilaku kelompok sebagai unit analisis, dan bagaimana motivasi untuk bertindak dapat dibentuk didorong pada level kelompok melalui jejaring sosial, organisasi, dan bahkan ideologi.

2.5. Dimensi lain dari AK

Pergulatan pendefinisian dan pembahasan seputar AK lebih diterangkan lagi dengan konsep embeddesnes Shrestha, 2006. Konsep ini digali pula melalui pendekatan ekologi politik dengan inti kesimpulan bahwa: kemunculan dan hasil AK, adalah embedded tertanammelekat dalam relasi sosial, ekonomi dan politik, dimana aktor cenderung memiliki kuasa mengontrol hutan untuk memastikan berlangsungnya konservasi, karena adanya pemanfaatan hasil hutan yang dikendalikan. Sementara masyarakat, sepertinya kurang beruntung secara ekonomi, walaupun masih tetap terlibat dalam AK karena faktor sosial politik. Artinya, partisipasi aktor adalah berbasis keuntungan yang diperoleh. AK pada sisi yang lain dianggap sebagai efek dari aspek pilihan rasional para partisipan yang terakomodasi. Namun Gopalakrishnan 2005 menguraikan panjang lebar tentang teori-teori sosial dan perilaku yang dapat dikaitkan dengan terjadinya AK. Teori sosial dimaksud adalah teori deprivasi relatif, teori identitas sosial, teori tindakan komunikatif; sementara dalam ranah teori-teori perilaku, AK terkait dengan: preferensi heterogen, peran emosi, effek endowment, loss aversion dan efek pembingkaian. Dari sekian banyak hal menarik di atas, paling tidak perlu diketahui bagaimana aktor-aktor yang berinteraksi memiliki pemahaman terhadap suatu objek atau fenomena, dan kemudian dapat mendorong melakukan aktivitas gerakan semisal reforestasi.

2.6. Konseptualisasi AK

Uraian-uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, mendorong penggunaan pemahaman konsep yang sedikit berbeda, dimana fenomena yang meliputi tindakanaksi dan kolektifbersama, yang mana -juga terkait dengan analisis sosial, tidak hanya aspek material atau kekuatan non-human dan komponen atau unsur-unsur dari AK saja, namun penekanannya adalah pada bagaimana aktor-aktor memahami, dan kemudian membentuk merakit entitas baru yang sebelumnya belum bersamabersatu, atau juga disebut sebagai World in the making atau reforestation in the making. Berdasarkan review pada bagian sebelumnya, serta dikaitkan dengan fenomena reforestasi yang berlangsung di Papua, maka konsep aksi kolektif dapat dimaknai sebagai berikut: Aksi kolektif merupakan aktivitas yang berlanjut dan heterogen, dari bentuk- bentuk aksi atau tindakan bersama, yang terkait pemahaman aktor di dalam kerangka tertentu atas kegiatan penanaman pohontanaman kehutanan di lahan masyarakat adat baca: reforestasi. Aksi diinisiasi oleh aktor-aktor yang ada, relatif terorganisir dan direncanakan, tetapi dapat pula mencakup penanaman pohon skala kecil sekalipun, serta kemudian dapat dilihat bahkan diverifikasi eksistensinya menjadi agregat luasan penanaman yang relatif lebih besar AK bahkan dapat dikatakan sebagai bagian dari proyek upaya kolektif atau memilih collect[ing] atau menyusun compos[ing] apa yang terjadi di dunia ini. Proyek ini terkait erat dengan konsepsi politik sebagai “ion komposit yang progresif dari dunia secara umum”. Proses ini tidak terlepas dari pemahaman serta kapabilitas aktor yang berinteraksi.

2.7. Reforestasi di Indonesia dari masa ke masa

Mengapa reforestasi menjadi salah satu konsep penting dalam penelitian ini? Konsep reforestasi sangat terkait dengan kata dasar “forest atau hutan”, yang dalam UU No. 411999 didefinisikan sebagai: suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutanforest bahkan memiliki beberapa varian definisi yang disepakati di berbagai Negara. Varian ini mencakup minimal threshold: luas 0,05 ha; tutupan tajuk 10; tinggi pohon 1,3 m; dan lebar lajurnya 9 m. Ini berarti bahwa definisi