Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Gejala fisik SBS pada

116 Persentase terbesar menunjukkan status yang tidak normal, mengalami SBS 50,0. Kemudian pada peneltian Lisyastuti 2010 didapat bahwa nilai p=0,64 dan OR=0,8 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara gejala fisik SBS dengan status gizi responden penelitian dan status gizi yang tidak normal mempunyai risiko 0,8 kali lebih besar untuk mengalami SBS dibanding responden penelitian berstatus gizi normal. Fenomena ini erat kaitannya dengan tercukupinya kebutuhan tubuh akan gizi seimbang yang akan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap kondisi lingkungan yang tidak kondusif. Dalam kondisi normal manusia memiliki proteksi diri terhadap infeksi dari bakterial yaitu melalui sistem imunitas tubuh. Kemampuan merawat dan menjaga kontinuitas sistem imun ini akan mengurangi resiko infeksi yang ditimbulkan oleh bakteri. Rendahnya sistem imun tubuh erat kaitannya dengan status gizi. Tubuh manusia memerlukan diet seimbang yang menyediakan cukup nutrisi, mineral dan vitamin untuk fungsi dan efektivitas sistem imun Chandra, 2004 dalam Lisyastuti, 2010. Sistem imun individu dipengaruhi antara lain oleh status hormon, umur dan status gizi Hedlund, 1995.

6.4.4 Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dalam Ruang dengan Gejala

Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok responden di dalam ruang dengan kejadian gejala fisik 117 SBS. Persentase terbesar menunjukkan responden berstatus merokok di dalam ruang, mengalami SBS 20,0. Sebagai pencemar dalam ruang asap rokok merupakan bahan pencemar yang biasanya mempunyai kuantitas paling banyak dibandingkan dengan bahan pencemar lain. Terdapat sebanyak 10 21,7 responden memiliki kebiasaan merokok dalam ruang. Aktivitas merokok di dalam ruangan yang sering dilakukan oleh mereka yang mempunyai kebiasaan merokok. Bahkan beberapa responden kedapatan sedang merokok di depan meja kerja saat penelitian berlangsung. Pada penelitian ini tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan antara perilaku merokok dalam ruangan dengan kejadian SBS. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Winarti, Basuki, dan Hamid 2003, bahwa faktor kebiasaan merokok tidak terbukti berkaitan dengan gejala fisik SBS nyeri kepala. Hasil yang sama pada penelitian Oktora 2008 didapat hasil yang sama bahwa tidak ada perbedaan kejadian SBS antara pegawai yang mempunyai kebiasaan merokok dengan pegawai yang tidak memiliki kebiasaan merokok dengan nilai p=0,327. Secara teori perilaku merokok dalam ruang merupakan salah satu faktor risiko SBS. Tingginya persentase penderita SBS dari kalangan non-perokok pada penelitian ini sebabkan karena jumlah responden yang non-perokok jauh lebih tinggi. Selain itu, adanya asap rokok akan lebih dirasakan dampaknya pada kalangan non-perokok perokok pasif karena sensitivitasnya lebih tinggi.