123
bahwa jenis kelamin wanita terbukti lebih beresiko terkena SBS dibandingkan dengan laki-laki.
Swedish Office Illnes Project Sundell, 1994 menyatakan bahwa wanita memiliki risiko mengalami gejala SBS lebih besar yaitu 35 dibandingkan dengan
laki-laki yang hanya 21. Biasanya wanita lebih mudah lelah dan lebih berisiko dibanding pria. Hal tersebut dikarenakan ukuran tubuh dan kekuatan otot tenaga kerja
wanita relatif kurang dibanding pria, secara biologis wanita mengalami siklus haid, kehamilan dan menopause, dan secara sosial, kultural, yaitu akibat kedudukan
sebagai ibu dalam rumah tangga dan tradisi sebagai pencerminan kebudayaan Suma’mur PK, 1996.
Perempuan telah terbukti lebih sering menderita SBS daripada laki-laki yang menurut Norbäck 2009 kemungkinan akibat lingkungan kantor, tugas kerja dan
kepribadian yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan pula karena beban kerja perempuan di rumah lebih tinggi. Lalu menurut Glas, Stenberg, dkk 2008 dalam
penelitiannya menemukan bahwa perempuan lebih rentan terhadap gejala tertentu seperti penyakit pernapasan dan masalah kulit. Bell 1998 juga menunjukkan dalam
penelitiannya bahwa perempuan lebih rentan terhadap SBS karena rasio estrogenprogesteron yang lebih tinggi. Dalam penelitiannya mereka menyatakan
bahwa tingkat estrogenprogesteron memainkan peran penting dalam sensitisasi saraf akibat kontak yang terlalu lama dan berulang-ulang terhadap rangsangan luar seperti
obat-obatan, bahan kimia dan lainnya sebagai stresor kesehatan. Hal ini dapat mempengaruhi otak dan menyebabkan kerusakan saraf yang juga dapat
124
mempengaruhi baik sistem endokrin dan fungsi kekebalan tubuh serta juga dapat mempengaruhi psikis penderita SBS.
125
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Hasil penelitian tentang SBS seperti yang sudah diuraikan pada Bab Hasil dan Pembahasan , disimpulkan sebagai berikut :
1. Jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruang di gedung X yang melebihi ambang batas yang ditentukan oleh Departemen Kesehatan RI adalah perusahaan
5 2893 kolonim3 dan 7 bakteri patogen hemolitik beta, perusahaan 4 2786 kolonim3 dan 1 bakteri patogen hemolitik beta, perusahaan 7 1986 kolonim3
dan 1 bakteri patogen hemolitik beta, perusahaan 6 723 kolonim3 dan 1 bakteri patogen hemolitik beta dan 1 hemolitik alpha, dan perusahaan 2 683 kolonim3
dan 3 bakteri patogen hemolitik beta. 2. Responden dalam penelitian ini sebagian besar berjenis kelamin laki-laki 54,3,
berumur rata-rata 30 tahun dengan umur yang paling muda 17 tahun dan yang paling tua 50 tahun. Sebagian besar responden berstatus gizi normal 73,9 dan
tidak memiliki kebiasaan merokok 80,4 namun memiliki sensitivitas terhadap asap rokok 58,7.
3. Persentase kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X tahun 2013 sebesar 43,5.
126
4. Tidak ada hubungan bermakna antara jumlah koloni bakteri patogen di udara pada ruangan kerja terhadap kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di
gedung X secara analisis statistik. 5. Tidak ada hubungan bermakna antara umur, status gizi, dan kebiasaan merokok
dalam ruang terhadap kejadian SBS pada responden penelitian di Gedung X. Sedangkan variabel jenis kelamin dan sensitivitas terhadap asap rokok
menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap kejadian SBS yaitu responden yang berjenis kelamin perempuan berisiko 2,8 kali dan bagi responden yang
sensitif terhadap asap rokok 1,9 kali untuk mengalami gejala fisik SBS ini. 6. Variabel yang paling dominan hubungannya terhadap kejadian gejala fisik SBS
pada penelitian di gedung X tahun 2013 ini adalah variabel jenis kelamin.
7.2 Saran
7.2.1 Manajemen Gedung
1. Persepsi kenyamanan bekerja terkait suhu dan kelembapan di setiap ruangan mungkin berbeda antara pekerja satu dan lainnya. Dalam hal ini manajemen
pengelola gedung X hendaknya perlu mempertimbangkan apakah HVAC sentral masih perlu digunakan atau menggantinya dengan HVAC lokal yang
sifatnya lebih dinamis dan dapat diatur sesuai selera kenyamanan masing- masing pekerja.
127
2. Kebijakan pengelola gedung tentang aturan merokok di dalam gedung perlu diperketat lagi atau dengan menyediakan ruang khusus merokok pada setiap
lantai untuk mencegah keberadaan asap rokok di dalam ruang kerja. 3. Peningkatan pemeliharaan AC baik sentral maupun lokal. AC sentral
walaupun direkomendasikan sebagai pendingin ruangan yang efisien dan sehat, harus diperhatikan rutinitas pemeliharaannya.
7.2.2 Pengembangan Ilmu Pengetahuan
1. Penelitian lebih lanjut tentang hubungan kualitas mikrobiologi udara dalam ruangan dengan jumlah titik pengambilan sampel yang lebih banyak, dengan
pengambilan sampel diulang secara periodik misalnya dalam seminggu 3 kali atau sehari 3 kali.
2. Penentuan responden sebaiknya diambil dari seluruh populasi yang berada di dalam gedung untuk mengetahui gejala SBS secara luas lagi.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor-faktor mikrobilogi lain seperti koloni jamur, spora dan kapang
4. Menggunakan desain penelitian yang lain, misalnya case control untuk mengetahui sebab akibat dari gejala fisik SBS ini.
5. Melihat faktor demografi lainnya seperti persepsi individu khususnya pada perilaku sosial, gaya hidup, beban kerja dan impresi atasan terhadap bawahan
psikososial untuk penelitian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Anies, 2004, Problem Kesehatan Masyarakat dari Sick Building Syndrome, Jurnal Kedokteran Yarsi, Jakarta
Alisyahbana, 1995. Kurang Infeksi dn infeksi aspek kesehatan gizi anak balita.Yayasan Obor Indonesia.
Apter A, Bracker M, Hogson J, Sidman and Leung WY, 1994, Epidemiology of the Sick Building Syndrome, J Allergy Clin Immunol.
Bell I, Baldwin C, Russek L, Schwartz G, Hardin E. Early life stres, negative paternal relationships, and chemical intolerance in middle aged women: support for a
neural sensitization model. J Womens Health 1998;79:1135-49. Brasche, S., Bullinger M., Moefeld, M.,Geghardt H.J., Bischof, W. 2001. Why do
women suffer from SBS more often than men? Subjective higher sensitifity versus objective causes. Indoor Air 4.
Burge S, Hedge A, Wilson S, Bass JH, RobertsonA, 1987, Sick building syndrome:a study of 4373 office workers,Ann Occup Hygo no.31, pp 493-504.
Burroughs, et al. 2005. Managing Indoor Air Quality Third Edition. Fairmont Press, Inc. P:29-49.
Codey, Richard J, 2004, Indoor Air Quality, Public Employes Occupational Safetyand Health Program, New Jersey.