Hubungan Antara Status Gizi dengan Gejala Fisik SBS pada

118

6.4.5 Hubungan Antara Sensitivitas terhadap Asap Rokok dengan Gejala

Fisik SBS pada Responden Penelitian Gedung X Tahun 2013 Dari hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang bermakna antara sensitivitas responden penelitian terhadap asap rokok dalam ruang kerja dengan kejadian gejala fisik SBS. Persentase terbesar menunjukkan responden yang memiliki sensitivitas terhadap asap rokok di dalam ruang, mengalami SBS 59,3. Kemudian, berdasarkan hasil penelitian multivariat didapatkan bahwa sensifitas terhadap asap rokok akan berpeluang untuk menyebabkan terjadinya keluhan SBS pada responden penelitian adalah sebesar 4,782 kali pada responden yang memiliki sensitivitas terhadap asap rokok, setelah dikontrol oleh variabel jenis kelamin. Asap rokok yang dikeluarkan oleh seorang perokok pada umumnya terdiri dari bahan pencemar berupa karbon monoksida dan partikulat. Bagi perokok pasif hal ini juga merupakan bahaya yang selalu mengancam. Dalam jumlah tertentu asap rokok ini sangat mengganggu bagi kesehatan, seperti: mata pedih, timbul gejala batuk, pernafasan terganggu, dan sebagainya Pudjiastuti, 1998. Perokok pasif lebih sensitif terhadap karbon monoksida yaitu pada saat konsentrasi karbon monoksida 30 ppm di udara, maka gejala SBS sudah terjadi yaitu pusing. Sebaliknya perokok aktif, baru akan merasakan gejala SBS apabila konsentrasi karbon monoksida di udara 50-250 ppm NIOSH, 1991. Menurut United States Environment Protection Agency EPA faktor dari asap rokok menimbulkan efek rhinitisfaringitis, hidung tersumbat, batuk terus- 119 menerus, iritasi konjungtiva, sakit kepala, mengisesak nafas konstraksi bronkus, dan eksaserbasi kondisi pernafasan kronis. Efek ini terjadi pada orang dewasa yang kesehariannya terpapar oleh asap rokok di tempat aktivitas kerjanya EPA, 1991. ETS Environmental Tobacco Smoke bersifat dinamis. ETS merupakan campuran kompleks ribuan senyawa kimia, menyebabkan berbagai iritasi, dan ETS juga menyebabkan beberapa gejala akut khas SBS, seperti iritasi mata, hidung, dan tenggorokan Sundell et al., 1994. Berdasarkan studi Swedish dipertengahan tahun 1990 ditemukan adanya peningkatan gejala-gejala SBS dengan Environmental Tobacco Smoke ETS. Pada penelitian Mizoue 1998 yang dilakukan pada 1281 karyawan dengan profesi bervariasi di kota-kota negara Jepang menunjukkan bahwa paparan ETS merupakan penentu utama dari SBS pada populasi kerja dengan prevalensi perokok yang tinggi dan beberapa tempat kerja dengan larangan merokok. Hal ini konsisten dengan penelitian Eisner et al., 1998 bahwa berkurangnya gejala iritasi sensorik pada responden yang berprofesi sebagai bartender setelah dibuat perlakuan pelarangan perokok di bar. Hal ini menunjukan bahwa pelarangan merokok di ruang kerja dapat menurunkan prevalensi gejala SBS. Diperkuat dengan pernyataan dari American Journal of Epidemology 2001 bahwa tempat kerja yang memiliki aturan ketat tentang merokok dapat mengurangi tingkat resiko terjadinya gejala SBS.