Hubungan Antara Sensitivitas terhadap Asap Rokok dengan Gejala

121 Selanjutnya dari kedua variabel tersebut yaitu jenis kelamin dan sensitifitas terhadap asap rokok ditentukan variabel mana yang paling dominan hubungannya dengan kejadian gejala fisik SBS di gedung X tahun 2013. Hal tersebut dapat ditentukan dengan melihat nilai OR yang ada pada kedua variabel permodelan terakhir. Kemudian setelah didapat nilai OR dari kedua variabel terakhir yang masuk permodelan diambilah kesimpulan bahwa variabel jenis kelamin menjadi faktor yang paling dominan hubungannya dengan kejadian gejala fisik SBS dengan nilai OR yang lebih besar OR 9,124 dari variabel sensitivitas terhadap asap rokok OR 4,782. Jenis kelamin dan sensitivitas terhadap asap rokok memang terdapat kaitan baik itu secara langsung dan tidak langsung. faktor yang menjadi penyebab adanya keluhan SBS adalah jika pada responden berjenis kelamin perempuan dapat berkaitan dengan keluhan yang dirasakan pada responden yang memiliki sensitivitas terhadap rokok, hal ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi dalam timbulkan keluhan yang dirasakan. Sehingga dalam hal ini antara variabel jenis kelamin dan saling terkait. Asap rokok merupakan sumber pencemar ruangan yang potensial. Asap rokok terdiri dari berbagai zat kimia sangat kompleks; yaitu bahan-bahan hasil pembakaran yang tidak sempurna, pestisida yang digunakan pada waktu penanaman tembakau, bahan pengawet, perekat, dan kertas rokok. Secara umum bahan-bahan tersebut dibedakan atas: Nikotin, Tar, CO, Nox, dan gas lainnya. 122 Bahaya asap rokok tidak saja menganggu kesehatan perokok tetapi juga orang- orang bukan perokokperokok pasif yang menghisap rokok secara tidak sengaja atau bahkan yang tidak dikehendakinya. Perokok pasif mempunyai resiko yang lebih besar dibandingkan dengan perokok aktif Manoppo, A., 1987, KSPKLH, 1993 dalam Wirastini, 1998. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan asap rokok adalah penyakit-penyakit sistem pernafasan, sistem sirkulasi darah, luka lambung, kanker pada bibir, lidah dan kandung kemih. Pada penelitian ini semua responden berjenis kelamin perempuan yang menjadi model dalam penelitian ini merupakan non-perokok yang sebagian besar mengaku merupakan perokok pasif di lingkungan kerjanya. Lalu terdapat juga bahwa 15 dari 21 responden 71,4 wanita yang sensitif terhadap asap rokok. Pada pembahasan sebelumnya bagi orang yang sensitif terhadap asap rokok dilingkungan kerjanya akan menimbulkan efek-efek yang merugikan kesehatan dan yang merupakan gejala fisik dari SBS seperi pilek, hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri dada atau sesak, dan batuk Rebecca et al, 1991. Kemudian menurut Winarti 2003, keluhan SBS sering terjadi pada wanita karena wanita merupakan perokok pasif lebih berisiko terpajan dengan asap rokok, kondisi fisik wanita lebih lemah dibandingkan dengan pria, marital statusnya, jabatan kerja yang rendah, psikologikal kerja yang kurang baik karena wanita lebih sensitif dibandingkan dengan pria. Wanita memiliki kemungkinan lebih tinggi dan sensitif terhadap kejadian SBS Brasche, 2001. Hal ini juga serupa dengan penelitian Winarni 2003 yang diketahui 123 bahwa jenis kelamin wanita terbukti lebih beresiko terkena SBS dibandingkan dengan laki-laki. Swedish Office Illnes Project Sundell, 1994 menyatakan bahwa wanita memiliki risiko mengalami gejala SBS lebih besar yaitu 35 dibandingkan dengan laki-laki yang hanya 21. Biasanya wanita lebih mudah lelah dan lebih berisiko dibanding pria. Hal tersebut dikarenakan ukuran tubuh dan kekuatan otot tenaga kerja wanita relatif kurang dibanding pria, secara biologis wanita mengalami siklus haid, kehamilan dan menopause, dan secara sosial, kultural, yaitu akibat kedudukan sebagai ibu dalam rumah tangga dan tradisi sebagai pencerminan kebudayaan Suma’mur PK, 1996. Perempuan telah terbukti lebih sering menderita SBS daripada laki-laki yang menurut Norbäck 2009 kemungkinan akibat lingkungan kantor, tugas kerja dan kepribadian yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan pula karena beban kerja perempuan di rumah lebih tinggi. Lalu menurut Glas, Stenberg, dkk 2008 dalam penelitiannya menemukan bahwa perempuan lebih rentan terhadap gejala tertentu seperti penyakit pernapasan dan masalah kulit. Bell 1998 juga menunjukkan dalam penelitiannya bahwa perempuan lebih rentan terhadap SBS karena rasio estrogenprogesteron yang lebih tinggi. Dalam penelitiannya mereka menyatakan bahwa tingkat estrogenprogesteron memainkan peran penting dalam sensitisasi saraf akibat kontak yang terlalu lama dan berulang-ulang terhadap rangsangan luar seperti obat-obatan, bahan kimia dan lainnya sebagai stresor kesehatan. Hal ini dapat mempengaruhi otak dan menyebabkan kerusakan saraf yang juga dapat