20
dipengaruhi oleh gas karbon monoksida, radon, senyawa organik yang mudah menguap, partikulat, kontaminan mikroba jamur, bakteri atau massa atau energi
stressor yang dapat menimbulkan kondisi yang merugikan kesehatan. Penggunaan ventilasi untuk mencairkan kontaminan merupakan metode utama untuk
meningkatkan kualitas udara dalam ruangan gedung EPA, 1998. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas udara dalam ruang adalah aktivitas
penghuni ruangan, material bangunan, furnitur dan peralatan yang ada di dalam ruang, kontaminasi pencemar dari luar ruang, pengaruh musim, suhu dan kelembaban
udara dalam ruang serta ventilasi Hardin dan Tinlley, 2003. Sedangkan menurut US-EPA 1995 ada empat elemen yang berpengaruh
dalam indoor air quality yaitu: 1. Sumber yang merupakan asal dari dalam, luar atau dari sistem operasional mesin
yang berada dalam ruangan 2. Heating Ventilation and Air Conditioning System HVAC
3. Media yaitu berupa udara 4. Pekerja yang berada dalam ruangan tersebut mempunyai riwayat pernapasan atau
alergi. Dalam Indoor Air Quality Handbook Spengler, et al 2000, SBS dapat
dipengaruhi oleh multifaktor dan saling berkaitan. Faktor-faktor tersebut meliputi: 1. Suhu dan kelembaban
2. Konsentrasi partikulat 3. Konsentrasi VOC
21
4. Konsentrasi gas NO2, CO2,CO, dll 5. Jumlah mikroorganisme jamur dan bakteri.
2.2.1 Kualitas Fisik a. Suhu Udara
Suhu udara sangat berperan dalam kenyamanan bekerja karena tubuh manusia menghasilkan panas yang digunakan untuk metabolisme basal dan
muskeler. Suhu udara ruang kerja yang terlalu dingin dapat menimbulkan gangguan bekerja bagi karyawan, yaitu gangguan konsentrasi di mana
karyawan tidak bekerja dengan tenang karena berusaha untuk menghilangkan rasa dingin Prasasti, dkk, 2005. Namun dari semua energi
yang dihasilkan tubuh hanya 20 saja yang dipergunakan dan sisanya akan dibuang ke lingkungan. Menurut Standar Baku Mutu sesuai Kepmenkes
No.261, suhu yang dianggap nyaman untuk suasana bekerja adalah 18-26
o
C. Kualitas udara dalam ruang tidak hanya dipengaruhi oleh adanya
pencemaran tetapi juga dipengaruhi oleh adanya udara panas. Udara yang panas dapat menurunkan kualitas udara dalam ruang dan mempengaruhi
kenyamanan manusia yang tinggal atau bekerja dalam ruang tersebut Pudjiastuti, dkk, 1998.
Peningkatan suhu di atas 23 C dengan gejala SBS juga merupakan
penemuan yang konsisten. Terdapat hubungan antara peningkatan temperatur, overcrowding, dan ventilasi yang tidak memadai dengan gejala
22
SBS pada studi Burge tahun 2004, tetapi kompleksitas ini dapat menyebabkan hubungan suhu dengan SBS menjadi rumit untuk ditarik
sebagai faktor penyebab. Suma’mur 1997 menyatakan bahwa suhu dingin dapat mengurangi
efisiensi dengan timbulnya keluhan kaku ataupun kurangnya koordinasi otot sedangkan kondisi udara yang panas dapat menurunkan prestasi kerja,
kualitas udara dalam ruangan dan mempengaruhi kenikmatan manusia yang tinggal atau bekerja dalam ruangan tersebut.
Menurut Walton 1991, suhu berperan penting dalam metabolisme tubuh, konsumsi oksigen dan tekanan darah. Lennihan dan Fletter 1989,
mengemukakan bahwa suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan kehilangan panas tubuh dan tubuh akan berusaha
menyeimbangkan dengan suhu lingkungan melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini akan menurunkan vitalitas tubuh dan
merupakan predisposisi untuk terkena infeksi terutama infeksi saluran napas oleh agen yang menular.
Pada lingkungan yang ada di dalam ruangan, sekitar 25 dari panas tubuh diemisikan oleh transpirasi. Sebagai temperatur udara ambien dan
meningkatnya aktifitas metabolisme, transpirasi ditandai dengan tingginya kelembaban relatif, sehingga menghasilkan panas yang tidak nyaman.
Dengan kata lain udara kering pada temperatur rendah sampai dengan