Keterbatasan Penelitian Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013

110 sebanyak 2 responden 4,3. Kulit gatal-gatal dan sesak nafas masing-masing sebanyak 1 responden 2,2, dan yang terakhir merah-merah pada kulit tidak dirasakan satupun responden 0,0. Hal di atas sejalan dengan pendapat Bobic et al., 2009, Eriksson dan Stenberg 2006 dalam Wahab 2010 bahwa gejala-gejala SBS dikelompokkan dalam beberapa kategori gejala fisik antara lain: Pertama, iritasi membran mukosa ditandai dengan gejala seperti iritasi mata, iritasi tenggorokan, iritasi bibir, batuk, kulit kering, mata kering, hidung atau tenggorokan kering. Kedua, Efek neurotoksik ditandai dengan sakit kepala, kelelahan, sulit berkonsentrasi, pingsan. Ketiga gejala pernapasan ditandai dengan sulit bernapas, batuk, bersin, nyeri dada, dada seperti tertekan. Keempat, gejala kulit seperti kemerahan, kering dan ruam. Terakhir, perubahan sensor kimia seperti meningkatnya persepsi abnormal dengan gangguan penglihatan. Kemudian didapat bahwa frekuensi gejala-gejala yang timbul dalam satu bulan terakhir di gedung X ini terjadi bervariasi. Didapat frekuensi terbanyak gejala yang dirasakan 1-3 kali terjadi dalam sebulan adalah sakit kepala, lelah, sulit, berkonsentrasi sebanyak 9 responden 69,0, dan frekuensi terbanyak gejala yang dirasakan 1-3 terjadi dalam sepekan adalah kumpulan gejala kulit kering, gatal, merah-merah sebanyak 10 responden 50 dan rasa kekeringan bibir yang juga sebanyak 10 responden 59 , serta frekuensi terbanyak yang dirasakan setiap hari atau hampir setiap hari adalah gejala rasa kekeringan bibir sebanyak 4 responden 24 dan kumpulan gejala kulit kering, gatal, merah-merah sebanyak 4 responden 20. 111

6.3 Hubungan Antara Jumlah Koloni Bakteri Patogen di Udara Dalam Ruang

Kerja Dengan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Hasil uji statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruangan dengan kejadian gejala fisik SBS. Persentase terbesar responden mengalami gejala fisik SBS terjadi pada ruangan dengan jumlah koloni bakteri tidak normal atau tidak sesuai Nilai Ambang Batas NAB yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI yaitu 700 koloni bakterim 3 . Namun persentase kejadian gejala fisik SBS ini juga dinilai tinggi terjadi pada ruangan yang telah sesuai dengan NAB bakteri udara dalam ruang. Penyebab tingginya persentase responden yang mengalami SBS justru pada ruangan dengan jumlah koloni bakteri normal, diduga karena ditemukannya jamur khas yang biasa ditemukan di ruangan dan merupakan pemicu kejadian SBS. Apabila mengacu pada ECC Soto, 2009, keberadaan mikroorganisme udara dalam ruangan dalam jumlah ambang normal yaitu 50 cfum 3 bakteri dan 25 cfum 3 jamur patut diwaspadai karena potensial menyebabkan gejala SBS. Hasil penelitian Sulistiowati 2001 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara jumlah koloni mikroorganisme di dalam udara ruangan. Burge dalam Lunau 1990 menyebutkan bahwa keberadaan bakteri dan jamur menunjukkan tidak ada korelasi bermakna dengan terjadinya gejala SBS. Penelitian ini menyebutkan bahwa korelasi bermakna terjadi pada kemampuan mikroorganisme yang ditemukan di udara dalam memproduksi toksin. 112 Penelitian lain juga menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah koloni mikroorganisme khususnya jamur terhadap kejadian SBS pada lingkungan kerja non-industri Kolstad, 2000. Penelitian Marmot 2006 menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara jumlah koloni mikroorganisme dalam udara ruang dengan kejadian SBS. Marmot mengambil kesimpulan dari penelitiannya bahwa kondisi fisik lingkungan kerja tidak terlalu penting dibandingkan faktor psikososial pekerja yaitu beban kerja. Penelitian Prasasti 2004 menyatakan bahwa jumlah koloni jamur di udara mempunyai resiko lebih besar dibandingkan dengan jumlah koloni bakteri udara terhadap kejadian SBS di ruang kerja. Prasasti juga menyebutkan bahwa jamur berpengaruh terhadap gejala SBS berupa iritasi hidung dengan risiko sebesar 16,463 kali pada ruangan dengan jumlah koloni jamur yang bertambah banyak. Sedangkan untuk bakteri, disebutkan bahwa terdapat risiko 1,008 kali berupa gangguan mual apabila terdapat pertambahan jumlah kuman di dalam ruangan.

6.4 Faktor Demografi

Dari hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, dari empat variabel faktor demografi jenis kelamin, umur, status gizi, kebiasaan merokok, dan sensitifitas terhadap asap rokok yang diteliti, yang terbukti memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian gejala SBS adalah variabel jenis kelamin. Sedangkan variabel lainnya tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian gejala fisik SBS. 113

6.4.1 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Gejala fisik SBS pada

Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Hasil uji statistik menemukan hubungan antara jenis kelamin responden penelitian dengan gejala SBS. Persentase terbesar menunjukkan responden perempuan mengalami SBS 71,4. Jenis kelamin perempuan akan menyebabkan kejadian SBS sebesar 2,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang berjenis kelamin laki-laki. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Brasche 2001 dan Margaretha W, dkk 2003, dengan uji korelasi berganda bahwa perempuan lebih banyak mengalami SBS dibandingkan laki-laki. Pada penelitian Sobari 1997 memperlihatkan hal yang sama bahwa kaum wanita memiliki hubungan yang signifikan dengan SBS. Pada penelitiannya didapat nilai PR=1,57, hal ini berarti kaum wanita mempunyai kecendurungan 1,57 kali lebih besar untuk mengalami SBS dibanding kaum pria. Hal tersebut disebabkan karena wanita lebih rentan terhadap perubahan udara, beban kerja, dan tanggung jawab dalam rumah tangga sehingga membuat tingkat stress yang ada menjadi lebih tinggi Apte et al., 1997. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Burge pada tahun 2003 membuktikan bahwa jenis kelamin merupakan faktor risiko terjadinya kumpulan gejala SBS pada gedung. Siklus menstruasi bulanan merupakan salah satu faktor penyebab perempuan mudah terkena anemia. Beberapa gejala hampir menyerupai SBS yaitu lelah, tidak mampu berkonsentrasi, kurang selera makan, pusing, sesak nafas, mudah 114 kesemutan, merasa mual-mual dan jantung berdebar-debar. Perempuan yang bekerja mempunyai beban ganda selain bekerja di tempat kerja, juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mengasuh anak, mencuci, menyapu dan lain sebagainya, dari menunjukan bahwa perempuan selalu melakukan pekerjaan rumah tangga sebelum berangkat bekerja Rosa, 2008. Menurut Winarti 2003, hal ini dapat terjadi karena wanita merupakan perokok pasif lebih berisiko terpajan dengan asap rokok, kondisi fisik wanita lebih lemah dibandingkan dengan pria, marital statusnya, jabatan kerja yang rendah, psikologikal kerja yang kurang baik karena wanita lebih sensitif dibandingkan dengan pria.

6.4.2 Hubungan Antara Umur dengan Gejala Fisik SBS pada Responden

Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Pada penelitian ini, faktor umur tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dengan kejadian gejala SBS p= 0,244. Kelompok umur responden di atas 30 tahun yang mengalami gejala fisik SBS sebanyak 29,4 kemudian kelompok umur responden di bawah 30 tahun yang mempunyai gejala fisik SBS sebanyak 51,7. Hal ini sejalan dengan penelitian Duniantri 2009 bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian SBS dengan umur responden penelitian pada kategori kelompok umur di bawah 29 tahun dan di atas 29 tahun dengan