Konstruksi bangunan Baku Mutu Kualitas Udara dalam Ruang Kerja Perkantoran

50 Selain itu, EPA 1991 juga merekomendasikan maintainance sebagai berikut: 1 Penggunaan desain sistem ventilasi yang memadai dengan jumlah pekerja dan jumlah perelatan dalam gedung 2 Sediaan udara dari luar ruangan 3 Kualitas udara luar, karena polutan seperti karbon monoksida, spora fungi, bakteri dan debu dapat mempengaruhi kondisi udara dalam ruangan 4 Perencanaan tempat 5 Pengendalian jalur pajanan polutan lain.

2.5.2 Kebersihan Ruang

Gejala SBS bisa timbul dari ketidaknyamanan lingkungan bekerja. Salah satu masalah lingkungan yang sering muncul di tempat kerja atau perkantoran adalah masalah kebersihan. Masalah kebersihan didalam area perkantoran yang dapat menimbulkan gejala SBS seperti EPA, 1991: a. Kegiatan housekeeping seperti penggunaan bahan pembersih, emisi dari gudang penyimpanan bahan kimia atau sampah, penggunaan pengharum ruangan, proses vacuuming. b. Kegiatan maintainance seperti kurangnya pemeliharaan coolingtower menyebabkan tumbuhnya mikroorganisme dalam uap air, debu, atau kotoran di udara, VOCs dari penggunaan perekat dan cat, residu pestisida dari kegiatan pengendalian hama, emisi dari gudang penyimpanan. 51

2.6 Faktor Karakteristik Individu

2.6.1 Jenis Kelamin

Wanita memiliki kemungkinan lebih tinggi dan sensitif terhadap kejadian SBS Brasche, 2001. Jenis kelamin wanita terbukti lebih beresiko terkena SBS dibandingkan dengan laki-lai Winarni, 2003. Swedish Office Illnes Project Sundell, 1994 menyatakan bahwa wanita memiliki risiko mengalami gejala SBS lebih besar yaitu 35 dibandingkan dengan laki-laki yang hanya 21. Biasanya wanita lebih mudah lelah dan lebih berisiko dibanding pria. Hal tersebut dikarenakan ukuran tubuh dan kekuatan otot tenaga kerja wanita relatif kurang dibanding pria, secara biologis wanita mengalami siklus haid, kehamilan dan menopause, dan secara sosial, kultural, yaitu akibat kedudukan sebagai ibu dalam rumah tangga dan tradisi sebagai pencerminan kebudayaan Suma’mur PK, 1996.

2.6.2 Usia

Karakteristik pekerja yang berhubungan dengan SBS salah satunya adalah umur. Pemaparan pada suatu zat yang bersifat toksik akan menimbulkan dampak yang lebih serius pada mereka yang berusia tua daripada yang berusia lebih muda dengan kata lain udara yang buruk lebih mudah mempengaruhi kekebalan orang usia tua Frank C.Lu, 1995. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh NIOSH tahun 1980 menyatakan bahwa umur berhubungan dengan peningkatan kejadian SBS karena umur berkaitan dengan daya tahan tubuh. Semakin tua umur seseorang maka semakin menurun pula daya tahan tubuhnya Apte et al, 2005. 52 Penelitan lain menyebutkan bahwa SBS lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki, dan sensitivitas pada gejala SBS terjadi pada dewasa muda younger adults usia antara 30-50 NIOSH, 1991.

2.6.3 Status Gizi

Status gizi yang digambarkan dengan kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa lebih dari 18 tahun, pola konsumsi makanan, gaya hidup aktifitas dan faktor lingkungan yang tidak bersahabat dapat memberikan kontribusi terhadap kejadian SBS. Defisiensi gizi secara umum diduga menjadi awal terjadinya degenerasi sistem imunitas tubuh Alisyahbana, 1985. Salah satu parameter pengukuran status gizi adalah dengan menggunakan Indeks Masaa Tubuh IMT, yang unutk masyarakat Indonesia menurut PUGS 2002 dirumuskan sebagai berikut: IMT = Kategori IMT untuk Indonesia menurut Depkes 2002 ditampilkan dalam tabel 2.3 berikut; Tabel 2.1. Tabel Indeks Massa Tubuh Kriteria Kategori IMT Kurus Kekurangan berat badan tingkat tinggi Kekurangan berat badan tingkat rendah 17.0 17,0 – 18,4 53 Tabel 2.1. Tabel Indeks Massa Tubuh Lanjutan Kriteria Kategori IMT Normal 18,5 – 25,0 Gemuk Kelebihan berat badan tingkat rendah overwight Kelebihan berat badan tingkat tinggi obesitas 25,1 – 27,0 27,0 Sumber: PUGS Depkes, 2002

2.6.4 Kebiasaan Merokok

Asap rokok merupakan campuran yang kompleks senyawa kimia dan partikel di udara, seperti CO, nitrogenoksida, CO 2 , hidrogen sianida, dan formaldehyde. Produk samping dari penetralan asap rokok tetap mengandung zat-zat yang beracun dan bersifat karsinogenik yang dapat membahayakan pengguna gedung Nardi, 2003; Pudjiastuti, 1998. Sebagai pencemar dalam ruang asap rokok merupakan bahan pencemar yang biasanya mempunyai kuantitas paling banyak dibandingkan dengan bahan pencemar lain. Hal ini disebabkan oleh besarnya aktifitas merokok didalam ruangan yang sering dilakukan oleh para pekerja yang mempunyai kebiasaan merokok. Asap rokok yang dikeluarkan dari seorang perokok pada umumnya terdiri dari bahan pencemar berupa karbon monoksida dan partikulat. Dalam 54 jumlah tertentu asap rokok ini sangat mengganggu kesehatan, seperti mata pedih, timbul gejala batuk, pernafasan terganggu, dan sebagainya Pudjiastuti, dkk, 1998.

2.6.5 Sensitifitas Responden Penelitian terhadap Asap Rokok

Perokok pasif lebih sensitif terhadap karbon monoksida yaitu pada saat konsentrasi karbon monoksida 30 ppm di udara, maka gejala SBS sudah terjadi yaitu pusing. Sebaliknya perokok aktif, baru akan merasakan gejala SBS apabila konsentrasi karbon monoksida di udara 50-250 ppm EPA, 1991. Konsentrasi asap rokok yang ada di udara turut mempengaruhi keadaan emosional para pekerja yang berada di sekitar perokok aktif, sehingga gejala psikososial juga turut dirasakan oleh perokok pasif. Pengendalian asap rokok pada udara dalam ruang adalah dengan kebijakan larangan merokok di dalam ruang dan penyediaan smoking area tersendiri di luar BiNardi, 2003. Perokok pasif yang berada pada ruangan yang sama dengan perokok aktif akan memiliki gejala yang sama pada orang yang bekerja dengan lingkungan yang bebas dari asap rokok Burge, 2004. Salah satu penelitian pernah membuktikan penurunan gejala setelah merokok dilarang di area kerja, tetapi penelitian lain tidak berhasil menunjukan efek merokok dengan gejala-gejala tersebut Burge, 2004. WHO 2000 mendefinisikan bahwa merokok aktif adalah aktifitas meghisap rokok secara rutin minimal satu batang sehari. 55 Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan pada 77 orang dewasa yang sensitif Environmental Tobacco Smoke Sensitive ETS-S dan yang non-sensitif ETS ETS-NS dengan pemaparan asap tembakau konsentrasi CO 45 ppm selama 15 menit dalam ruangan. Diketahui bahwa 34 22 dari 77 melaporkan adanya gejala satu atau lebih gejala rhinitis hidung tersumbat, pilek dan bersin yang dirasakan responden ETS-S. Responden ETS-S melaporkan signifikan p0,01 meningkat dalam hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri dada atau sesak, dan batuk setelah paparan asap tembakau. Gejala pilek lebih besar dan lebih lama pada subyek ETS-S dibandingkan dengan subyek ETS-NS . Signifikan p0,01 meningkat dalam persepsi bau dan iritasi mata, iritasi hidung, dan tenggorokan terjadi pada kedua kelompok studi, tetapi subyek ETS-S dilaporkan secara lebih signifikan pada gejala iritasi hidung dan tenggorokan Rebecca et al, 1991.

2.7 Baku Mutu Kualitas Udara dalam Ruang Kerja Perkantoran

Baku mutu kualitas udara dalam ruang berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.1405MenkesSKXI2002, menyatakan bahwa persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran sebagai berikut: a. Suhu dan Kelembaban - Suhu: 18 - 28 o C - Kelembaban : 40 – 60 56 b. Debu Kandungan debu maksimal udara di dalam ruangan dalam pengukuran rata-rata 8 jam sebagai berikut: Tabel 2.2. Jenis Debu dan Konsentrasi Maksimal No Jenis Debu Konsentrasi maksimal 1. Debu Total 0,15 mgm 3 2. Asbes bebas 5 seratml udara dengan panjang serat 5µ Sumber: Menkes, 2002 c. Pertukaran Udara Pertukaran udara: 0,283 m 3 menitorang dengan laju ventilasi: 0,15 – 0,25 mdetik. Untuk ruangan kerja yang tidak menggunakan pendingin memilki lubang ventilasi minimal 15 dari luas tanah dengan menerapkan sistim ventilasi silang. d. Bahan Pencemar Kandungan gas pencemar dalam ruang kerja, dalam rata-rata pengukuran 8 jam sebagai berikut: 57 Tabel 2.3. Parameter Gas Pencemar T Sumber: Menkes, 2002 e. Mikrobiologi - Angka kuman kurang dari 700 kolonim 3 udara - Bebas kuman patogen f. Pencahayaan di Ruangan Persyaratan: Intensitas cahaya di ruang kerja minimal 100 lux.

2.8 Penentuan Besar Sampel Responden

Perhitungan besar sample menggunakan perangkat lunak yang diadaptasi dari buku “Adequacy of Sample Size in Health Studies” diterbitkan oleh John Wiley Sons, WHO, 1990. Perangkat lunak ini dikembangkan oleh KC Lun, Peter YW Chiam dan Chuah Aaron dari W.H.O. Pusat Kolaborasi untuk Kesehatan Informatika dan Informatika Kedokteran Program National University Singapura. No . Parameter Konsentrasi maksimum mgm 3 Ppm 1. Asam Sulfida H2S 1 - 2. Amonia NH3 17 25 3. Karbon monoksida CO 29 25 4. Nitrogen dioksida NO2 5,60 3,0 5. Sulfur dioksida SO2 5,2 2 58

2.9 Kerangka Teori

Pada kerangka teori ini dapat dijelaskan bahwa pada penelitian ini akan dijabarkan gabungan beberapa teori mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi gejala fisik SBS, dalam hal ini yang akan dijelaskan yaitu kaitannya dengan Indoor Air Quality IAQ pada gedung X. Dalam Indoor Air Quality Handbook Spengler, et al 2000 dituliskan bahwa gejala SBS dapat dipengaruhi oleh multifaktor dan saling berkaitan yang dapat dijelaskan melalui bagan berikut: Bagan 2.1. Kerangka Teori Sumber: Indoor Air Quality Handbook Spengler, et al 2000 Konstruksi bangunan - Ventilasi - Jenis dinding - Jenis plafon - Jenis lantai Kualitas udara indoor - Suhu dan kelembaban - Konsentrasi partikulat - Konsentrasi VOC - Konsentrasi gas NO2, CO2,CO, dll - Jumlah mikroorganisme jamur dan bakteri Karakteristik individu - Jenis kelamin - Usia - Gaya hidup kebiasaan hidup - Status gizi - Riwayat alergi - Riwayat penyakit asma, COPD Kondisi fisik ruangan - Jenis penerangan - Furnitur dan peralatan lain - AC - Kebersihan ruang Pekerja SBS 59

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Bagan 3.1. Kerangka Konsep Kerangka konsep di atas menunjukan konsep yang akan diteliti dalam penelitian ini. Gejala fisik SBS berhubungan dengan jumlah koloni bakteri udara dalam ruang dan faktor demografi, dimana variabel seperti umur, jenis kelamin, status gizi, kebiasaan merokok, dan senstivitas terhadap asap rokok berhubungan langsung dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian. Faktor fisik dan kimia sebagai salah satu faktor penyebab SBS tidak diteliti karena selain menjadi keterbatasan penelitian dalam hal ketiadaan instrumen pengambilan sampel, Jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruang Faktor demografi: - Jenis kelamin - Umur - Status gizi - Kebiasaan merokok - Sensitivitas terhadap asap rokok Gejala fisik Sick Building Syndrome 60 penelitian ini bermaksud konsen dalam satu parameter lingkungan yaitu parameter biologi bakteri dengan hubungannya terhadap SBS pada responden penelitian. Beberapa faktor fisik seperti suhu dan kelembapan ditemukan homogen pada saat observasi sebelumnya serta saat pengambilan sampel bakteri udara di dalam setiap ruang responden di masing-masing perusahaan, inilah yang menjadi alasan bahwa faktor fisik menjadi parameter yang tidak dapat dianalisis secara statistik karna akan menimbulkan bias dalam pengolahan data dan kemungkinan parameter fisik ini menjadi tidak representatif dalam mencari hubungannya terhadap kejadian gejala fisik SBS yang terjadi di gedung X. Kemudian faktor kondisi bangunan tidak diteliti karena dalam observasi yang dilakukan dengan pihak kontraktor serta pengelola gedung dalam observasi sebelumnya ditemukan bahwa kondisi bangunan yaitu kontruksi bangunan dan kondisi fisik ruangan yang ada pada saat peneltian dilakukan masih relatif baru dan sudah memakai bahan yang tidak berbahaya bagi kesehatan.