Tercukupinya Hak-Hak Kepemilikan Faktor-Faktor Pendukung .1 Faktor-Faktor Pendukung Bisnis Ekowisata

berkoordinasi langsung dengan kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lampung Barat. ”Kami sih siap membantu saja. Apalagi jika program ekowisata ini nantinya akan membantu Lampung Barat, tidak ada alasan kami untuk menolak kan? Tentang kebijakan, kami siap membantu dengan kebijakan-kebijakan sesuai dalam Peraturan Daerah Perda. Memang pekerjaan Dinas Pariwisata periode sekarang ini cukup berat. Pak Bupati meminta kami tidak hanya di bidang pariwisata saja, tetapi juga di bidang investasi. Kami memang berkoordinasi dnegan Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk program-program yang memancing investasi dari luar. Untuk bidang pariwisatanya, kami menyambut baik ajakan kerjasama dari manapun, terutama dari kalangan LSM Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Nn ini. Saya yakin, untuk urusan lapangan, kalangan LSM jauh lebih hapal dan paham daripada kami yang bermainnnya setiap hari di belakang meja.” Wawancara 14 April 2005 Bukti nyata dukungan mereka sampai saat ini adalah pelaksanaan Festival Teluk Stabas di Pekon Pahmungan bulan September tahun 2005. Festival Teluk Stabas adalah festival yang diadakan setiap tahun di Kabupaten Lampung Barat untuk memperingati hari ulang tahun kabupaten. Festival ini biasanya menampilkan kesenian dan kerajinan hasil daerah di Lampung Barat. Penyelenggaraan festival ini berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di wilayah Kabupaten Lampung Barat, dan di Pekon Pahmungan hal ini adalah yang pertama kalinya.

4.1.1.2 Tercukupinya Hak-Hak Kepemilikan

Penduduk di Pekon Pahmungan memiliki hak-hak kepemilikan atas repong mereka sendiri. Hampir semua sumberdaya di Pekon Pahmungan dimiliki oleh penduduk secara turun temurun 35 . Pada tahun 1935 pemerintah kolonial Belanda semasa itu menetapkan luas wilayah hutan suaka 36 milik pemerintah yang tidak boleh dibudidayakan oleh penduduk sekitar. Batas hutan suaka ini adalah garis Boz Wezen BW. Lahan di luar garis ini kemudian menjadi tanah marga yang dibudidayakan oleh penduduk sekitar. Tanah marga adalah tanah yang dimiliki oleh sebuah komunitas secara kolektif. Penggunaan tanah marga ini diatur oleh kepala marga Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat FKKM, 2002 35 Proses kepemilikan yang lain adalah dengan jual beli, namun hal ini dalam jumlah yang sangat kecil. 36 Hutan suaka saat ini menjadi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan TNBBS. Di dalam wilayah tanah marga tersebut, nenek moyang mereka menanam pohon damar Shorea javanica. Kearifan lokal 37 yang dimiliki nenek moyang penduduk saat itu telah menjadikan daerah tanah marga yang mereka kelola tersebut kawasan pelindung penting bagi hutan suaka yang mereka kelilingi. Contoh kearifan lokal yang dimiliki nenek moyang waktu itu adalah penanaman kembali sebuah pohon damar jika mereka menebang satu pohon. Kerifan penduduk yang lain adalah kemampuan mereka untuk menciptakan sistem pengelolaan kebun sehingga mampu berfungsi seperti hutan. Di samping spesies utama, baik yang dibudidayakan atau dipilih atau yang dilindungi, yang membentuk kerangka agroforest, repong damar berisi beberapa puluh pohon dari jenis yang biasanya dikelola, tetapi di samping itu repong juga berisi beberapa ratus jenis spesies yang tumbuh liar dan sering dimanfaatkan Michon dan Bompard 1987; Michon dan de Foresta, 1994 dalam Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat, 2002. Pada perkembangannya sekarang ini, tanah marga ini sekarang tidak lagi dimiliki secara kolektif tetapi dimiliki oleh masing-masing keluarga. Namun, kearifan lokal untuk tetap mempertahankan repong damar tetap bertahan sampai sekarang. Masyarakat merasa bahwa mereka akan mengkhianati nenek moyang mereka jika mereka menebang pohon damar dan menggantinya dengan pohon lain FKKM, 2002. Tahun 1993-1997 di Pekon Pahmungan terjadi reklaiming lahan penduduk oleh pemerintah. Namun dengan persatuan penduduk dan dampingan dari LSM yang terlibat maka upaya tersebut dapat digagalkan. Walaupun, sampai sekarang mereka tidak memiliki sertifikat kepemilikan lahan. Sertifikasi lahan ini sendiri memang menjadi kontroversi karena dikhawatirkan jika masyarakat memiliki sertifikat lahan, maka mereka akan dengan mudah menjual lahan mereka kepada pengunjung yang belum tentu tetap menjadikan lahan tersebut sebagai repong damar. Perlindungan terhadap hak pengelolaan repong damar ditunjukkan dengan 37 Contoh kearifan lokal yang dimiliki nenek moyang waktu itu adalah penanaman kembali sebuah pohon damar jika mereka menebang satu pohon. Kerifan penduduk yang lain adalah kemampuan mereka untuk menciptakan sistem pengelolaan kebun sehingga mampu berfungsi seperti hutan. Di samping spesies utama, baik yang dibudidayakan atau dipilih atau yang dilindungi, yang membentuk kerangka agroforest, repong damar berisi beberapa puluh pohon dari jenis yang biasanya dikelola, tetapi di samping itu repong juga berisi beberapa ratus jenis spesies yang tumbuh liar dan sering dimanfaatkan Michon dan Bompard 1987; Michon dan de Foresta, 1994 dalam Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat, 2002. dikeluarkannya Surat Keputusan SK Menteri Kehutanan No 47Kpts-II1998. SK ini menetapkan 29 ribu ha repong damar yang semula berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas HPT dan Hutan Lindung HL sebagai Kawasan Dengan Tujuan Istimewa KDTI. Dengan ketetapan ini masyarakat seara legal dapat mengelola dan mewariskan repong damar di kawasan hutan negara. Keputusan ini menarik karena belum pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia Kusworo, 2000. Selain itu keputusan KDTI ini menunjukkan bahwa penggunaan lahan hanya boleh dilakukan untuk repong damar, bukan untuk perkebunan tanaman lain Wollenberg et al, 2001.

4.1.1.3 Keamanan Pengunjung Terjamin