Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengembangan Ekowisata

(1)

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM

PENGEMBANGAN EKOWISATA

(Kasus

Pekon

Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui,

Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung)

OLEH: DIAN EKOWATI

A 14201025

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Datangi masyarakat tinggallah bersama mereka,

belajarlah dari mereka, cintai mereka,

mulailah dari apa yang mereka ketahui, bekerjalah bersama mereka, bangunlah dengan apa yang mereka miliki.

Tetapi jika menjadi pendamping yang terbaik, setelah kerja keras selesai dan tujuan tercapai, masyarakat akan berkata:

“Kita telah melakukannya sendiri”

Lao Tsu

Karya sederhana ini kupersem bahkan untuk Ibu-Bapak tercinta adik-adikku tersayang


(3)

DIAN EKOWATI, Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata. Kasus Pekon Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung. (Di bawah bimbingan IVANOVICH AGUSTA).

Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti potensi pengembangan ekowisata dalam upaya pemberdayaan masyarakat di Pekon (Pekon adalah istilah lokal dalam Bahasa Lampung untuk menyebut “desa”) Pahmungan, Lampung Barat. Penelitian dilakukan di Pekon Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung. Sebuah desa yang menjadi tempat tujuan penelitian tentang agroforest dari berbagai kalangan, yaitu kalangan akademis, pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Keberhasilan pengelolaan repong damar sebagai sebuah sistem agroforest ini sudah diakui di tingkat nasional dan internasional. Metode penelitian yang diterapkan adalah metode penelitian kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam.

Ekowisata bukanlah suatu jawaban pasti untuk melakukan pemberdayaan masyarakat di Pekon Pahmungan. Ekowisata adalah alternatif yang dapat dipilih dan dikembangkan mengingat potensi sumber daya yang tersedia. Dasar pemikiran utama dari pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata ini adalah pelestarian repong damar dengan tetap memberikan manfaat secara sosial ekonomi kepada masyarakat. Repong adalah istilah lokal dalam Bahasa Lampung untuk kebun. Alasan penduduk lebih memilih untuk menggunakan istilah repong adalah karena repong ditanami dengan berbagai jenis tanaman, tidak seperti istilah kebun yang merujuk pada satu jenis tanaman saja. Saat masyarakat mendapatkan manfaat dari repong damar dengan pengembangan ekowisata maka mereka akan semakin termotivasi untuk melakukan konservasi repong damar mereka. Pengembangan ekowisata adalah untuk kepentingan ekologi dengan tetap membantu kepentingan sosial ekonomi masyarakat.

Dengan berbagai definisi ekowisata yang telah disampaikan, jenis ekowisata yang sesuai dengan kondisi lokalitas Pekon Pahmungan adalah ekowisata dalam batas yang masih sanggup diterima sistem di Pekon Pahmungan, dengan penekanan pada kegiatan di repong damar. Sesuai tiga prinsip dasar wisata yaitu ada yang dilihat, dilakukan dan dibawa. Hal yang dapat dilihat pengunjung adalah sungai dan gua yang masih alami dan terutama flora fauna di dalam repong. Jenis


(4)

kegiatan dalam ekowisata repong damar Pekon Pahmungan yang dapat dilakukan adalah belajar tentang pengelolaan agroforest, petualangan di repong untuk melihat sungai, gua, flora dan fauna di dalamnya, belajar memanjat pohon damar, mengambil getah damar dan memilih damar. Selama ini atraksi panjat damar sudah menjadi atraksi yang ditampilkan setiap ada acara-acara nasional. Hal yang dapat dibawa adalah suvenir-suvenir khas seperti getah damar, bebalang dan kentongan khas Lampung, bahkan mungkin kain tapis.

Didukung dengan berbagai faktor pendukung, komunitas tetap belum mampu melaksanakan pengembangan dan pengelolaan ekowisata ini sendirian. Mereka membutuhkan dukungan dari pihak luar untuk mendampingi mereka dalam mengembangkan dan mengelola ekowisata di desa mereka. Keberadaan pihak luar di sini bukan sebagai pemimpin proyek dan berdiri di depan komunitas, namun untuk berdiri di samping komunitas, melalui proses belajar bersama dengan masyarakat. Hal ini berimplikasi pada kebutuhan akan partisipasi aktif komunitas dalam semua aspek, mulai dari perencanaan, pengembangan, pemasaran dan pengorganisiran sumberdaya dan fasilitas. Komunitas di sini berperan sejak dari pembuatan konsep sampai ke hal teknis.

Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata membutuhkan komitmen dari berbagai pihak demi tercapainya tujuan. Para pihak yang terlibat di sini berasal dari kalangan LSM lokal dan nasional, pemerintah, akademisi dan institusi internasional. Masing-masing pihak yang terlibat dalam ekowisata memiliki peran yang berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. Peran-peran tersebut saling menguatkan satu sama lain. Proses ini adalah proses yang berkelanjutan dan tidak dapat terjadi secara instan. Para pihak yang terlibat harus memiliki komitmen yang kuat untuk terlibat, dan tidak hanya setengah-setengah. Khusus untuk kalangan pemerintah, kritik yang selama ini sering disampaikan oleh komunitas adalah selalu bergantinya program dan kebijaksanaan setiap kali pergantian pejabat. Hal ini terutama dirasakan komunitas pada pejabat pemerintah di daerah tingkat I mereka.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM

PENGEMBANGAN EKOWISATA


(5)

(Kasus Pekon Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN

pada

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005


(6)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Kasus Pekon Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MERAIH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Desember 2005 Dian Ekowati A 14201025


(7)

Dian Ekowati, dilahirkan di Wonogiri, 8 Mei 1983, anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Edris danTuti Trihatmi. Pendidikan formal dimulai dari Taman Kanak-kanak Pertiwi Manjung II Wonogiri, SDN Manjung I Wonogiri, SLTPN 1 Wonogiri, dan SMUN 1 Wonogiri. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Bulan Juni tahun 2001 pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian melalui jalur USMI.

Di kampus IPB penulis aktif dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM-A) periode 2002-2003, Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian (MISETA) periode 2002 – 2003, Lembaga Struktural BEM-A untuk bidang bahasa dan budaya asing dalam Foreign Language Association (FLAt) periode 2003-2004 dan International Association of Agriculture Students and Related Sciences (IAAS) periode 2003 - 2004. Penulis mendapat kesempatan menjadi asisten Sosiologi Umum periode tahun 2003 – 2004. Selain itu, penulis aktif mengikuti kegiatan-kegiatan kampus; yaitu berbagai forum diskusi, seminar, lomba dan lokakarya tentang politik, pertanian, dan teknologi informasi; pelatihan-pelatihan mengenai komunikasi, kepemimpinan, dan pengembangan diri. Di luar kampus, penulis mendapat kesempatan mengikuti pelatihan keterampilan fasilitasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Lampung Barat, Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) dan World Wide Fund for Nature (WWF).

Selain organisasi, penulis telah melakukan kegiatan belajar bersama masyarakat, baik yang diselenggarakan oleh Departemen Sosek maupun kegiatan di luar kampus. Kegiatan tersebut yaitu mempelajari radio komunitas di Subang, Jawa Barat pada bulan Mei 2004; Kuliah Kerja Profesi (KKP) dengan topik “Pendampingan Masyarakat dalam Pendirian dan Pengelolaan Radio Komunitas” di Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung Barat bersama LATIN pada bulan Juni – Agustus 2004; analisis teknologi partisipatif listrik tenaga kincir air dan mempelajari pendampingan masyarakat untuk pengembangan ekowisata di Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah pada bulan Januari 2005. Penulis mendapat kesempatan menjadi sukarelawan LATIN selama masa penelitian bulan Maret – Juni 2005, dan menjadi sukarelawan pada Yayasan Sajogyo Inside.


(8)

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Yang Maha Berilmu yang telah mengizinkan penulis melaksanakan proses penelitian sampai penyusunan skripsi dengan topik Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata (Kasus Pekon Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung)

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak berikut.

Kepada keluarga penulis yang telah menjadi motivator utama penulis, bukan hanya dalam pengerjaan skripsi ini tetapi untuk segala aspek dalam kehidupan penulis sehingga penulis merasa mampu untuk menjadi ”ada” di dunia ini. Terimakasih untuk setiap detik hidupku, Ibu, Ayah dan ketiga adikku tercinta, Ismi, Taufiq, Imam. Terimakasih mendalam juga penulis sampaikan kepada keluarga bulik di Bojong Gede dan kelurga besar di Wonogiri.

Terimakasih pula saya sampaikan kepada Ivanovich Agusta, SP.MSi selaku pembimbing skripsi atas segala kritik, saran dan koreksinya. Ir. Ida Yuhana, MA selaku pembimbing akademik penulis selama penulis menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor. Prof. Dr. Sajogyo atas pelajaran-pelajaran penting bagaimana berteori dan berpraktek. Seluruh dosen Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah membangkitkan minat dan semangat penulis untuk mendalami dan lebih memahami makna komunikasi dalam pengembangan masyarakat. Seluruh staf Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang sangat membantu penulis dalam mengurus birokrasi kampus selama tiga setengah tahun terakhir. Marina Ekatari selaku pembahas kolokium penulis yang telah memberikan banyak masukan bagi penulis dalam melaksanakan penelitian.

Selain itu, pihak yang memegang peranan tidak kalah penting dalam proses belajar penulis untuk penelitian skripsi ini adalah pihak-pihak yang menjadi tempat berbagi dan berlindung penulis di lapangan. Terimakasih kepada pihak LSM LATIN; Suporahardjo selaku direktur LSM LATIN, Kurniadi selaku koordinator wilayah Krui, Lampung, Susi, Elly, Budi Rahardjo (LATIN Bogor), Toetz (WALHI Lampung) dan Yanto (WWF Lampung) yang telah memberi


(9)

kesempatan belajar dan pengalaman yang sangat berharga selama penulis melakukan proses belajar. Kepada Keluarga Bapak Alifinnur yang telah menjadi keluarga dan teman diskusi selama penulis di lapangan. Seluruh informan di Pekon Pahmungan yang telah menjadi teman diskusi dan sumber menggali informasi selama proses belajar penulis. Nano Sudarno yang membuka pikiran penulis tentang konsep dan teknis ekowisata. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lampung Barat, Erik dari Bapeda, Zulfaldi dari Beguai Jejama, Persatuan Masyarakat Petani Repong Damar (PMPRD), Koen Kusters dan Philip dari CIFOR, Prof Ton Dietz dari University of Amsterdam, dan rekan-rekan di Yayasan Sajogyo Inside. Terimakasih untuk tiap diskusi yang sangat berharga bagi pengembangan pemikiran penulis.

Proeses penulisan skripsi ini tak lepas dari dukungan emosional teman-teman dekat penulis; Tri Handayani, Astrid Nurfitria R., Dewi Lestari, Ana Rosidha Tamyis, Muhamad Haris Saputra, Ibnu Roshid, Yusuf Rahadian dan seluruh rekan di Wisma Anggraini. Mereka telah menjadi bagian emosional yang membentuk penulis sampai saat ini, terimakasih untuk semua motivasi yang tidak terhitung. Terimakasih untuk rekan-rekan satu bimbingan yang telah menjadi menjadi tempat berbagi informasi dan semangat untuk terus berjuang bersama, Dini Harmita dan Wydia Fermata. Tak lupa ucapan terimakasih dari lubuk hati terdalam penulis sampaikan kepada segenap warga KPM 38, kelasku, temanku, keluargaku, saudaraku, terimakasih!

Selain pihak tersebut di atas, masih terdapat pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, kepada mereka semua penulis ingin menyampaikan terimakasih dari lubuk hati yang terdalam.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa walaupun penulis telah berusaha sebaik mungkin, skripsi ini jauh dari sempurna. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan di masa mendatang.

Bogor, Januari 2006 Penulis

DAFTAR ISI


(10)

Halaman

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Topik Penelitian ... 1

1.2 Pariwisata... 4

1.3 Ekowisata... 7

1.4 Pemberdayaan Komunitas dalam Ekowisata... 13

1.5 Pertanyaan Penelitian ... 20

1.6 Tujuan Penelitian ... 20

1.7 Kegunaan Penelitian... 20

BAB II METODOLOGI ... 21

2.1 Metode Penelitian... 21

2.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

2.3 Teknik Pengumpulan Data ... 23

2.4 Teknik Analisis Data ... 27

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 28

3.1 Sejarah Pekon Pahmungan ... 28

3.2 Karakteristik Geografis Pekon Pahmungan... 29

3.3 Karakteristik Sosial Ekonomi Pekon Pahmungan ... 34

3.4 Ikhtisar... 44

BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PENGEMBANGAN EKOWISATA PEKON PAHMUNGAN .. 46


(11)

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM

PENGEMBANGAN EKOWISATA

(Kasus

Pekon

Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui,

Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung)

OLEH: DIAN EKOWATI

A 14201025

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

Datangi masyarakat tinggallah bersama mereka,

belajarlah dari mereka, cintai mereka,

mulailah dari apa yang mereka ketahui, bekerjalah bersama mereka, bangunlah dengan apa yang mereka miliki.

Tetapi jika menjadi pendamping yang terbaik, setelah kerja keras selesai dan tujuan tercapai, masyarakat akan berkata:

“Kita telah melakukannya sendiri”

Lao Tsu

Karya sederhana ini kupersem bahkan untuk Ibu-Bapak tercinta adik-adikku tersayang


(13)

DIAN EKOWATI, Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata. Kasus Pekon Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung. (Di bawah bimbingan IVANOVICH AGUSTA).

Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti potensi pengembangan ekowisata dalam upaya pemberdayaan masyarakat di Pekon (Pekon adalah istilah lokal dalam Bahasa Lampung untuk menyebut “desa”) Pahmungan, Lampung Barat. Penelitian dilakukan di Pekon Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung. Sebuah desa yang menjadi tempat tujuan penelitian tentang agroforest dari berbagai kalangan, yaitu kalangan akademis, pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Keberhasilan pengelolaan repong damar sebagai sebuah sistem agroforest ini sudah diakui di tingkat nasional dan internasional. Metode penelitian yang diterapkan adalah metode penelitian kualitatif dengan strategi penelitian studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam.

Ekowisata bukanlah suatu jawaban pasti untuk melakukan pemberdayaan masyarakat di Pekon Pahmungan. Ekowisata adalah alternatif yang dapat dipilih dan dikembangkan mengingat potensi sumber daya yang tersedia. Dasar pemikiran utama dari pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata ini adalah pelestarian repong damar dengan tetap memberikan manfaat secara sosial ekonomi kepada masyarakat. Repong adalah istilah lokal dalam Bahasa Lampung untuk kebun. Alasan penduduk lebih memilih untuk menggunakan istilah repong adalah karena repong ditanami dengan berbagai jenis tanaman, tidak seperti istilah kebun yang merujuk pada satu jenis tanaman saja. Saat masyarakat mendapatkan manfaat dari repong damar dengan pengembangan ekowisata maka mereka akan semakin termotivasi untuk melakukan konservasi repong damar mereka. Pengembangan ekowisata adalah untuk kepentingan ekologi dengan tetap membantu kepentingan sosial ekonomi masyarakat.

Dengan berbagai definisi ekowisata yang telah disampaikan, jenis ekowisata yang sesuai dengan kondisi lokalitas Pekon Pahmungan adalah ekowisata dalam batas yang masih sanggup diterima sistem di Pekon Pahmungan, dengan penekanan pada kegiatan di repong damar. Sesuai tiga prinsip dasar wisata yaitu ada yang dilihat, dilakukan dan dibawa. Hal yang dapat dilihat pengunjung adalah sungai dan gua yang masih alami dan terutama flora fauna di dalam repong. Jenis


(14)

kegiatan dalam ekowisata repong damar Pekon Pahmungan yang dapat dilakukan adalah belajar tentang pengelolaan agroforest, petualangan di repong untuk melihat sungai, gua, flora dan fauna di dalamnya, belajar memanjat pohon damar, mengambil getah damar dan memilih damar. Selama ini atraksi panjat damar sudah menjadi atraksi yang ditampilkan setiap ada acara-acara nasional. Hal yang dapat dibawa adalah suvenir-suvenir khas seperti getah damar, bebalang dan kentongan khas Lampung, bahkan mungkin kain tapis.

Didukung dengan berbagai faktor pendukung, komunitas tetap belum mampu melaksanakan pengembangan dan pengelolaan ekowisata ini sendirian. Mereka membutuhkan dukungan dari pihak luar untuk mendampingi mereka dalam mengembangkan dan mengelola ekowisata di desa mereka. Keberadaan pihak luar di sini bukan sebagai pemimpin proyek dan berdiri di depan komunitas, namun untuk berdiri di samping komunitas, melalui proses belajar bersama dengan masyarakat. Hal ini berimplikasi pada kebutuhan akan partisipasi aktif komunitas dalam semua aspek, mulai dari perencanaan, pengembangan, pemasaran dan pengorganisiran sumberdaya dan fasilitas. Komunitas di sini berperan sejak dari pembuatan konsep sampai ke hal teknis.

Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata membutuhkan komitmen dari berbagai pihak demi tercapainya tujuan. Para pihak yang terlibat di sini berasal dari kalangan LSM lokal dan nasional, pemerintah, akademisi dan institusi internasional. Masing-masing pihak yang terlibat dalam ekowisata memiliki peran yang berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. Peran-peran tersebut saling menguatkan satu sama lain. Proses ini adalah proses yang berkelanjutan dan tidak dapat terjadi secara instan. Para pihak yang terlibat harus memiliki komitmen yang kuat untuk terlibat, dan tidak hanya setengah-setengah. Khusus untuk kalangan pemerintah, kritik yang selama ini sering disampaikan oleh komunitas adalah selalu bergantinya program dan kebijaksanaan setiap kali pergantian pejabat. Hal ini terutama dirasakan komunitas pada pejabat pemerintah di daerah tingkat I mereka.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM

PENGEMBANGAN EKOWISATA


(15)

(Kasus Pekon Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung)

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN

pada

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2005


(16)

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA (Kasus Pekon Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MERAIH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Desember 2005 Dian Ekowati A 14201025


(17)

Dian Ekowati, dilahirkan di Wonogiri, 8 Mei 1983, anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Edris danTuti Trihatmi. Pendidikan formal dimulai dari Taman Kanak-kanak Pertiwi Manjung II Wonogiri, SDN Manjung I Wonogiri, SLTPN 1 Wonogiri, dan SMUN 1 Wonogiri. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Bulan Juni tahun 2001 pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian melalui jalur USMI.

Di kampus IPB penulis aktif dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM-A) periode 2002-2003, Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian (MISETA) periode 2002 – 2003, Lembaga Struktural BEM-A untuk bidang bahasa dan budaya asing dalam Foreign Language Association (FLAt) periode 2003-2004 dan International Association of Agriculture Students and Related Sciences (IAAS) periode 2003 - 2004. Penulis mendapat kesempatan menjadi asisten Sosiologi Umum periode tahun 2003 – 2004. Selain itu, penulis aktif mengikuti kegiatan-kegiatan kampus; yaitu berbagai forum diskusi, seminar, lomba dan lokakarya tentang politik, pertanian, dan teknologi informasi; pelatihan-pelatihan mengenai komunikasi, kepemimpinan, dan pengembangan diri. Di luar kampus, penulis mendapat kesempatan mengikuti pelatihan keterampilan fasilitasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Lampung Barat, Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) dan World Wide Fund for Nature (WWF).

Selain organisasi, penulis telah melakukan kegiatan belajar bersama masyarakat, baik yang diselenggarakan oleh Departemen Sosek maupun kegiatan di luar kampus. Kegiatan tersebut yaitu mempelajari radio komunitas di Subang, Jawa Barat pada bulan Mei 2004; Kuliah Kerja Profesi (KKP) dengan topik “Pendampingan Masyarakat dalam Pendirian dan Pengelolaan Radio Komunitas” di Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung Barat bersama LATIN pada bulan Juni – Agustus 2004; analisis teknologi partisipatif listrik tenaga kincir air dan mempelajari pendampingan masyarakat untuk pengembangan ekowisata di Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah pada bulan Januari 2005. Penulis mendapat kesempatan menjadi sukarelawan LATIN selama masa penelitian bulan Maret – Juni 2005, dan menjadi sukarelawan pada Yayasan Sajogyo Inside.


(18)

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Yang Maha Berilmu yang telah mengizinkan penulis melaksanakan proses penelitian sampai penyusunan skripsi dengan topik Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata (Kasus Pekon Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung)

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada pihak-pihak berikut.

Kepada keluarga penulis yang telah menjadi motivator utama penulis, bukan hanya dalam pengerjaan skripsi ini tetapi untuk segala aspek dalam kehidupan penulis sehingga penulis merasa mampu untuk menjadi ”ada” di dunia ini. Terimakasih untuk setiap detik hidupku, Ibu, Ayah dan ketiga adikku tercinta, Ismi, Taufiq, Imam. Terimakasih mendalam juga penulis sampaikan kepada keluarga bulik di Bojong Gede dan kelurga besar di Wonogiri.

Terimakasih pula saya sampaikan kepada Ivanovich Agusta, SP.MSi selaku pembimbing skripsi atas segala kritik, saran dan koreksinya. Ir. Ida Yuhana, MA selaku pembimbing akademik penulis selama penulis menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor. Prof. Dr. Sajogyo atas pelajaran-pelajaran penting bagaimana berteori dan berpraktek. Seluruh dosen Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah membangkitkan minat dan semangat penulis untuk mendalami dan lebih memahami makna komunikasi dalam pengembangan masyarakat. Seluruh staf Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang sangat membantu penulis dalam mengurus birokrasi kampus selama tiga setengah tahun terakhir. Marina Ekatari selaku pembahas kolokium penulis yang telah memberikan banyak masukan bagi penulis dalam melaksanakan penelitian.

Selain itu, pihak yang memegang peranan tidak kalah penting dalam proses belajar penulis untuk penelitian skripsi ini adalah pihak-pihak yang menjadi tempat berbagi dan berlindung penulis di lapangan. Terimakasih kepada pihak LSM LATIN; Suporahardjo selaku direktur LSM LATIN, Kurniadi selaku koordinator wilayah Krui, Lampung, Susi, Elly, Budi Rahardjo (LATIN Bogor), Toetz (WALHI Lampung) dan Yanto (WWF Lampung) yang telah memberi


(19)

kesempatan belajar dan pengalaman yang sangat berharga selama penulis melakukan proses belajar. Kepada Keluarga Bapak Alifinnur yang telah menjadi keluarga dan teman diskusi selama penulis di lapangan. Seluruh informan di Pekon Pahmungan yang telah menjadi teman diskusi dan sumber menggali informasi selama proses belajar penulis. Nano Sudarno yang membuka pikiran penulis tentang konsep dan teknis ekowisata. Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lampung Barat, Erik dari Bapeda, Zulfaldi dari Beguai Jejama, Persatuan Masyarakat Petani Repong Damar (PMPRD), Koen Kusters dan Philip dari CIFOR, Prof Ton Dietz dari University of Amsterdam, dan rekan-rekan di Yayasan Sajogyo Inside. Terimakasih untuk tiap diskusi yang sangat berharga bagi pengembangan pemikiran penulis.

Proeses penulisan skripsi ini tak lepas dari dukungan emosional teman-teman dekat penulis; Tri Handayani, Astrid Nurfitria R., Dewi Lestari, Ana Rosidha Tamyis, Muhamad Haris Saputra, Ibnu Roshid, Yusuf Rahadian dan seluruh rekan di Wisma Anggraini. Mereka telah menjadi bagian emosional yang membentuk penulis sampai saat ini, terimakasih untuk semua motivasi yang tidak terhitung. Terimakasih untuk rekan-rekan satu bimbingan yang telah menjadi menjadi tempat berbagi informasi dan semangat untuk terus berjuang bersama, Dini Harmita dan Wydia Fermata. Tak lupa ucapan terimakasih dari lubuk hati terdalam penulis sampaikan kepada segenap warga KPM 38, kelasku, temanku, keluargaku, saudaraku, terimakasih!

Selain pihak tersebut di atas, masih terdapat pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, kepada mereka semua penulis ingin menyampaikan terimakasih dari lubuk hati yang terdalam.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa walaupun penulis telah berusaha sebaik mungkin, skripsi ini jauh dari sempurna. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan di masa mendatang.

Bogor, Januari 2006 Penulis

DAFTAR ISI


(20)

Halaman

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Topik Penelitian ... 1

1.2 Pariwisata... 4

1.3 Ekowisata... 7

1.4 Pemberdayaan Komunitas dalam Ekowisata... 13

1.5 Pertanyaan Penelitian ... 20

1.6 Tujuan Penelitian ... 20

1.7 Kegunaan Penelitian... 20

BAB II METODOLOGI ... 21

2.1 Metode Penelitian... 21

2.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

2.3 Teknik Pengumpulan Data ... 23

2.4 Teknik Analisis Data ... 27

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 28

3.1 Sejarah Pekon Pahmungan ... 28

3.2 Karakteristik Geografis Pekon Pahmungan... 29

3.3 Karakteristik Sosial Ekonomi Pekon Pahmungan ... 34

3.4 Ikhtisar... 44

BAB IV FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PENGEMBANGAN EKOWISATA PEKON PAHMUNGAN .. 46


(21)

4.1 Faktor-faktor Pendukung ... 47

4.2 Faktor-faktor Penghambat ... 59

4.3 Ikhtisar... 65

BAB V KAPASITAS MASYARAKAT UNTUK TERLIBAT DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA ... 69

5.1 Kemampuan menjadi Tuan Rumah Penginapan ... 69

5.2 Keterampilan Dasar Berbahasa Inggris ... 78

5.3 Keterampilan Pengoperasian Komputer... 80

5.4 Keterampilan Pengelolaan Keuangan ... 83

5.5 Keterampilan Pemasaran ... 86

5.6 Keterbukaan terhadap Pengunjung... 87

5.7 Ikhtisar ... 92

BAB VI. STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA ... 95

6.1 Elemen Pemanduan dan Pelayanan Penerjemahan ... 95

6.2 Penginapan... 100

6.3 Penyediaan Makanan... 104

6.4 Pembuatan dan Penjualan Hasil Produksi ... 105

6.5 Pembuatan dan Penjualan Souvenir ... 106

6.6 Jasa Transportasi ... 108

6.7 Ikhtisar ... 108

BAB VII. PENUTUP ... 111

7.1 Kesimpulan ... 111

7.2 Saran ... 118

DAFTAR PUSTAKA ... 119


(22)

Nomor Halaman Teks

Tabel 1. Komposisi Penduduk Pekon Pahmungan... 36 Tabel 2. Karakteristik Pekon Pahmungan... 44

Tabel 3. Faktor Pendukung dan Penghambat Pengembangan Ekowisata di Pekon Pahmungan... 65


(23)

Nomor Halaman Teks

Gambar 1. Aspek-aspek Ekowisata ... 2 Gambar 2. Kondisi Repong di Pekon Negeri Ratu Ngaras yang Dibakar dan

Diganti Jeruk ... 3 Gambar 3. Suasana Wawancara Dengan Informan ... 26 Gambar 4. Areal Persawahan Dengan Latar Bealakang Repong Damar .... 30 Gambar 5. Anjung Milik Penduduk yang Terletak di dalam Repong... 31 Gambar 6. Keragaman Jenis Pohon Dalam Repong... 33 Gambar 7. Transek Penggunaan Lahan Pekon Pahmungan... 39 Gambar 8. Pohon Buah Durian di Dalam Repong... 40 Gambar 9. Kalender Musim Pekon Pahmungan... 43 Gambar 10. Peneliti Asing Mengunjungi Gudang Damar ... 55 Gambar 11. Suasana Rapat Radio Komunitas... 57 Gambar 12. Pertunjukan Kesenian Bedikar... 62

BAB I

PENDAHULUAN


(24)

1.1

Topik Penelitian

Topik yang dipilih dalam penelitian ini adalah “pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata”. Topik ini dipilih karena penulis melihat adanya potensi pengembangan ekowisata sebagai salah satu jalan untuk pemberdayaan masyarakat di Pekon1 Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung Barat. Repong2 damar di Pesisir merupakan contoh keberhasilan sistem yang dirancang dan dilaksanakan oleh penduduk setempat sejak 200 tahun yang lalu. Keunikan sistem tersebut terletak pada penguasaan ekologi sumber daya ekonomi, yakni bukan dengan cara memodifikasi ciri-ciri tanaman agar sesuai dengan ekosistem budidaya, melainkan dengan rekonstruksi yang hampir sesempurna ekosistem hutan asli (Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat, 2002). Kunjungan orang luar ke Pekon Pahmungan pun dapat dikatakan selama ini sudah cukup sering, sekitar satu sampai tiga rombongan setiap bulan. Satu rombongan pengunjung yang datang biasanya terdiri dari empat sampai sepuluh orang3. Selain itu, topik tersebut dipilih penulis karena adanya dukungan dari Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) terhadap penulis untuk melakukan penelitian ini. LATIN yang melakukan pendampingan di wilayah Krui, Lampung Barat melihat adanya potensi pengembangan ekowisata dengan kedatangan para pengunjung dari kalangan awam, akademisi dan praktisi baik dari dalam maupun luar negeri ke Pekon Pahmungan untuk melakukan penelitian dan studi banding.

Ekowisata adalah konsep wisata yang menggabungkan antara kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial. Tak seperti wisata alam yang cenderung menekankan pelayanan pada pengunjung sebagai konsumen4 dan kurang

1Pekon adalah istilah lokal dalam Bahasa Lampung untuk menyebut “desa”. 2

Repong adalah istilah lokal dalam Bahasa Lampung untuk kebun. Alasan penduduk lebih memilih untuk menggunakan istilah repong adalah karena repong ditanami dengan berbagai jenis tanaman, tidak seperti istilah kebun yang merujuk pada satu jenis tanaman saja.

3 Hasil wawancara dengan informan di

Pekon Pahmungan dan hasil observasi lapang.

4 Contoh keberpihakan pada peayanan pengunjung dan tidak diimbangi dengan pelayanan

penduduk lokal adalah di Hutan Lindung Nasional, Kenya. Mata air di dalam hutan lindung tersebut, sebelum dijadikan tujuan wisata alam adalah sumber mata air bagi penduduk lokal, baik untuk kehidupan sehari-hari maupun untuk ternak-ternak mereka. Saat wisata alam dikembangkan dan sebuah hotel didirikan, penduduk lokal tidak lagi memiliki akses terhadap mata air tersebut. mata air dalam hutan lindung ditutup untuk umum demi memenuhi kebutuhan air pengunjung


(25)

ekologi

memperhatikan kepentingan ekologi maupun penduduk lokal, ekowisata memberi penekanan yang sama pada pelestarian ekologi dan pemberian manfaat sosial ekonomi pada penduduk lokal. Hal ini dapat digambarkan dalam sebuah segitiga sama sisi seperti berikut ini.

Gambar 1 Aspek-aspek Ekowisata

sosial

ekonomi

Panjang masing-masing sisi yang sama menunjukkan kesetaraan tingkat kepentingan masing-masing aspek dalam pengembangan ekowisata. Aspek ekologi terus diupayakan pelestariannya dengan pemberian manfaat sosial ekonomi bagi penduduk lokal.

Kondisi repong damar di beberapa pekon di Pesisir Tengah Krui, misal Pekon Gunung Kemala dan Pekon Negeri Ratu Ngaras saat ini sudah cukup mengkhawatirkan. Pohon-pohon damar di sana, sebagian sudah ditebangi dan diganti dengan pohon jeruk, coklat atau kopi. Penebangan pohon damar mereka lakukan karena mereka menganggap pohon-pohon tersebut sudah tidak memberikan keuntungan secara optimal, hal ini terjadi karena pengambilan getar damar yang dilakukan penduduk sudah melewati batas kemampuan pohon damar. Getah pohon damar uang seharusnya dipanen setelah satu bulan, saat ini dipanen dalam jangka waktu dua – tiga minggu. Penggantian dengan pohon kopi, cokelat atau jeruk menurut penduduk memberikan manfaat ekonomi yang lebih banyak, dibandingkan jika mereka menanam pohon damar baru yang membutuhkan waktu 25 - 30 tahun5 untuk menghasilkan getah. Waktu selama itu dibutuhkan dari proses penyemaian biji sampai menjadi pohon yang bisa menghasilkan getah. Penggantian repong damar menjadi kebun kopi, cokelat atau jeruk ini secara ekologi kurang menguntungkan. Pohon-pohon damar membentuk repong bersama

Hotel Sarova Shaba. Penduduk lokal dan ternak-ternaknya kemudian mengalami kelaparan karena tidak memiliki air cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka (Mc Laren dalam Linsday, 2003).

5 Jangka waktu yang dibutuhkan pohon menghasilkan getah tergantung dari tingkat kesuburan


(26)

pohon-pohon lain (duku, durian, petai, buah merah, asam kandis, akasia, jati, mahoni dll) baik yang dibudidayakan atau tidak, menjadi sebuah ekosistem agroforest. Ekosistem agroforest ini memiliki fungsi selayaknya hutan. Fungsi-fungsi tersebut antara lain; penyerapan air, sumber oksigen, pelindung flora dan fauna. Jika sistem agroforest ini punah maka ekologi dalam lingkup lebih luas akan terganggu, tidak hanya bencana ekologi di wilayah Pesisir Krui, tetapi juga di tingkat nasional, bahkan internasional. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Ty, supervisor tim Konservasi Gunung Halimun dari Japan International Corporation Agency (JICA) dalam sebuah wawancara untuk Radio Komunitas Suara Petani.

”Rakyat Krui harus bangga dengan repong damarnya. Repong ini adalah sistem

agroforest yang sangat hebat, hampir sesuai dengan hutan asli. Melestarikannya, bukan hanya bermanfaat untuk rakyat Krui sendiri, tetapi juga bagi Indonesia bahkan dunia internasional. Dapat dikatakan, repong damar adalah salah satu paru-paru dunia.”

Gambaran kondisi repong damar yang sudah rusak dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Atas dasar pemikiran itulah, penelitian ini dilakukan. Penelitian untuk meneliti kapasitas, potensi dan strategi pemberdayaan yang dapat ditempuh dalam pengembangan ekowisata di Pekon Pahmungan sebagai salah satu alternatif pemberdayaan bagi masyarakat.

Tunas Pohon Jeruk Gambar 2. Kondisi Repong di Pekon Negeri Ratu Ngaras yang

Dibakar dan Diganti Jeruk


(27)

1.2 Pariwisata

Pariwisata adalah aktivitas dari orang-orang yang melakukan perjalanan untuk kemudian tinggal di suatu tempat di luar lingkungan sehari-hari mereka dalam waktu tidak lebih dari satu tahun secara terus menerus untuk bersenang-senang, bisnis atau tujuan-tujuan lain (WTO dan UNSTAT, 1994 dalam Cooper et al.1999). Pariwisata berkembang di dunia sebagai hasil dari kenaikan pendapatan, waktu luang yang lebih banyak, dan kesempatan yang terus berkembang (Tisdell, 1987). Saat ini industri pariwisata telah menjadi industri terbesar di dunia dan telah mampu menjadi industri yang berkembang paling cepat dibandingkan industri-industri lain. Pariwisata merupakan penyumbang yang signifikan dalam pertumbuhan ekonomi di hampir semua negara dunia, termasuk pada negara-negara sedang berkembang (Tisdell, 2000).

Aryanto (2003) menyatakan bahwa pariwisata merupakan industri dengan pertumbuhan tercepat di dunia, melibatkan 657 juta kunjungan wisata di tahun 1999 dengan US $ 455 milyar penerimaan ke seluruh dunia. Apabila kondisi tetap stabil, pada tahun 2010 jumlah kunjungan antar negara ini diperkirakan meningkat mencapai 937 juta. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa di Indonesia indikasi perkembangan pariwisata tersebut terlihat dari peningkatan jumlah wisatawan mancanegara sebanyak 4.606.416 (rata-rata hari kunjungan 9,18 hari/ orang) di tahun 1998, meningkat menjadi 5.064.217 orang dengan jumlah hari kunjungan 12,26/orang pada tahun 2000. Besarnya devisa yang diperoleh sektor pariwisata pada tahun 2000 sebesar 5,75 milyar US$.

Dari data Ditjen Pariwisata sampai dengan Juni 1999, tercatat peningkatan kontribusi bidang kawasan dan wisata secara signifikan dari 4,91% di tahun 1990 menjadi 9,59% di tahun 1999, dengan peningkatan investasi dari Rp 3 triliun di tahun 1990 menjadi Rp 33 triliun di tahun 1999, keberlanjutan pengembangan ini berimplikasi pada bidang usaha wisata lainnya, yaitu perhotelan, jasa rekreasi, biro perjalanan, dan restoran yang terletak di kawasan wisata (Aryanto, 2003).


(28)

Pariwisata sendiri adalah sebuah bisnis yang unik, produk dan pemasarannya pun tidak daat disamakan dengan pemasaran produk lain. Berikut ini adalah sepuluh keunikan pemasaran produk pariwisata (Eagles 1994)6:

a. Pengalaman rekreasi di lapangan sebagai produk dikonsumsi di daerah tersebut, jauh dari rumah konsumen.

b. Biaya perjalanan menuju daerah wisata sering jauh lebih mahal daripada biaya masuk ke daerah wisata tersebut.

c. Produk wisata adalah sebuah paket fasilitas dan program yang menarik orang untuk datang ke wilayah tersebut.

d. Pengalaman wisata pada umumnya hanya berlangsung selama beberapa hari dan bersifat eksperiental; tidak dapat dimiliki kecuali sebagai kenangan.

e. Produksi, pengiriman, dan konsumsi produk wisata berlangsung secara bersama-sama.

f. Para konsumen terlibat secara aktif dalam memproduksi pengalaman, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.

g. Pengalaman wisata yang tidak sesuai dengan harapan konsumen tidak dapat dikembalikan dalam bentuk pengembalian biaya.

h. Situs wisata dan pengalaman sulit untuk didapat sebelum benar-benar merasakan. Oleh karena itu, ajakan langsung dari teman atau keluarga adalah faktor utama yang menentukan pilihan.

i. Produk wisata tidak dapat disimpan selama permintaan rendah dan kemudian dan kemudian dijual saat permintaan berlebih.

j. Aspek-aspek penting dalam pengalaman wisata terjadi sebelum dan sesudah partisipasi di lapangan.

Tisdell (1987) menyatakan gejala yang umum berkembang di dunia saat ini adalah bahwa peningkatan kegiatan dalam bidang pariwisata diikuti dengan


(29)

peningkatan tekanan pada lingkungan. Dampak negatif dari tekanan pada lingkungan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Erosi tanah karena lalu lintas yang terlalu padat, pejalan kaki, dll7. b. Perencanaan pembangunan infrastruktur untuk mendukung pariwisata

seperti bangunan-bangunan, tempat pembuangan sampah, jalan-jalan yang buruk mengakibatkan kerusakan pada lingkungan dan hal ini dapat mengganggu kehidupan binatang8.

c. Permintaan wisatawan akan kebutuhan hidup selama mereka berada di wilayah pariwisata dapat mengakibatkan eksploitasi sumber daya alam untuk alasan komersial9.

d. Kondisi sosial budaya wisatawan yang tidak sesuai dengan sosial budaya setempat dapat merusak dan mengganggu sistem sosial budaya yang berada di komunitas10.

Selain dampak negatif tersebut di atas, Tisdell menyatakan bahwa bagi komunitas lokal, pariwisata memiliki manfaat-manfaat yaitu pengenalan pada ide-ide baru yang berguna bagi kehidupan mereka, gaya hidup yang berkembang, kesempatan ekonomi baru dan lebih luas, pertumbuhan permintaan akan kesenian lokal, kesadaran baru terhadap budaya mereka sendiri, penawaran investasi untuk konservasi budaya buatan manusia dan untuk konservasi alam. Contoh nyata

7 Di Annapura Circuit, Nepal 60.000 pengunjung yang datang setiap tahun mengakibatkan

pengkisan tanah yang cukup dalam di jalan yang mereka lalui (Mc Laren dalam Linsday, 2003).

8 Pembangunan kawasan wisata di daerah Taman Wisata Alam Pulau Sangiang, Desa Cikoneng,

kecamatan Anyer, Kabupaten Serang oleh PT Pondok Kalimaya Putih tanpa mengindahkan aspek lingkungan telah menyebabkan terjadinya perubahan bentangan lahan alami dari hutan alam menjadi semak belukar, padang alang-alang, dan bangunan permanen. Akibatnya terjadi penurunan laju infiltrasi tanah dan telah menyebabkan kerusakan sifat fisik tanah (Tempo Interaktif, 20 Maret 2005).

9 Di Kenya, sumber mata air di Taman Nasional Shaba sebelumnya adalah penyedia air bersih

bagi orang-orang lokal Samburu, binatang peliharaannya, dan binatang-binatang liar di kawasan taman tersebut. Namun, ketika Hotel Sarova Shaba dibangun, mereka menguasai mata air tersebut sehingga tidak lagi dapat digunakan orang-orang lokal dan binatang-binatang liar. Hal ini mengakibatkan binatang-binatang peliharaan dan binatang-binatang-binatang liar sekarat dan kelaparan (Mc Laren dalam Linsday, 2003).

10 Di kawasan reservasi Hopi Nation, Arizona, penduduk asli tidak lagi mengizinkan pengunjung

yang datang untuk memotret, memasuki daerah pemukiman penduduk, atau melakukan pendakian dan perjalanan di kawasan reservasi. Penolakan ini dilakukan karena penduduk menganggap sikap pengunjung yang datang sebelumnya tidak sopan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut (Mc Laren dalam Linsday, 2003).


(30)

kesuksesan pengembangan ekowisata adalah di Kawasan Reservasi Maquipucuna, Ekuador. Kawasan reservasi ini berdiri di atas tanah seluas 15.000 acre (sekitar 5970 hektar), di bawah kepemilikan dan manajemen yayasan swasta. Para pengunjung tinggal di sebuah penginapan dengan karyawan dan pemandu dari komunitas lokal. Para pengunjung dapat menikmati atraksi-atraksi seperti kegiatan untuk merehabilitasi beruang liar yang saat ini terlalu tergantung pada tangan manusia, koleksi anggrek yang dapat dipanen, situs arkeologi pre-Incan dan Festival Beruang tahunan yang terkenal. Penginapan ini berdiri tepat di sebelah tempat penelitian. Kesuksesan pengembangan ekowisata di daerah ini telah memeberikan inspirasi bagi penduduk lokal untuk melihat beruang sebagai simbol kekayaan turun temurun mereka yang dengan bangga mereka pamerkan, dan bukan lagi melihat beruang-beruang tersebut sebagai hama atau hewan buruan (Linsday, 2003).

1.3 Ekowisata

Fennel menyatakan bahwa ekowisata merupakan salah satu bentuk perluasan dari pariwisata alternatif yang timbul sebagai konsekuensi dari ketidakpuasan terhadap bentuk pariwisata yang kurang memperhatikan dampak sosial dan ekologis, lebih mementingkan keuntungan ekonomi dan kenyamanan manusia semata (Fennel, 1999 dalam Nugraheni, 2002). Selain Fennel, Linsday menyebutkan bahwa ekowisata muncul sebagai konsep yang menyatukan antara kepentingan pemerhati lingkungan dan ahli pembangunan. Ekowisata menekankan pentingnya konservasi ekologi tanpa meninggalkan kepentingan sosial ekonomi masyarakat lokal. World Wide Fund for Nature (WWF) menyatakan bahwa ekowisata dikembangkan berdasarkan pada pengetahuan lokal, ekowisata mampu menyediakan pendapatan untuk masyarakat lokal, dan mendorong komunitas untuk lebih menghargai kehidupan liar di sekelilingnya, sehingga dapat memberikan manfaat bagi konservasi.

Hal ini sesuai dengan harapan para penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat di Pekon Pahmungan setelah melihat kondisi ekologi dan sosial ekonomi penduduk Pekon Pahmungan. Saat ini kondisi sebagian pohon damar di repong damar Pekon Pahmungan sudah cukup memprihatinkan dengan adanya


(31)

pengambilan getah yang terlalu sering dilakukan penduduk karena tuntutan ekonomi. Jika hal ini berlanjut terus menerus, dikhawatirkan kondisi repong damar sebagai kekayaan ekologi akan rusak dan bahkan punah. Pengembangan ekowisata memungkinkan penduduk memperoleh manfaat secara sosial dan ekonomi dengan tetap mempertahankan kelestarian repong damar sehingga kelestarian repong damar dapat dipertahankan.

Ekowisata merupakan jenis pariwisata yang menekankan pada pentingnya konservasi. World Conservation Union mendefinisikan ekowisata sebagai perjalanan dan kunjungan yang bertanggung jawab terhadap lingkungan pada wilayah-wilayah yang relatif belum terganggu, dengan tujuan untuk menikmati dan menghargai alam yang mengutamakan konservasi, memiliki dampak dari kehadiran pengunjung rendah, dan melibatkan komunitas lokal secara aktif dalam bidang sosial ekonomi yang menguntungkan11. Selain definisi tersebut, terdapat definisi lain, Lindsay (2003) menyatakan bahwa ekowisata adalah pariwisata yang bertanggung jawab dengan fokus pada alam12. Wisatawan-wisatawan pada umumnya tinggal bersama dengan para penduduk lokal atau pada hotel kecil yang ramah lingkungan yang biasa disebut ecolodge. Ecolodge ini pada umumnya terbuat dari kayu. Kunci dari keramahan lingkungan ecolodge ini adalah tingkat konsumsi yang rendah, penggunaan sumber daya secara efisien, dan daur ulang barang-barang yang digunakan. Hotel besar di kawasan industrialisai mungkin dapat membuang sampah dalam jumlah yang besar. Namun sebuah ecolodge di dalam kawasan hutan konservasi tidak akan memiliki tempat untuk dijadikan tempat pembuangan sehingga mereka harus menemukan cara untuk melakukan daur ulang. Pelayanan di hotel modern saat ini membiasakan pengunjung untuk mendapatkan penggantian selimut dan sprei setiap hari. Di dalam ecolodge para pengunjung mungkin harus terbiasa untuk mendapatkan penggantian selimut dan spre seminggu sekali demi penghematan air dan tenaga.

Menurut Norris, Wilber dan Marrin (tidak ada tahun) terdapat dua jenis ekowisata yang dewasa ini berkembang di kalangan penggiat ekowisata. Pertama

11 Ceballos dan Lascurain dalam http://www.csa.com/hottopics/ecotour1/Notes/nCeb.html

(25-4-2004)


(32)

adalah ekowisata berbasis masyarakat dan yang kedua adalah ekowisata yang disponsori oleh organisasi konservasi swasta. Perbedaannya adalah ekowisata yang disponsori oleh organisasi konservasi swasta bertujuan untuk melakukan konservasi dengan memberikan manfaat bagi komunitas, sedang ekowisata berbasis komunitas bertujuan memberikan manfaat bagi komunitas dengan melakukan konservasi ekologi. Dalam skripsi ini, penulis tidak membedakan antara kedua jenis ekowisata tersebut, karena pada dasarnya inti dari ekowisata adalah kedua hal tersebut, pengembangan masyarakat dan konservasi, keduanya memiliki posisi yang sama., tidak ada yang lebih penting atau kurang penting. Keduanya berjalan bersama-sama untuk mencapai pengembangan ekowisata yang berkelanjutan dan lestari.

Dari berbagai definisi yang diutarakan oleh berbagai ahli, Ron Mader seorang konsultan ekowisata menyatakan kriteria-kriteria umum ekowisata yaitu13:

a. Ketersediaan untuk tindakan-tindakan konservasi.

Tindakan-tindakan konservasi yang dilakukan dalam pengembangan ekowisata berjalan beriringan dengan tindakan-tindakan sosial ekonomi bagi masyarakat. Hal ini menjadi salah satu kriteria utama mengingat bahwa pusat keragaman biologi pada umumnya adalah daerah-daerah paling miskin di dunia, di mana kebutuhan ekonomi mendesak komunitas untuk melakukan tindakan-tindakan yang merusak lingkungan. Ekowisata adalah sebuah kesempatan untuk melindungi ekosistem dan keragaman biologi yang mungkin akan hilang. Ekowisata juga membuka jalan bagi pemasukan dana untuk usaha-usaha penelitian. Pemasukan dana yang didapat dari atraksi-atraksi ekowisata dapat diteruskan ke program-program yang menggali lebih dalam pengetahuan tentang ekologi area tersebut, mendukung usaha pengawinan spesies asli, rehabilitasi atau penghutanan kembali, memonitor dampak kedatangan pengunjung untuk memastikan bahwa kunjungan-kunjungan tersebut tidak merusak lingkungan(Conservation International dalam Linsday, 2003).


(33)

Di Taman Nasional Kakum, Ghana terdapat jalan kanopi yang terbentang diantara pucuk-pucuk pepohonan. Jalan ini dirancang dan dibangun oleh Badan Konservasi Internasional. Jalan ini digunakan oleh para pengunjung dan para peneliti dan merupakan sumber pendapatan untuk usaha-usaha konservasi di taman nasional tersebut. Jalan kanopi ini menarik kunjungan cukup banyak wisatawan. Hal ini terlihat dari jumlah kunjungan yang meningkat drastis dari 2.000 kunjungan pada tahun 1992 menjadi 70.000 kunjungan pada tahun 1999 (Conservation International dalam Linsday, 2003).

b. Pelibatan komunitas dalam partisipasi yang aktif dan berarti.

Komunitas lokal adalah pihak paling penting dalam pengembangan ekowisata ini, selain pihak-pihak lain, seperti pihak swasta, LSM, dan pemerintah. Komunitas lokal adalah subyek utama yang mengalami langsung proses dan hasil-hasil dari pengembangan ekowisata.

Pengembangan ekowisata di Kawasan Konservasi Biodiversitas Nasional Namha, Thailand telah berhasil meningkatkan pendapatan penduduk lokal dan mengangkat mereka dari kemiskinan. Keberhasilan ini tidak lepas dari pelibatan penduduk secara aktif dalam kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam pengembangan ekowisata. Pengunjung yang datang ke kawasan ekowisata ini harus menyewa pemandu lokal untuk memastikan bahwa peraturan-peraturan yang telah ditetapkan untuk menjaga kelestarian ekologi dan norma-norma sosial yang berlaku di kalangan masyarakat tersebut terus dipatuhi oleh pengunjung. Penduduk lokal yang berpastisipasi aktif dalam pengembangan ekowisata ini mendapatkan manfaat ekonomi secara langsung melalui penyediaan makanan, penginapan, pelayanan pemanduan, dan melalui penjualan kerajinan. Pendapatan kotor yang diperoleh dari kegiatan ini mencapai lebih dari 21,000 US $ selama periode Oktober 2000 sampai November 2001. Kontribusi pengembangan ekowisata di kawasan ini dalam melawan kemiskinan membawa pengembang ekowisata di daerah ini mendapat penghargaan pembangunan dari PBB pada tahun 2001.


(34)

c. Menguntungkan dan dapat berkelanjutan/ bertahan secara mandiri. Kriteria lain dari ekowisata adalah bahwa kegiatan tersebut dapat berkelanjutan dan bertahan secara mandiri, memungkinkan komunitas untuk terus mendapat manfaat tanpa membahayakan kelestarian ekologi. Di Kawasan Reservasi Biosfer Maya di Peten, Guatemala terdapat sebuah sekolah bernama Eco-Escuela yang dibangun dengan kerjasama antara lembaga yang mendampingi komunitas dengan Badan Konservasi Nasional, ternyata mampu mandiri dalam waktu tiga tahun. Sekolah tersebut menjadi lahan pekerjaan bagi 56 keluarga, dan menawarkan program seperti kelas bahasa Spanyol dan penginapan bagi pengunjung. Ekowisata juga telah mendorong penduduk lokal untuk mengembangkan kerajinan tangan asli untuk souvenir, dan hal tersebut ikut berkontribusi dalam pelestarian warisan budaya.

Nilai tambah lain dari ekowisata adalah tinggalnya para wisatawan dengan komunitas lokal yang memungkinkan terjadinya kontak pribadi antara mereka dan akan memfasilitasi adanya pertukaran budaya, hal tersebut merupakan hal yang sangat berarti dari pengalaman ekowisata bagi beberapa orang (Linsday, 2003)14. Dari definisi-definisi ekowisata yang dinyatakan di atas dapat dilihat bahwa ekowisata adalah salah satu usaha untuk menekan dampak negatif terhadap lingkungan seperti yang dimiliki oleh pariwisata pada umumnya. Namun tidak semua usaha ekowisata berhasil dalam usaha konservasi alam. Mc Laren dalam Linsday (20030 menyatakan bahwa pada kemungkinan terburuknya, ekowisata destruktif pada aspek lingkungan, eksploitatif pada aspek ekonomi, dan tidak sensitif pada aspek budaya, lebih lanjut ia menyatakan ekowisata sebagai perjalanan yang mencuci aspek hijau (greenwashed)15. Jika dampak-dampak negatif tersebut tidak dapat dicegah maka ekowisata sebagai alternatif wisata untuk menekan dampak negatifnya hanya akan menjadi sebuah perubahan istilah saja.

14http://www.csa.co m/hottopics/ecotour1/editor.html [25-4-2004]


(35)

Lebih lanjut Mc Laren dalam Linsday (2003) menyebutkan dampak-dampak negatif ekowisata, yaitu karena lokasi untuk ekowisata terletak di daerah-daerah yang sensitif, ekowisata yang gagal menghidupkan asas konservasi dapat memiliki konsekuensi terhadap lingkungan. Wisatawan yang datang mengakibatkan peningkatan populasi walaupun mungkin tidak secara terus menerus, dan tuntutan mereka pada sumber daya-sumber daya lokal akan membutuhkan infrastruktur tambahan, menghasilkan sampah dalam jumlah besar, polusi dan degradasi lebih jauh pada ekosistem yang rapuh. Bahkan aktivitas-aktivitas yang terdengar tidak berbahaya seperti petualangan di alam bebas mungkin akan merusak, aktivitas ini dapat mengakibatkan erosi tanah dan perusakan pada akar-akar tanaman. Selain itu, wisatawan yang datang ke alam bebas yang masih liar dapat menakuti binatang-binatang untuk mencari makanan atau ke sarang mereka, sedangkan perahu-perahu mesin dan helikopter yang mereka tumpangi akan mengakibatkan polusi suara, air, tanah, udara yang akan mengganggu kehidupan asli binatang-binatang tersebut. Keberadaan para wisatawan tersebut juga sangat mungkin menjadi faktor utama dalam perkembangan ekonomi yang merusak terhadap lingkungan seperti adanya pasar untuk souvenir-souvenir yang berasal dari bagian tubuh hewan liar.

Dalam rangka mengatasi masalah-masalah ekowisata tersebut, partisipan-partisipan pada Konferensi Online “Sustainable Ecotourism” Mei 2000, yang diadakan oleh Ron Mader menetapkan beberapa syarat ekowisata16:

a. Aktivitas ekowisata tidak mengganggu kehidupan alami. b. Meminimalisir dampak negatif pada lingkungan.

c. Melakukan konservasi terhadap alam dan warisan budaya. d. Melibatkan komunitas lokal secara aktif dan menguntungkan.

e. Mampu memberikan kontribusi pada pembangunan berkelanjutan dari keuntungan-keuntungan yang didapat.

f. Memberikan pengalaman yang mendidik bagi para pengunjung menggabungkan antara alam dan warisan budaya (Ceballos-Lascurdin).


(36)

1.4 Pemberdayaan Komunitas dalam Ekowisata

Dari definisi-definisi ekowisata yang telah disampaikan, dapat dilihat bahwa aspek partisipasi aktif komunitas lokal merupakan aspek yang penting dan mendasar dalam ekowisata. Partisipasi aktif komunitas lokal merupakan elemen penting dalam mengatasi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh adanya ekowisata.

Tujuan jangka panjang pemanfaatan pendekatan partisipatif adalah meningkatkan kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah proyek atau pengembangan, dengan cara melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya17. Istilah pemberdayaan sendiri dapat diartikan sebagai pembangunan alternatif yang lebih memihak pada manusia dan lingkungannya daripada terhadap produksi dan keuntungan (Friedmann, 1992). Konsep pemberdayaan ini tidak dapat dilepaskan dari konsep partisipasi. Dalam melakukan pemberdayaan, setiap pihak yang terlibat memiliki hak dan kewajiban untuk berpartisipasi sesuai dengan peran dan kapasitas masing-masing. Berikut ini adalah prinsip-prinsip partisipasi18:

a. Cakupan; semua orang, atau wakil -wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek pembangunan misalnya.

b. Kesetaraan dan Kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap orang mempunyai ketrampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak.

c. Transparansi. Semua pihak harus dapat menumbuh-kembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog.

17http://www.deliveri.org/guidelines/implementation/ig_3/ig_3_3i.htm [25-4-2004] 18


(37)

d. Kesetaraan Kewenangan (Sharing Power / Equal Powership). Berbagai pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi.

e. Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya. f. Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain.

g. Kerjasama. Diperlukan adanya kerjasama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna meminimalisir berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumberdaya manusia.

Prinsip-prinsip partisipasi tersebut, menuju arah pemberdayaan komunitas sebagai berikut19:

a. Menciptakan suasana atau iklim untuk mewujudkan pengembangan potensi komunitas dengan mendorong, memotivasi, menyadarkan akan potensi yang dimilikinya untuk berkembang.

b. Memberdayakan komunitas dalam bentuk tindakan nyata berupa penyediaan dan berbagi informasi, serta peluang pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

c. Memelihara keberlanjutan suasana/ iklim interaksi timbal balik yang beretika antar elemen komunitas.

Prinsip-prinsip partisipasi tersebut adalah jiwa dalam setiap proses pemberdayaan masyarakat, termasuk dalam pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata.


(38)

Pemberdayaan dapat dilakukan dalam berbagai bidang, pengembangan ekowisata merupakan salah satu bidang yang dapat dikembangkan sebagai jalan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat. Berikut ini beberapa kondisi lokalitas yang menjadi dasar sebelum ekowisata dipilih sebagai jalan untuk memberdayakan masyarakat (WWF International, 2001):

a. Kerangka ekonomi dan politik yang mendukung perdagangan yang efektif dan investasi yang aman.

b. Perundang-undangan di tingkat nasional yang tidak menghalangi pendapatan dari wisata diperoleh dan berada di tingkat komunitas lokal. c. Tercukupinya hak-hak kepemilikan yang ada di dalam komunitas lokal. d. Keamanan pengunjung terjamin.

e. Resiko kesehatan yang relatif rendah, akses yang cukup mudah ke pelayanan medis dan persediaan air bersih.

f. Tersedianya fasilitas fisik dan telekomunikasi dari dan ke wilayah tersebut.

Sedangkan syarat-syarat awal yang harus terdapat di tempat tersebut untuk pengembangan ekowisata seperti tercantum dalam buku tersebut adalah:

a. Lanskap atau flora fauna yang dianggap menarik bagi para spesialis atau bagi pengunjung yang lebih umum.

b. Ekosistem yang masih dapat menerima kedatangan jumlah pengunjung tertentu tanpa menimbulkan kerusakan.

c. Komunitas lokal yang sadar akan kesempatan-kesempatan potensial, resiko dan perubahan yang akan terjadi, serta memiliki ketertarikan untuk menerima kedatangan pengunjung.

d. Adanya struktur yang potensial untuk pengambilan keputusan komunitas yang efektif.

e. Tidak adanya ancaman yang nyata-nyata dan tidak bisa dihindari atau dicegah terhadap budaya dan tradisi lokal.


(39)

f. Penaksiran pasar awal menunjukkan adanya permintaan yang potensial untuk ekowisata, dan terdapat cara yang efektif untuk mengakses pasar tersebut. Selain itu juga harus diketahui bahwa pasar potensial tersebut tidak terlalu banyak menerima penawaran ekowisata.

Selanjutnya Guidelines for Community-based Ecotourism Development (WWF International, 2001) menyatakan beberapa aspek dari kapasitas komunitas untuk terlibat dalam pengembangan ekowisata, antara lain:

a. Kemampuan menjadi tuan rumah penginapan. b. Keterbukaan terhadap pengunjung.

c. Keterampilan pengelolaan keuangan. d. Keterampilan pemasaran.

e. Keterampilan komputer.

f. Keterampilan dasar bahasa Inggris.

Aspek-aspek ekowisata seperti yang terdapat dalam Guidelines For Community-Based Ecotourism Development (WWF 2001) adalah perencanaan, pengembangan, pemasaran dan mengorganisir sumberdaya dan fasilitas. Pelayanan pengunjung termasuk akses kepada area alami dan warisan budaya, pemanduan dan pelayanan penerjemahan, penginapan, penyediaan makanan, penjualan hasil produksi dan kerajinan, dan transportasi. Dari berbagai elemen tersebut, penduduk lokal dapat diberdayakan sesuai kapasitasnya untuk terlibat dan mendapatkan manfaat dari keterlibatan mereka itu.

Conference-Workshop on Ecotourism, Conservation and Community Development yang diadakan di Filipina, 7-12 November 1999 menyebutkan kontribusi yang dapat dilakukan swasta untuk membantu aktivitas komunitas adalah melalui beberapa aspek langsung berikut:

a. Akomodasi dimiliki oleh komunitas lokal. Hal ini mungkin dalam bentuk losmen untuk penginapan wisatawan, penginapan, atau rumah untuk disewakan yang biasanya dikelola oleh keluarga. Pendapatan diperoleh oleh keluarga pengelola dari uang sewa kamar dan biaya


(40)

makanan. Penyediaan makanan juga dapat dikelola secara bersama-sama oleh sebuah kelompok masyarakat, sehingga pendapatan yang diperoleh langsung masuk ke kas oganisasi untuk kepentingan bersama.

b. Penyedia transportasi, masyarakat dapat terlibat langsung dalam pengelolaan ekowisata sebagai penyedia trasportasi untuk para wisatawan yang datang.

c. Pemanduan dan jasa pembawaan barang akan sangat membantu memperlancar perjalanan ekowisata bagi para ekowisatawan. Hal ini menjadi salah satu aspek penting ekowisata yang dapat menjadi wadah komunitas lokal untuk berpartisipasi.

Siapakah komunitas yang dimaksud? Iskandar menyatakan bahwa komunitas dapat diartikan sebagai satuan kelompok orang yang memiliki hubungan dan interaksi sosial yang relatif intensif dikarenakan adanya kesamaan ciri dan/atau kepentingan bersama20. Komunitas merupakan penduduk lokal yang dapat teridentifikasi dari masyarakat luas melalui intensitas kesamaan, perhatian/kepedulian atau melalui peningkatan interaksi. Selanjutnya, Iskandar membagi komunitas menjadi beberapa jenis yaitu:

a. Komunitas primordial yang diikat oleh kesamaan ciri primordial seperti suku, agama, dan daerah asal.

b. Komunitas okupasional yang diikat oleh kesamaan profesi/pekerjaan. c. Komunitas spasial yang diikat oleh kesamaan tempat tinggal.

Dalam konteks ekowisata di Desa Pahmungan, Krui, Lampung yang dimaksud dengan komunitas adalah mencakup definisi komunitas spasial.

Pemberdayaan komunitas dalam bidang ekowisata tidak dapat dilakukan hanya dengan partisipasi aktif komunitas saja. Pihak-pihak yang terlibat memiliki peran masing-masing sesuai kapasitas yang mereka miliki. Tabel bentuk partisipasi para pihak yang terlibat dalam ekowisata dapat dilihat pada lampiran 3.


(41)

Masing-masing pihak yang terlibat dalam ekowisata memiliki peran yang berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. Pemerintah sebagai pemilik kekuasaan dalam pembuatan kebijakan berperan dalam melakukan identifikasi terhadap kebutuhan pasar dan kebutuhan komunitas sendiri, melakukan identifikasi dan kerjasama dengan para pihak berkepentingan dalam ekowisata, menetapkan kebijakan yang mendukung pengembangan ekowisata dan melakukan strukturasi sistem sanksi-sanksi. Hal-hal tersebut terdapat dalam wilayah kapasitas pemerintah dan tidak dapat dilakukan oleh pihak lain. Dapat dikatakan bahwa peran pemerintah lebih cenderung dalam wilayah konsep daripada teknis. Sedangkan untuk pihak LSM, LSM Lokal memiliki peran yang lebih teknis daripada LSM Nasional. Peran untuk mengintegrasikan diri ke dalam komunitas dan belajar bersama komunitas dimiliki oleh pendamping. Peran kalangan akademisi dalam pengembangan ekowisata adalah identifikasi komunitas, penumbuhan kesadaran Participation Action Research, validasi komunitas, mengorganisasi-perumusan pendampingan, pembangunan kapasitas perencanaan pokok, implementasi/ operasi, monitoring dan evaluasi. Peran penumbuhan kesadaran Participation Action Research, validasi komunitas, mengorganisasi-perumusan pendampingan, pembangunan kapasitas perencanaan pokok adalah peran-peran yang hanya dimiliki oleh kalangan akademisi dan tidak oleh pihak-pihak lain. Peran yang dimiliki oleh semua pihak yang terlibat dalam pengembangan ekowisata adalah peran monitoring dan evaluasi.

Analisis Strength, Weaknesis, Opportunity and Threat (SWOT) dilakukan dalam konteks lokal. Analisis ini terutama dilakukan untuk melakukan evaluasi atas keberhasilan dan kelemahan mereka. Namun tidak berhenti di situ, inovasi-inovasi terus dilakukan untuk membangkitkan potensi-potensi mereka yang mungkin bahkan belum mereka sadari. Proses pengembangan masyarakat dapat dilakukan dengan dalam daur Dreaming, Demand,Designing dan Delivery (4D).

Dreaming adalah proses di mana masyarakat dibangkitkan mimpi-mimpinya, sehingga mereka memiliki keinginan dan motivasi yang kuat untuk melakukan perubahan sesuai lokalitas yang meeka miliki. Contoh di Petungkriyono, Pekalongan; masyarakat di sana memiliki motivasi dan keinginan yang besar, serta mau terlibat dengan sukarela dalam pengembangan ekowisata di


(42)

sana dengan adanya proses inisiasi untuk membangkitkan mimpi-mimpi seperti yang sudah dilakukan komunitas-komunitas di negara-negara lain. Mereka melakukan perbaikan jalan, melakukan rapat-rapat, membentuk panitia untuk mewujudkan mimpi mereka berupa pengembangan ekowisata di daerah mereka.

Demand adalah proses untuk melihat permintaan penduduk lokal dan orang luar, permintaan-permintaan tersebut didaftar untuk mencari titik temu, sehingga program pengembangan masyarakat akan tetap berpihak pada kebutuhan penduduk lokal tanpa melupakan permintaan orang luar sebagai pihak yang turut menentukan proses pengembangan masyarakat. Contoh proses demand adalah dalam pengembangan ekowisata, orang luar Petungkriyono sebagai pengunjung membutuhkan alam lestari yang dapat mereka nikmati keindahannya, sedangkan penduduk lokal membutuhkan untuk melestarikan lingkungannya untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang berhubungan langsung dengan kehidupan mereka. Misal demi lestarinya mata air dan menjaga tanah dari longsor.

Designing adalah proses untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan untuk memberikan manfaat bagi baik penduduk lokal maupun orang luar yang terlibat. Proses designing membutuhkan pertemuan antara pihak penduduk lokal dengan orang luar untuk merancang kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan kepentingan optimal bagi kedua belah pihak.

Delivery adalah proses untuk mengantarkan kegiatan yang sudah direncanakan menjadi kenyataan, istilah lainnya adalah implementasi kegiatan. Daur ini tidak harus dilakukan dalam sebuah urutan yang tetap, kegiatan yang dilakukan disesuaikan dengan kondisi lapang. Proses awal yang tetap harus dilakukan adalah dreaming. Proses membangun mimpi ini dibutuhkan untuk membangkitkan keinginan masyarakat untuk berubah untuk menjadikan mereka lebih berdaya secara sosial maupun ekonomi.


(43)

1.5 Pertanyaan Penelitian

Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana faktor-faktor pendukung dan penghambat yang dimiliki Pekon Pahmungan saling berhubungan dalam pengembangan ekowisata? Mengapa?

b. Bagaimana kapasitas masyarakat berproses untuk menjadi bagian pengembangan ekowisata?

c. Bagaimana strategi pemberdayaan dalam pengembangan ekowisata di Pekon Pahmungan?

1.6 Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Memahami bagaimana faktor-faktor pendukung dan penghambat yang dimiliki Pekon Pahmungan saling berhubungan dalam pengembangan ekowisata.

b. Memahami pengembangan kapasitas masyarakat sehingga mampu menjadi bagian pengembangan ekowisata.

c. Memahami bagaimana strategi pemberdayaan dalam pengembangan ekowisata di Pekon Pahmungan.

1.7 Kegunaan Penelitian

Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan mampu memperluas wacana para akademisi yang mendalami pemberdayaan masyarakat dan ekowisata. Penelitian ini juga sangat diharapkan mampu menjadi titik tolak awal bagi LSM-LSM yang akan melakukan pendampingan untuk pengembangan ekowisata di Pekon Pahmungan, pemerintah daerah Lampung Barat, maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam pengembangan ekowisata berbasis komunitas di Pekon Pahmungan untuk merumuskan kebijakan sesuai dengan kondisi lokalitas komunitas Pekon Pahmungan.


(44)

BAB II

METODOLOGI

2.1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipilih adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (Bogdan dan Taylor, 1975 dalam Moleong, 2001). Peneliti memberi penekanan pada sifat bentukan sosial realitas, hubungan akrab antara peneliti dan apa yang dikajinya, serta kendala-kendala situasional yang menyertai penelitian. Peneliti juga memberi penekanan pada sifat sarat nilai penelitian. Jawaban yang dicari adalah jawaban atas pertanyaan bagaimana pengalaman sosial dibentuk dan diberi makna (Sitorus, 1998). Dalam kasus pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata ini, peneliti menekankan pada sifat bentukan sosial realitas yang terjadi di Pekon21 Pahmungan, hubungan akrab antara peneliti dengan subyek tineliti, dan kendala-kendala situasional yang terjadi di lapangan. Sifat sarat nilai penelitian diperoleh dari hasil diskusi dan wawancara mendalam dengan informan di Pekon Pahmungan yang mengalami sendiri proses sosial tersebut, sehingga mereka mampu memberi nilai-nilai secara subyektif yang tidak akan mampu diberikan oleh orang yang tidak mengalami sendiri proses sosial tersebut.

Strategi penelitian yang dipilih adalah studi kasus, yang mana peneliti memilih suatu kasus yaitu pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata damar di Pekon Pahmungan untuk diteliti dengan menggunakan serumpun metode penelitian. Studi kasus sesuai untuk menjadi strategi penelitian kasus ini mengingat (a) pertanyaan penelitian berkenaan dengan “bagaimana” atau “mengapa” ekowisata dapat menjadi pilihan dalam melakukan pemberdayaan masyarakat di Pekon Pahmungan, (b) peluang peneliti sangat kecil untuk mengontrol peristiwa/gejala sosial yang terjadi di kalangan penduduk Pekon Pahmungan dan (c) pumpunan penelitian adalah peristiwa/gejala sosial masa kini


(45)

dalam konteks kehidupan nyata yaitu peristiwa pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata di Pekon Pahmungan (Yin, 1996:1 dalam Sitorus, 1998).

Studi kasus yang dipilih adalah studi kasus intrinsik, di mana peneliti memilih kasus tersebut bukan karena ia mewakili kasus-kasus lain atau karena ia menggambarkan suatu sifat atau masalah khusus, melainkan karena dengan segala kekhususan dan kebersahajaannya sendiri, kasus pemberdayaan masyarakat pada pengembangan ekowisata damar tersebut memang menarik untuk diteliti (Stake, 1994: 237). Pengembangan ekowisata dianggap merupakan salah satu cara yang potensial digunakan dalam memberdayakan masyarakat di Pekon Pahmungan, sesuai dengan kondisi lokalitasnya.

2.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah Pekon Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah Krui, Kabupaten Lampung barat, Propinsi Lampung. Penduduk Pekon Pahmungan mayoritas adalah penduduk asli Lampung dengan mata pencaharian sebagai petani damar, sehingga sebagian besar wilayah pekon tersebut adalah repong22 damar yang menyerupai hutan. LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia) saat ini sedang mencoba menginisiasi adanya pengembangan ekowisata damar dengan basis masyarakat lokal di Pekon Pahmungan.

LATIN telah melakukan pendampingan di pekon-pekon Pesisir Krui dan sering melakukan kegiatan di Pekon Pahmungan sehingga sangat membantu peneliti dalam melakukan penelitian sekaligus untuk perkenalan kontak person. Selain itu, peneliti sudah cukup mengenal penduduk dan kondisi Pekon Pahmungan setelah melakukan pendampingan pendirian dan pengelolaan radio komunitas selama dua bulan (akhir Juni – akhir Agustus) sebagai program Kuliah Kerja Profesi peneliti dengan LATIN. Radio komunitas tersebut sampai sekarang masih berdiri, dan saat peneliti melakukan penelitian merupakan salah satu media untuk melakukan pendekatan kembali kepada penduduk, dengan cara menjadi

22 Repong adalah istilah lokal dalam Bahasa Lampung untuk kebun. Alasan penduduk lebih

memilih untuk menggunakan istilah repong adalah karena repong ditanami dengan berbagai jenis tanaman, tidak seperti istilah kebun yang merujuk pada satu jenis tanaman saja.


(46)

penyiar atau sekedar duduk-duduk dan bercakap-cakap penduduk yang kebetulan sedang ada di studio.

Proses inisiasi yang dilakukan LATIN dan kedekatan peneliti dengan subyek tineliti tersebutlah yang mendasari peneliti untuk melakukan penelitian dengan topik pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran 4.

Penelitian awal di lapangan untuk penjajagan kesesuaian topik dan sosialisasi diri dilaksanakan pada 4 Maret sampai 15 Maret 2005. Setelah dilakukan pengajuan proposal, peneliti kembali ke lapangan pada tanggal 5 April sampai 21 April, lalu dilanjutkan lagi pada tanggal 10 Mei sampai 10 Juni 2005. Tenggang waktu digunakan peneliti untuk melakukan kolokium, konsultasi kepada dosen pembimbing dan menghilangkan kejenuhan yang peneliti hadapi di lapangan.

2.3. Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian ini diperoleh dari data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari studi literatur, laporan penelitian-laporan penelitian sebelumnya dan studi dokumen yang ada pada pihak-pihak terkait, seperti LATIN, LSM lain yang terlibat dalam proses inisiasi dan pihak pemerintah daerah. Pesisir Krui merupakan tempat tujuan penelitian tentang keberhasilan pengelolaan agroforest dalam bentuk repong damar. Data primer diperoleh dengan observasi langsung di lapang, wawancara mendalam dengan informan di lapang. Informan diperoleh dengan teknik bola salju. Teknik ini dilakukan dengan menanyai beberapa informan kunci dan meminta mereka untuk merekomendasikan informan lain23. Penjabaran teknik pengumpulan data dapat dilihat pada lampiran 5.

Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan diskusi dengan pihak LATIN mengenai hal-hal yang sudah dilakukan LATIN dalam pendampingan yang mereka lakukan di Pesisir Krui dan sudah sejauh mana hal-hal yang LATIN lakukan dalam proses inisiasi pengembangan ekowisata di Pekon Pahmungan. Menurut mereka, ekowisata dipilih karena mereka melihat adanya kemungkinan

23 Peneliti tidak membedakan antara informan dan responden karena pada waktu pelaksanaan

penelitian di lapangan, hampir semua sumber ditanyai tentang kehidupan diri mereka sendiri, keluarga dan lingkungannya.


(47)

manfaat lain yang bisa diperoleh masyarakat Pekon Pahmungan dari repong damarnya selain dari penjualan getah, kayu damar dan buah-buahan24. Mereka melihat kemungkinan itu setelah melihat frekuensi dan jumlah pengunjung yang datang ke Pekon Pahmungan. Pengembangan ekowisata ini juga diharapkan mampu menjadi motivator bagi masyarakat Pekon Pahmungan untuk terus melestarikan repong damar mereka yang sangat penting bagi ekologi. Pada waktu itu, LATIN sudah melakukan pembangunan sebuah saung di pinggiran repong damar. Saung tersebut dibangun sebagai tempat melakukan pertemuan, pelatihan atau sekedar untuk duduk-duduk bagi pengunjung yang datang ke Pekon Pahmungan. Di samping saung tersebut, terdapat kamar mandi umum yang waktu peneliti akan melakukan penelitian sedang dalam proses pembangunan25. Gambar saung dan kamar mandi dapat dilihat pada lampiran 6. Selain itu, dalam diskusi tersebut juga dijelaskan bahwa posisi peneliti selama melakukan penelitian dengan topik pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan ekowisata ini adalah sebagai sukarelawan LATIN.

Informan kunci peneliti dapatkan dari kontak person LATIN yang sudah peneliti kenal sejak masa KKP. Kontak person ini pada umumnya memiliki pengalaman organisasi kemasyarakatan, baik organisasi-organisasi masyarakat dalam lingkup Pekon Pahmungan, maupun organisasi-organisasi dalam lingkup yang lebih luas, misal organisasi-organisasi dampingan LSM. Kemudian, informan-informan lain diperoleh dengan menanyakan kepada informan-informan kunci tersebut siapa saja yang dapat ditanyai untuk topik yang peneliti teliti, hal ini sesuai dengan teknik bola salju. Informan-informan yang direkomendasikan oleh para informan kunci biasanya memiliki pengalaman organisasi, pengetahuan yang masyarakat anggap cukup luas karena latar belakang pendidikan maupun pekerjaan, dan yang paling utama adalah sifat terbuka mereka dalam berbicara dengan orang luar. Informan-informan sebagai subyek tineliti pada umumnya adalah tokoh-tokoh masyarakat di Pekon Pahmungan. Keberadaan responden dalam penelitian ini lebih cenderung sebagai sumber data untuk pemeriksaan silang dari keterangan yang diberikan informan. Responden dipilih berdasarkan

24 Buah durian, duku dan rambutan adalah contoh produk

repong selain getah dan kayu dari pohonnya.

25 Kamar mandi tersebut dibuat untuk kenyamanan para pengunjung yang datang ke saung, karena

di sekitar saung tersebut tidak terdapat kamar mandi umum. Pada akhir masa penelitian, kamar mandi sudah dapat digunakan.


(48)

keterangan yang ada dalam jawaban-jawaban informan dan hasil observasi peneliti di lapangan.

Dalam melakukan wawancara mendalam, peneliti berusaha melakukan pendekatan informal terlebih dahulu terhadap para informan dan juga penduduk Pekon Pahmungan. Pendekatan informal dilakukan dengan lebih membaurkan diri dalam kegiatan-kegiatan masyarakat Pekon Pahmungan; seperti dalam hajatan dan ikut menjadi penyiar radio, sekedar ngobrol-ngobrol santai sekaligus memperkenalkan diri dan maksud kedatangan kepada mereka, bermain dengan anak-anak mereka, bahkan ikut makan bersama keluarga mereka. Setiap kali selesai melakukan wawancara, penulis menanyakan kepada informan apakah mereka tidak keberatan jika suatu saat penulis kembali untuk berbincang-bincang lagi. Hal ini dilakukan karena penulis dapat melakukan wawancara lebih satu kali untuk satu informan. Pada saat-saat itu, peneliti memperkenalkan diri dan menyebutkan tujuan peneliti datang yang ke dua kalinya di Pekon Pahmungan.

Pada umumnya penduduk Pekon Pahmungan sudah mengenal peneliti sebagai bagian dari pengelola radio komunitas Suara Petani, seperti saat kedatangan peneliti waktu pelaksanaan Kuliah Kerja Profesi (KKP) pada bulan Juni-Agustus 2004. Peneliti harus sering menekankan bahwa saat ini peneliti tidak akan terlibat terlalu banyak lagi dalam pengelolaan radio komunitas seperti masa KKP dulu. Peneliti lebih menekankan bahwa saat ini posisi peneliti adalah sebagai mahasiswa yang melakukan penelitian tentang potensi pengembangan ekowisata di Pekon Pahmungan. Keberadaan peneliti sebagai sukarelawan LATIN sengaja tidak disebutkan untuk menghindari pengharapan penduduk yang berlebih terhadap peneliti. Sebagian penduduk Pekon Pahmungan terbiasa untuk menghubungkan langsung dengan proyek yang berhubungan dengan keuntungan materi saat mereka mendengan kata LSM.

Setelah hubungan informal terjalin, peneliti mulai melakukan pembicaraan yang lebih serius dengan mereka tentang topik penelitian yang peneliti teliti. Dalam melakukan wawancara tersebut, penulis tidak membawa panduan pertanyaan dan tidak melakukan pencatatan di depan informan untuk membuat mereka lebih nyaman dan tetap menganggap wawancara tersebut seperti obrolan-obrolan yang pernah dilakukan sebelumnya. Namun, untuk beberapa informan


(49)

yang merupakan tokoh penting masyarakat dan sudah sering diwawancarai dalam penelitian, peneliti melakukan pencatatan-pencatatan kecil di depan mereka atau bahkan menggunakan alat perekam untuk merekam, karena hal tersebut membuat mereka merasa lebih dihargai. Sebelum peneliti melakukan hal ini, peneliti meminta izin kepada informan yang sedang diwawancarai. Hal ini peneliti lakukan setelah para informan tersebut menanyakan kepada peneliti, apakah peneliti benar-benar sedang melakukan penelitian dan akan menulis perkataan mereka, karena tidak seperti peneliti-peneliti sebelumnya yang mencatat setiap jawaban mereka, peneliti tidak mencatat apapun dari perkataan mereka. Berikut ini adalah suasana wawancara yang dilakukan penulis terhadap informan.

Setiap kali setelah penulis melakukan wawancara terhadap informan, penulis berusaha untuk langsung menuliskan kembali hasil wawancara dan observasi penulis terhadap informan selama wawancara dalam catatan harian. Hal ini dilakukan sesegera mungkin begitu peneliti tiba di rumah atau di saung yang sepi sehingga memudahkan peneliti untuk mengingat kembali data-data yang diperoleh selama wawancara. Sebelum pencatatan selesai, sedapat mungkin peneliti menghindari pembicaraan dengan orang lain. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerancuan dalam mengingat data.

Gambar 3. Suasana Wawancara Dengan Informan


(50)

2.4. Teknik Analisis Data

Analisis data yang diperoleh dari observasi dan wawancara mendalam dilakukan sejak penulis masih di lapangan dan dilanjutkan setelah penulis selesai melakukan penelitian di lapangan. Selesai penelitian diindikasikan dari sudah jenuhnya informan sehingga saat penulis menanyakan kepada informan yang diwawancara tentang informan lain yang mereka rekomendasikan, jawabannya tetap berkisar pada informan-informan yang sudah penulis wawancarai.

Analisis data pertama kali dilakukan dengan mencocokkan data yang didapat dengan pertanyaan penelitian peneliti, data yang tidak sesuai dipisahkan sehingga yang tertinggal adalah data yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Pencocokan data ini dilakukan dengan menggunakan matriks analisis data. Matriks dibuat dengan membuat tabel, yang mana baris atasnya merupakan data yang diperlukan sesuai pertanyaan penelitian yang dibuat, dan kolom untuk nama informan. Lalu baris di tengah diisi dengan data yang menurut dengan data yang diperlukan sesuai masing-masing informan. Data dimasukkan begitu saja ke dalam tabel, dengan cara copy dan paste dari catatan harian yang sudah dibuat dalam poin-poin dalam dokumen microsoft word. Data yang diperoleh dari pengamatan juga dimasukkan ke dalam matriks analisis ini dengan menuliskan hasil pengamatan pada kolom informan. Data-data dari catatan harian yang sudah dimasukkan ke dalam matriks diberi tanda dengan highlite sehingga memudahkan peneliti untuk melakukan pemeriksaan ulang.

Setelah semua data dari catatan harian dimasukkan ke dalam matriks analisis data, langkah yang dilakukan selanjutnya adalah memaparkan hasil penelitian sesuai kategori yang sudah dibuat di dalam matriks analisis data. Pemaparan dilakukan dengan tetap berpijak pada sudut pandang tineliti terhadap kehidupan mereka sendiri. Pemaparan diusahakan untuk dilakukan dengan sedetail mungkin sehingga didapatkan pemaparan yang sedekat mungkin dengan kenyataan yang tineliti hadapi dan katakan.

Selanjutnya, data-data dalam catatan harian yang belum dimasukkan ke dalam matriks diperiksa lagi untuk memastikan tidak adanya fakta-fakta yang berhubungan dengan pemaparan tetapi belum dimasukkan ke dalam pemaparan.


(1)

Lampiran 5. Tabel Teknik Pengumpulan Data

Masalah Data yang diperlukan Sumber data 1. Bagaimana faktor-faktor pendukung dan penghambat yang dimiliki Pekon Pahmungan saling berhubungan dalam pengembangan ekowisata berbasis komunitas? Mengapa? kondisi ekologi, sosial, ekonomi, dan politik di Pekon Pahmungan.

- Observasi lapang kondisi lingkungan Pekon Pahmungan. - Data sekunder: data

monografi penduduk Pekon Pahmungan dari aparat Pekon, buku-buku tentang komunitas lokal Pekon Pahmungan Krui, laporan penelitian-laporan penelitian tentang komunitas lokal Pekon Pahmungan Krui. - Informan: pendamping

komunitas dari LSM LATIN, pemuka masyarakat Pekon Pahmungan, anggota komunitas Pekon

Pahmungan, peneliti-peneliti yang pernah atau sedang melakukan penelitian di lokasi tersebut.

- Responden: anggota komunitas Pekon Pahmungan. 2. Bagaimana kapasitas masyarakat berproses untuk menjadi bagian pengembangan ekowisata berbasis komunitas?

a) Aspek-aspek dalam pengembangan ekowisata.

b) Kapasitas masyarakat untuk mengelola aspek-aspek tersebut.

- Observasi lapang kondisi lingkungan Pekon Pahmungan. - Data sekunder: data

monografi penduduk Pekon Pahmungan dari aparat Pekon, buku-buku tentang komunitas lokal Pekon Pahmungan Krui, laporan penelitian-laporan penelitian tentang komunitas lokal Pekon Pahmungan Krui. - Informan: pakar ekowisata

dari LSM, lembaga pemerintah dan lembaga penelitian, pendamping komunitas dari LSM LATIN, pemuka masyarakat Pekon


(2)

Masalah Data yang diperlukan Sumber data

Pahmungan, anggota komunitas Pekon

Pahmungan, peneliti-peneliti yang pernah atau sedang melakukan penelitian di Pekon Pahmungan. - Responden: anggota

komunitas Pekon Pahmungan. 3. Bagaimana strategi pemberdayaan dalam pengembangan ekowisata di Pekon Pahmungan?

Dari data no1 dan no 2 - Observasi lapang kondisi lingkungan Pekon Pahmungan. - Data sekunder: data

monografi penduduk Pekon Pahmungan dari aparat Pekon, buku-buku tentang komunitas lokal Pekon Pahmungan Krui, laporan penelitian-laporan penelitian tentang komunitas lokal Pekon Pahmungan Krui. - Informan: pendamping

komunitas dari LSM LATIN dan LSM lain yang pernah melakukan pendampingan di komunitas Pekon Pahmungan, pemuka masyarakat Pekon Pahmungan, anggota komunitas Pekon Pahmungan, peneliti-peneliti yang pernah atau sedang melakukan penelitian di lokasi tersebut

- Responden: anggota komunitas Pekon Pahmungan.


(3)

Lampiran 6. Gambar Saung dan Fasilitas Kamar Mandi di Sampingnya

Gambar 1. Saung Pertemuan PMPRD Dokumentasi: Dian Ekowati

Gambar 2. Saung Pertemuan PMPRD Dokumentasi: Dian Ekowati


(4)

Gambar 3. Suasana Saung yang Nyaman Untuk Istirahat Setelah Perjalanan ke Repong Dokumentasi: Koen Kusters

Gambar 4. Fasilitas Kamar Mandi yang Terletak di Samping Saung

Dokumentasi: Dian Ekowati

Gambar 5. Kamar Mandi yang Terjaga Kebersihannya


(5)

Lampiran 7. Gambar Potensi Ekologi Pekon Pahmungan

Gambar 1. Sawah dengan Latar Belakang Repong Damar di Pekon Pahmungan

Sumber: Dokumentasi Koen Kusters

Gambar 2. Way Ngison/ Sungai Ngison Sumber: Dokumentasi Dian Ekowati


(6)

Gambar 3. Way Mahnay Lunik/ Sungai Mahnay Kecil Sumber: Dokumentasi Dian Ekowati

Gambar 4. Tumbuhan dalam Repong Gambar 5. Jalan Setapak

Dokumentasi: Dian Ekowati di Dalam Repong Dokumentasi: Astrid Nurfitria R.

Gambar 6. Gua di Samping Gambar 7. Perjalanan Menyusuri Way Mahnay Lunik Anak Sungai di Repong Dokumentasi: Dian Ekowati Dokumentasi: Suhar