3.2 Karakteristik Geografis Pekon Pahmungan
Pekon
27
Pahmungan mempunyai luas wilayah 2.600 hektar. Batas-batas wilayahnya adalah, sebelah utara berbatasan dengan Way Ngison, sebelah selatan
dengan Way Mahnai Lunik, sebelah barat dengan Pekon Sukanegara Rawas, sebelah timur dengan Hutan Kawasan atau Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Buku Profil Pekon Pahmungan, Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung, tahun 2003.
Kawasan Pekon Pahmungan bisa dibedakan menjadi dua, bagian datar dan berlereng. Bagian areal yang datar meliputi 40 ha untuk persawahan, 25 ha untuk
tempat tinggal dan 15 ha untuk penggunaan lain. Areal yang berlereng umumnya didominasi oleh tanaman pohon damar Shorea javanica, baik repong-repong
damar yang masih muda di bawah umur 20 tahun dan belum diambil getahnya maupun damar tua di atas 20 tahun dan sudah diambil getahnya. Perkiraan luas
seluruh areal berlereng adalah 2500 ha, sedangkan areal yang didominasi oleh damar tua adalah sekitar 1500 ha Lokakarya Sistem Hutan Kemasyarakatan
SHK, Bandar Lampung, 20-26 November 1995. Gambar berikut menunjukkan areal persawahan yang dilatarbelakangi repong.
Gambar 4. A real Persawahan Dengan latar Belakang Repong Damar
27
Pekon adalah istilah lokal dalam bahasa Lampung untuk menyebut “desa”.
Sumber: Dokumentasi Koen Kusters
Pada bab berikutnya, penulis akan sering menyebutkan pembagian wilayah Pekon
Pahmungan menjadi wilayah pemukiman dan wilayah repong. Wilayah pemukiman, oleh penduduk setempat sering disebut “kampung” adalah wilayah di
mana penduduk tinggal dalam satu areal pemukiman dengan fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah, masjid, kantor peratin
28
dan kantor Lembaga Himpun Pekon
LHP
29
, seluruh wilayah pemukiman ini terletak di bagian datar. Penduduk tinggal di sekitar jalan yang menghubungkan Pekon Pahmungan dengan pekon
lain di sekitarnya. Wilayah repong adalah wilayah di mana penduduk menanam pohon damar dengan tanaman-tanaman lain, seperti duku, durian, pinang, jengkol,
asam kandis dll. Di wilayah repong ini juga terdapat rumah-rumah tinggal penduduk. Rumah tersebut terbuat dari kayu dengan model rumah tradisional
Lampung yang bertingkat dan disebut anjung. Penduduk pada umumnya menggunakan tingkat bawah untuk menyimpan getah damar dan memasak
sedangkan tingkat atas untuk tidur. Sebagian anjung ditinggali secara tetap oleh penduduk, tetapi ada yang hanya ditinggali sesekali pada masa-masa panen buah
atau pada masa rawan pencurian getah. Gambaran anjung dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 5. Anjung
Milik Penduduk yang Terletak di Dalam Repong.
28
Peratin adalah istilah lokal dalam bahasa Lampung untuk menyebut “kepala desa”.
29
LHP adalah lembaga yang memiliki fungsi seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat tingkat desa, sedangkan peratin adalah presidennya.
Sumber: Dokumentasi Dian Ekowati
Repong damar di Pesisir merupakan contoh keberhasilan sistem yang
dirancang dan dilaksanakan oleh penduduk setempat sejak 200 tahun yang lalu. Keunikan sistem tersebut terletak pada penguasaan ekologi sumber daya ekonomi,
yakni bukan dengan cara memodifikasi ciri-ciri tanaman agar sesuai dengan ekosistem budidaya, melainkan dengan rekonstruksi yang hampir sesempurna
ekosistem hutan asli. Saat ini 80 getah damar yang diproduksi di Indonesia bukan berasal dari hutan alam tetapi dari kebun-kebun damar di Pesisir. Kebun-
kebun damar dapat dianalisa sebagai hutan, karena memang secara biologi kebun- kebun tersebut adalah hutan itu sendiri, yaitu suatu komunitas tumbuhan dan
binatang yang komplek dan juga merupakan suatu proses-proses biologi yang selaras yang dapat berkembangbiak dalam jangka panjang dengan dinamikanya
sendiri FKKM, 2002. Istilah repong ditekankan oleh masyarakat untuk menyebut lahan yang mereka tanami pohon damar dan pohon-pohon lain pohon
duku, durian, pinang, asam kandis, petai, jengkol, jambu atau tanaman lain. Menurut penduduk “kebun” bukan istilah yang tepat karena kebun cenderung
ditanami satu jenis tanaman. Selanjutnya FKKM menyatakan bahwa setelah mapan, repong damar
memerlukan sedikit sekali pengelolaan. Proses silvikultur dalam repong damar tidak dirancang seperti dalam hutan tanaman industri, yang terdiri dari pohon-
pohon bernilai ekonomis yang homogen dan usianya hampir sama, melainkan bertujuan bertujuan mempertahankan sistem yang memproduksi dan
berkembangbiak terus menerus baik dalam pola struktural maupun fungsional. Sejak saat lahan itu ditinggalkan, proses-proses alami diberikan peranan utama
dalam evolusi dan pembentukan masa depan ekosistem. Kebiasaan masyarakat Pesisir yang pada umumnya menanam damar dengan
beberapa tanaman campuran damar dan pohon-pohon buah di petak ladang memastikan tingkat keragaman yang minimum sejak permulaan proses pembuatan
repong . Berkat keputusan para pengelola yang tidak menghambat proses alam ini,
pembangunan kekayaan dan dan keanekaragaman hutan kemudian dicapai dengan penuh setelah beraneka tumbuhan dan kolonisasi relung-relung berkembang
bebas. Seperti setiap vegetasi sekunder yang didominasi oleh pepohonan, repong damar yang mulai dewasa menyediakan lingkungan dan relung-relung yang
nyaman bagi perkembangan spesies tumbuhan hutan yang terbawa dari hutan- hutan di sekitar kebun. Di samping spesies utama, yang membentuk kerangka
agroforest , repong damar berisi beberapa puluh jenis pohon yang biasanya
dikelola dan juga beberapa ratus jenis lain yang tumbuh liar dan sering dimanfaatkan Michon dan Bompard 1987; Michon dan de Foresta, 1994 dalam
FKKM, 2002. Contoh keragaman jenis pohon dalam repong dapat dilihat dalam gambar berikut ini.
Untuk mendata tingkat keanekaragaman hayati, studi perbandingan antara agroforest
dan hutan primer yang terkait mengenai beberapa kelompok flora dan fauna, termasuk tumbuh-tumbuhan, burung-burung, mamalia dan mesafauna
tanah telah diadakan. Pada mesafauna tanah tingkat amat mirip antara hutan tua dan repong damar. Hasil penelitian itu juga menyebutkan bahwa tidak ada spesies
penting dengan jumlah banyak di hutan yang tidak ditemukan di agroforest yang berdekatan Deharveng, 1992 dalam FKKM, 2002.
Gambar 6.
Keragaman Jenis Pohon di Dalam Repong
Sumber: Dokumentasi Dian Ekowati Pohon pinang
Pohon damar yang masih
muda
Anggrek liar menempel di
pohon Pohon
melinjo tangkil
Semak belukar
Mengenai mamalia, hampir semua spesies yang ditemukan di hutan, ditemukan di repong damar. Populasi binatang primata kera, kera ekor panjang,
lutung dan siamang di repong damar sangat mirip dengan yang ditemukan di hutan-hutan alam. Jejak-jejak badak Sumatera yang langka terlihat di repong
damar, kurang dari dua kilometer dari pedesaan. Ini merupakan data pertama mengenai badak di daerah ini dan memunculkan hipotesa mengenai kegunaan
agroforest untuk konservasi burung yang terancam punah, sebagai suplemen
penting hutan-hutan lindung Sibuca dan Hermansyah, 1993 dalam FKKM, 2002. Keberhasilan pengelolaan ekosistem repong damar ini sudah diakui di
tingkat nasional, bahkan internasional. Peneliti-peneliti asing silih berganti mendatangi pekon-pekon di Pesisir Krui untuk meneliti sistem agroforest ini.
Peneliti-peneliti tersebut datang dari lembaga-lembaga penelitian ataupun dari kalngan akademis. Lembaga-lembaga penelitian yang pernah mengadakan
penelitian tentang pengelolaan agroforest di Pesisir Krui antara lain International Center For Research In Agroforestry
ICRAF dan Center For International Forestry Research
CIFOR. Di tingkat nasional, pada tahun 1993 menteri kehutanan Indonesia mengunjungi Lampung Barat khususnya Krui dan
menyatakan bahwa Krui sebagai etalase untuk hutan binaan rakyat yang harus dicontoh penduduk di kawasan lain. Bahkan pada Juni 1997 Kementrian
Lingkungan Hidup menganugerahi masyarakat Krui penghargaan Kalpataru sebagai penyelamat lingkungan FKKM, 2002.
3.3 Karakteristik Sosial Ekonomi Pekon Pahmungan