Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap

30 periode perang ketika orang-orang dari kedua pihak terdapat korban harta maupun nyawa. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan terputus. Pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lain. 4 Akibat : Suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak mungkin menaklukkan pihak lain atau melakukan gencatan senjata jika perang terjadi. Satu pihak mungkin menyerah atas desakan pihak lain. Kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga lainnya yang lebih berkuasa mungkin memaksa kedua pihak menghentikan pertikaian. Apapun keadaannya tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tingkat ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian. 5 Pascakonflik : Akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal diantara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahapan ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.

2.6 Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap

Sumber daya kelautan, merupakan salah satu aset pembangunan Indonesia yang penting, karena kontribusi produk domestik bruto pemanfaatan sumber daya kelautan tersebut telah mencapai 22 pada tahun 1990 Dahuri et al. 1996. Sementara sumber daya darat seperti hutan dan lahan semakin terbatas akibat alih fungsi, eksploitasi yang berlebihan, dan kebakaran hutan. Ginting 2001 mengatakan dalam pengelolaan sumber daya kelautan, sering muncul konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya di wilayah pesisir yang pembangunannya pesat. Wilayah pesisir, di mana sumber daya darat dan laut bertemu, memiliki sumber daya yang sangat kaya, sehingga banyak pihak yang mempunyai kepentingan untuk memanfaatkannya. Konflik dapat juga muncul karena adanya kesenjangan antara tujuan, sasaran, perencanaan, dan fungsi antara berbagai pihak terkait. Konflik seperti ini adalah 31 konflik yang dipicu oleh adanya tumpang tindih perencanaan dan kompetisi pemanfaatan sumber daya. Akar permasalahan konflik ini sering berasosiasi dengan faktor sosial-ekonomi-budaya dan bio-fisik yang mempengaruhi kondisi lingkungan pesisir. Konflik tersebut, baik langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan pihak-pihak yang bertikai, terutama mengurangi minat penduduk dan pemerintah daerah setempat untuk melestarikannya, dan membiarkan kerusakan sumber daya kelautan berlangsung hingga mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, karena tidak ada insentif bagi mereka untuk melestarikannya. Fenomena konflik tersebut sebenarnya sudah lama ada, tetapi makin lama makin banyak jumlahnya dan makin besar skala konfliknya. Konflik pemanfaatan sumber daya kelautan dan jasa lingkungan muncul di Teluk Jakarta, di Banyuwangi dan di Kepulauan Natuna. Konflik antara pengelola pariwisata dan pengelola kawasan konservasi laut. Konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan komersial, sehingga terjadi pembakaran kapal nelayan di Sumatera Utara Ginting 2001. Fenomena konflik yang sama juga terjadi terhadap sumber daya perikanan di perairan Propinsi Riau, khususnya di Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis Suara Pembaharuan 2004. Konflik pemanfaatan timbul karena beberapa pengguna sumber daya berkompetisi untuk menggunakan sumber daya yang sama dalam ruang laut yang sama, dan menerapkan kegiatan-kegiatan yang memanfaatkan sumber daya tersebut yang tidak sesuai satu dengan yang lain Dahuri et al. 1996. Wujud konflik antar nelayan juga di timbulkan oleh adanya perbedaan nilai, kepentingan dan konflik di kalangan mereka yang menganggotai kelas yang sama Hasan 1974. Kusnadi 2002 mengungkap beberapa kasus konflik antar kelompok masyarakat nelayan di sepanjang pesisir Utara Jawa Timur yaitu kasus di perairan Bangkalan Utara Madura; perairan Sidoharjo, perairan Probolinggo dan Pasuruan; serta perairan Paciran Lamongan. Dijelaskan, berdasarkan data pada kasus-kasus di atas, dapat diidentifikasi tentang keadaan sumber daya perikanan di perairan pesisir Utara Jawa Timur dan faktor-faktor lain yang telah memicu terjadinya konflik dikalangan masyarakat nelayan. Secara umum, keadaan sumber daya di suatu kawasan dipengaruhi oleh enam faktor utama, yaitu pranata-pranata 32 pengelolaan sumber daya lokal; konteks sosial budaya; kebijakan negara; variabel-variabel teknologi; tingkat tekanan pasar; dan tekanan penduduk. Intensitas konflik akan ditentukan oleh tingkat perbedaan teknologi penangkapan yang digunakan nelayan, keterbatasan teritorial distribusi spesies tersebut, dan jumlah nelayan yang memperebutkannya. Otonomi daerah bagi sebagian kalangan nelayan telah ditafsirkan sebagai gejala pengkavlingan laut yang berarti bahwa suatu komunitas nelayan berhak atas wilayah laut tertentu yang memang dalam batas kewenangan daerah-baik dalam pengertian property rights hak kepemilikan maupun economic rights hak pemanfaatan. Ternyata penafsiran itu mengakibatkan terjadinya konflik antar nelayan, seperti antara nelayan Pekalongan dan nelayan Masalembo pada awal tahun 2000 Satria et al. 2002. Konflik diantara pengguna pada kawasan pesisir dapat muncul karena beberapa alasan. Mc Kean 1992 yang diacu Lasut and Kumurur 2001 menjelaskan berbagai macam alasan yang menyebabkan munculnya konflik diantara pengguna sumber daya di kawasan pesisir dan pantai, yaitu: 1 Perebutan lahan budidaya dan penangkapan; 2 Kompetisi untuk sumber daya yang sama, seperti perikanan komersial dan perikanan wisata memerebutkan spesies yang sama; 3 Efek negatif dalam penggunaan pelabuhan terhadap ekosistem lainnya, seperti pengaruh pembangunan minyak lepas pantai terhadap konsentrasi dan reproduksi ikan atau; 4 Kompetisi diantara pengguna untuk lahan atau fasilitas yang sama. Perkembangan selanjutnya adalah konflik-konflik nelayan yang sering terjadi di daerah ini di era otonomi sering digenerelisasi sebagai konflik identitas. Dengan dalih ini, beberapa kalangan masyarakat menilai bahwa otonomi daerah dalam bidang kelautan dan perikanan sebaiknya tidak diberlakukan. Dengan kata lain, secara yuridis sebagian kalangan masyarakat tersebut menuntut agar pasal- pasal yang mengatur kewenangan daerah dalam wilayah laut dicabut, yaitu pasal 3 dan 10 dalam UU 221999. Meski demikian, jika dicermati lebih seksama, upaya generalisasi konflik-konflik nelayan sebagai konflik identitas akibat diterapkannya otonomi daerah adalah kurang tepat. Hal ini karena sebenarnya 33 dunia nelayan adalah dunia konflik dan konflik yang sering terjadi selama ini cenderung sebagai konflik kelas dan bukan konflik identitas Satria et al. 2002.

2.7 Pengelolaan Perikanan Tangkap