Penahapan konflik Hasil Penelitian

137

6.4.2 Penahapan konflik

Konflik berkembang sesuai dengan intensitas dan skala serta lamanya periode konflik. Konflik yang terjadi antara nelayan rawai dengan nelayan jaring batu memiliki kedinamisan yang tinggi. Fisher et al. 2000 menyatakan bahwa konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting sekali diketahui untuk menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik. Analisis dasar terdiri dari lima tahap, yaitu prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pascakonflik. Berdasarkan pendapat ini, analisa penahapan konflik digambarkan kedalam grafik eskalasi konflik yang disajikan pada Gambar 28. Informasi yang diperoleh selama penelitian, perkembangan konflik di perairan Bengkalis berdasarkan Fisher et al. 2000 dapat dikelompokkan ke dalam lima tahapan, yaitu 1 Prakonflik tahun 1970-1981; 2 Konfrontasi tahun 1983-1997; 3 Krisis 1998-1999 dan tahun 2002-2004; 4 Akibat tahun 2000- 2001; dan 5 Pasca konflik tahun 2005-sekarang. 1 Kondisi prakonflik tahun 1970-1981, di mana ikan kurau telah dimanfaatkan oleh nelayan perairan Bengkalis dengan menggunakan alat tangkap rawai. Pada masa ini, alat jaring batu mungkin saja telah beroperasi di perairan ini, Gambar 28 Grafik penahapan terjadinya konflik antara nelayan rawai dengan nelayan jaring batu. Krisis Pasca konflik akibat Prakonflik krisis akibat konfrontasi Konfrontasi 138 tetapi karena sumber daya yang tersedia masih banyak, sehingga kehadiran alat jaring batu tidak dirasakan oleh nelayan rawai sebagai pesaing dalam usaha pemanfaatan sumber daya, walaupun pada tahun 1981 tercatat 40 unit jaring batu telah beroperasi di perairan ini. Kegiatan usaha perikanan rawai di perairan Bengkalis dilakukan secara berkelompok mapun secara individu dengan ikatan sosial yang sangat erat di antara sesama pengguna alat tangkap yang sama atau dari wilayah yang sama. Kelompok nelayan perairan Bengkalis sangat peduli terhadap wilayah perairan tempat mereka melakukan penangkapan dan sangat tidak senang apabila ada nelayan pendatang dengan menggunakan alat tangkap yang dianggapnya merusak. Sifat sumber daya perikanan laut yang bersifat open acces memungkinkan semua pihak untuk melakukan eksploitasi tanpa terikat kuat pada aturan batas-batas wilayah. Pemanfaatan terhadap ikan kurau semakin mengalami peningkatan dikarenakan tingginya permintaan baik dari pasar lokal khususnya pasar dengan tujuan ekspor. Dengan demikian ketika permintaan tinggi terhadap sumber daya ikan tertentu akan meningkatkan nilai ekonomi ikan tersebut, sehingga terjadi persaingan beberapa jenis alat tangkap dengan tujuan penangkapan yang sama. Tingginya permintaan akan ikan kurau dari pasar lokal dan luar negeri dengan harga yang sangat tinggi, menyebabkan perburuan terhadap ikan ini semakin meningkat. Adanya persaingan antara kedua kelompok nelayan untuk memperoleh objek yang sama di wilayah tangkap yang sama, merupakan salah satu faktor pemicu konflik antara nelayan rawai dan jaring batu. Perbedaan bentuk dan sifat alat tangkap membuat kedua alat tangkap memiliki laju tangkap yang berbeda pula, jaring batu dengan konstruksi yang mampu menyapu area tangkap yang lebih luas, memiliki laju tangkap yang lebih tinggi dibanding rawai, sehingga dalam setiap operasi penangkapan, jaring batu akan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan rawai. 2 Periode tahun 1983-1997 konfrontasi, semakin banyak nelayan jaring batu yang beroperasi di perairan Bengkalis untuk menangkap ikan kurau 139 membuat kenyamanan nelayan Kecamatan Bantan yang merasa sebagai pemilik dari perairan terganggu. Pada periode ini mulai terjadi pertikaian- pertikaian di laut sebagai bentuk penolakan nelayan rawai. Pertikaian- pertikaian tersebut bermula pada saat nelayan jaring batu menabrak nelayan rawai sehingga terjadi perkelahian. Nelayan rawai yang tidak senang mendapat perlakukan tersebut melaporkan kejadian ini kepada aparat hukum, tetapi mereka tidak mendapatkan perlindungan dari aparat. Sebaliknya, nelayan jaring batu justru menggunakan aparat hukum untuk melindungi usaha mereka dari nelayan rawai, keterlibatan aparat ini memang dapat membuat takut masyarakat yang melakukan perlawanan. Nelayan rawai mulai melakukan perlawanan, yaitu dengan memotong tali pelampung jaring batu. Nelayan rawai memberikan peringatan kepada nelayan jaring batu baik lisan maupun secara tertulis, pada waktu yang bersamaan dibuat perjanjian dengan nelayan jaring batu untuk tidak beroperasi di perairan Tanjung Jati hingga Tanjung Sekodi, untuk mengurangi konflik yang menyebabkan kerugian terutama di pihak nelayan rawai, walaupun pada akhirnya nelayan jaring batu selalu melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Langkah pengamanan untuk melindungi daerah penangkapnnya, nelayan rawai melakukan ronda laut. Dua unit kapal nelayan kurau berhasil ditangkap kemudian diserahkan pada Dinas Perikanan yang disaksikan oleh Camat Bantan dan Kepala Desa Teluk Pambang. Tanpa proses yang jelas, DPK mengembalikan kapal hasil tangkpan tersebt ke nelayan kurau, hal ini menimbulkan kecurigaan nelayan rawai kepada DPK. 3 Periode tahun 1998-1999 krisis, nelayan rawai mulai melakukan penangkapan dan pembakaran terhadap kapal-kapal jaring batu. Aksi ini dilakukan karena nelayan jaring batu yang sering melakukan pelanggaran- pelanggaran atas kesepakatan yang telah dibuat, selain itu adanya ketidakpuasan nelayan rawai terhadap aparat hukum, sehingga mereka memutuskan untuk melakukan pembalasan kepada nelayan jaring batu. Keragaman dalam masyarakat dan kehadiran pihak luar serta adanya keterlibatan dari aparat yang berada di pihak nelayan jaring batu menyebabkan konflik yang pada awalnya bersifat laten berubah menjadi 140 terbuka. Situasi awal yang muncul adalah kecemburuan nelayan rawai terhadap nelayan jaring batu yang mampu memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak. perbedaan hasil tangkapan ini sesungguhnya disebabkan karena perbedaan teknologi penangkapan di mana nelayan rawai masih menggunakan teknologi sederhana. Nelayan jaring batu mulai melakukan penangkapan dan penculikan terhadap nelayan rawai dan tetap melibatkan aparat kepolisian untuk menangkap nelayan rawai. Pada periode ini dibuat kesepakatan wilayah pengoperasian antara rawai dan jaring batu, di mana nelayan jaring batu tidak boleh beroperasi di daerah penangkapan nelayan rawai. Konflik yang pada awalnya muncul karena perbedaan alat tangkap alokasi internal yang dioperasikan berubah menjadi perebutan daerah penangkapan yurisdiksi. 4 Tahun 2000 akibat, konflik mereda untuk sementara, dimana dibuat kesepakatan, bahwa nelayan kurau tidak boleh beroperasi di daerah penangkapan nelayan rawai. Aksi penangkapan terhadap kapal jaring batu yang beroperasi di perairan Bengkalis tetap di lakukan oleh nelayan rawai. 5 Tahun 2001-2004 krisis, nelayan kurau telah melanggar lagi kesepakatan, karena tetap melakukan penangkapan di daerah penangkapan nelayan rawai, hal ini menimbulkan kemarahan nelayan rawai, sehingga aksi pembakaran terhadap kapal nelayan kurau yang tertangkap dibakar oleh nelayan rawai kembali terjadi. Tetapi, nelayan kurau melakukan perlawanan yaitu melakukan penyerangan balasan dengan menculik, melakukan penyanderaan pompong nelayan rawai yang tertangkap. Pada masa ini, perang semakin terbuka, aksi membakar dan penyerangan di laut, pemanahan dan saling sandera terhadap pihak lawan dilakukan oleh kedua belah pihak yang berkonflik. Kapal-kapal yang tertangkap dijadikan barang sitaan oleh nelayan rawai, selanjutnya kapal diserahkan ke KAMLA untuk diproses, namun masyarakat menganggap KAMLA tidak memproses secara jelas karena seminggu kemudian kapal hasil sitaan dikembalikan Kamla pada pemiliknya. Perihal kejadian ini dilaporkan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Bengkalis serta Kepolisian Bengkalis. Atas permintaan aparat kepolisian dan 141 Dinas Perikanan dilakukan perundingan untuk penyelesaian kasus ini. Nelayan rawai menuntut agar Kepolisian Bengkalis mengusut tuntas kasus pemanahan oleh nelayan jaring batu, di mana nelayan rawai menggangap nelayan jaring batu sudah mempersiapkan diri dengan senjata tajam yang bukan merupakan peralatan mencari ikan. Sementara itu nelayan jaring batu menuduh nelayan rawai melakukan penyerangan terlebih dahulu. Seperti biasa, setiap ada kasus dan setiap perundingan selalu tidak menyentuh akar masalah. Dalam perundingan tersebut terfokus pada upaya saling membebaskan sandera. Upaya penangkapan jaring batu ini mendapat perlawanan dari nelayan jaring batu, namun karena adanya aparat kepolisian bersama nelayan Selat Baru, lalu nelayan jaring batu menyerahkan diri. Untuk meredam emosi nelayan Selat Baru dan nelayan dari desa lainnya yang tergabung dalam SNKB, dilakukan penahanan terhadap nelayan jaring batu beserta kapalnya sebagai barang bukti. Kejadian ini berbuntut aksi demo SNKB ke DPRD Bengkalis. Atas nama SNKB nelayan tradisional Kecamanan Bantan yang didukung oleh 9 sembilan desa yaitu Desa Teluk Lancar, Kembung Luar, Teluk Pambang, Muntai, Bantan Air, Bantan Tenggah, Selat Baru, Jangkang, Tanjung Sekodi mendesakkan beberapa tuntutan, diantaranya 1 meminta agar jaring batu dihapuskantidak dibenarkan beroperasi di perairan laut dari Tanjung Jati sampai Tanjung Sekodi; 2 meminta agar nelayan jaring batu yang telah ditahan di Polres Bengkalis agar dihukum karena telah banyak melakukan tindakan-tindakan mengancam dan meresahkan masyarakat nelayan rawai khususnya; 3 meminta agar kapal jaring batu yang telah ditahan di Polres sebanyak 2 unit diserahkan kepada SNKB untuk dijadikan kapal patroli. 6 Periode 2005-sekarang pascakonflik, pada periode ini, walaupun aksi penangkapan terhadap kapal jaring batu masih tetap dilakukan oleh nelayan rawai, tetapi kondisi tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Nelayan tetap memperjuangkan hak mereka untuk dapat melakukan aktivitas berusaha dalam kondisi yang aman. Nelayan rawai meminta dukungan dari semua pihak yang dianggap dapat menyelesaikan permasalahan mereka yang telah 142 lama dan menyebabkan banyak kerugian dipihak mereka. Tahun 2006 nelayan rawai didampingi oleh WALHI Riau meminta dukungan dari Gus Dur yang pada saat itu secara langsung menirimkan surat ke Presiden RI dan Gubernur Riau untuk penyelesaian konflik di perairan Bengkalis. Hasilnya dikeluarkan SK Gubernur no 17 tahun 2006. Namun hingga saat ini belum ada penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang berkonflik. Eskalasi konflik yang ditunjukkan oleh Gambar 30, mengindikasikan bahwa usaha perikanan kurau masih memiliki peluang untuk dapat dijadikan sebagai prime mover dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau.

6.4.3 Urutan kejadian konflik