2
overfishing dan timbulnya konflik dalam pemanfaatan sumber daya ikan tertentu, sehingga diperkirakan tidak memungkinkan lagi untuk dikembangkan.
Perairan Laut Cina Selatan yang merupakan bagian dari Kabupaten Indragiri Hilir, terdapat kondisi yang berbeda, aktivitas perikanan tangkapnya
masih rendah dengan aktivitas armada penangkapan dan jumlah hasil tangkapan ikan yang relatif sedikit, sehingga diperkirakan tingkat pemanfaatannya masih
dibawah potensi lestarinya atau underfishing. BAPPEDA Provinsi Riau 2007
menyatakan bahwa perairan Laut Cina Selatan masih memiliki potensi atau peluang yang cukup besar untuk dikembangkan. Namun demikian, untuk
mengembangkan potensi sumber daya ikan di perairan ini harus dilakukan secara hati-hati dan benar, agar tidak menimbulkan berbagai permasalahan seperti yang
kini banyak terjadi di perairan lainnya, termasuk di provinsi ini. Pengembangan usaha perikanan tangkap yang baik dan ideal dapat
dilakukan dengan memperhatikan kemampuan daya dukung dan kebutuhan optimal dari setiap komponennya. Pengembangan usaha perikanan tangkap di
perairan Provinsi Riau yang dilakukan secara optimal, harus mengacu pada suatu pola yang tepat, jelas dan komprehensif yang dapat merancang suatu sistem
pengembangan usaha perikanan tangkap yang optimal. Upaya pengendalian dan penataan kembali aktivitas usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau terutamanya
setelah terjadinya pemekaran wilayah dan adanya konflik pemanfaatan sumber daya ikan perlu dilakukan dengan menyusun suatu sistem usaha perikanan
tangkap unggulan berbasis resolusi konflik.
1.2 Perumusan Masalah
Usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau dilakukan oleh nelayan di sepanjang pesisir Selat Malaka Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Rokan Hilir
dan Kota Dumai, sedangkan untuk Laut Cina Selatan dilakukan oleh nelayan di sepanjang pesisir Kabupaten Indragiri Hilir dan Kabupaten Pelalawan. Usaha
perikanan di Provinsi Riau masih didominasi oleh perikanan tangkap skala kecil yang memerlukan pengelolaan yang komprehensif agar kegiatan perikanan dapat
berkelanjutan. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan berlangsung di sekitar pantai dengan jangkauan daerah penangkapan yang masih terbatas.
3
Pemekaran wilayah yang terjadi pada tahun 2004, yaitu berpisahnya Kepulauan Riau, memberikan dampak terhadap penurunan produksi perikanan
tangkap di provinsi ini. Tahun 2000, produksi perikanan Provinsi Riau mencapai 300.483 ton yang berasal dari sektor penangkapan dan budidaya perikanan,
sedangkan pada tahun 2003 terjadi peningkatan sebesar 360.813,2 ton atau sebesar 20.08. Produksi perikanan Provinsi Riau tahun 2003 adalah sebesar
360.813,3 ton tetapi sejak berpisahnya Kepulauan Riau, produksi perikanan di provinsi ini menurun sebesar 89,71, yaitu sebesar 148.009,6 ton, terutama untuk
penangkapan laut menurun sebesar 82,21, yaitu sebesar 133.439,7 ton DPK Provinsi Riau 2004. Tetapi hingga saat ini belum dilakukan upaya untuk
meningkatkan kembali produksi perikanan tersebut. Perairan Selat Malaka telah terjadi penangkapan ikan yang berlebih yaitu
sebesar 113,64 DPK Provinsi Riau 2007. Kondisi ini menyebabkan timbulnya konflik pemanfaatan terhadap sumber daya ikan yang ada di perairan ini. Konflik
pemanfaatan yang terjadi di Selat Malaka perairan Bengkalis merupakan suatu keadaan yang membutuhkan adanya upaya penyelesaian yang lebih serius dari
berbagai pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya ikan. Kondisi yang tidak kondusif untuk melakukan aktivitas penangkapan telah mengakibatkan
kerugian, tidak saja di pihak nelayan, pengusaha perikanan dan juga pemerintah. Resolusi konflik yang sesuai akan memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap perencanaan pengembangan usaha perikanan tangkap, karena tanpa perencanaan pengembangan yang tepat maka konflik dapat menghambat
partisipasi masyarakat dan berpengaruh terhadap produktivitas nelayan. Menyadari pentingnya mengetahui sifat konflik perikanan tangkap, guna
memberikan resolusi optimum, baik konflik yang sedang terjadi maupun yang mungkin terjadi, diperlukan identifikasi tentang tipologi konflik, faktor-faktor
penyebab konflik dan kelembagaan yang menangani konflik. Hal ini perlu dilakukan untuk menyusun resolusi konflik perikanan tangkap yang efektif.
Perairan lain yang relatif dekat, yaitu perairan Laut Cina Selatan, jumlah aktivitas perikanan tangkapnya relatif masih rendah yaitu 60,03, karena jumlah
nelayan yang masih sedikit dan sebagian besar ukuran armadanya relatif kecil dengan tingkat teknologi penangkapan yang sederhana. Padahal, perairan Laut
4
Cina Selatan sangat berpotensi karena memiliki sumber daya ikan yang besar, selain memiliki wilayah perairan yang sangat luas, juga merupakan perairan laut
dalam. Melihat kondisi ini, dapat diindikasikan bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di wilayah perairan ini berada di bawah potensi lestarinya atau
under fishing, sehingga diestimasi masih memiliki peluang pengembangan yang besar DPK Provinsi Riau 2007.
Kondisi yang kontradiktif dalam sub-sektor perikanan tangkap di Provinsi Riau, yakni: 1 peluang pengembangan produksi perikanan tangkap di Selat
Malaka sangat terbatas, sehingga sulit diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, hal ini disebabkan oleh adanya gejala
overfishing, jumlah nelayan yang tinggi, serta potensi konflik yang tinggi, dan 2 sumber daya ikan di Laut Cina Selatan belum dimanfaatkan secara optimal,
namun penuh dengan tantangan dan kendala di bidang prasarana dan sarana, kemampuan nelayan dan armada penangkapan ikan. Mengatasi permasalahan
ketidakseimbangan tersebut, dapat dilakukan dengan mengendalikan atau membatasi kegiatan perikanan tangkap di Selat Malaka dan mengembangkan sub-
sektor perikanan tangkap di Laut Cina Selatan. Namun, pengembangan usaha perikanan tangkap ini harus dilakukan secara terencana dan komprehensif yang
memperhatikan segala daya dukung atau kapasitas faktor yang terlibat, agar kegiatan perikanan tangkap dapat berjalan efisien, efektif dan berkelanjutan yang
sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab. Pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau, tentu
akan menghadapi beberapa kendala atau permasalahan utama yang perlu dianalisis dan dijawab. Secara spesifik,
permasalahan pokok dalam mengembangkan perikanan tangkap di Perairan Provinsi Riau dapat dirumuskan
sejumlah pertanyaan, yaitu: 1
Usaha perikanan tangkap apa yang sesuai untuk dikembangkan pasca pemekaran Kepulauan Riau untuk meningkatkan produksi perikanan
tangkap di Provinsi Riau? 2
Faktor apa saja yang dapat menimbulkan konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap?
5
3 Komponen apa saja yang menjadi penggerak utama dalam sistem pengembangan usaha perikanan tangkap dan berapa kapasitas atau daya
dukung optimalnya ? 4
Bagaimana pola usaha perikanan tangkap yang optimal dan komprehensif berbasis resolusi konflik?
Permasalahan mendasar yang berkaitan dengan pengembangan usaha perikanan tangkap adalah belum adanya cara pandang yang komprehensif dari
seluruh stakeholder tentang keadaan perikanan sebagai suatu sistem. Sistem ini menyangkut permasalahan keadaan nelayan, produktivitas penangkapan, tingkat
pendapatan, ketersediaan sumber daya ikan dan kegiatan pengelolaan perikanan tangkap. Permasalahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi lima aspek besar
yaitu aspek pasar, teknis, ekonomi, sosial dan keramahan lingkungan. Adanya koflik yang terjadi di perairan Provinsi Riau memerlukan suatu upaya yang lebih
serius dalam pengembangan usaha perikanan tangkap. Oleh karena itu, penulis merasa sangat penting untuk melakukan penelitian tentang sistem pengembangan
usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau berbasis resolusi konflik sebagai upaya meningkatkan produktivitas daerah dan pendapatan nelayan secara berkelanjutan
dan berkesinambungan.
1.3 Tujuan Penelitian