33
dunia nelayan adalah dunia konflik dan konflik yang sering terjadi selama ini cenderung sebagai konflik kelas dan bukan konflik identitas Satria et al. 2002.
2.7 Pengelolaan Perikanan Tangkap
Terdapat beberapa pola yang telah dikembangkan dalam pengelolaan perikanan tangkap. Charles 2001 menyatakan bahwa konsep perikanan tangkap
yang berkelanjutan mencakup aspek ekologi, teknologi, ekonomi, sosial dan etika kelembagaan sebagai pengelola dan pengawasan pemanfaatan sumber daya secara
keseluruhan. Keterpaduan
aspek-aspek pengelolaan
tersebut dapat
menggambarkan keberlanjutan perikanan, karena aspek-aspek tersebut telah mencakup semua aspek keberlanjutan perikanan sekaligus tolok ukur
pembangunan berkelanjutan. Secara spesifik pola pengembangan perikanan tangkap telah dilakukan oleh
beberapa peneliti; Sutisna pada tahun 2007 melakukan kajian tentang model pengembangan perikanan tangkap di pantai Selatan Jawa Barat yang berbasis
pada sumber daya ikan unggulan dan teknologi penangkapan ikan pilihan. Irham pada tahun 2009 dengan kajian pola pengembangan berkelanjutan sumber daya
ikan layang Decapterus spp di perairan Maluku Utara yang berbasis pada keberlanjutan sumber daya ikan layang dengan penekanan pada aspek biologi.
Muamaya pada tahun 2007 dengan kajian penelaahan perikanan pukat cincin dan status keberlanjutannya di daerah Kota Manado menggunakan pemodelan umpan
balik sistematis yang berbasis kelestarian lingkungan ditinjau dari beberapa aspek. Namun hingga saat ini belum ditemukan adanya pengembangan usaha perikanan
tangkap berbasis pada pengelolaan konflik. Khususnya di Provinsi Riau penelitian yang berkaitan dengan pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis
pengelolaan konflik belum pernah dilakukan.
2.8 Kelembagaan dan Kebijakan Pengembangan Perikanan Tangkap
2.8.1 Kelembagaan perikanan tangkap
Lembaga adalah lembaga-lembaga, baik lembaga pemerintah maupun non- pemerintah, baik lembaga departemen maupun non departemen, baik lembaga di
pusat maupun di daerah, yang memperoleh mandat dari hukum untuk memanfaatkan dan atau mengelola sumber daya perikanan laut secara terpadu.
34
Keterpaduan ini mensyaratkan bahwa setiap lembaga menyadari batas-batas mandatnya dan memahami kebijaksanaan dan peraturan dari lembaga-lembaga
terkait lainnya. Persyaratan keterpaduan ini memudahkan setiap lembaga saling mengkoordinasi dan kerjasama satu sama lain untuk meminimalkan konflik
kepentingan antar lembaga. Kaitannya dengan pengelolaan sumber daya kelautan
dan perikanan, hukum pengelolaannya meliputi semua peraturan perundang- undangan yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk
mengatur hubungan antara manusia dengan sumber daya wilayah pesisir dan laut Purwaka 2003.
Kelembagaan kelautan dan perikanan di Indonesia meliputi kelembagaan pemerintah, swasta dan masyarakat, baik ditingkat pusat, provinsi, kabupaten
maupun kota. Kelembagaan pemerintah berfungsi sebagai fasilisator, regulator dan dinamisator dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Fungsi-fungsi
tersebut dijalankan dalam rangka implementasi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dibidang kelautan dan perikanan. Lembaga yang bertanggung jawab atas
pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah Departemen Kelautan dengan seluruh jajarannya sampai ke tingkat pemerintahan terendah. Namun
keberadaannya, juga memerlukann dukungan yang kuat dan baik dari semua lembaga pemerintahan yang terkait, seperti : Kementerian Perhubungan,
Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan dan Keamanan, Kementerian Koperasi dan Pengusaha Kecil serta Kementerian lain
yang terkait. Selain lembaga formal di pemerintahan, juga terdapat beberapa lembaga informal seperti perkoperasian nelayan, lembaga-lembaga swadaya
masyarakat, organisasi-organisasi nelayan dan pengusaha perikanan seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia HNSI, Masyarakat Perikanan Nusantara
MPN, juga memiliki peranan penting terhadap pembangunan perikanan laut secara menyeluruh Purwaka 2003.
Purwaka 2003 menyatakan bahwa dalam pengelolaan sumber daya perikanan tangkap terdapat berbagai kelembagaan pemerintah yang terlibat,
karena sifatnya yang multi sektoral dan multi dimensional. Kelembagaan- kelembagaan tersebut melakukan kegiatan sesuai dengan mandat hukum masing-
masing tetapi belum terkoordinasi dengan baik, sehingga pembangunan yang
35
dilaksanakan bersifat parsial dan seringkali menimbulkan eksternalitas negatif antara satu dengan lainnya. Kelembagaan kelautan dan perikanan akan kuat dan
tangguh, mantap dan tidak goyah apabila dalam pembangunan ada kejelasan tujuan yang ingin dicapai, hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja
pembangunan kelautan dan perikanan, yang tercermin dalam tata kelembagaan institutional arrangement dan kerangka kerjamekanisme kelembagaannya
institutional framework. Di sisi lain kelembagaan kelautan dan perikanan harus fleksibel dalam mengikuti dinamika pembangunan kelautan dan perikanan yang
saat ini dapat dikembangkan berdasarkan suatu disain kelembagaan yang mampu mengoptimalkan peran sektor kelautan dan perikanan.
Suatu bentuk kelembagaan yang efektif dan efisien akan mendatangkan suatu keberhasilan dalam industri penangkapan ikan. Bentuk kerjasama antara
pemerintah, masyarakat dan swasta akan mampu mengoperasikan kegiatan penangkapan dengan optimal. Pengelolaan yang baik menurut Purwaka, 2003
melakukan pendekatan Triangle Integrated yakni Resources based RB, Comunity based Management CBR dan Market Based MB ketiga pendekatan
ini harus utuh sehingga interaksi antara hukum dan kelembagaan dapat berjalan dengan baik. Kelembagaan di pandang dari prespektif ekonomi maka
kelembagaan akan beroperasi dalam level makro dan mikro Purwaka 2003.
2.8.2 Kebijakan pengembangan perikanan tangkap