Kelembagaan yang menangani konflik

175 Resolusi konflik juga diharapkan dapat meminimalisir konflik yang telah terjadi dalam kurun waktu yang lama, karena pengembangan usaha perikanan tangkap akan terhambat jika konflik masih berlanjut.

6.6.3 Kelembagaan yang menangani konflik

Charles 2001 menyatakan bahwa kelembagaan merupakan salah satu kriteria dan indikator sistem perikanan berkelanjutan. Kelembagaan yang kuat merupakan penguatan untuk melahirkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhandan dapat memperkuat implementasi hukum. Oleh karena itu kebijakan yang baik dapat berfungsi efektif apabila dibarengi dengan implementasi hukum yang kuat. Kelembagaan kelautan dan perikanan harus fleksibel dalam mengikuti dinamika pembangunan kelautan dan perikanan yang saat ini dapat dikembangkan berdasarkan suatu disain kelembagaan yang mampu mengoptimalkan peran sektor kelautan dan perikanan. Kelembagaan yang ada saat ini dalam penanganan konflik masih dirasakan belum mampu berperan dalam penyelesaian konflik yang terjadi selama hampir 30 tahun. Konflik usaha perikanan kurau yang berkepanjangan antara nelayan rawai dan nelayan jaring batu telah mengakibatkan polarisasi keberpihakan, di mana lembaga-lembaga pemerintah lebih berpihak kepada nelayan jaring batu yang seharusnya bersikap netraltidak berpihak. Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau adalah dengan pengembangan kapasitas kelembagaan pengelola dan sumber daya manusia yang dapat mendukung upaya pengembangan tersebut, yang meliputi : 1 Pengembangan kapasitas kelembagaan pengelola Purwaka 2003 selanjutnya menyatakan aransemen institusional disini dapat berupa instansi pemerintah, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, swasta, masyarakat yang kesemuanya berada dalam satu kerangka kerja kelembagaan. Pemahaman berbagai kewenangan sektoral yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dari masing-masing sektor yang bersangkutan, akan dapat dipahami bahwa tumpang tindih kewenangan bukan lagi merupakan 176 wilayah benturan kepentingan melainkan menjadi wilayah pengembangan kerjasama. Pengembangan kapasitas kelembagaan pengelola adalah untuk meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga pemerintah agar turut berperan dalam pengelolaan kelautan dan perikanan. Hal - hal yang perlu dipertimbangkan adalah kesatuan antara aspek kelautan dan perikanan harus dipegang teguh karena kedua aspek tersebut secara konseptual tidak dapat dipisahkan. Selain itu pembentukan kelembagaan kelautan dan perikanan di Provinsi Riau harus dilandasi oleh prinsip-prinsip efisiensi, misalnya kaya fungsi daripada struktur, yang dilihat dari fungsionalisasi potential capacity, carrying capacity dan absorptive capacity, terutama pada variabel carrying capacity harus ditingkatkan. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi organisasi sehingga mempercepat kemandirian lembaga kelautan dan perikanan. Peran lembaga-lembaga masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan juga harus ditingkatkan sehingga menciptakan sistem pengelolaan yang seimbang dan memperhatikan semua kepentingan. Purwaka 2003 menyatakan bahwa sinergitas di dalam berinteraksi dari lembaga-lembaga tentu merupakan hal ideal yang diharapkan oleh semua pihak. Namun demikian, munculnya ega sektor, berlakunya otonomi daerah dan tumpang tindih kepentingan seringkali memunculkan suatu aktivitas interaksi yang antagonis dan tumpang tindah di antara lembaga-lembaga tersebut. Kondisi inilah yang dapat menghambat tercapainya keterpaduan yang berhasil guna dan berdaya guna dari lembaga-lembaga yang menangani konflik. 2 Peningkatan kapasitas sumber daya manusia Sumber daya kelautan di Provinsi Riau merupakan sektor potensial bagi sumber pertumbuhan ekonomi baru. Dengan letaknya yang strategis, memungkinkan untuk dilakukan pengembangan terhadap pengelolaan sumber daya kelautan khususnya perikanan tangkap. Pengembangan usaha perikanan tangkap ini dapat dilakukan dengan peningkatan produksi dan produktivitas usaha perikanan. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia nelayan, perlu dilakukan pemagangan, pelatihan, penyuluhan dan pendampingan usaha oleh tenaga pendamping dari Dinas Perikanan dan Kelautan. 177 Purwaka 2003 menyatakan bahwa perhatian terhadap pembinaan sumber daya manusia kerap kurang menjadi prioritas terutama apabila dihadapkan pada kepentingan-kepentingan jangka pendek. Padahal sumber daya manusia sebagai “the man behind the gun” dalam pengelolaan kelautan dan perikanan memegang peranan yang sangat penting dan menentukan. Penetapan kebijakan dan strategi sebagus apapun apabila tidak didukung oleh paradigma, sikap dan perilaku sumber daya manusianya, akan berakhir menjadi sekedar dokumen yang tak bernilai. Upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan sebagai salah satu tujuan pembangunan perikanan dan kelautan, dilaksanakan dengan upaya peningkatan produksi, melalui usaha penanganan dan pengolahan hasil serta terlibat secara langsung dalam pemasaran hasil perikanan perikanan tangkap terintegrasi, sehingga keuntungan yang tadinya dimiliki oleh pihak lain tauke dapat kembali lagi pada nelayan. Untuk itu pengembangan usaha perikanan tangkap tidak terlepas dengan upaya pengembangan sumber daya manusia nelayan itu sendiri dan pengembangan kelembagaan masyarakat nelayan guna meningkatkan posisi tawar dari masyarakat nelayan dengan kelembagaannya. Upaya lain yang dilaksanakan di samping pengembangan kelembagaan masyarakat nelayan adalah penumbuhan usaha kemitraan yang saling menguntungkan antara nelayan dengan pihak pengusaha perikanan, kegiatan ini dilaksanakan melalui temu usaha perikanan tangkap yang dapat menghadirkan pihak pengusaha perikanan dan masyarakat nelayan dengan pihak pemerintah sebagai fasilitatornya. Kelembagaan yang sesuai untuk dikembangkan di perairan Bengkalis dalam upaya mengurangi intensitas konflik adalah kelembagaan mediator yang berbasis masyarakat community based management. Komponen dasar dalam pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat ini adalah : 1 perundangan dan regulasi; 2 keikutsertaan organisasi masyarakat; 3 infrastruktur dasar, dan 4 kondisi sosial. Bentuk kelembagaan ini sangat sesuai karena sudah mencakup mekanisme pengelolaan konflik. Ramirez 2002 menyatakan bahwa dimensi kelembagaan dan organisasi hendaknya menjadi komponen utama ketika suatu lembaga terlibat dalam proses 178 mediasi penyelesaian konflik yang terjadi. Beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh lembaga tersebut agar mampu berperan baik dan berfungsi secara efektif dalam resolusi konflik, yaitu : 1 diakui secara resmi sebagai lembaga yang berperan sebagai mediator, 2 dikenal oleh pihak yang berkonflik sebagai pihak yang netral dan memiliki legitimasi, 3 menyetujui untuk bekerja dalam sistem penyelesaian konflik, berdasarkan atas mediasi dan kesepakatan oleh semua pihak, 4 mempunyai kemampuan dalam teknik mediasi, 5 memiliki kemampuan dan mengetahui dengan baik perangkat hukum secara positif, hukum adat, peluang hukum dan isu-isu secara teknis, 6 berkualifikasi dan mengetahui metode partisipatory, 7 berkomunikasi dengan baik dan jelas, dan 8 mengetahui dengan baik sejarah budaya lokal, organisasi, lembaga politik dan kerangka kerja regulasi. Novaczek et al. 2001 menggambarkan bahwa peranan tradisi dan hukum adat ternyata sangat besar pengaruhnya dalam memlihara dan mempertahankan keberlanjutan perikanan pantai, sasi laut di Maluku. Pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis resolusi konflik di perairan Bengkalis dapat dipertahankan apabila kelembagaan mediator tersebut melibatkan masyarakat setempat dalam pengambilan kebijakan terutama yang bersifat lokal, adanya pengaturan yang sungguh-sungguh dan melibatkan tokoh masyarakat lokal yang disegani dalam lingkungan komunitas nelayan. Hal lain yang turut berpengaruh secara signifikan adalah ketersediaan aturan adat dan kepercayaan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang berkelanjutan.

6.7 Kesimpulan