Peran kelembagaan pemerintah dalam penanganan konflik

161 lembaga penanganan konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap yang terdiri dari lembaga pemerintah, lembaga swasta dan lembaga masyarakat. Guna mendukung penanganan konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau agar berjalan secara sinergis, maka lembaga yang diperlukan adalah sebagai berikut: 1 Lembaga pemerintah, yang terdiri dari: 1 Dinas Perikanan pada setiap KabupatenKota Provinsi Riau, 2 Unit Pelakasana Teknis UPT Pelabuhan Perikanan, 3 Unit Perekayasaan Teknologi, dan 4 Unit Pelatihan dan Penyuluhan. 2 Lembaga swasta, yaitu asosiasiorganisasi pengusaha unit penangkapan ikan kapal, alat penangkap ikan, mesin kapal, perlengkapan dan alat bantu penangkapan ikan, asosiasiorganisasi pengolah dan pemasaran hasil perikanan. 3 Lembaga masyarakat terdiri dari buruh nelayan, tokoh masyarakat, lembaga non pemerintah LSM dan kelompok pengawas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap.

6.5.1 Peran kelembagaan pemerintah dalam penanganan konflik

Kabupaten Bengkalis secara administratif telah memiliki institusi formal yang mengelola perikanan seperti dinas perikanan dan kelautan kabupaten, demikian juga dengan peraturan formal dan informal yang berkaitan dengan pengelolaan atau pemanfaatan sumber daya alam. Keberadan peraturan-peraturan tersebut baik peraturan formal dan informal belum dibarengi dengan implementasi secara optimal, permasalahan tetap pada kepatuhan terhadap aturan-aturan tersebut. Dinas Perikanan sebagai institusi yang berwenang terlihat sangat jelas peranannya dalam konflik yang terjadi. Selama konflik berlangsung pemerintah melalui Dinas Perikanan Kabupaten Bengkalis selalu ikut dalam menyelesaikan konflik karena desakan masyarakat yang semua bermuara pada pemerintah. Upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis di antaranya, adalah : 162 1 Membentuk Komite Penasehat Pengelolaan Perikanan Kabupaten KP3K Keberadaan Co-Fish Project di Kecamatan Bantan juga membantu untuk meyelesaikan masalah jaring batu ini. Salah satu program yang dilakukan adalah membentuk Komite Penasehat Pengelolaan Perikanan Kabupaten KP3K Bengkalis dengan fungsi dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam hal pengelolaan sumber daya perikanan di Kabupaten Bengkalis. Komite ini merupakan forum multi stakeholder yang di dalamnya terdapat perwakilan kelompok nelayan berdasarkan alat tangkap pada masih-masing desa nelayan serta pemerintah dari instansi terkait. Namun saat ini komite tersebut baru menjangkau nelayan di Pulau Bengkalis saja dan belum berjalan sebagai mana mestinya. Program Pengelolaan Keanekaragaman Hayati proyek Co-Fish memfasilitasi terbentuknya kelompok pengawasan berbasis masyarakat dan sekaligus menyusun sistem pengawasannya. Walaupun upaya ini masih belum final dan masih dalam pembahasan dan perdebatan subtansi, setidaknya sudah ada upaya dan keberanian lebih jauh untuk merubah keadaan secara struktural ke arah yang lebih baik. 2 Mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik Upaya ini dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan tentang pembagian wilayah penangkapan antara rawai dengan jaring batu. Kegiatan ini difasilitasi oleh Dinas Perikanan melalui Co-Fish Project. Pandangan Dinas Perikanan konflik ini timbul karena kesenjangan teknologi antara rawai dan jaring batu sehingga perlu didamaikan dan ada batasan wilayah tangkap bagi kedua belah pihak. Beberapa pertemuan yang telah dilakuan pemerintah melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis dan Provinsi Riau yaitu: 1 Pertemuan stakeholders di Kecamatan Bantan diikuti oleh nelayan, KP3K dan dinas perikanan. Pertemuan ini bertujuan untuk mensosialisasikan peraturan-perauran di bidang perikanan 16 september 2002. 2 Melalui Workshop Pengelolaan sumber daya Perikanan di Selat Panjang yang diikuti oleh nelayan jaring batu, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis, instansi terkait lainnya Kamla, Kejaksaan, Kepolisian dan lainnya. Pertemuan ini berhasil membujuk nelayan jaring 163 batu untuk bersedia mengadakan pertemuan dengan nelayan Kecamatan Bantan 17 September 2002. 3 Melalui pertemuan KP3K yang diikuti oleh nelayan Kecamatan Bantan di Bengkalis menghasilkan kesediaan nelayan kurau hadir pada pertemuan yang diadakan di Dumai 4-5 Oktober 2002. 4 Workshop Pengelolaan sumber daya Perikanan di Selat Panjang dengan hasil nelayan jaring batu bersedia mengikuti pertemuan yang dirancang untuk mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik 17 Oktober 2002. 5 Pertemuan Stakeholder yang diikuti oleh KP3K, dinas dan instansi terkait, nelayan Kecamatan Bantan dan nelayan jaring batu. Pada pertemuan ini menghasilkan kesepakatan penyelesaian konflik antara nelayan rawai dan nelayan jaring batu 24-25 Oktober 2002 Lampiran 12. 6 Pertemuan informal pada bulan November 2002 yang diadakan di Bengkalis dan dihadiri oleh pesengketa dan pihak-pihak lainnya terdapat kesepakatan bahwa: 1. Nelayan Rawai bersedia mengembalikan kapal jaring batu yang ditangkap dan ditahan; 2. Selama status quo nelayan jaring batu tidak diperkenankan memasuki perairan dari Tanjung Jati sampai Tanjung Sekodi Lampiran 13. 7 Pertemuan di Hotel Bumi Asih Pekanbaru pada tanggal 28-30 April 2003 dalam pertemuan Operasional KP3K, tidak menghasilkan perkembangan yang berarti. nelayan rawai Kecamatan Bantan tidak menyetujui poin-poin yang telah disiapkan untuk disepakati. 3 Mengeluarkan regulasi sektor perikanan dan pertemuan lintas instansi Pemerintah Kabupaten Bengkalis, dalam menyikapi perkembangan konflik antar nelayan, mengeluarkan Surat Keputusan pelarangan operasi jaring batu di perairan 0-4 mil Kabupaten Bengkalis. Regulasi ini tertuang dalan SK Bupati Bengkalis Nomor 52 tahun 2003 Lampiran 14, yang didasarkan atas pertimbangan yaitu: 1 Semakin banyaknya nelayan tradisional yang menggantungkan kehidupannya menangkap ikan dengan mengunakan alat tangkap ikan tradisional seperti rawai, jaring, belat, gombang menyebabkan semakin menyempitnya areal tangkapan di perairan 0-4 mil Perairan Bengkalis. 164 2 Menghindari sering terjadinya konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan jaring batukurau bottom drift gillnet karena komoditas tangkap yang sama di wilayah perairan 0-4 mil perairan Bengkalis sehingga menimbulkan kerugian-kerugian kedua belah pihak. 3 Jaring batu bottom drift gillnet tidak dapat beroperasi bersama-sama pada suatu wilayah perairan dengan alat tangkap ikan nelayan tradisional karena menyebabkan kerusakan alat tangkap ikan nelayan tradisional Lampiran 15. Pemerintah telah melakukan usaha-usaha untuk mengatasi konflik terhadap ikan kurau tersebut antara lain: Pembentukan Asosiasi Penggunaan Rawai dan Jaring batu, SK Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Bengkalis No. 02VII2002 tentang Pokja Pembentukan Komite Penasehat Pengelolaan Perikanan Kabupaten Bengkalis. Penyadaran Masyarakat, Penerbitan komik, poster, stiker dan tema pencegahan konflik, Pertemuan Pokja, dan instansi terkait dengan wakil-wakil nelayan yang berkonflik melalui pertemuan stakeholder berjenjang, workshop, sarasehan, diskusi dan mediasi damai yang menghasilkan kesepakatan mengatasi permasalahan tersebut, Keputusan Bupati Bengkalis nomor 818 tahun 2003 tentang Pembentukan Komite Penasehat Pengelola Perikanan Kabupaten Bengkalis dan Lembaran Kesepakatan antara nelayan Desa Teluk Pambang untuk keberlanjutan keberadaan ikan kurau di perairan Tanjung Jati hingga Tanjung Sekodi Bengkalis 11 Juli 1999. Bupati Kabupaten Bengkalis juga menyurati Gubernur Riau tangggal 1 Maret 2003 perihal usulan penghapusan jaring batu. Namun usulan penghapusan jaring batu ini belum terealisasi. Menyikapi hal tersebut Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau memfasilitasi pertemuan Dinas Perikanan lintas kabupatenkota untuk mencarikan solusi bersama. Klaim Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau tidak mengeluarkan izin jaring batu sejak tahun 2002, dan izin yang terlanjur diberikan adalah sebanyak delapan izin dan kedelapan izin tersebut habis masa berlakunya tahun 2003. Kemudian Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Riau mengeluarkan Keputusan Nomor 523.41KLSK-27 Tahun 2003 tentang penertiban dan pengawasan jaring batu di wilayah perairan Provinsi Riau yang menetapkan wilayah operasionalisasi jaring batu yakni di atas 6-12 mil Jalur II 165 dengan ukuran mata jaring lebih dari enam inchi dan panjang jaring maksimal 2500 meter Lampiran 16. 6.5.2 Peran tokoh masyarakat dalam penanganan konflik Peranan tokoh masyarakat lokal yang betul-betul dipilih dan dapat dipercaya oleh nelayan setempat sangat diperlukan mengingat keragaman persepsi nelayan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap selama ini. Peranan tokoh ini menjadi sangat penting terutama ketika terjadi hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan seperti penanganan konflik, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap agar berkelanjutan. Kegiatan perikanan di perairan Bengkalis kelihatannya tidak memiliki ketergantungan terhadap hukum dan kelembagaan formal dalam pengelolaan usahanya. Hasil wawancara di lokasi penelitian para nelayan memilih tokoh masyarakat yang ada atau cukup sesama nelayan dalam berdiskusi tentang pengelolaan perikanan. Tokoh tersebut adalah ketua rukunkelompok nelayan yang secara kebetulan menjadi tokoh pemuda. Ketua rukun nelayan tersebut cukup berpengaruh dalam pertemuan-pertemuan mengenai usaha perikanan. Urairan tersebut dapat diidentifikasi bahwa keberadaan tokoh masyarakat lokal atau tokoh masyarakat sangat berpengaruh dalam lingkungan komunitas nelayan. Peran tokoh masyarakat ini biasanya dapat lebih didengar pendapat- pendapatnya sehingga dapat berperan dalam upaya-upaya positif dalam penanganan konflik di lokasi penelitian.

6.5.3 Peran kelembagaan non pemerintah dalam penanganan konflik