Aspek lingkungan Alokasi optimum teknologi penangkapan sumber daya ikan unggulan

127 Selatan Kabupaten Indragiri Hilir, diikuti oleh jaring batu, jaring insang dan jaring udang. Pengembangan usaha perikanan tangkap ditinjau dari aspek sosial, jaring batu tidak disarankan untuk dioperasikan di kedua wilayah perairan tersebut. Informasi yang diperoleh berkenaan dengan aspek sosial diketahui telah terjadi konflik pemanfaatan sumber daya ikan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis, yaitu dengan masuknya nelayan jaring batu yang berasal dari luar wilayah perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis. Kusnadi 2002 menyatakan bahwa status dan frekuensi konflik pada dimensi sosial menjadi paling sensitif karena dengan adanya konflik yang berkepanjangan dapat mengakibatkan turunnya jumlah tangkapan dan berakibat langsung pada turunnya pendapatan sehingga para nelayan cenderung untuk memperluas wilayah penangkapan dan melakukan pelanggaran lain sebagai kompensasi penurunan pendapatan akibat konflik.

5.5.5 Aspek lingkungan

Alat tangkap yang umumnya dioperasikan di perairan Provinsi Riau dapat menangkap lebih dari satu jenis ikan. Berdasarkan hasil analisis aspek lingkungan dari berbagai alat tangkap yang dioperasikan di perairan provinsi ini, diketahui bahwa rawai longline menempati urutan pertama di kedua perairan tempat penelitian dilaksanakan. Tujuan utama penangkapan dari alat ini adalah ikan kurau, sedangkan ikan dasar lainnya yang ikut tertangkap merupakan bycatch. Alat tangkap rawai dasar termasuk kategori alat yang cukup ramah lingkungan. Alat ini hanya mempengaruhi dasar perairan yaitu saat menjatuhkan jangkar yang menancap di dasar perairan. Habitat dasar yang terganggu hanya terbatas pada areal jangkar. Alat ini cukup selektif terhadap ukuran dan jenis ikan sehingga tidak mengganggu siklus hidup dan pertumbuhan populasi. Garcia et al. 1999 menyatakan bahwa peran teknologi penangkapan tidak dapat diabaikan begitu saja. Keadaan sumberdaya perikanan yang semakin tertekan karena terus meningkatnya aktifitas penangkapan yang dipicu oleh bertambahnya jumlahnya, sehingga pengelolaan sumberdaya perikanan harus juga mempertimbangkan kebutuhan generasi berikutnya tanpa mengabaikan kebutuhan sekarang terhadap sumber daya perikanan tersebut. Dengan kata lain pengelolaan 128 sumber daya perikanan harus berkelanjutan yang ditunjang dengan penggunaan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan sehingga aktifitas penangkapan dapat dipertanggungjawabkan untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya perikanan.

5.5.6 Alokasi optimum teknologi penangkapan sumber daya ikan unggulan

Alokasi optimum terhadap teknologi penangkapan di perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis dan perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir berdasarkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan JTB dari masing-masing sumber daya ikan unggulan. Kang 2006 menyatakan bahwa jumlah tangkapan yang diperbolehkan JTB bertujuan untuk memastikan sistem pengelolaan yang optimal untuk keberlanjutan usaha perikanan dan mengawasi kapasitas penangkapan. JTB ditentukan berdasarkan aspek biologi, ekonomi dan sosial. Alokasi optimum terhadap teknologi penangkapan sumber daya ikan unggulan yang dilakukan untuk menciptakan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan, untuk mewujudkan tingkat pemanfaatan perikanan tangkap yang efisien, lestari dan berkelanjutan, perlu mengatur jumlah optimum dari sarana atau unit penangkapan ikannya. Hal ini berarti bahwa rezim pemanfaatan pemanfaatan sumber daya ikan harus dirubah dari rezim open access menjadi rezim limited access Andrianto 2006. Optimasi perikanan tangkap juga harus diarahkan untuk mewujudkan unit penangkapan ikan yang produktif, selektif, efisien dan ramah lingkungan. FAO pada tahun 1995 juga telah mengeluarkan kode etik perikanan yang bertanggung jawab yang salah satu pokok amanatnya adalah untuk melaksanakan usaha perikanan tangkap secara terkendali controlled fisheries. Pembatasan tekonologi alat tangkap, pembatasan jumlah effort dan pengendalian daerah penangkapan ikan merupakan pengendalian secara biologi. Pengendalian secara ekonomi menggunakan peubah ekonomi sebagai instrumen pengendalian upaya penangkapan ikan. Peubah ekonomi yang relevan dalam menunjang pemanfaatan sumberdaya perikanan yang optimal meliputi : harga ikan, subsidi BBM, pajak dan biaya izin penangkapan ikan Nikijuluw 2002, pengembangan alternatif lapangan kerja nelayan Pascoe and Mardle 2001; pemberian kredit, pengembangan prasarana pelabuhan perikanan, peningkatan 129 keterampilan nelayan dan pengembangan agribisnis perikanan Kjoersgaard and Andersen 2003. Hermawan 2006 mengatakan bahwa pemanfaatan sumber daya laut perlu dibatasi dengan pengendalian atas jumlah upaya penangkapan dan atau hasil tangkapan agar terhindar dari adanya upaya yang berlebihan, investasi modal yang berlebihan atau kelebihan tenaga kerja. Pemanfaatan sumber daya tanpa pengendalian cenderung diikuti penipisan sumber daya stok, menurunnya hasil tangkapan per unit upaya CPUE, serta menipisnya keuntungan yang diperoleh. Efisiensi dari satu pengaturan pemanfaatan sumber daya dapat dicapai dengan cara penetapan upaya penangkapan sampai pada tingkat yang sesuai dengan tingkat yang diperlukan untuk memperoleh hasil tangkapan yang optimal. Keberadaan jaring batu secara kuantitas belum menjadi masalah terhadap keberlanjutan sumber daya ikan kurau, tetapi dari sisi sosial alat ini telah menimbulkan konflik yang sangat tinggi terhadap alat tangkap lainnya, terutamanya alat tangkap rawai. Konflik yang terjadi di Kabupaten Bengkalis ini tentu saja mengganggu keberlanjutan usaha dari segi keamanan. Untuk meminimalkan dampak konflik terhadap alat tangkap jaring batu dengan rawai perlu dilakukan analisis dengan pendekatan resolusi konflik. Sedangkan untuk perairan Laut Cina Selatan perlu dilakukan pengaturan terhadap alat tangkap yang beroperasi di wilayah pengelolaannya untuk menghindari terjadinya konflik dalam pemanfaatan sumber daya.

5.6 Kesimpulan