Faktor konflik dan resolusi konflik 1

169 Diberlakukannya otonomi daerah juga diartikan sempit oleh masyarakat nelayan. Penegasan wilayah tangkap menunjukan adanya wilayah hukum adat nelayan Kecamatan Bantan yaitu Tanjung Jati sampai Tanjung Sekodi. Siapapun yang memanfaatkan sumber daya perikanan di wilayah tersebut harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Kegiatan penangkapan di kawasan perairan Kecamatan Bantan yang dilakukan oleh nelayan jaring batu tanpa memperhatikan aturan nelayan tradisional Kecamatan Bantan telah ikut mendorong terjadinya konflik. Kondisi ini diperparah oleh adanya pemahaman terhadap karakter sumber daya perikanan yang open access, di mana siapa saja dapat memanfaatkan sumber daya pada suatu wilayah perairan.

6.6.2 Faktor konflik dan resolusi konflik 1

Faktor konflik Berdasarkan pendekatan Fisher et al. 2001, yang terjadi di perairan Bengkalis disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan. Berdasarkan tipologi Charles 2001, konflik yang terjadi termasuk ke dalam alokasi internal dan yurisdiksi. Menurut Satria 2006 yang diacu Satria 2009, konflik nelayan di perairan Bengkalis dikategorikan sebagai konflik kelas dan konflik cara produksi atau alat tangkap. Konflik dapat muncul jika ada perbedaan keinginan dari dua atau lebih kelompok yang berusaha memaksakan keinginan kelompoknya kepada kelompok lain. Terkadang konflik dipandang sebagai suatu kondisi sosial yang terjadi sebagai akibat dari perubahan yang tiba-tiba ataupun bertahap yang menimbulkan perbedaan keinginan dan kepentingan dalam kelompok masyarakat. Faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik di perairan Bengkalis dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1 Sumber daya ikan kurau yang memiliki nilai ekonomis tinggi Ketersediaan sumber daya yang mulai menurun juga merupakan salah satu penyebab konflik di perairan Bengkalis semakin tinggi. Pembatasan wilayah tangkap yang dilakukan oleh nelayan rawai melalui peraturan-peraturan yang diberlakukan mengembangkan konflik menjadi perebutan wilayah penangkapan Fisher et al. 2000; Charles 2001; Satria 2006 yang diacu oleh Satria 2009. Mathew 1990 menyatakan bahwa ketegangan antara pemilik alat tangkap yang 170 berbeda dalam pemanfaatan sumber daya merupakan hal yang sudah biasa terjadi dalam perikanan tangkap. Persepsi masyarakat nelayan terhadap kompetisi dalam pemanfaatan sumber daya merepresentasikan konflik antara nelayan rawai dengan nelayan dari luar nelayan jaring batu, dalam pemanfaatan sumber daya ikan kurau pada daerah penangkapan di perairan Bengkalis berpengaruh terhadap terjadinya konflik di perairan ini. Perbedaan persepsi dan idiologi tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ini terlihat jelas pada analogi bawang bombay, sedangkan motivasi dari masing-masing pihak yang berkonflik dalam pemanfaatan sumber daya terlihat jelas pada Segitiga S-P-K. Wahyono et al. 2000 menyatakan suatu sumber konflik yang utama adalah peningkatan intensitas eksploitasi. Hal ini berhubungan dengan pertambahan unit eksploitasi, pertambahan penduduk demografi, perubahan tingkat komersialisasi pasar, kondisi ekologis sumber daya dan perubahan teknologi. Ikan kurau merupakan salah satu sumber daya ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi, dengan harga di tingkat konsumen dapat mencapai Rp 250.000 untuk pasar luar negeri Sari et al. 2009. Harga yang sangat tinggi ini yang menjadikan ikan kurau sebagai sumber konflik di perairan Bengkalis. 2 Teknologi penangkapan yang digunakan untuk menangkap sumber daya ikan Perbedaan tingkat teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya pada perairan yang sama, menimbulkan pergesekan diantara sesama nelayan. Hal ini diduga sebagai salah satu penyebab konflik yang terjadi di perairan Bengkalis selain sumber daya ikan kurau. Nelayan rawai tidak mempermasalahkan siapa saja yang akan memanfaatkan sumber daya di daerah penangkapan mereka, tetapi harus dengan cara yang diperbolehkan atau tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku hak ulayat. Wahyono et al. 2000 menyatakan bahwa variable-variabel yang mempengaruhi berlangsungnya hak ulayat laut, lebih banyak terkait pada suatu variable kunci yaitu konflik. Hal ini disebabkan oleh karena konflik merupakan suatu potensi yang cukup kuat atas berubahnya hak ulayat laut. Dalam hal ini perubahan-perubahan yang terjadi sangat bervariasi, mulai dari perubahan isi 171 aturan maupun praktek hak ulayat laut sampai pada perubahan yang menyangkut semakin menguat atau melemahnya praktek pelaksanaan aturan hak ulayat tersebut. Introduksi teknologi dan modernisasi yang diusung pengusaha jaring batu telah menciptakan ketidakadilan yang menyebabkan kemiskinan dalam makna nilai dan ekonomi nelayan rawai. Ketidakadilan yang dimaksud sehubungan dengan timpangnya perlakuan yang diberikan selama ini kepada nelayan rawai dalam mengakses sumber daya perikanan yang dilakukan dengan cara-cara yang mereka pahami melalui sistem nilai yang berlaku, yaitu tidak adanya kesempatan dalam mendapatkan sumber daya perikanan dan mempertahankan nilai-nilai yang telah ada secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya ikan di perairan mereka. 3 Daerah penangkapan Cara pandang nelayan terhadap ketersediaan sumber daya biasanya dihubungkan dengan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh dan dikaitkan dengan daerah penangkapan. Anggapan nelayan rawai selama ini, jaring batu menyebabkan turunnya hasil tangkapan mereka, karena setiap alat ini dioerasikan maka nelayan rawai tidak akan mendapatkan hasil tangkapan selama hampir satu- dua bulan lamanya. Aktivitas ini dinilai nelayan rawai dapat mengurangi ketersediaan stok sumber daya ikan khususnya ikan kurau yang menjadi tujuan utama penangkapan. Hal ini yang mendorong nelayan rawai untuk mempertahankan daerah penangkapan mereka dan melarang jaring batu untuk beroperasi di wilayah perairan mereka. Konflik perebutan daerah penangkapan disebabkan banyaknya nelayan dengan alat tangkap yang berbeda berada pada satu daerah penangkapan pada waktu yang bersamaan dengan tingkat teknologi yang berbeda. Daerah penangkapan yang menjadi sumber konflik dipersepsikan oleh nelayan rawai sebagai daerah yang memiliki potensi sumber daya ikan yang cukup baik sehingga mendorong nelayan dari berbagai daerah menangkap ikan di perairan tersebut. Persepsi nelayan terhadap kondisi sumber daya yang merepresentasikan konflik perebutan daerah penangkapan menunjukkan bahwa masyarakat nelayan 172 perairan Bengkalis mempunyai ketergantungan yang sangat kuat terhadap ketersediaan sumber daya ikan. Satria et al. 2002 menyatakan bahwa konflik- konflik ini sering didengungkan sebagai konflik identitas, yang pada kenyataannya, dunia nelayan merupakan dunia konflik, sedangkan konflik yang terjadi selama ini merupakan konflik kelas yaitu konflik yang terjadi antarkelas sosial nelayan akibat dominasi usaha bermodal dan usaha tradisional. Hal ini dapat ditemukan di perairan Bengkalis. Umumnya konflik tersebut terjadi akibat pengoperasian jaring batu bottom drift gillnet dengan target spesies ikan kurau Eletheronema tetradactylum pada perairan Bengkalis yang merupakan wilayah penangkapan nelayan tradisional. Konflik tersebut telah terjadi sebelum UU No 22 tahun 1999 dikeluarkan. Hettne 2001 menyatakan bahwa dalam konteks global, dikotomi dan polarisasi semacam inilah yang menggambarkan tajamnya persoalan etnosentrisme yang kental mengiringi modernisasi sehingga berpotensi terjadinya konflik. 2 Resolusi penanganan konflik Pemanfaatan sumber daya ikan tidak saja melibatkan aspek teknis, tetapi berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, sebagai kontrol atas kegiatan tersebut. Terbatasnya akses nelayan dalam usaha pemanfaatan maupun upaya pengelolaan sumber daya telah menyebabkan nelayan berada di pihak yang terabaikan, bukan hanya tidak dapat menikmati keuntungan secara ekonomi tetapi juga sebagai pihak yang dirugikan jika terjadi penurunan terhadap sumber daya akibat eksploitasi yang berlebihan dari pihak luar yang melakukan penangkapan di wilayah lautnya. Konflik yang terjadi di perairan Bengkalis sering di pahami sebagai masalah teknis, yaitu perbedaan alat tangkap dengan tujuan penangkapan yang sama dan beroperasi di daerah penangkapan yang sama pula, sehingga solusi yang selama ini diberikan pun bersifat teknis, yaitu dengan menetapkan wilayah operasionalisasi jaring batu yakni di atas 6-12 mil dengan ukuran mata jaring lebih dari enam inchi dan panjang jaring maksimal 2500 meter. Nikijuluw 2002 menyatakan bahwa pelarangan jenis alat tangkap tertentu dapat dilakukan secara permanen atau sementara waktu. Kebijakan ini dilakukan untuk melindungi sumber daya ikan 173 dari penggunaan alat tangkap yang merusak atau destruktif. Meski demikian dikatakan, paling penting adalah kebijakan ini dapat dilakukan dengan alasan- alasan sosial politik untuk melindungi nelayan yang mengunakan alat tangkap yang kurang atau tidak efisien tradisional. Solusi teknis yang di berikan atas konflik yang terjadi di perairan ini selama hampir 30 tahun ternyata belum dapat menyelesaikan akar dari konflik itu sendiri. Mediasi dan negosiasi merupakan teknik yang banyak digunakan dalam upaya penyelesaian konflik di perairan Bengkalis. Tetapi teknik ini belum mampu menyelesaikan konflik yang terjadi hanya meredam sementara untuk kemudian dapat muncul kembali apabila kesepakatan yang telah disepakati dilanggar oleh salah satu pihak. Di samping itu, menimbulkan konflik sekunder antara nelayan rawai dengan dinas perikanan dan aparat hukum, karena dianggap dalam proses penyelesaian konflik telah berpihak kepada nelayan jaring batu. Charles 2001 menyatakan bahwa fakta di lapangan menunjukkan bahwa konflik merupakan gangguan sosial karena nelayan merasa tidak aman dalam melakukan kegiatan usahanya. Berdasarkan informasi dari nelayan, konflik antar nelayan juga terkait ketidakjelasan kebijakan yang telah dibuat oleh instansi terkait. Status dan frekuensi konflik secara tidak langsung menyebabkan kegiatan perikanan mengalami kemunduran karena para nelayan mengalami kerugian materi dan psikis. Oleh karena itu, status dan frekuensi konflik perlu ditangani baik implementasi hukum maupun ketegasan aparat terhadap pelanggaran yang terjadi dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Hal ini sesuai dengan paradigma pengelolaan sumber daya perikanan berkelanjutan yaitu konservasi, rasional dan komunitas nelayan. Konflik dapat memberikan dampak positif terhadap pemulihan sumber daya, apabila konflik tersebut menyebabkan penurunan upaya penangkapan. Dalam keadaan yang sangat memaksa, kegiatan penangkapan dapat dihentikan, tetapi hal ini tidak akan bertahan lama, untuk itu sangat dibutuhkan resolusi konflik yang efektif dan dapat memberikan dampak positif, yaitu resolusi yang mampu mempererat masyarakat yang pada akhirnya akan menciptakan kesepakatan alokasi sumber daya yang lebih adil. 174 Resolusi yang direkomendasikan untk mengurangi intensitas konflik perikanan tangkap di perairan Bengkalis adalah sebagai berikut : 1 Masyarakat diberi hak untuk melakukan eksploitasi dan mengelola sumber daya perikanan tangkap berdasarkan wilayah adatnya serta pengakuan secara formal hak-hak ulayat ataupun hukum adat yang berlaku terutama dalam penyusunan kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya. 2 Memperkuat fungsi organisasi nelayan SNKB dengan melibatkan dalam pengelolaan, pemanfaatan sumber daya dan introduksi teknologi penangkapan, serta meningkatkan peran tokoh masyarakat sebagai faktor kunci dalam proses penanganan konflik yang selama ini belum banyak dilibatkan 3 Mekanisme pengaturan yang sistematis terhadap pemanfaatan sumber daya, seperti melakukan pengelolaan bersama antar desa dengan ketentuan yang disepakati bersama 4 Meningkatkan pengawasan terhadap pemanfaatan sumber daya ikan dari alat tangkap yang dapat menimbulkan konflik. SNKB, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis dan aparat hukum laut secara bersama-sama melakukan pengaturan dalam pemanfaatan sumber daya, seperti pengawasan bersama, pengaturan kapan dan alat tangkap apa yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya ikan di perairan Bengkalis, serta koordinasi antar pemerintah kabupaten dengan provinsi dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan yang diterapkan. Resolusi konflik diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap partisipasi nelayan dalam pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan dan akan semakin baik partisipasi nelayan dalam persepsi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya di perairan Bengkalis. Pendekatan yang baik dalam menyusun strategi resolusi konflik adalah dengan mengajak pihak-pihak yang berkepentingan berpartisipasi dalam mengembangkan pemahaman yang sama terhadap konflik, dinamikanya dan pengaruhnya terhadap masyarakat sehingga akan lebih mampu menginterpretasikan konflik yang ada, mengenali tanda-tanda meningkatnya konflik dan memperkirakan dampak konflik. 175 Resolusi konflik juga diharapkan dapat meminimalisir konflik yang telah terjadi dalam kurun waktu yang lama, karena pengembangan usaha perikanan tangkap akan terhambat jika konflik masih berlanjut.

6.6.3 Kelembagaan yang menangani konflik