nilai epistomologis tentang ketaktuntasan ilmu dan keterbukaan belajar bahkan kepada musuh sekalipun seperti berkali-kali diwasiatkan Ahmad Dahlan.
97
Guru merupakan salah satu unsur utama dalam sistem pendidikan yang menjadi penentu keberhasilan proses pendidikan, termasuk dilingkungan
perguruan Muhammadiyah. Namun, agak berbeda dengan posisi guru atau kyai dalam sistem pendidikan Islam tradisional dilingkungan Nahdhatul Ulama’ yang
memiliki posisi dan peran kunci di lembaga pendidikan pesantren, posisi guru dilingkungan perguruan Muhammadiyah sama seperti halnya posisi guru di
sekolah-sekolah swasta umum lainnya. Di lingkungan perguruan Muhammadiyah penentu kebijakan pendidikan adalah keputusan Majelis Pendidikan dan
Pengajaran atau ketentuan organisasi lainnya. Karena itu, kedudukan dan peran guru di sekolah Muhammadiyah lebih sebagai pelaksana kebijakan pendidikan
yang ditetapkan oleh Majelis Pendidikan dan Pengajaran. Hubungan guru-murid di perguruan Muhammadiyah berdasarkan norma bahwa murid harus berlaku
hormat pada guru sebagai wujud dari budi akhlak Islam.
98
Implementasi doktrin pendidikan dan belajar “jadi guru dan murid” dalam praktik pendidikan lebih mudah dipahami dari gagasan dasar Paulo Preire yang
lahir bersamaan dengan gerakan Muhammadiyah resmi berdiri pada tahun 1912. Doktrin ini mewarnai hampir seluruh kegiatan Muhammadiyah pada awal
kelahirannya, terutama ketika gerakan ini berada dalam kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan hingga beliau wafat.
99
Beberapa persyaratan kompetensi guru dalam Muhammadiyah mengacu pada kriteria seorang pendidik, seperti:
1 Menguasai materi,
2 Program pengajaran
3 Pengelolaan kelas
97
Ibid, h. 12
98
Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009, h. 100-101
99
Ibid, h.13
4 Menguasai landasan kependidikan
5 Strategi pembelajaran
6 Evaluasi pembelajaran, dan
7 Menguasai administrasi sekolah.
100
f. Evaluasi Pendidikan Islam
Mengenai evaluasi pendidikan Islam menurut Ahmad Dahlan penulis sendiri belum menemukannya secara rinci dari beberapa literatur yang telah penulis baca
yang berkiatan dengan Ahmad Dahlan, Muhammadiyah dan pemikiran pendidikannya. Disana hanya dijelaskan bahwa pembaharuan sistem pendidikan
Islam yang dilakukan Ahmad Dahlan terlihat dari “pengembangan bentuk pendidikan dari model pondok pesantren dengan menggunakan metode sorogan,
bandongan dan wetonan menjadi bentuk madrasah atau sekolah dengan menerapkan metode belajar secara klasikal”. Dengan sistem pendidikan seperti itu
Muhammadiyah telah mengenal rencana pelajaran yang teratur dan integral, sehingga hasil belajar lebih dapat di evaluasi.
101
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa evaluasi yang di maksud Ahmad Dahlan adalah evaluasi dalam pembelajaran yang relevan dan sesuai rencana
pembelajaran yang integral, mengenai bentuk evaluasinya secara pasti penulis belum menemukan. Yang pasti evaluasi itu harus dapat mengukur hasil belajar
yang sudah dilakukan oleh siswa.
C. Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Hasan al-Banna dan Ahmad
Dahlan tentang Pendidikan Islam
Seperti yang dideskripsikan sebelumnya bahwa Hasan al-Banna dan Ahmad Dahlan adalah dua tokoh pemikir pendidikan Islam yang berlainan negara,
berbeda kultur dan latar belakang pendidikan. Hasan al-Banna dibesarkan dikalangan orang-orang yang bergelut dengan ajaran sufi dan menikmati
100
Nurhayati Djamas, Loc. Cit, h. 101
101
Lihat pada penjelasan Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Dahlan point Materi Pendidikan Islam
pendidikan formal sampai perguruan tinggi yang berbasiskan keagamaan ajaran Islam. Sedangkan Ahmad Dahlan adalah seorang pemikir pendidikan Islam yang
lahir dikalangan keluarga yang memiliki basis agama yang kuat dan beliau juga tinggal di lingkungan yang memiliki nilai religiusitas yang kental dan kuat, namun
Ahmad Dahlan tidak menikmati pendidikan secara formal, karena beliau hidup pada masa penjajahan Belanda, karena pada waktu itu anak-anak yang masuk
sekolah pemerintahan Belanda akan di sebut sebagai “Kapir Landa” dan sebagai gantinya Ahmad Dahlan diajar langsung oleh ayah kandungnya. Setelah itu ia
belajar ke Mekkah dan berinteraksi langsung dengan beberapa pemikir Islam yang berpengaruh pada waktu itu. Salah satu pemikir yang sangat mempengaruhi alur
pemikirannya adalah Muhammad Abduh melalui tafsirnya al-Manar yang pada waktu itu menjadi kitab yang paling digenmari dn didalami oleh Ahmad Dahlan
selama belajar di Mekkah. Pada bagian ini akan dibahas mengenai bagaiamana ekuivalensi konsep
pendidikan Islam antara Hasan al-Banna dan Ahmad Dahlan, dengan itu nanti akan terlihat segi-segi kesamaan dan perbedaan pandangan kedua tokoh yang
berbeda latar belakang kehidupan dan pendidikan yang dilalui, akan tetapi sama- sama meniti dan menapaki jalan dakwah untuk membina umat di eranya masing-
masing. Ekuivalensi pemikiran pendidikan Islam antara Hasan al-Banna dan Ahmad
Dahlan dalam pendidikan Islam adalah sebagai berikut :
1. Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai asaspondasi pendidikan Islam
Salah satu kesamaan antara Hasan al-Banna dan Ahmad Dahlan terletak dalam pandangan yang sama terhadap keuniversalan kandungan al-
Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam dan pendidikan Islam. Keduanya melihat bahwa al-
Qur’an sebagai sebuah pedoman hidup yang lengkap dan merupakan marja’iyah dalam segala aspek kehidupan umat manusia. Namun yang membedakan
pemikiran kedua tokoh ini dalam hal asas pendidikan Islam, Hasan al-Banna memasukkan amaliyat sahabat sebagai salah satu asas dalam pendidikan Islam