Riwayat Hidup Ahmad Dahlan

Islam diminta untuk tinggal disekitar masjid dan diserahi tugas untuk memelihara dan memakmurkannya. Dari mereka inilah disebut-sebut sebagai cikal bakal penduduk asli Kampung Kauman. Maka, sangat wajar jika Ahmad Dahlan tumbuh menjadi seorang yang ahli agama, karena sejak kecil ia hidup dalam lingkungan yang didasari agama yang sangat kuat. 50 Selain itu, kehidupan ekonomi sehari-hari di lingkungan Kauman juga disibukkan dengan bakulan yang pada umumnya berdagang kain batik. Oleh sebab itu, jalinan hubungan dagang antarsaudagar kain batik dari berbagai kota sudah lama terbentuk di kalangan mereka. Sejalan dengan itu, di bidang keagamaan yang mereka tekuni pun turut membentuk terciptanya jaraingan ulama, kiai di kota-kota Jawa dan bahkan sampai ke luar Jawa. Begitulah suasana kehidupan masyarakat kampung Kauman yang religius, giat usaha, militan dalam agama, percaya diri dan penuh keramahan yang berlandaskan akhlak mulia, menjadi lahan yang subur untuk tumbuh dan berkembangnya jiwa kepribadian Muhammad Daswisy. 51 Menjelang dewasa Ahmad Dahlan mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya K.H. Muhammad Saleh ilmu fiqih, K.H. Muhsin Ilmu Nahwu, K.H.R. Dahlan ilmu falak, K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh ilmu hadis, Syekh Amin dan Sayyid Bakri Qira’at Qur’an, serta beberapa guru lainnya. Dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuatnya selalu merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya. 52 Setelah menyelasaikan pendidikan dasarnya di madarsah dan pesantren di Yogyakarta dan sekitarnya, ia berangkat ke Mekkah untuk pertama kali pada 50 Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, Jakarta : Best Media Utama, 2010, h.50 51 M. Yunan Yasin, dkk eds, Ensiklopedia Muhammadiyah, Jakarta : Kharisma Putra Utama Offset, 2005, h. 74 52 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta : Ciputat Pers, 2002, h. 101 1890,selama setahun ia belajar disana. Salah satu gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib, seorang pembaharu dari Minangkabau, Sumatra Barat. Selama belajar di Mekkah, tampaknya Tafsir Al-Manar yang dikarang oleh Muhammad Abduh, mendapat perhatian serius dan yang paling digemarinya. Tafsir ini memberikan cahaya terang dalam hatinya serta membuka akalnya untuk berpikir jauh ke depan tentang eksisitensi Islam di Indonesia, yang pada waktu itu masih sangat tertekan dari penjajahan Belanda. Ketika masih belajar di Mekkah itulah ia juga berkesempatan untuk dapat bertukar pikiran langsung dengan Rasyid Ridha yang dikenal sebagai seorang pembaharu Islam. Pengalamannya inilah yang mendorong ia tertantang untuk mengadakan perubahan-perubahan yang berarti dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin di tanah airnya Indonesia. 53 Sekitar tiga tahun kemudian, 1903, untuk kedua kalinya ia berkunjung ke Mekkah. Kali ini ia menetap lebih lama, yakni selama dua tahun. Diyakini bahwa selama ia tinggal di kota suci Mekkah, ia bertemu dengan ide-ide pembaruan Islam yang dipelpori Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. 54 Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasannya tentang universalitas Islam. Ide-ide tentang reintrepretasi Islam dengan gagasan kembali kepada al- Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khusus Ahmad Dahlan ketika itu. 55 Sepulang dari Mekkah, pada tahun 1889 M, saat itu ia berusia 24 tahun, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri anak Kiai penghulu Haji Fadhil, yang dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang pahlawan Nasional dan Pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu : Siti Johannah lahir 1890, Siraj Dahlan lahir 1898, Siti Busyro lahir 1903, Irfan Dahlan dan Siti Aisyah lahir kembar, tahun 1905 dan Siti Zuharoh lahir tahun 1908. Disamping itu Ahmad Dahlan pernah 53 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1996, h. 115 54 Abuddin Nata, Loc. Cit, h. 99 55 Samsul Nizar, Loc. Cit, h. 101 pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kiai Munawwir Krapyak. Ia juga mempunyai putra dari perkawinan dengan Ibu Nyai Aisyah Adik Adjengan Penghulu Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengann Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta. 56 Sebagai seorang ulama’, Ahmad Dahlan tidak melalaikan fungsinya selaku kepala keluarga. Untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, Ahmad Dahlan diberi modal oleh ayahnya untuk berdagang batik. Usaha batiknya ternyata mengalami kemajuan yang sangat pesat sehingga jangkauan pemasarannya mampu menembus daerah-daerah Jawa Barat, Jwa Timur bahkan Sumatra Utara. Bersamaan dengan perdgangan batik inilah Ahmad Dahlan menyebar luaskan gagasan-gasannya melalui perjumpaan serta dialog dengan berbagai tokoh Islam didaerah-daerah yang ia kunjungi. 57 Ahmad Dahlan bukan seorang penulis. Oleh karena itu, gagasan-gagasan pemikirannya ia sampaikan secara lisan dan karya nyata. Untuk itulah ia lebih dikenal sebagai pelaku dibandingkan sebagai pemikir. 58 Selain berdagang, pada hari-hari tertentu Ahmad Dahlan memberikan pengajian kepada beberapa kelompok orang, terutama pada sekelompok murid pendidikan guru pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan madrasah dengan memakai bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam lingkungan kraton Yogyakarta, namun usaha ini gagal. Selanjutnya pada tanggal 1 desember 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah sekolah dasar dalam lingkungan keraton Yogyakarta. Disekolah ini pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini dapat dikatakan sebagai sekolah Islam swasta pertama yang memenuhi 56 Hery Sucipto, Op. Cit, h. 52 57 Weinata Sairin, Op. Cit, h. 44 58 Abuddin Nata, Loc. Cit, h. 99 persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah dan kemudian mendapat subsidi tersebut. 59 Pada tahun 1896 sang ayah K.H. Abu Bakar yang dicintainya berpulang berpulang ke Rahmatullah. 60 Sesudah ayahnya meninggal, tahun 1890, maka Ahmad Dahlan ditetapkan sebagai pengganti kedudukan ayahnya, yaitu sebagai Khatib di Masjid Agung Kauman Yogyakarta. Semasa menjabat sebagai khatib, Ahmad Dahlan berusaha menerangkan arah kiblat sholat sebenarnya. Usaha-usaha untuk menyebarkan informasi tersebut dilakukannya dengan mengundang 17 ulama untuk menyepakati persoalan kiblat sholat di surau Khatib Amin. Meskipun pada akhirnya tidak memperoleh kesepakatan, namun sudah dianggap mendapat kemajuan positif dalam menjalankan musyawarah yang sopan dan tidak menimbulkan pertikaian. Persoalan arah kiblat ini menunjukkan sikap Ahmad Dahlan dalam memahami ajaran Islam. Beliau mencoba meluruskan cara-cara beribadah menurut contoh ataupun yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Paham Ahmad Dahlan yang melaksanakan ibadah beradasarkan kesadaran yag tumbuh dari dalam pribadinya. 61 Djarnawi Hadikusuma dalam bukunya Matahari-matahari Muhammadiyah melukiskan sosok Ahmad Dahlan sebagai berikut : Orangnya kurus dan agak tinggi, raut mukanya bulat telur dan kulitnya hitam manis. Hidungnya mancung dengan bibir elok bentuknya, kumis dan janggutnya rapih. Kacamata selalu melekat di depan matanya yang tenang dan dalam. Pandangan matanya lunak dan tenang tetapi menembus hati siapa yang dipandangnya. Cahaya matanya memancarkan kasih mesra dan keikhlasan yang tiada taranya, dan sinar yang tenang menandakan kedalaman ilmunya, terutama dalam bidang tasawuf. Gerak-geriknya lamban tetapi pasti dan terarah. Seolah-seolah setiap gerak telah dipikirkan masak-masak. Dari gelembung dibawah kedua matanya dapat ditandai bahwa dia kurang tidur malam, asyik membaca atau berpikir serta bedzikir kepada Allah. Dalam hal berpakaian sangat sederhana namun bersih. Bersarung palikat yang dililitkan tinggi dari atas mata kaki, mengenakan baju jas tutup bewarna putih, kepalanya berlilitkan sorban yang pantas letaknya. Kesemuanya itu menggambarkan 59 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001, h.204 60 Hery Sucipto, Loc. Cit, h. 52 61 Hery Sucipto, Op. Cit, h. 53 pribadinya sebagai manusia takwa kepada Allah, serba teliti dan hati-hati dalam setiap perkataan dan perbuatan. 62 Ketika berusia 40 tahun, yakni pada tahun 1909 Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah, ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, Ahmad Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu, karena anggota-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja disekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berharap dapat mengajarkan pelajaran agama disekolah-sekolah pemerintah. Rupanya, pelajaran dan cara mengajar agama yang diberikan Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan Ahmad Dahlan membuka sendiri sekolah secara terpisah. 63 Ahmad Dahlan melihat bahwa organisasi Jamiatul Khair yang didirikan di Jakarta 17 Juli 1905, memiliki hubungan dengan Timur Tengah, maka ia yang haus akan informasi serta perintisan hubungan dengan Timur Tengah, memasuki organisasi itu. Ahmad Dahlan berhasil berkenalan dengan Syeikh Ahmad Surkati, yang didatangkan oleh Jamiatul Khair dari Mesir tahun 1911. Keduanya saling berjanji untuk mendirikan organisasi kader dalam upaya mendukung cita-cita kemajuan Islam. Ahmad Dahlan juga memasuki organisasi Sarekat Islam, ketika organisasi itu didirikan tahun 1911 di Sala dan pernah menjadi anggota Panitia Tentara Pembela Kanjeng Nabi Muhammad, sebuah organisasi yang di dirikan di Sala untuk menghadapi golongan yang menghina Nabi Muhammad SAW. 64 Ide pembaharuannya yang berhembus dari Timur Tengah sangat menggelitik hatinya, terutama bila melihat kondisi dinamika umat Islam Indonesia yang cukup stagnan. Untuk itu, atas saran beberapa murid Boedi Oetomo, maka dia merasa perlu untuk merealisasikan ide pembaharuannya melalui sebuah organisasi keagamaan yang permanen. Untuk itu ia mendirikan organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta. Tujuan organisasi ini adalah 62 Djarnawi Hadikusuma, Matahari-matahari Muhammadiyah, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2010, h. 3-4 63 Abuddin Nata, Op. Cit, h. 100 64 Weinata Sairin, Op. Cit, h. 45 “menyebarkan pengajaran Rasulullah kepada penduduk bumiputera dan memajukan hal agama Islam kepada anggota- anggotanya”. Untuk mencapai maksud ini, Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan tingkat dasar sampai pergutuan tinggi, mengadakan rapat-rapat dan tabligh, mendirikan badan wakaf dan masjid, serta menerbitkan buku-buku, brosur, surat kabar dan majalah. Untuk menjaga tekad dan semangatnya yang tidak kunjung padam dan untuk menjaga agar tidak gentar menghadapi segala tentangan, beliau antara lain menulis hadist Nabi ditembok rumahnya, yang artinya : “Niscaya orang yang berpegang teguh pada sunnahku ketika umatku telah rusak, ibarat seorang yang menggenggam bara api ”, dan dibawahnya diberi komentar sebagai berikut : “Karena tidak ada orang yang mendukung dan menyetujuinya”. Begirulah kerasnya semangat dan keyakinan dalam berjuang menegakkan dan menyiarkan Islam, hingga akhirnya berhasil menanamkan jiwa dan amalan agama yang bersih dan lurus sebagaimana yang ditentukan oleh al- Qur’an dan as-Sunnah. 65 Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 23 Februari 1923 di Kauman- Yogyakarta, sesudah menderita sakit beberapa waktu lamanya. Hingga akhir hayatnya, semangat serta dinamikanya dalam membangun umat sangat berapi-api, sehingga ia melupakan kesehatannya sendiri. Jasanya yang besar diberbagai bidang diakui oleh pemerintah ketika Presiden Soekarno dalam Surat Keputusan No. 675 tahun 1961, tanggal 27 Desember, menetapkan Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional. Konteks sosial di mana Ahmad Dahlan hidup mencerminkan tiga hal, yaitu modernisme, tradisionalisme, dan Jawaisme. Menghadapi modernisme, Ahmad Dahlan menyikapinya dengan mendirikan sekolah-sekolah model Barat. Tradisionalisme disikapi Ahmad Dahlan dengan metode tabligh, yaitu mengunjungi murid-muridya untuk melakukan pengajian. Pada masa itu, guru mencari murid merupakan aib sosial-budaya, tetapi Ahmad Dahlan melakukannya sebagai perbuatan yang luar biasa. Dari tabligh semacam ini, paling tidak 65 Musthafa Kamal Pasha, dkk, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Tajdid, Yogyakarta : Citra Karsa Mandiri, 2003, h. 59 memiliki implikasi sebagai perlawanan terhadap paham pemujaan tokoh idolatry dan perlawanan terhadap mistifikasi agama. Sedangkan menghadapi Jawaisme, disikapi Ahmad Dahlan dengan metode positive action yang mengedepankan amar ma’ruf nahi munkar. Ahmad Dahlan dengan metode ini menekankan bahwa keberuntungan hidup semata-mata merupakan kehendak Tuhan yang diperoleh manusia melalui sholat, bukan melalui jimat, pengkeramatan kuburan atau memelihara takhayul. Ketiga sikap dan respons Ahmad Dahlan terhadap konteks sosial masa itu dilakukan Ahmad Dahlan sebagai wujud dari keinginannya untuk melakukan pembaruan. 66

2. Riwayat Pendidikan Ahmad Dahlan

Pada saat usianya memasuki usia sekolah, Ahmad Dahlan tidak disekolahkan di sekolah formal, melainkan diasuh dan dididik mengaji al- Qur’an dan dasar- dasar ilmu agama Islam oleh ayahnya sendiri di rumah. Pada usia delapan tahun ia telah lancar membaca al- Qur’an hingga khatam. Tidak hanya itu, ia juga mempunyai keahlian membuat barang-barang kerajinan dan mainan. Seperti anak laki-laki yang lain, Dahlan kecil juga sangat senang bermain layang-layang dan gasing. Seiring dengan perkembangan usia yang semakin bertambah, ia pun mulai belajar ilmu agama Islam tingkat lanjut, tidak hanya sekedar membaca al- Qur’an. Kemudian ia belajar fiqih kepada KH. M. Shaleh dan nahwu kepada KH. Muhsin keduanya masih kakak ipar Ahmad Dahlan sendiri. Ia juga berguru kepada KH. Muhammad Nur dan KH. Abdul Hamid dalam berbagai ilmu. Pengetahuan dalam ilmu falaq diperoleh dari gurunya yang lain yaitu KH. Raden Dahlan Putra Kiai Termas. 67 Doktrin yang di ajarkan oleh Ahmad Dahlan dimaksudkan sebagai pelurus atau pemurnian tauhid agama dari unsur-unsur tradisi keagamaan. Kalangan 66 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2011, h. 306, lihat pula di Kuntowijoyo, Jalan Baru Muhammadiyah” pengantar untuk Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani, cet.1, Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya, 2000, h. xii-xvi. 67 Hery Sucipto, Op. Cit, h. 57 Muhammadiyah menyebutnya sebagai penyakit TBC takhayul, bid’ah dan churafat. Seperti setiap malam pada tujuh malam pertama kematian dibacakan tahlil dan malam ketujuh diselenggarakan kenduru, malam ke-49, ke-100, malam satu tahun, malam dua tahun dan malam ke-1000 di adakan selamatan. 68 Hal yang demikian itulah yang juga dilakukan Wali Songo ketika mengislamkan tanah Jawa. Tugas itu bukanlah ringan, mengingat ajaran animisme, Hindu dan Budha sudah begiru mengakar. Agar Islam bisa di terima masyarakat, para Wali terpaksa menggunakan idiom-idiom budaya serta agama setempat. Misalnya saja penggunaan gamelan untuk mengumpulkan masyarakat, bedug untuk menyeru orang melaksanakan sholat, selamatan untuk memperingati orang yang meninggal dunia dan seterusnya. 69 Karena masyarakat Jawa pada waktu itu berkeyakinan bahwa, slametan bayi dan kematian serta tahlilan yang lahiriah diberi nilai batin dan peran kekuatan roh dirasionalisasi sebagai kekuatan dalam bentuk “perkenan” Tuhan dan fungsi tradisional magis yang sama. 70 Para Wali Songo belum sempat menegakkan hukum Islam secara ketat sebagaimana dilakukan Rasulullah saat di Madinah. Penyakit TBC ini juga diperparah oleh kedatangan kaum penjajah. Mereka sengaja memelihara penyakit masyarakat itu, tujuannya agar umat Islam ternina bobokkan tidak memberontak. 71 Melihat kondisi umatnya yang seperti itu, Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji sangat gundah. Namun itu tidak muncul serta merta. Sebagaimana umumnya anak pada zaman itu, Ahmad Dahlan juga menimba ilmu ke banyak Kyai. Pengetahuan agama Islam Ahmad Dahlan juga diperoleh dengan membaca sejumlah referensi dari tokoh dan pemikir pembaruan Islam dari Timur Tengah, 68 Hery Sucipto Najmuddin Ramly, Tajdid Muhammadiyah Dari Ahmad Dahlan Hingga Amien Raies dan Syafii Maarif, Jakarta : Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu, 2005, h. 22 69 Ibid,h.24 70 Abdul Munir Mulkhan, Marhaenis Muhammadiyah Ajaran Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan, Yogyakarta : Galang Pustaka, 2013, h. 188 71 Hery Sucipto Najmuddin Ramly, Loc. Cit. h. 24 seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Bin Abdul Wahab, Muhammad Rasyid Ridha dan lainya. 72 Berdasarkan koleksi buku-buku yang ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan, sebagian besar adalah buku yang dipengaruhi oleh ide-ide pembaharuan. Diantara buku- buku yang sering dibaca Ahmad Dahlan antara lain : “Kosalatul Tauhid” dan “Tafsir Juz Amma,” “Al-Islam wa al-Nashraniyah” Muhammad Abduh; “Khanz al-Ulum” dan “Dairah al-Ma’arif” Farid Wajdi, “Fi al-Bid’ah” dan “al- Tawassul wa al-Wasilah ” Ibnu Taimiyah; “Izhar al-Haq” Rahmah al-Hindi, “Tafshil al-Nasyatain Tashil al Sa’adatain,” “Matan al-Hikmah” Atha Allah dan “Al-Qashaid al-Aththasiyyah” Abd al-Aththas. 73 Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam belajar, sosok Ahmad Dahlan pada waktu itu dikenal sebagai seorang ulama’ oleh kiai-kiai lain. Hal ini disebabkan karena Ahmad Dahlan tidak pernah merasa puas dengan hanya belajar dari satu guru. Berbagai guru dari beragam disiplin ilmu sudah ia temui. Guru-gurunya antara lain : KH. Abu Bakar ayahnya; KH. Muhammad Shaleh kakak iparnya; Ilmu Fiqih KH. Muchsin; Ilmu Nahwu KH. Abdul hamid; Ilmu Falaq KH. Raden Dahlan; Ilmu Fiqih dan Hadis Kiai Machfud guru ilmu falaq, fiqih dan hadis keduanya dari Pesantren Termas; Ilmu Hadis Syaikh Khayyat; Qiroatul Qur’an Syekh Amin dab Sayyid Bakri Satock, Ilmu Pengobatan dan Racun Syekh Hasan; Ilmu Hadis Sayyid Baabussijil; Ilmu Hadis Mufti Syafi’i; Qiroatul Qur’an dan Ilmu Falaq Kiai Asy’ari Baceyan dan Syekh Misri Mekkah. 74

3. Karya-karya Ahmad Dahlan

Berbeda dengan Hasan al-Banna yang meninggalkan banyak karya tulis berupa buku-buku. Ahmad Dahlan adalah seorang tokoh pendidikan yang tidak meninggalkan karya berupa tulisan. Ahmad Dahlan bukanlah seorang penulis 72 Ibid, h. 5 73 Ibid, h. 59 74 Ibid, h.60-61 sebagaimana pemikir lainnya. Gagasan-gagasan pemikirannya ia sampaikan secara lisan dan karya nyata. Untuk itu ia lebih dikenal sebagai pelaku dibanding pemikir. 75 Atau kita kenal dengan sebutan “Man of Action”. Amal usahanya yang begitu banyak diantaranya dalam bidang pendidikan, kesehatan, dakwah dan panti sosial. Ini sesuai yang dikatakan oleh Alfian dalam disertasinya, Ahmad Dahlan adalah sosok man of action, dia made history for his works than his words. Karena Ahmad Dahlan tidak pernah menorehkan gagasan pembaharuannya dalam warisan tertulis, tetapi lebih pada karya dan aksi sosial nyata. Sehinga Ahmad Dahlan lebih dikenal sebagai sosok pembaharu yang pragmatis. 76

4. Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Dahlan

Muhammadiyah merupakan organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan adalah salah satu organisasi Islam yang menekankan perbaikan hidup beragama dengan menggiatkan amal-amal pendidikan dan sosial. Dengan adanya kegiatan di bidang tersebut, diharapkan akan lahir intelektual ulama seorang yang pandai dalam ilmu umum dan mengerti soal-soal keagamaan. 77 Ada satu hal yang menarik dari Ahmad Dahlan, sungguhpun titik berangkat keprihatinanya adalah penjajahan bangsa barat atas umat Islam, namun Ahmad Dahlan tidak menutup diri untuk mengadopsi sistem pendidikan Barat. Ini menunjukkan bahwa beliau memiliki sikap arif dan jernih dalam melihat dan memilah persoalan. Barat harus dimusushi sebagai penjajah, namun harus dikawani sebagai peradaban. 78 Dibawah ini akan dijelaskan secara mendalam tentang pemikiran pendidikan Islam Ahmad Dahlan yang mencaku asaspondasi, tujuan, materi, pendidik peserta didik serta evaluasi dalam pendidikan Islam.

a. Asas Pondasi Pendidikan Islam

Menurut Ahmad Dahlan, pelaksanaan pendidikan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh yaitu al- Qur’an dan sunnah. Landasan ini merupakan 75 Abuddin Nata, Loc. Cit, h. 99 76 Pradana Boy ZTF dkk Eds, Era Baru Gerakan Muhamamdiyah, Malang : UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2008, h. 15 77 Syarifuddin Jurdi, dkk eds, 1Abad Muhammadiyah, Jakarta : Kompas, 2010, h. 100 78 Tarmizi Taher, Muhammadiyah sebagai Tenda Bangsa, Jakarta : Penerbit Grafindo Khazanah Ilmu, 2005, h.78