Riwayat Hidup Ahmad Dahlan
Islam diminta untuk tinggal disekitar masjid dan diserahi tugas untuk memelihara dan memakmurkannya. Dari mereka inilah disebut-sebut sebagai cikal bakal
penduduk asli Kampung Kauman. Maka, sangat wajar jika Ahmad Dahlan tumbuh menjadi seorang yang ahli agama, karena sejak kecil ia hidup dalam
lingkungan yang didasari agama yang sangat kuat.
50
Selain itu, kehidupan ekonomi sehari-hari di lingkungan Kauman juga disibukkan dengan bakulan yang pada umumnya berdagang kain batik. Oleh
sebab itu, jalinan hubungan dagang antarsaudagar kain batik dari berbagai kota sudah lama terbentuk di kalangan mereka. Sejalan dengan itu, di bidang
keagamaan yang mereka tekuni pun turut membentuk terciptanya jaraingan ulama, kiai di kota-kota Jawa dan bahkan sampai ke luar Jawa. Begitulah suasana
kehidupan masyarakat kampung Kauman yang religius, giat usaha, militan dalam agama, percaya diri dan penuh keramahan yang berlandaskan akhlak mulia,
menjadi lahan yang subur untuk tumbuh dan berkembangnya jiwa kepribadian Muhammad Daswisy.
51
Menjelang dewasa Ahmad Dahlan mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya K.H. Muhammad
Saleh ilmu fiqih, K.H. Muhsin Ilmu Nahwu, K.H.R. Dahlan ilmu falak, K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh ilmu hadis, Syekh Amin dan Sayyid Bakri
Qira’at Qur’an, serta beberapa guru lainnya. Dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya
yang tinggi membuatnya selalu merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.
52
Setelah menyelasaikan pendidikan dasarnya di madarsah dan pesantren di Yogyakarta dan sekitarnya, ia berangkat ke Mekkah untuk pertama kali pada
50
Hery Sucipto, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, Jakarta : Best Media Utama, 2010, h.50
51
M. Yunan Yasin, dkk eds, Ensiklopedia Muhammadiyah, Jakarta : Kharisma Putra Utama Offset, 2005, h. 74
52
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta : Ciputat Pers, 2002, h. 101
1890,selama setahun ia belajar disana. Salah satu gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib, seorang pembaharu dari Minangkabau, Sumatra Barat.
Selama belajar di Mekkah, tampaknya Tafsir Al-Manar yang dikarang oleh Muhammad Abduh, mendapat perhatian serius dan yang paling digemarinya.
Tafsir ini memberikan cahaya terang dalam hatinya serta membuka akalnya untuk berpikir jauh ke depan tentang eksisitensi Islam di Indonesia, yang pada waktu itu
masih sangat tertekan dari penjajahan Belanda. Ketika masih belajar di Mekkah itulah ia juga berkesempatan untuk dapat bertukar pikiran langsung dengan
Rasyid Ridha yang dikenal sebagai seorang pembaharu Islam. Pengalamannya inilah yang mendorong ia tertantang untuk mengadakan perubahan-perubahan
yang berarti dalam kehidupan keagamaan kaum muslimin di tanah airnya Indonesia.
53
Sekitar tiga tahun kemudian, 1903, untuk kedua kalinya ia berkunjung ke Mekkah. Kali ini ia menetap lebih lama, yakni selama dua tahun. Diyakini bahwa
selama ia tinggal di kota suci Mekkah, ia bertemu dengan ide-ide pembaruan Islam yang dipelpori Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha.
54
Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasannya tentang universalitas Islam. Ide-ide tentang reintrepretasi Islam
dengan gagasan kembali kepada al- Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian
khusus Ahmad Dahlan ketika itu.
55
Sepulang dari Mekkah, pada tahun 1889 M, saat itu ia berusia 24 tahun, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri anak Kiai penghulu Haji Fadhil,
yang dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang pahlawan Nasional dan Pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan
mendapat enam orang anak yaitu : Siti Johannah lahir 1890, Siraj Dahlan lahir 1898, Siti Busyro lahir 1903, Irfan Dahlan dan Siti Aisyah lahir kembar, tahun
1905 dan Siti Zuharoh lahir tahun 1908. Disamping itu Ahmad Dahlan pernah
53
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1996, h. 115
54
Abuddin Nata, Loc. Cit, h. 99
55
Samsul Nizar, Loc. Cit, h. 101
pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kiai Munawwir Krapyak. Ia juga mempunyai putra dari perkawinan
dengan Ibu Nyai Aisyah Adik Adjengan Penghulu Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengann Nyai Yasin Pakualaman
Yogyakarta.
56
Sebagai seorang ulama’, Ahmad Dahlan tidak melalaikan fungsinya selaku kepala keluarga. Untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, Ahmad Dahlan
diberi modal oleh ayahnya untuk berdagang batik. Usaha batiknya ternyata mengalami kemajuan yang sangat pesat sehingga jangkauan pemasarannya
mampu menembus daerah-daerah Jawa Barat, Jwa Timur bahkan Sumatra Utara. Bersamaan dengan perdgangan batik inilah Ahmad Dahlan menyebar luaskan
gagasan-gasannya melalui perjumpaan serta dialog dengan berbagai tokoh Islam didaerah-daerah yang ia kunjungi.
57
Ahmad Dahlan bukan seorang penulis. Oleh karena itu, gagasan-gagasan pemikirannya ia sampaikan secara lisan dan karya
nyata. Untuk itulah ia lebih dikenal sebagai pelaku dibandingkan sebagai pemikir.
58
Selain berdagang, pada hari-hari tertentu Ahmad Dahlan memberikan pengajian kepada beberapa kelompok orang, terutama pada sekelompok murid
pendidikan guru pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan madrasah dengan memakai bahasa Arab sebagai bahasa pengantar dalam
lingkungan kraton Yogyakarta, namun usaha ini gagal. Selanjutnya pada tanggal 1 desember 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah sekolah dasar dalam
lingkungan keraton Yogyakarta. Disekolah ini pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini
dapat dikatakan sebagai sekolah Islam swasta pertama yang memenuhi
56
Hery Sucipto, Op. Cit, h. 52
57
Weinata Sairin, Op. Cit, h. 44
58
Abuddin Nata, Loc. Cit, h. 99
persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah dan kemudian mendapat subsidi tersebut.
59
Pada tahun 1896 sang ayah K.H. Abu Bakar yang dicintainya berpulang berpulang ke Rahmatullah.
60
Sesudah ayahnya meninggal, tahun 1890, maka Ahmad Dahlan ditetapkan sebagai pengganti kedudukan ayahnya, yaitu sebagai
Khatib di Masjid Agung Kauman Yogyakarta. Semasa menjabat sebagai khatib, Ahmad Dahlan berusaha menerangkan arah kiblat sholat sebenarnya. Usaha-usaha
untuk menyebarkan informasi tersebut dilakukannya dengan mengundang 17 ulama untuk menyepakati persoalan kiblat sholat di surau Khatib Amin. Meskipun
pada akhirnya tidak memperoleh kesepakatan, namun sudah dianggap mendapat kemajuan positif dalam menjalankan musyawarah yang sopan dan tidak
menimbulkan pertikaian. Persoalan arah kiblat ini menunjukkan sikap Ahmad Dahlan dalam memahami ajaran Islam. Beliau mencoba meluruskan cara-cara
beribadah menurut contoh ataupun yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW. Paham Ahmad Dahlan yang melaksanakan ibadah beradasarkan kesadaran yag
tumbuh dari dalam pribadinya.
61
Djarnawi Hadikusuma dalam bukunya Matahari-matahari Muhammadiyah melukiskan sosok Ahmad Dahlan sebagai berikut :
Orangnya kurus dan agak tinggi, raut mukanya bulat telur dan kulitnya hitam manis. Hidungnya mancung dengan bibir elok bentuknya, kumis dan
janggutnya rapih. Kacamata selalu melekat di depan matanya yang tenang dan dalam. Pandangan matanya lunak dan tenang tetapi menembus hati siapa yang
dipandangnya. Cahaya matanya memancarkan kasih mesra dan keikhlasan yang tiada taranya, dan sinar yang tenang menandakan kedalaman ilmunya,
terutama dalam bidang tasawuf. Gerak-geriknya lamban tetapi pasti dan terarah. Seolah-seolah setiap gerak telah dipikirkan masak-masak. Dari
gelembung dibawah kedua matanya dapat ditandai bahwa dia kurang tidur malam, asyik membaca atau berpikir serta bedzikir kepada Allah. Dalam hal
berpakaian sangat sederhana namun bersih. Bersarung palikat yang dililitkan tinggi dari atas mata kaki, mengenakan baju jas tutup bewarna putih, kepalanya
berlilitkan sorban yang pantas letaknya. Kesemuanya itu menggambarkan
59
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001, h.204
60
Hery Sucipto, Loc. Cit, h. 52
61
Hery Sucipto, Op. Cit, h. 53
pribadinya sebagai manusia takwa kepada Allah, serba teliti dan hati-hati dalam setiap perkataan dan perbuatan.
62
Ketika berusia 40 tahun, yakni pada tahun 1909 Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah, ia memasuki perkumpulan Budi Utomo.
Melalui perkumpulan ini, Ahmad Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu, karena anggota-anggota Budi
Utomo pada umumnya bekerja disekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berharap dapat mengajarkan pelajaran agama disekolah-sekolah
pemerintah. Rupanya, pelajaran dan cara mengajar agama yang diberikan Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka
menyarankan Ahmad Dahlan membuka sendiri sekolah secara terpisah.
63
Ahmad Dahlan melihat bahwa organisasi Jamiatul Khair yang didirikan di Jakarta 17 Juli 1905, memiliki hubungan dengan Timur Tengah, maka ia yang
haus akan informasi serta perintisan hubungan dengan Timur Tengah, memasuki organisasi itu. Ahmad Dahlan berhasil berkenalan dengan Syeikh Ahmad Surkati,
yang didatangkan oleh Jamiatul Khair dari Mesir tahun 1911. Keduanya saling berjanji untuk mendirikan organisasi kader dalam upaya mendukung cita-cita
kemajuan Islam. Ahmad Dahlan juga memasuki organisasi Sarekat Islam, ketika organisasi itu didirikan tahun 1911 di Sala dan pernah menjadi anggota Panitia
Tentara Pembela Kanjeng Nabi Muhammad, sebuah organisasi yang di dirikan di Sala untuk menghadapi golongan yang menghina Nabi Muhammad SAW.
64
Ide pembaharuannya yang berhembus dari Timur Tengah sangat menggelitik hatinya, terutama bila melihat kondisi dinamika umat Islam Indonesia yang cukup
stagnan. Untuk itu, atas saran beberapa murid Boedi Oetomo, maka dia merasa perlu untuk merealisasikan ide pembaharuannya melalui sebuah organisasi
keagamaan yang permanen. Untuk itu ia mendirikan organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta. Tujuan organisasi ini adalah
62
Djarnawi Hadikusuma, Matahari-matahari Muhammadiyah, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2010, h. 3-4
63
Abuddin Nata, Op. Cit, h. 100
64
Weinata Sairin, Op. Cit, h. 45
“menyebarkan pengajaran Rasulullah kepada penduduk bumiputera dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-
anggotanya”. Untuk mencapai maksud ini, Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan tingkat dasar
sampai pergutuan tinggi, mengadakan rapat-rapat dan tabligh, mendirikan badan wakaf dan masjid, serta menerbitkan buku-buku, brosur, surat kabar dan majalah.
Untuk menjaga tekad dan semangatnya yang tidak kunjung padam dan untuk menjaga agar tidak gentar menghadapi segala tentangan, beliau antara lain
menulis hadist Nabi ditembok rumahnya, yang artinya : “Niscaya orang yang berpegang teguh pada sunnahku ketika umatku telah rusak, ibarat seorang yang
menggenggam bara api ”, dan dibawahnya diberi komentar sebagai berikut :
“Karena tidak ada orang yang mendukung dan menyetujuinya”. Begirulah kerasnya semangat dan keyakinan dalam berjuang menegakkan dan menyiarkan
Islam, hingga akhirnya berhasil menanamkan jiwa dan amalan agama yang bersih dan lurus sebagaimana yang ditentukan oleh al-
Qur’an dan as-Sunnah.
65
Ahmad Dahlan meninggal pada tanggal 23 Februari 1923 di Kauman- Yogyakarta, sesudah menderita sakit beberapa waktu lamanya. Hingga akhir
hayatnya, semangat serta dinamikanya dalam membangun umat sangat berapi-api, sehingga ia melupakan kesehatannya sendiri. Jasanya yang besar diberbagai
bidang diakui oleh pemerintah ketika Presiden Soekarno dalam Surat Keputusan No. 675 tahun 1961, tanggal 27 Desember, menetapkan Ahmad Dahlan sebagai
Pahlawan Nasional. Konteks sosial di mana Ahmad Dahlan hidup mencerminkan tiga hal, yaitu
modernisme, tradisionalisme, dan Jawaisme. Menghadapi modernisme, Ahmad Dahlan menyikapinya dengan mendirikan sekolah-sekolah model Barat.
Tradisionalisme disikapi Ahmad Dahlan dengan metode tabligh, yaitu mengunjungi murid-muridya untuk melakukan pengajian. Pada masa itu, guru
mencari murid merupakan aib sosial-budaya, tetapi Ahmad Dahlan melakukannya sebagai perbuatan yang luar biasa. Dari tabligh semacam ini, paling tidak
65
Musthafa Kamal Pasha, dkk, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Tajdid, Yogyakarta : Citra Karsa Mandiri, 2003, h. 59
memiliki implikasi sebagai perlawanan terhadap paham pemujaan tokoh idolatry dan perlawanan terhadap mistifikasi agama. Sedangkan menghadapi Jawaisme,
disikapi Ahmad Dahlan dengan metode positive action yang mengedepankan amar ma’ruf nahi munkar. Ahmad Dahlan dengan metode ini menekankan bahwa
keberuntungan hidup semata-mata merupakan kehendak Tuhan yang diperoleh manusia melalui sholat, bukan melalui jimat, pengkeramatan kuburan atau
memelihara takhayul. Ketiga sikap dan respons Ahmad Dahlan terhadap konteks sosial masa itu dilakukan Ahmad Dahlan sebagai wujud dari keinginannya untuk
melakukan pembaruan.
66