Implikasi Kebijakan HASIL DAN PEMBAHASAN

133 pencapaian tujuan pengelolaan secara keseluruhan. Tekanan pemerintah memiliki pengaruh besar untuk pengembangan kebijakan perlindungan lingkungan sukarela. Pemerintah dapat memiliki daya tawar tinggi untuk mendorong perusahaan menerapkan sistem manajemen lingkungan. Kebijakan insentif seperti penurunan pajak atau subsidi penguatan kapasitas bagi perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan yang baik. Disinsentif dapat dikembangkan melalui mekanisme pengaturan liabilitas lingkungan. Tentu saja kebijakan insentif dan disinsentif diperkuat dengan perjanjian voluntary sebagaimana dilakukan di banyak negara seperti Negara Uni Eropa. Pengembangan infrastruktur kelembagaan dan institusional pendekatan sukarela kelihatannya dapat meningkatkan pengakuan masyarakat termasuk investor. Independensi lembaga dan transparansi pelaksanaan perlu dikembangkan dalam infrastuktur termasuk memberi ruang bagi stakeholder dalam pengembangan infrastuktur ini. Sementara dari sisi pendanaan, pengelola PLTA berperan aktif sebagai leading sektor secara operasional menyisihkan sebagain keuntungannya untuk pengelolaan secara berkelanjutan. Mekanisme yang digunakan melalui biaya sukarela Corporate Sosial Responsibility – CSR maupun skema pengelolaan nilai jasa lingkungan lainnya berdasarkan kesadaran dan partisipasi semua pihak.

4.9 Implikasi Kebijakan

Hasil analisis statistik dan analisis spasial menunjukkan bahwa terjadi dinamika kualitas air dan penggunaan lahan di lokasi dan sekitar PLTA. Implementasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela bisa diterapkan guna mencapai keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya air di PLTA tersebut. Berdasarkan analisis stakeholder, terdapat berbagai pihak stakeholder yang berkepentingan dengan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA. Kondisi penggunaan lahan dan kualitas air menjadi dasar penyusunan kebijakan perlindungan dan pengelolaan yang akan dijalankan oleh stakeholder terkait di lapangan. Selain itu, kebijakan dan pengelola yang akan terlibat harus memenuhi regulasi yang sesuai dengan 134 hasil legal review terhadap regulasi terkait perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela. Kebijakan tersebut dilengkapi dengan berbagai prioritas kebijakan berdasarkan pandangan para pakar knowledge based yang diperoleh dari hasil proses hirarki analitik AHP. Hasil berbagai analisis tersebut dijadikan sintesa untuk menyusun kebijakan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela. Implementasi kebijakan ini akan berimplikasi terhadap berbagai aspek yang perlu dikaji secara cermat dan komprehensif. Implikasi penerapan kebijakan tersebut mendorong perlunya penyusunan strategi untuk memperkuat sistem yang telah dirancang guna meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan. Manajemen konsensus perlu dilakukan secara implementatif dalam menentukan keputusan bersama berdasarkan kesepakatan antar pihak guna mencapai tujuan bersama. Hal ini untuk mengeliminasi ketidaksetaraan, ego sektoral dan konflik kepentingan di antara para pihak yang terkait pengelolaan sumberdaya air PLTA. Pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar PLTA menjadi fokus utama dalam menjalankan kebijakan pengelolaan sumberdaya air. Penyusunan tahapan program dan penanggung jawabnya secara jelas dan transparan berdasarkan kesepakatan akan menghasilkan implementasi yang optimal saat pelaksanaannya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah arti penting sumberdaya air sebagai bagian dari ekosistem yang menyeluruh di wilayah PLTA. Meskipun visi dan misi utama pengelola PLTA adalah memproduksi listrik sesuai target yang telah dicanangkan, tetapi perlu diingat dampak dari eksploitasi sumberdaya air tersebut. Pemahaman tentang dampak lingkungan bisa membawa pengelolaan ke arah yang lebih berkelanjutan dengan memperhatikan aspek-aspek lainnya yang terkait. Produksi yang berlimpah untuk meningkatkan nilai ekonomi juga harus memperhatikan aspek lainnya, seperti aspek sosial dan lingkungan. Keuntungan pada aspek ekonomi harus bisa mendorong perbaikan aspek lainnya, seperti pemberdayaan masyarakat pada aspek sosial dan perbaikan kondisi penggunaan lahan pada aspek lingkungan. Selain implikasi strategis yang bersifat umum tersebut, perlu juga dilakukan perumusan implikasi kebijakan operasional yang sesuai dengan karakteristik masing-masing lokasi PLTA. Meskipun secara umum terjadi degradasi lahan dan 135 kelemahan pengelolaan pada semua lokasi PLTA, tetapi karakteristik besaran kerusakan dan sistem pengelolaan yang ada pada setiap lokasi berbeda satu sama lain. Hal ini akan menjadi landasan implikasi kebijakan secara lebih operasional dan teknis untuk setiap lokasi PLTA. Perubahan penggunaan lahan yang masif pada lokasi PLTA di Jawa Barat Saguling dan Cirata memberikan implikasi kebijakan yang lebih mengarah pada teknis rehabilitasi lahan terutama pada DAS hulu PLTA. Program-program yang mengarah pada perbaikan kondisi lahan harus didorong secara aktif baik oleh aktor kunci di pemerintahan pusat Kemenhut, maupun aktor kunci di tataran operasional PLTA. Penggalakan rehabilitasi lahan melalui kegiatan reboisasi guna menambah luasan lahan bervegetasi, terutama hutan akan sangat mendukung perbaikan lahan dan mengurangi ancaman erosi dan sedimentasi ke dalam Waduk Saguling dan Cirata. Pengurangan ancaman erosi dan sedimentasi akan meningkatkan umur teknis waduk dan efektifitas pembangkitan listrik. Selain itu, hal ini akan meningkatkan kualitas, kuantitas dan kontinuitas sumberdaya air yang menjadi pasokan air bagi PLTA Saguling dan Cirata. Sementara perubahan penggunaan lahan pada DAS hulu PLTA Tanggari I dan II juga terjadi seperti di Jawa Barat. Namun besaran perubahan lahannya masih dalam tahap perkembangan dan belum semasif yang terjadi di Jawa Barat. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang bisa mendorong pencegahan perubahan penggunaan lahan dari lahan bervegetasi menjadi lahan terbangun. Penegakan aturan dan pengetatan ijin pembangunan pada kawasan lindung yang menjadi daerah resapan air pada DAS hulu PLTA perlu terus digalakan. Selain itu, komunikasi eksternal dengan masyarakat pada bagian DAS hulu perlu diintensifkan untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya konservasi lahan terhadap keberadaan sumberdaya air. Hal lain yang bisa dilakukan adalah mendorong kegiatan reboisasi lahan sebagai langkah perbaikan terhadap kondisi yang ada. Perbaikan kualitas sumberdaya air juga bisa dilakukan secara internal oleh jajaran PLTA, melalui peningkatan kinerja operasional PLTA secara keseluruhan. Untuk PLTA Saguling dan Cirata bisa dilakukan dengan meningkatkan sistem operasional pembangkitan listrik, baik dengan mengoptimalkan teknologi dari 136 peralatan yang ada, maupun dengan meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia sebagai pengelolanya. Hal ini diharapkan akan memperbaiki tingkat kualitas air yang masuk ke dalam sistem PLTA dan dialirkan lagi pada badan air alaminya. Indikator perbaikan bisa dimonitor pada perbandingan parameter-parameter kualitas air yang masuk ke dalam inlet dan yang keluar dari outlet PLTA. Sementara kondisi pada PLTA Tanggari I dan II yang menggunakan peralatan yang relatif lebih tua, diperlukan berbagai peremajaan guna meningkatkan kinerja peralatan PLTA. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia secara mendasar perlu dilakukan terhadap pengelola PLTA. Hal ini disebabkan sumberdaya pengelola PLTA relatif belum secara optimal memahami arti penting perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela terkait kepentingannya sebagai pengelola PLTA. Berdasarkan hasil analisis nilai ekonomi total jasa lingkungan sumberdaya air diperoleh karakteristik setiap PLTA yang berbeda secara signifikan. Pada PLTA Saguling nilai ekonomi hasil budidaya perikanan dan ekowisata relatif kecil dibandingkan nilai ekonomi lainnya. Sementara pada PLTA Cirata, serta PLTA Tanggari I dan II, nilai ekonomi hasil budidaya perikanan dan ekowisata relatif lebih menonjol dibandingkan nilai ekonomi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa PLTA Saguling belum menjadi lokasi budidaya ikan dan tujuan wisata yang relatif besar. Kondisi ini disebabkan karena letak dan akses ke PLTA Saguling relatif tidak mudah untuk kegiatan budidaya ikan dan wisata. Selain itu luas genangan Waduk Saguling relatif kecil karena berada pada daerah genangan dataran tinggi dengan karakteristik jurang sempit sebagai daerah genangannya. Kebalikannya dengan PLTA Saguling, PLTA Cirata serta Tanggari I dan II memiliki karakteristik genangan dan akses yang mendukung kegiatan budidaya perikanan dan ekowisata. Implikasinya KJA pada Waduk Cirata serta genangan Tanggari I dan II berkembang secara masif dengan jumlah relatif besar. Selain itu kedua lokasi PLTA ini banyak dikunjungi wisatawan dan bersinergi dengan aktifitas budidaya ikan KJA. Oleh karena itu, kebijakan yang harus didorong adalah pengelolaan aktifitas KJA dan ekowisata yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung Waduk Cirata serta genangan Tanggari I dan II. Mengingat jumlah KJA yang 137 relatif besar, pada Waduk Cirata serta genangan Tanggari I dan II perlu pemantauan dan pemberian ijin usaha KJA yang sesuai daya dukung dan daya tampung, serta sesuai dengan zonasi pengelolaan waduk.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap perlindungan dan pengelolaan sumberdaya air berbasis sukarela di PLTA, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Karakteristik sumberdaya air berupa kualitas, kuantitas, dan kontinuitas air yang dimanfaatkan PLTA saat ini menurun secara signifikan karena dipengaruhi perubahan penggunaan lahan pada DAS hulu PLTA. a. Perubahan penggunaan lahan sangat signifikan terjadi pada DAS hulu PLTA Cirata dan Saguling DAS Citarum di Provinsi Jawa Barat. Luas hutan pada DAS Waduk Saguling menurun pesat dari 38.139,80 ha 17,12 pada tahun 2001 menjadi hanya 12.531 ha 5,62 pada tahun 2007. Selain itu, pada DAS Waduk Cirata, luas hutan juga menurun pesat dari 87.817 ha 18,87 pada tahun 2001 menjadi hanya 23.392 ha 5,03 pada tahun 2007. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari hutan terutama menjadi perkebunan. Hal ini akan berakibat negatif terhadap kualitas, kuantitas dan kontinuitas sumberdaya air yang menjadi pasokan utama air bagi PLTA. Sementara pada DAS hulu PLTA Tanggari I dan II DAS Tondano di Provinsi Sulawesi Utara, relatif tidak terjadi perubahan penggunaan lahan yang masif. Pada DAS Tondano hutan seluas 18.323 ha pada tahun 2001 berubah menjadi sekitar 18.098 ha pada tahun 2007. Hal ini menunjukkan terjadinya pengurangan luas hutan pada DAS Tondano hanya sekitar 0,0021 setiap tahunnya. Namun hal ini juga cepat atau lambat bisa berakibat negatif juga terhadap kualitas, kuantitas dan kontinuitas sumberdaya air yang menjadi pasokan utama air bagi PLTA. b. Kualitas air waduk di lokasi studi, secara umum masih sesuai dengan ketentuan kualitas air Kelas 4 yang berlaku untuk keperluan operasional PLTA. Hasil uji-T menunjukkan indikasi bahwa kegiatan PLTA tidak menambah beban pencemaran air. Meskipun demikian, PLTA harus tetap menjaga kelestarian sumberdaya air sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun