Kelembagaan I ndustri Gula

kebijakan otonomi daerah rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB mengalami pertumbuhan yang relatif tinggi, yang ditunjukkan peningkatan kontribusi pemerintah terhadap perekonomian wilayah dari 4.66 persen pada tahun 2000 kemudian pada tahun 2001 menjad i 7.96 persen meningkat sebesar 70.72 persen.

6.3. Kelembagaan I ndustri Gula

Untuk mendeskripsikan kelembagaan yang membawahi industri gula di Kabupaten Pasuruan, perlu diuraikan terlebih dahulu kebijakan yang berkaitan dengan pergulaan nasional. Hal ini dikarenakan kebijakan pergulaan di kabupaten Pasuruan dipengaruhi secara langsung oleh kebijakan pergulaan nasional. Gula merupakan komoditas strategis yang memiliki nilai historis tinggi bagi perekonomian I ndonesia, hal ini yang kemudian menjadikan gula sebagai komoditi yang paling banyak diatur oleh pemerintah most regulated . Tonggak pergulaan I ndonesia telah dimulai sejak tahun 1673, yaitu pada saat didirikannya pabrik gula tebu di Batavia untuk pertama kalinya. Hingga awal abad 18 telah berdiri sekitar 100 pabrik gula dan mencapai puncak produksi pada tahun 1930. Pada tahun tersebut I ndonesia menjadi negara eksportir terbesar kedua setelah Kuba dengan total produksi 3 juta t on per tahun. Setelah proses kemerdekaan, Pemerintah I ndonesia melakukan n asionalisasi perusahaan -perusahaan asing termasuk PG. Hingga tahun 1960-an, PG diberi perlindungan dan bantuan politik secara maksimal karena bagi pemerintah pusat, industri gula merupakan industri v ital dan menjadi sumber pemasukan yang besar bagi negara. Kinerja industri gula nasional makin menurun hingga mencapai titik balik pada tahun 1967, dimana I ndonesia berubah dari negara eksportir menjadi negara importir gula. Sebagai salah satu upaya pemerintah pada masa Orde Baru untuk meningkatkan produksi dan produktivitas gula domestik, pemerintah menetapkan I nstruksi Presiden No. 9 Tahun 1975 tentang Program Tebu Rakyat I ntensifikasi TRI y ang berlaku hingga tahun 1997. Berlangsungnya krisis ekonomi di I ndonesia dan sebagai tindak lanjut atas kesepakatan dengan I MF maka pada tahun 1998 dikeluarkan I npres No. 5 Tahun 1998 Lembaga Penelitian I PB, 2002. Menurut Pakpahan 1999, beberapa perubahan yang terjadi akibat berlakunya I npres No. 5 Tahun 1998, sebagai berikut: 1 . Petani memiliki kebebasan untuk menen tukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya. Semula segala sesuatunya diatur berdasarkan program pemerintah. 2 . Sistem Bimas diganti dengan sistem kemitraan. Bentuk kemitraan antara petani dengan pabrik gula disesuaikan dengan kondisi masing-masing d aerah, dalam hal ini dapat berbentuk sewa lahan, tebu rakyat mandiri, tebu rakyat murni dan tebu rakyat kerjasama usahatani. 3 . Koordinasi di tingkat pusat yang semula ditangani oleh Sekretaris Badan Pengendali Bimas, kini dialihkan kepada Direktorat Jenderal Perkebunan Sekretaris Dewan Gula I ndonesia. Koordinasi di daerah yang semula ditangani oleh Satpem dan Satpel Bimas selanjutnya secara fungsional dikoordinasikan oleh Dinas Perkebunan Daerah Tingkat I 4 . Pelaku pengembangan tebu rakyat benar-benar hany a petani koperasi, pabrik gula dan bank pelaksana dengan pabrik gula bertindak sebagai Pemimpin Kerja Operasional Lapangan PKOL dengan koordinasi fasilitator oleh Dinas Perkebunan. Pada dasarnya kelembagaan yang berada pada lingkup industri gula di kabupaten Pasuruan hampir identik dengan daerah -daerah penghasil gula lain di I ndonesia. Kebijakan gula nasional yang sentralistis lebih banyak mempengaruhi kondisi pergulaan daerah dibandingkan dengan kebijakan pemerintah daerah sendiri. Sehingga pemberlakuan otonomi daerah tidak secara langsung mempengaruhi kondisi kelembagaan pergulaan Kabupaten Pasuruan. Perubahan yang mendasar adalah bahwa sebelum pencabutan I npres No. 9 Tahun 1975, Pemerintah Daerah Kabupaten merupakan bagian dari Satuan Pelaksanan Bim as yang berkewajiban untuk mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pedoman Pelaksanaan Program Bimas TRI untuk wilayahnya. Dengan dicabutnya I npres No. 9 Tahun 1975 dan berlakunya otonomi daerah maka Pemerintah Daerah Kabupaten Pasuruan melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan hanya berfungsi sebagai fasilitator dan mediator, walaupun secara fungsional dinas ini bertanggung jawab atas pelaksanaan program pengembangan tebu rakyat PTR. Secara lebih spesifik, fungsi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pasuruan untuk pengembangan tebu rakyat adalah: 1 fungsi koordinasi mengenai usulan plotting area, plafond kredit dan pelaporan, 2 fungsi pengendalian untuk mencegah adanya penyimpangan, 3 fungsi penyuluhan y ang meliputi penyuluhan tentang pola tanam, budidaya tebu dan pemanfaatan kelembagaan serta 4 fungsi evaluasi. Pelaksanaan program pengembangan tebu rakyat Kabupaten Pasuruan dilakukan melalui pola kemitraan antara petani dan Pabrik Gula PG yang dapat berbentuk: 1 Tebu Rakyat TR Murni, yaitu tebu rakyat yang dikelola oleh petani dengan memanfaatkan fasilitas kredit dan bimbingan teknis serta pengolahan hasil oleh PG Kedawung. Pola ini juga disebut dengan Tebu Rakyat Kredit TR-K, 2 Tebu Rakyat Mandiri TR-M, tebu rakyat yang dikelola oleh petani secara swadaya tanpa kredit dengan bimbingan teknis dan pengolahan hasil oleh PG Kedawung, dan 3 Tebu Sewa, tebu rakyat yang dikelola oleh PG Kedawung dengan cara menyewa tanah dari petani dengan kesepakatan khusus. Sejak bulan Desember 1999, petani tebu di Kabupaten Pasuruan membentuk Asosiasi Petani Tebu Rakyat Wilayah APTR-W tingkat PG Kedawung sebagai tindak lanjut atas pembentukan APTR-PTPN XI APTR yang meliputi wilayah kerja PT Perkebunan Negara XI . Terbentuknya asosiasi ini didorong oleh makin rendahnya harga gula setelah Bulog tidak lagi berperan dalam pengadaan dan distribusi gula. APTR berperan sebagai wadah petani dalam memperjuangkan terwujudnya perlindungan hak dan kepentingan para petani tebu sehingga memiliki posisi tawar bargaining position yang memadai. Pada proses pemasaran gula, peran APTR sangat besar khususnya dalam rangka melakukan lobby dan negoisasi harga gula pada saat lelang gula. Pada proses produksi di PG, petani juga mempunyai perwakilan yang disebut Kelompok Kerja Pengamat Produksi Gula KKPG. KKPPG adalah suatu kelompok yang tugasnya mewakili petani untuk mengawal penggilingan tebu sejak ditimbang di PG sampai dengan menjadi gula, ikut menganalisa dan memantau rendemen tebu petani sehingga dijamin adanya kebenaran dan keterbukaan pada pengolahan tebu milik petani. Ketua KKPG berasal dari dinas kehutanan dan perkebunan sedangkan anggotanya adalah wakil-wakil petani y ang berada pada wilayah kerja PG Kedawung. Untuk memperlancar hubungan kemitraan antara PG Kedawung dan petani APTR dibentuk Forum Temu Kemitraan Tebu Rakyat FTK-TR yang terdiri dari administratur PG, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, KKPPG dan petani APTR. Forum temu kemitraan ini dilakukan melalui pertemuan rutin tiap bulan untuk melakukan koordinasi dan pembinaan khususnya menjelang musim tanam dan musim giling. FTK-TR berfungsi sebagai forum koordinasi pemecahan masalah dan perumusan kesepakatan untuk menampung aspirasi para petani tebu. Disinilah fungsi dinas diperlukan sebagai mediator bagi pihak -pihak yang berbeda kepentingan PG dan Petani APTR. Selama otonomi daerah berlangsung, lembaga- lembaga yang membawahi industri gula di Kabupaten Pasuruan belum ada perubahan. Peranan PEMDA Kabupaten Pasuruan dalam pengembangan industri gula diw ujudkan dalam bentuk pemberian kredit bagi petani tebu yang dananya bersumber dari DAU Dana Alokasi Umum. Pinjaman yang dialokasikan untuk usahatani tebu ini telah diberikan selama dua periode yaitu musim tanam 2001 -2002 senilai Rp 5 965 juta dan musim tanam 2002-2003 senilai Rp 8 877 juta. Kredit ini merupakan kredit lunak dengan bunga 12 persen per tahun, dimana 9 persen untuk Pemerintah Daerah, 2 persen untuk APTR dan 1 persen untuk PG sebagai avalist penjamin. Pemberian kredit disalurkan melalui PG Kedawung dalam bentuk sarana produksi seperti bibit, pupuk dan pestisida serta sarana lain yang dibutuhkan petani kemudian pembayaran oleh petani dilakukan dengan memotong DO delivery order petani yang bersangkutan. VI I . KONDI SI PEREKONOMI AN KABUPATEN PASURUAN SEBELUM PENERAPAN OTONOMI DAERAH

7.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Pasuruan