dimana: B
j
= Keterkaitan langsung ke belakang X
ij
= Banyaknya input sektor j yang berasal dari sektor i X
j
= Total input sektor j a
ij
= Unsur matriks koefisien teknis Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan merupakan alat untuk
mengukur akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor lain yang menggunakan output sektor tersebut baik secara lansung maupun tidak langsung
p er unit kenaikan permintaan total. Nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan dapat dihitung dengan persamaan berikut:
∑
=
=
n 1
j ij
i
C FLTL
..................................................................................... 5 dimana:
FLTL
i
= Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan C
ij
= Unsur Matriks Kebalikan Leontief Terbuka Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang menyatakan akibat
dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung per unit
kenaikan permintaan total. Nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang dapat dihitung dengan persamaan berikut:
∑
=
=
n 1
i ij
j
C BLTL
.................................................................................... 6 dimana:
BLTL
j
= Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang Analisis keterkaitan dapat menunjukkan kekuatan suatu sektor dalam
mendorong peningkatan produksi seluruh sektor perekonomian.
2. Koefisien Penyebaran
Koefisien penyebaran coefficient of dispertion disebut juga dengan indeks daya penyebaran ke belakang. Analisis ini menunjukkan koefisien kaitan
y ang memberikan gambaran tentang pengaruh yang ditimbulkan oleh satu unit permintaan akhir untuk semua sektor di dalam suatu sistem perekonomian.
Koefisien penyebaran merupakan keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang yang dinormalkan dengan jumlah sektor dan jumlah seluruh koefisien
matriks kebalikan Leontief Kriswantriyono, 1994. Koefisien penyebaran dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
∑∑ ∑
= =
=
= n n
C n
C n
B
1 i
1 j
ij 1
i ij
d
..................................................................................... 7
dimana: B
d
= Koefisien penyebaran C
ij
= Unsur matriks kebalikan Leontief terbuka Jika nilai B
d
sektor i lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa sektor tersebut memperoleh pengaruh yang tinggi dari sektor lain. Hal ini berarti bahwa
sektor tersebut peka terhadap pengaruh sektor lain atau terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.
3. Kepekaan Penyebaran
Kepekaan penyebaran sensitivity of dispersion disebut juga dengan indeks daya penyebaran ke depan. Kepekaan penyebaran mampu memberikan
gambaran tentang pengaruh yang timbul oleh suatu permintaan akhir terhadap semua sektor dalam perekonomian. Kepekaan penyebaran merupakan
keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan yang dinormalkan dengan jumlah sektor dan jumlah seluruh koefisien matriks kebalikan Leontief.
Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
∑∑ ∑
= =
=
= n n
C n
C n
F
1 i
1 j
ij 1
j ij
d
...................................................................................... 8
dimana: F
d
= Kepekaan penyebaran Jika nilai F
d
sektor j lebih besar dari 1, menunjukkan bahwa sektor tersebut mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap sektor lain atau
perekonomian secara keseluruhan Kriswantriyono, 1994.
4. Pengganda
Penggan d a multiplier adalah pengukuran suatu respon atau dampak dari stimulus ekonomi. Pengganda juga diartikan sebagai koefisien yang
menyatakan kelipatan dampak langsung dari meningkatnya permintaan akhir suatu sektor sebesar satu unit terhadap produksi total semua sektor di suatu
daerah. Stimulus ekonomi yang dimaksud berupa output, pendapatan maupun
kesempatan kerja Miller dan Blair, 1985. Masing-masing pengganda dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe I dan tipe I I . Total pengganda yang diturunkan dari
model I nput-Output dapat diklasifikasikan dalam lima komponen: 1 .
Efek Awal I nitial I mpact, merupakan stimulus perekonomian yang diasumsikan sebagai peningkatan penjualan dalam satuan moneter. Dari
sisi output, efek awal ini dapat diartikan sebagai peningkatan penjualan output sektor tertentu untuk memenuhi permintaan akhir sebesar satu unit
satuan moneter. Peningkatan ini akan memberi dampak terhadap peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja.
2 . Efek Putaran Pertama First Round Effect, menunjukkan efek langsung dari
pembelian oleh masing-masing sektor untuk setiap peningkatan output
sebesar satu satuan moneter. Dari sisi output, efek putaran pertama ditunjukkan oleh koefisien langsung. Efek putaran pertama dari sisi
permintaan menunjukkan adanya peningkatan pendapatan dari setiap sektor akibat adanya efek putaran pertama dari sisi output. Sedangkan efek
putaran pertama dari sisi tenaga kerja menunjukkan adanya peningkatan penyerapan tenaga kerja akibat adanya efek putaran pertama dari sisi
output. 3 .
Efek Dukungan I n dustri I ndustrial Support Effect merupakan efek putaran kedua, yaitu sebagai aliran peningkatan output berikutnya dalam suatu
perekonomian untuk penyediaan dukungan produksi sebagai suatu respon meningkatnya permintaan akhir suatu sektor. Jika terjadi peningkatan
permintaan akhir suatu sektor maka akan terjadi peningkatan produksi sektor tersebut. Peningkatan produksi dari sektor tersebut akan
meningkatkan permintaan bagi sektor-sektor yang digunakan dalam proses produksi. Dalam hal output efek dukungan industri dihitung dari matriks
kebalikan terbuka sebagai ukuran respon terhadap pembelian putaran pertama.
4 . Efek I nduksi Konsumsi Consumption-I nduced Effect yaitu pengaruh
pengeluaran rumah tangga terhadap perekonomian wilayah atau penerimaan rumah tangga sebagai pembayaran upah tenaga kerja dalam
memproduksi tambahan output suatu sektor. Efek induksi konsumsi menunjukkan adanya pengaruh induksi peningkatan konsumsi rumah
tangga akibat adanya peningkatan pendapatan rumah tangga. 5 .
Efek Lanjutan Flow-on Effect didefinisikan sebagai dampak output dan pendapatan yang terjadi pada semua sektor dalam perekonomian karena
adanya peningkatan penjualan suatu sektor. Efek ini dihitung dengan mengurangkan efek total First Round,
I ndustrial Support dan Consumption-I nduced Effect dengan dampak awal I nitial I mpact .
2.2. Ketentuan Pokok Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25
Tahun 1999
Menurut Undang -Undang No. 22 Tahun 1999, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan pemerintah Daerah Otonomi oleh pemerintah daerah
dan DPRD menurut asas desentralisasi. Desentralisasi dalam undang -undang ini adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah
Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik I ndonesia. Yang disebut dengan Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat daerah
otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. Daerah Otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik I ndonesia. Daerah Otonom dibentuk dengan memperhatikan persyaratan seperti kemampuan ekonomi,
jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan keamanan dan syarat lainnya yang memungkinkan daerah tersebut dapat melaksanakan pembangunan, pembinaan,
kestabilan politik dan kesatuan bangsa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab.
Titik berat pelaksanaan otonomi daerah tersebut dilaksanakan di daerah kabupaten dan daerah kota. Kepala daerah kabupaten kota, yaitu
bupati walikota dipilih oleh DPRD kabupaten kota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan bertanggung jawab kepada DPRD kabupaten kota. Daerah prov insi
memperoleh otonomi parsial, artinya provinsi mempunyai dua fungsi yaitu sebagai daerah otonom dan sebagai wilayah administratif, yang merupakan wakil
pemerintah pusat. Kepala daerah provinsi, yaitu gubernur dipilih oleh DPRD provinsi yang telah dikonsultasikan dengan pemerintah pusat.
Pertanggungjawaban gubernur sebagai kepala daerah ditujukan kepada DPRD provinsi, sedangkan sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur bertanggung
jawab kepada presiden. Dalam Undang -Undang No. 22 Tahun 1999, dinyatakan tidak ada hubungan hirarkhis antara provinsi dengan kabupaten walaupun
provinsi memegang peran sebagai koordinator. Hubungan pemerintah pusat dan daerah menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 disajikan pada Gambar 1.
Ket erangan: Desent ralisasi
Dekonsentrasi Ko -administrasi
Gambar 1. Kerangka Dasar Pemerintahan Menurut UU No. 22 Tahun 1999
Pusat
Provinsi
Kot a
Kecamatan
Kelurahan Kabupaten
Kecamatan
Desa
Pembagian kewenangan berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa kewenangan pemerintah pusat hanya terbatas pada lima
kewenangan dan kewenangan khusus. Pada dasarnya, semua kewenangan yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pusat harus menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah. Pemerintahan kabupaten kota mempunyai kewenangan paling besar sementara kewenangan pemerintahan provinsi tidak dinyatakan
secara jelas. Pada dasarnya kewenangan provinsi meliputi kewenangan yang bersifat lintas kabupaten, kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan
di daerah kabupaten kota, dan kewenangan yang merupakan delegasi dari pemerintah pusat. Untuk memperjelas kewenangan antar tingkat pemerintahan,
khususnya kewenangan provinsi, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah PP No. 25 Tahun 2000 yang ditetapkan pada bulan Mei 2000.
Melalui PP No. 25 Tahun 2000 ini terlihat bahwa sebenarnya kewenangan provinsi merupakan bagian kewenangan khusus yang seharusnya menjadi
kewenangan pemerintah pusat. Pembagian kewenangan dan fungsi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kota menurut Undang -Undang No. 22
Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2000 dirinci pada Tabel 6. Undang -Undang No. 25 Tahun 1999 menetapkan bahwa penerimaan
daerah dalam pelaksanaan desentralisasi bersumber dari: 1 Pendapatan Asli Daerah, 2 Dana Perimbangan, 3 Pinjaman Daerah, dan 4 Lain -lain
penerimaan yang sah. Pendapatan Asli Daerah PAD terdiri dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah, pendapatan yang berasal dari
pemberian pemerintah yang sah dan lain -lain pendapatan yang sah. Undang -Undang ini menjadi dasar bagi susunan transfer
antarpem erintahan yang baru intergovernmental transfer. Melalui Undang-
Undang ini,
SDO Subsidi Daerah Otonomi
, yaitu dana pemerintah pusat y ang digunakan untuk menggaji pegawai dan pengeluaran -pengeluaran
operasional rutin yang lain serta
transfer pembangunan
, yang dikenal dengan istilah program
I npres
I nstruksi Presiden digantikan dengan
dana perimbangan
. Tabel 6.
Pembagian Fungsi dan Kewenangan Antar Tingkat Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
Pusat Provinsi
Kabupaten Kota 1 .
Pertahanan dan keamanan
2 .
Sistem peradilan
3 .
Fiskal dan moneter
4 .
Agama
5 .
Politik luar negeri
6 .
Kewenangan bidang lain:
1 Perencanaan makro ekonomi
2 Dana
perimbangan keuangan
3 Sistem
administrasi negara dan
lembaga perekonomian
negara
4 Pembangunan
sumberdaya manusia
5 Pendayagunaan
sumberdaya alam serta
teknologi tinggi yang strategis
6 Konservasi dan
standarisasi nasional
1 .
Kewenangan yang mencakup kepentingan lintas
kabupaten
2 .
Semua kewenangan yang tidak mampu dilakukan oleh
kabupaten
3 .
Kewenangan yang didelegasikan oleh pusat
4 .
Kewenangan spesifik lain: 1 Perencanaan makro
ekonomi regional dan pengawasan
2 Pelatihan dalam bidang
t ert ent u 3
Pengalokasian sumberdaya manusia
dengan pot ensi t ert ent u dan aktivitas-aktivitas
penelitian yang meliputi wilayah provinsi
4 Pengelolaan pelabuhan
daerah 5
Pengawasan terhadap lingkungan hidup
6 Perdagangan dan
promosi budaya pariwisat a
7 Pengawasan terhadap
wabah dan penyakit tanaman dan desain
wilayah tingkat provinsi
1 .
Semua kewenangan yang tidak termasuk
dalam kewenangan pemerintah pusat
maupun provinsi
2 .
Fungsi-Fungsi Utama: 1 Pekerjaan umum
2 Kesehatan
3 Pendidikan dan
kebudayaan 4
Pertanian 5
Transportasi 6
I ndustri dan perdagangan
7 I nvestasi
8 Lingkungan
9 Pertanahan
10 Koperasi
11 Tenaga Kerja
Sumber: Suharyo, 2002.
Dana Perimbangan adalah dana yang berasal dari penerimaan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk
membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana ini terdiri dari tiga komponen, yaitu: 1 Bagi Hasil Revenue Shar ing 2 Dana
Alokasi Umum DAU 3 Dana Alokasi Khusus DAK. Komponen dana Bagi Hasil terdiri dari bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan
PBB, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan BPHTB, penerimaan dari sumberdaya alam SDA, dan penerimaan dari minyak dan gas. Dana
perimbangan SDA dibagi atas sektor kehutanan, pertambangan umum, dan perikanan.
Dana Alokasi Umum merupakan dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 25 Tahun
1999 dengan ketentuan sebagai berikut: 1 .
Ditetapkan minimum 25 persen dari pos penerimaan dalam negeri APBN 2 .
Bagian DAU untuk provinsi 10 persen dan kabupaten kota 90 persen 3 .
DAU suatu provinsi ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk provinsi dalam APBN dengan porsi provinsi yang bersangkutan
4 . DAU suatu kabupaten kota ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU
untuk kabupaten kota dalam APBN dengan porsi kabupaten kota yang bersangkutan
5 . Bobot daerah ditetapkan berdasarkan kebutuhan wilayah otonomi daerah
dan potensi ekonomi daerah 6 .
Perhitungan dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Menurut Suharyo 2002, berdasarkan ketentuan tersebut maka DAU dapat ditulis sebagai suatu persamaan berikut:
∑
× =
W W
DAU DAU
i n
i i
i i
PR -
FN W
=
dimana: DAU
i
= DAU untuk daerah ke- i DAU
n
= DAU yang akan dialokasikan untuk semua daerah provinsi atau kabupaten
W
i
= Bobot untuk daerah i
Σ
W = Jumlah bobot untuk semua daerah provinsi atau kabupaten
FN
i
= Kebutuhan fiskal daerah i PR
i
= Penerimaan potensial untuk daerah i Dana Alokasi Khusus DAK dialokasikan dari APBN kepada daerah untuk
membantu membiayai kebutuhan tertentu. Disebut khusus karena kebutuhan y ang dibiayai bersifat khusus, berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya
sehingga dalam penerapannya tidak bisa menggunakan suatu rumus alokasi umum. Pembiayaan melalui DAK mempertimbangkan juga ketersediaan dana
dalam APBN. Oleh karena itu, pembiayaan DAK biasanya mendahulukan kebutuhan yang sudah menjadi komitmen dan prioritas nasional.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan pembiayaan pembangunan daerah maka Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 juga memberikan kesempatan
bagi pemerintah daerah untuk melakukan pinjaman baik yang berasal dari pinjaman domestik maupun pinjaman asing. Ketentuan tentang pinjaman daerah
secara detail diatur dalam PP No. 107 Tahun 2000. Pinjaman daerah bisa dalam bentuk pinjaman jangka panjang untuk membiayai pembangunan infrastruktur
maupun pinjaman jangka pendek yang digunakan untuk membiayai arus kas pemerintah daerah.
2.3. Tinjauan Studi Terdahulu 2.3.1. Studi Desentralisasi di I ndonesia