2 7 .8 8 2 7 .0 4 Kajian Kelembagaan dan Dampak Penerapan Otonomi Daerah terhadap Kinerja Industri Gula di Kabupaten Pasuruan

kurang dari 0.15 persen. Walaupun pangsanya relatif kecil namun potensi sub sektor perkebunan dalam memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah relatif besar, hal ini dapat dilihat dari perkembangan laju pertumbuhannya Tabel 3. Laju pertumbuhan sub sektor perkebunan menunjukkan arah yang cenderung makin baik setelah pada tahun 1998 dan 1999 mengalami kontraksi akibat adanya krisis ekonomi maka pada tahun 2000 hingga 2001 mengalami laju pertumbuhan positif dan lebih tinggi diantara keempat sub sektor lain yakni sebesar 6.13 dan 7.55 persen. Pada tahun 2002, sub sektor perkebunan mengalami penurunan laju pertumbuhan namun pada tahun 2003 sub sektor ini kembali mengalami peningkatan laju pertumbuhan dan menduduki posisi tertinggi diantara keempat sub sektor lain. Tabel 2. Distribusi Persentase PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Pasuruan , Tahun 1999 -2003 Sub Sekt or 1 9 9 9 2 0 0 0 200 1 2 0 0 2 200 3 Tanaman Bahan Makanan 22.13 21.86 20.72 20.38 20.06 Tanaman Perkebunan 1.38 1.41 1.47 1.45 1.45 Peternakan 3.79 3.76 3.87 3.88 3.81 Kehutanan 0.14 0.14 0.10 0.10 0.09 Perikanan 1.74 1.74 1.72 1.69 1.62 Pertanian 2 9 .1 8

28.91 2 7 .8 8

27.50 2 7 .0 4

Sumber: BAPPEDA dan BPS beberapa Tahun Diolah Tabel 3. Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Pasuruan , Tahun 1999 -2003 Sub Sekt or 199 9 2 0 0 0 200 1 2 0 0 2 200 3 Tanaman Bahan Makanan 2.58 2.40 -1.57 2.19 2.36 Tanaman Perkebunan -2.54 6.13 7.55 2.17 4.05 Peternakan -2.94 2.70 6.45 4.10 2.16 Kehutanan 1.70 1.14 -26.23 1.31 -3.23 Perikanan 1.94 3.55 2.42 2.15 -0.13 Pertanian 1 .5 8 2 .6 9 0 .1 8 2 .4 5 2 .2 6 Sumber: BAPPEDA dan BPS beberapa Tahun Diolah Dengan laju pertumbuhan yang relatif besar, potensi sub sektor perkebunan di masa yang akan datang dapat diharapkan menjadi sub sektor andalan penggerak perekonomian daerah. Peranan penting sub sektor perkebunan selain sebagai sumber penerimaan daerah yang potensial, sub sektor perkebunan mempunyai interdependensi yang sangat kuat dengan industri pengolahan agroindustri karena sebagian besar output sub sektor ini digunakan sebagai bahan baku pada industri pengolahan. I mplikasinya, dinamika pertumbuhan sub sektor perkebunan sangat dipengaruhi oleh dinamika pertumbuhan industri pengolahan. Dengan kata lain industri pengolahan merupakan sektor pendukung sub sektor perkebunan Saptana dan Sumaryanto, 2002. Semakin baik kinerja sub sektor perkebunan, akan meningkatkan pengembangan sektor pendukung seperti sarana produksi, transportasi, pengolahan dan pemasaran perdagangan Said dan Dewi, 2003. Kabupaten Pasuruan menghasilkan sembilan jenis tanaman perkebunan y ang dominan diusahakan oleh masyarakat seperti terlihat pada Tabel 4. Dari total luas areal perkebunan rakyat yang mencapai 31 266.80 ha, 50.3 persennya merupakan areal perkebunan kapuk randu, 16.5 persen merupakan areal tebu, 13 persen merupakan areal perkebunan kopi, 11 persen merupakan areal perkebunan kelapa sedangkan tanaman perkebunan yang lain memiliki luas areal kurang dari 1000 ha. Jika dilihat dari produksi yang dihasilkan, tebu merupakan komoditi yang menghasilkan produksi tertinggi dengan total produksi sebesar 21 184.76 ton jauh melampaui produksi kopi yang hanya mencapai 909 ton atau kapuk randu yang memiliki areal terluas hanya mampu berproduksi sebesar 4 242 ton. Sementara itu, jika dilihat dari jumlah petani yang mengusahakan, tanaman tebu juga merupakan tanaman yang dalam pengusahaannya paling banyak melibatkan petani dengan total petani sebanyak 24 657 kepala keluarga sedang tanaman kapuk randu han ya diusahakan oleh 20 393 kepala keluarga. Tanaman perkebunan lain yang melibatkan petani yang relatif besar lainnya adalah tanaman kelapa dan kopi dengan jumlah petani masing -masing 18 349 dan 9 601 kepala keluarga. Tabel 4. Luas Areal, Produksi dan Jumlah Petani Tanaman Perkebunan Kabupaten Pasuruan, Tahun 2003 Komodit i Luas Areal Ha Produksi Ton Bent uk Produksi Jumlah Petani KK Kelapa 3 539 2 400 Setara kopra 18 349 Kopi 4 184 909 Biji ose 9 601 Cengkeh 915 238 Biji kering 1 223 Kapuk Randu 15 702 4 242 Serat bersih 20 393 Jambu Mete 874 247 Biji mentor 4 024 Kenanga 302 534 Bunga segar 468 Tebu 5 169.3 21 184.76 Kristal gula 24 657 Kapas 8.5 1 610 Serat berbiji 127 Kunyit 223 1 173 Rimpang basah 853 Jahe 246 1 435 Rimpang basah 900 Temulawak 64 392 Rimpang basah 321 Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pasuruan dalam BPS, 2004 Produksi perkebunan tebu yang relatif besar di Kabupaten Pasuruan menempatkan kabupaten ini sebagai salah satu sentra produksi gula di Jawa Timur. Perkebunan tebu di Kabupaten Pasuruan telah didukung oleh adanya industri pengolahan tebu yaitu pabrik gula PG Kedawung yang merupakan bagian dari PT Perkebunan Nusantara XI . PG Kedawung m emiliki kapasitas giling sebesar 2 203 ton hari. Pada tahun giling 2001, PG Kedawung mengolah 320 849.30 ton tebu dengan produksi hablurnya sebesar 19 975.20 ton 4.35 ton ha P3GI , 2002. Produksi tanaman tebu yang relatif lebih besar dibanding tanaman perkebunan lain serta adanya industri pengolahan tebu menunjukkan bahwa perkebunan tebu di Kabupaten Pasuruan cukup potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sub sektor yang menyokong perekonomian daerah, apalagi dalam kegiatan usahataninya tanaman tebu di Kabupaten ini melibatkan petani dalam jumlah yang relatif banyak. Peranan penting industri gula dalam suatu perekonomian daerah adalah karena industri gula ini merupakan industri yang tergolong dalam klasifikasi padat karya dan menghasilkan nilai tambah yang cukup besar melalui upah, laba dan sewa lahan Woerjanto, 2000; Sawit, 1998. Selain itu gula sendiri merupakan bahan pangan yang penggunaannya bersifat luas. Hal ini disebabkan karena gula, pada satu sisi merupakan bahan pangan y ang dapat dikonsumsi langsung juga merupakan bahan baku bagi banyak industri input antara. Oleh karena itu, peningkatan produksi industri gula dapat mendorong peningkatan produksi industri- industri yang menggunakan gula seb agai bahan bakunya Simatupang et al., 1998. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, dimana pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri, menuntut adanya kemandirian daerah dalam merencanakan, membiayai maupun melaksanakan pembangunan sesuai dengan potensi masing-masing. Jika kebijakan otonomi daerah yang mendukung peran serta masyarakat dilaksanakan dengan baik, maka akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah daerah yang pada gilirannya akan mendorong adanya ekspansi dalam perekonomian. Melalui pelaksanaan otonomi daerah, potensi kabupaten Pasuruan dalam menghasilkan produk gula seharusnya dapat dikembangkan menjadi sektor unggulan yang dapat menopang kegiatan perekonomian daerah. Peran pemerintah daerah sebag ai fasilitator dan regulator dalam perekonomian diharapkan mampu meningkatkan kinerja industri gula di kabupaten pasuruan melalui penciptaan iklim yang kondusif. Kajian atas pelaksanaan otonomi daerah telah banyak dilakukan akan tetapi masih bersifat parsial. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana pelaksanaan otonomi daerah serta menganalisis dampak penerapan otonomi daerah tersebut terhadap kinerja industri gula di kabupaten Pasuruan. Kajian ini mempertimbangkan aspek kelembagaan dan aspek ekonomi secara bersamaan. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui apakah aspek kelembagaan y ang berkaitan dengan Undang-Undang Otonomi Daerah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan apakah penerapan otonomi daerah benar-benar telah menciptakan ekspansi dalam perekonomian melalui perbaikan kinerja sektoral khususnya industri gula.

1.2. Perumusan Masalah