kurang dari 0.15 persen. Walaupun pangsanya relatif kecil namun potensi sub sektor perkebunan dalam memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah
relatif besar, hal ini dapat dilihat dari perkembangan laju pertumbuhannya Tabel 3. Laju pertumbuhan sub sektor perkebunan menunjukkan arah yang cenderung
makin baik setelah pada tahun 1998 dan 1999 mengalami kontraksi akibat adanya krisis ekonomi maka pada tahun 2000 hingga 2001 mengalami laju
pertumbuhan positif dan lebih tinggi diantara keempat sub sektor lain yakni sebesar 6.13 dan 7.55 persen. Pada tahun 2002, sub sektor perkebunan
mengalami penurunan laju pertumbuhan namun pada tahun 2003 sub sektor ini kembali mengalami peningkatan laju pertumbuhan dan menduduki posisi
tertinggi diantara keempat sub sektor lain. Tabel 2.
Distribusi Persentase PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Pasuruan , Tahun 1999 -2003
Sub Sekt or 1 9 9 9
2 0 0 0 200 1
2 0 0 2 200 3
Tanaman Bahan Makanan 22.13
21.86 20.72
20.38 20.06
Tanaman Perkebunan 1.38
1.41 1.47
1.45 1.45
Peternakan 3.79
3.76 3.87
3.88 3.81
Kehutanan 0.14
0.14 0.10
0.10 0.09
Perikanan 1.74
1.74 1.72
1.69 1.62
Pertanian 2 9 .1 8
28.91 2 7 .8 8
27.50 2 7 .0 4
Sumber: BAPPEDA dan BPS beberapa Tahun Diolah
Tabel 3. Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Pasuruan , Tahun
1999 -2003
Sub Sekt or 199 9
2 0 0 0 200 1
2 0 0 2 200 3
Tanaman Bahan Makanan 2.58
2.40 -1.57
2.19 2.36
Tanaman Perkebunan -2.54
6.13 7.55
2.17 4.05
Peternakan -2.94
2.70 6.45
4.10 2.16
Kehutanan 1.70
1.14 -26.23
1.31 -3.23
Perikanan 1.94
3.55 2.42
2.15 -0.13
Pertanian 1 .5 8
2 .6 9 0 .1 8
2 .4 5 2 .2 6
Sumber: BAPPEDA dan BPS beberapa Tahun Diolah
Dengan laju pertumbuhan yang relatif besar, potensi sub sektor perkebunan di masa yang akan datang dapat diharapkan menjadi sub sektor
andalan penggerak perekonomian daerah. Peranan penting sub sektor perkebunan selain sebagai sumber penerimaan daerah yang potensial, sub sektor
perkebunan mempunyai interdependensi yang sangat kuat dengan industri pengolahan agroindustri karena sebagian besar output sub sektor ini digunakan
sebagai bahan baku pada industri pengolahan. I mplikasinya, dinamika pertumbuhan sub sektor perkebunan sangat dipengaruhi oleh dinamika
pertumbuhan industri pengolahan. Dengan kata lain industri pengolahan merupakan sektor pendukung sub sektor perkebunan Saptana dan Sumaryanto,
2002. Semakin baik kinerja sub sektor perkebunan, akan meningkatkan pengembangan sektor pendukung seperti sarana produksi, transportasi,
pengolahan dan pemasaran perdagangan Said dan Dewi, 2003. Kabupaten Pasuruan menghasilkan sembilan jenis tanaman perkebunan
y ang dominan diusahakan oleh masyarakat seperti terlihat pada Tabel 4. Dari total luas areal perkebunan rakyat yang mencapai 31 266.80 ha, 50.3 persennya
merupakan areal perkebunan kapuk randu, 16.5 persen merupakan areal tebu, 13 persen merupakan areal perkebunan kopi, 11 persen merupakan areal
perkebunan kelapa sedangkan tanaman perkebunan yang lain memiliki luas areal kurang dari 1000 ha. Jika dilihat dari produksi yang dihasilkan, tebu merupakan
komoditi yang menghasilkan produksi tertinggi dengan total produksi sebesar 21 184.76 ton jauh melampaui produksi kopi yang hanya mencapai 909 ton atau
kapuk randu yang memiliki areal terluas hanya mampu berproduksi sebesar 4 242 ton. Sementara itu, jika dilihat dari jumlah petani yang mengusahakan,
tanaman tebu juga merupakan tanaman yang dalam pengusahaannya paling
banyak melibatkan petani dengan total petani sebanyak 24 657 kepala keluarga sedang tanaman kapuk randu han ya diusahakan oleh 20 393 kepala keluarga.
Tanaman perkebunan lain yang melibatkan petani yang relatif besar lainnya adalah tanaman kelapa dan kopi dengan jumlah petani masing -masing 18 349
dan 9 601 kepala keluarga. Tabel 4.
Luas Areal, Produksi dan Jumlah Petani Tanaman Perkebunan Kabupaten Pasuruan, Tahun 2003
Komodit i Luas Areal
Ha Produksi
Ton Bent uk
Produksi Jumlah Petani
KK
Kelapa 3 539
2 400 Setara kopra
18 349 Kopi
4 184 909
Biji ose 9 601
Cengkeh 915
238 Biji kering
1 223 Kapuk Randu
15 702 4 242
Serat bersih 20 393
Jambu Mete 874
247 Biji mentor
4 024 Kenanga
302 534
Bunga segar 468
Tebu 5 169.3
21 184.76 Kristal gula
24 657 Kapas
8.5 1 610
Serat berbiji 127
Kunyit 223
1 173 Rimpang basah
853 Jahe
246 1 435
Rimpang basah 900
Temulawak 64
392 Rimpang basah
321 Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pasuruan dalam BPS, 2004
Produksi perkebunan tebu yang relatif besar di Kabupaten Pasuruan menempatkan kabupaten ini sebagai salah satu sentra produksi gula di Jawa
Timur. Perkebunan tebu di Kabupaten Pasuruan telah didukung oleh adanya industri pengolahan tebu yaitu pabrik gula PG Kedawung yang merupakan
bagian dari PT Perkebunan Nusantara XI . PG Kedawung m emiliki kapasitas giling sebesar 2 203 ton hari. Pada tahun giling 2001, PG Kedawung mengolah 320
849.30 ton tebu dengan produksi hablurnya sebesar 19 975.20 ton 4.35 ton ha P3GI , 2002.
Produksi tanaman tebu yang relatif lebih besar dibanding tanaman perkebunan lain serta adanya industri pengolahan tebu menunjukkan bahwa
perkebunan tebu di Kabupaten Pasuruan cukup potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu sub sektor yang menyokong perekonomian daerah, apalagi
dalam kegiatan usahataninya tanaman tebu di Kabupaten ini melibatkan petani dalam jumlah yang relatif banyak. Peranan penting industri gula dalam suatu
perekonomian daerah adalah karena industri gula ini merupakan industri yang tergolong dalam klasifikasi padat karya dan menghasilkan nilai tambah yang
cukup besar melalui upah, laba dan sewa lahan Woerjanto, 2000; Sawit, 1998. Selain itu gula sendiri merupakan bahan pangan yang penggunaannya bersifat
luas. Hal ini disebabkan karena gula, pada satu sisi merupakan bahan pangan y ang dapat dikonsumsi langsung juga merupakan bahan baku bagi banyak
industri input antara. Oleh karena itu, peningkatan produksi industri gula dapat mendorong peningkatan produksi industri- industri yang menggunakan gula
seb agai bahan bakunya Simatupang et al., 1998. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, dimana pemerintah
daerah mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri, menuntut adanya kemandirian daerah dalam merencanakan, membiayai maupun
melaksanakan pembangunan sesuai dengan potensi masing-masing. Jika kebijakan otonomi daerah yang mendukung peran serta masyarakat
dilaksanakan dengan baik, maka akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah daerah yang pada gilirannya akan mendorong
adanya ekspansi dalam perekonomian. Melalui pelaksanaan otonomi daerah, potensi kabupaten Pasuruan dalam menghasilkan produk gula seharusnya dapat
dikembangkan menjadi sektor unggulan yang dapat menopang kegiatan perekonomian daerah. Peran pemerintah daerah sebag ai fasilitator dan regulator
dalam perekonomian diharapkan mampu meningkatkan kinerja industri gula di kabupaten pasuruan melalui penciptaan iklim yang kondusif.
Kajian atas pelaksanaan otonomi daerah telah banyak dilakukan akan tetapi masih bersifat parsial. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana
pelaksanaan otonomi daerah serta menganalisis dampak penerapan otonomi daerah tersebut terhadap kinerja industri gula di kabupaten Pasuruan. Kajian ini
mempertimbangkan aspek kelembagaan dan aspek ekonomi secara bersamaan. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui apakah aspek kelembagaan
y ang berkaitan dengan Undang-Undang Otonomi Daerah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan apakah penerapan otonomi daerah benar-benar
telah menciptakan ekspansi dalam perekonomian melalui perbaikan kinerja sektoral khususnya industri gula.
1.2. Perumusan Masalah