Dampak Kebijakan Ekonomi Tingkat Proteksi Pemerintah pada Pabrik Kelapa sawit

157 Apabila terjadi kenaikan harga output CPO dan inti sebesar 15 persen, yang bersamaan dengan terjadinya penguatan nilai rupiah menjadi Rp 9 000 per dollar Amerika Serikat Skenario 6 ternyata dapat menutupi dampak negatif dari penguatan nilai rupiah. Dengan skenario ini pabrik kelapa sawit memperoleh keuntungan baik dari sisi finansial maupun ekonomi. Kebijakan ini mengakibatkan kenaikan keuntungan finansial sebesar 876.9 persen dan kenaikan keuntungan ekonomi sebesar 244.1 persen. Adapun penerapan kebijakan kenaikan harga input TBS sebesar 10 yang diterapkan pada saat kenaikan harga output CPO dan inti sebesar 15 persen, dan bersamaan dengan terjadinya penguatan nilai rupiah menjadi Rp 9 000 per dollar Amerika Skenario 7 masih berdampak positif bagi pabrik kelapa sawit. Walaupun demikian kebijakan ini mengakibatkan penurunan keuntungan finansial sebesar 74.8 persen dan penurunan keuntungan ekonomi sebesar 22.5 persen.

5.6.2. Dampak Kebijakan Ekonomi Tingkat Proteksi Pemerintah pada Pabrik Kelapa sawit

Dampak kebijakan ekonomi terhadap tingkat proteksi pemerintah pada pabrik kelapa sawit dapat dilihat melalui hasil analisis terhadap tujuh skenario sebagaimana tertuang pada Tabel 18. Diberlakukannya Skenario 1 menghasilkan nilai EPC yang lebih kecil 1, NPCI yang lebih besar 1 yang relatif tidak berubah dengan nilai basisnya, serta dari nilai PC dan SRP yang negatif, semakin menegaskan bahwa kebijakan skenario pertama ini bersifat disinsentif bagi pabrik kelapa sawit. Nilai NPCO 1, karena memang pada pabrik kelapa sawit tanpa ada intervensi apapun dari pemerintah telah berdampak pada insentif terhadap output pabrik kelapa sawit. Kebijakan disinsentif terhadap input ini yaitu berupa kenaikan harga input TBS 158 sebesar 10 ternyata berdampak negatif dan secara keseluruhan merupakan disinsentif bagi pabrik kelapa sawit. Penerapan kebijakan ini dapat mengakibatkan pabrik kelapa sawit memperoleh kerugian sebesar 280.1 persen dari keuntungan yang seharusnya. Tabel 18. Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Berbagai Rasio Analisis Matriks Kebijakan pada Pabrik Kelapa Sawit Skenario Kebijakan NPCO NPCI EPC PC SRP Nilai Basis 0.9973 1.0376 0.9614 0.2801 -0.0204 Skenario 1 0.9973 1.0350 0.9586 -1.4322 -0.0204 Skenario 2 0.9966 1.0376 0.9676 0.8706 -0.0190 Skenario 3 0.9968 1.0348 0.9591 -1.6140 -0.0205 Skenario 4 0.9966 1.0350 0.9658 0.7640 -0.0190 Skenario 5 0.9968 1.0323 0.9557 -1.1773 -0.0205 Skenario 6 0.9961 1.0348 0.9661 0.7952 -0.0191 Skenario 7 0.9961 1.0323 0.9639 0.0911 -0.0191 Keterangan: Skenario 1 = harga TBS naik 10 persen Skenario 2 = harga CPO dan Inti naik 15 persen Skenario 3 = nilai tukar rupiah menguat dari Rp 9 750 menjadi Rp 9 000 Skenario 4 = kombinasi skenario 1 dan 2 Skenario 5 = kombinasi skenario 1 dan 3 Skenario 6 = kombinasi 2 dan 3 Skenario 7 = kombinasi 1, 2 dan 3 Penerapan Skenario 2 berdampak positif bagi pabrik kelapa sawit. Dampak positif ini terjadi karena memang kebijakan bersifat protektif terhadap output, diindikasikan dari nilai NPCO yang 1 0.9973 yang merupakan kebijakan paling protektif terhadap output dari semua skenario diluar skenario gabungan yang ada. Namun bila dilihat secara keseluruhan dengan menggunakan nilai rasio EPC, PC dan SRP mengindikasikan adanya kebijakan disinsentif. Dari rasio gabungan input dan output tampak bahwa kebijakan ini bersifat disinsentif terhadap pabrik kelapa sawit, hal ini ditunjukkan dari nilai EPC 1 0.9676, nilai PC 1 0.8706 dan nilai SRP -0.00190. Dengan demikian dapat dinyatakan 159 bahwa penerapan kebijakan yang bersifat protektif terhadap output ini ternyata secara keluruhan masih bersifat disinsentif terhadap pabrik kelapa sawit. Penerapan Skenario 3 berdampak negatif pada pabrik kelapa sawit, dan merupakan kebijakan yang bersifat disinsentif, hal ini dapat ditunjukkan dari nilai NPCO yang 1 0.9968, menunjukkan bahwa penguatan nilai rupiah ternyata bersifat disinsentif terhadap output pabrik kelapa sawit. Apabila dilihat secara keseluruhan kebijakan mempunyai nilai rasio yang mengindikasikan adanya kebijakan disinsentif. Hal ini dapat dilihat dari nilai EPC dan PC yang sama sama 1 dan nilai SRP yang menunjukkan transfer yang minus. Hal ini mengindikasikan bahwa pabrik kelapa sawit mengalami penurunan keuntungan kotor sebagai dampak penerapan kebijakan ini. Penerapan kebijakan yang secara keluruhan bersifat disinsentif ini dapat menurunkan keuntungan, karena pabrik kelapa sawit hanya menerima sebesar -161.40 dari keuntungan yang seharusnya. Penerapan Skenario 4 memberikan dampak yang positif bagi pabrik kelapa sawit. Kebijakan ini memang merupakan gabungan dari kebijakan yang sifatnya insentif terhadap output, yaitu kenaikan harga CPO dan Inti sebesar 15, yang diindikasikan dari nilai NPCO 1 0.9966 dan kebijakan yang sifatnya disinsentif terhadap input, yaitu kenaikan harga TBS 10, yang diindikasikan dari nilai NPCI 1 1.0350. Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa penerapan skenario ini memberikan dampak positif baik terhadap keuntungan privat maupun keuntungan sosial. Dampak positif ini tidak serta merta menjadikannya suatu kebijakan yang bersifat protektif. Karena secara keseluruhan kebijakan mempunyai nilai rasio yang mengindikasikan adanya kebijakan disinsentif. Hal 160 ini dapat dilihat dari nilai rasio EPC dan PC yang 1 dan SRP yang negatif dan ini semakin menegaskan bahwa kebijakan skenario ke empat ini masih bersifat disinsentif bagi pabrik kelapa sawit. Penerapan kebijakan kenaikan harga input TBS sebesar 10 persen yang bersifat disinsentif terhadap input pada saat terjadinya penguatan nilai tukar rupiah menjadi Rp 9 000 per dollar Amerika Serikat Skenario 5 memberikan dampak yang sangat negatif pada pabrik kelapa sawit. Dari nilai EPC dan PC yang lebih kecil 1 serta nila SRP yang negatif, dapat dikatakan bahwa kebijakan ini secara keseluruhan bersifat disinsentif terhadap pabrik kelapa sawit. Penerapan Skenario 6 berdampak positif bagi pabrik kelapa sawit. Dampak positif ini tidak serta merta menjadikannya suatu kebijakan yang bersifat protektif. Karena secara keseluruhan kebijakan mempunyai nilai rasio yang mengindikasikan adanya kebijakan disinsetif. Walaupun demikian kebijakan ini memang dari sisi NPCO yang 1 0.9961 dibandingkan dengan dari semua skenario yang ada merupakan kebijakan paling protektif terhadap output pabrik kelapa sawit. Tetapi karena nilai EPC masih lebih kecil dari 1, PC lebih kecil dari 1 dan SRP yang negatif semakin menegaskan bahwa kebijakan skenario ke enam ini masih bersifat disinsentif bagi pabrik kelapa sawit. Penerapan Skenario 7 berdampak positif bagi pabrik kelapa sawit. Dampak positif ini tidak serta merta menjadikannya suatu kebijakan yang bersifat protektif. Karena secara keseluruhan kebijakan mempunyai nilai rasio yang mengindikasikan adanya kebijakan disinsentif. Hal ini diindikasikan dari nilai EPC dan PC yang lebih kecil 1 dan SRP yang negatif semakin menegaskan bahwa kombinasi kebijakan kenaikan harga input TBS 10 dan kebijakan kenaikan 161 harga output CPO dan inti sebesar 15 yang diterapkan pada saat terjadinya penguatan rupiah secara keseluruhan masih bersifat disinsentif bagi pabrik kelapa sawit. 5.6.3. Dampak Kebijakan Ekonomi Keunggulan Kompetitif dan Keunggulan Komparatif pada Pabrik Kelapa sawit Dampak kebijakan ekonomi terhadap keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pabrik kelapa sawit dapat dilihat melalui hasil analisis terhadap tujuh skenario sebagaimana tertuang pada Tabel 19. Tabel 19. Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Keunggulan Kompetitif dan Komparatif pada Pabrik Kelapa Sawit Skenario Kebijakan PCR DRC Nilai Basis 0.9844 0.9464 Skenario 1 1.1431 1.0958 Skenario 2 0.7745 0.7494 Skenario 3 1.1122 1.0667 Skenario 4 0.8852 0.8549 Skenario 5 1.3081 1.2501 Skenario 6 0.8636 0.8343 Skenario 7 0.9962 0.9603 Keterangan: Skenario 1 = harga TBS naik 10 persen Skenario 2 = harga CPO dan Inti naik 15 persen Skenario 3 = nilai tukar rupiah menguat dari Rp 9 750 menjadi Rp 9 000 Skenario 4 = kombinasi skenario 1 dan 2 Skenario 5 = kombinasi skenario 1 dan 3 Skenario 6 = kombinasi 2 dan 3 Skenario 7 = kombinasi 1, 2 dan 3 Penerapan Skenario 1 memberikan dampak yang sangat negatif pada pabrik kelapa sawit. Kebijakan disinsentif input ini berdampak penurunan paling tinggi nomor dua baik pada keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pabrik kelapa sawit, dibandingkan dengan keseluruhan skenario kebijakan yang 162 ada. Hal ini diindikasikan dari nilai PCR dan DRCR yang dicapai yaitu sebesar 1.1431 dan 1.0958. Dengan demikian penerapan kebijakan kenaikan input TBS sebesar 10 memberikan dampak buruk bagi pengusahaan pabrik kelapa sawit, dan menjadikan pabrik kelapa sawit menjadi tidak mempunyai keunggulan kompetitif dan tidak memiliki keunggulan komparatif. Kebijakan kenaikan harga output CPO dan inti sebesar 15 persen Skenario 2 berdampak kenaikan paling tinggi baik pada keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pabrik kelapa sawit, dibandingkan dengan keseluruhan skenario kebijakan yang ada. Hal ini diindikasikan dari paling kecilnya nilai PCR dan DRCR yang dicapai yaitu sebesar 0.7745 dan 0.7494. Dengan demikian penerapan kebijakan kenaikan output CPO dan inti sebesar 15 persen memberikan dampak terbaik dalam peningkatan dayasaing dan keunggulan komparatif dari keseluruhan skenario kebijakan bagi pengusahaan pabrik kelapa sawit. Terjadinya penguatan nilai tukar rupiah menjadi Rp 9 000 per dollar Amerika Serikat Skenario 3 berdampak penurunan pada keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pabrik kelapa sawit. Hal ini diindikasikan dari kenaikan nilai PCR dari 0.9844 menjadi 1.1122 dan kenaikan nilai DRCR yaitu dari 0.9464 menjadi 1.0667. Dengan demikian penerapan kebijakan Skenario 3 ini memberikan dampak negatif bagi pengusahaan pabrik kelapa sawit dengan meniadakan keunggulan kompetitifnya dan keunggulan komparatifnya. Kombinasi kebijakan kenaikan harga input TBS 10 persen dengan kebijakan kenaikan harga output CPO dan inti sebesar 15 persen Skenario 4 menaikkan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dari pabrik kelapa 163 sawit. Hal ini diindikasikan dari penurunan nilai PCR dari 0.9844 menjadi 0.8852 dan penurunan nilai DRCR yaitu dari 0.9464 menjadi 0.8549. Dengan demikian penerapan kebijakan Skenario 4 ini memberikan dampak positif bagi pengusahaan pabrik kelapa sawit. Kebijakan Skenario 5 berdampak sangat negatif pada pabrik kelapa sawit. Kebijakan kenaikan harga input TBS 10 pada saat penguatan nilai rupiah ini berdampak penurunan paling tinggi pada keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pabrik kelapa sawit, dibandingkan dengan keseluruhan skenario kebijakan yang ada.terhadap pabrik kelapa sawit. Hal ini diindikasikan menaiknya nilai PCR dari 0.9844 menjadi 1.3081 dan menaiknya nilai DRCR dari 0.9464 dan 1.2051. Dengan demikian penerapan kebijakan kenaikan input TBS sebesar 10 persen memberikan dampak negatif bagi pengusahaan pabrik kelapa sawit dengan menghilangkan baik keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatifnya. Penerapan kebijakan Skenario 6 berdampak kenaikan nomor dua paling tinggi pada keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pabrik kelapa sawit, dibandingkan dengan keseluruhan skenario kebijakan yang ada. Hal ini diindikasikan dari kecilnya nilai PCR dan DRCR yang dicapai yaitu sebesar 0.8636 dan 0.7361. Dengan demikian penerapan kebijakan Skenario 6 ini memberikan dampak terbaik ke dua dari keseluruhan skenario kebijakan bagi peningkatan daya saing dan keunggulan komparatif pengusahaan pabrik kelapa sawit. Penerapan kebijakan Skenario 7 berdampak pada penurunan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pabrik kelapa sawit. Hal ini diindikasikan dari menaiknya nilai PCR dari 0.9844 menjadi 0.9962 dan menaiknya DRCR dari 164 0.9464 menjadi 0.9603. Dengan demikian penerapan kebijakan Skenario 7 ini memberikan dampak bagi pengusahaan pabrik kelapa sawit, dalam bentuk penurunan level keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatifnya.

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

6.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Siak 6.1.1. Struktur PDB dan Jumlah Tenaga Kerja Dengan menggunakan tabel SAM Siak 2003 yang telah dibangun Lampiran 2 dapat digambarkan nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor ekonomi yang mencerminkan besarnya Produk Domestik Regional Bruto PDRB atas dasar harga faktor pada tahun tertentu. Bila ditambah dengan pajak tidak langsung akan menghasilkan PDRB atas dasar harga konstan. Tabel 20 menyajikan PDRB atas dasar harga faktor dari sisi penerimaan supply side dan menyajikan jumlah tenaga kerja menurut sektor-sektor ekonomi Kabupaten Siak pada tahun 2003. Dari 20 sektor yang ada dalam neraca sektor produksi SAM yang ada di Kabupaten Siak, dapat dikelompokkan dalam empat sektor utama perekonomian, yaitu: 1. Sektor pertanian yang mencakup bidang usaha pertanian tanaman pangan, pertanian tanaman lainnya, peternakan dan hasil-hasilnya, perkebunan kelapa sawit rakyat, perkebunan kelapa sawit perkebunan besar, kehutanan dan perburuan, serta perikanan. 2. Sektor pertambangan dan penggalian yang biasanya merupakan bagian dari sektor industri, tetapi dalam kasus ini sengaja dipisahkan mengingat besarnya kontribusi bidang usaha pertambangan dan penggalian ini dalam perekonomian Kabupaten Siak. 3. Sektor industri yang mencakup bidang usaha industri kelapa sawit, industri makanan, minuman dan tembakau, dan industri pengolahan lainnya.