Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Tingkat Proteksi Pemerintah pada Perkebunan Kelapa Sawit

148 persen dan keuntungan ekonomi 21.38 persen dari kebun perusahaan inti yang relatif lebih besar dibandingkan kenaikan keuntungan finansial 20.96 persen dan keuntungan ekonomi 21.40 persen pada kebun petani plasma. Kombinasi kebijakan kenaikan harga pupuk 10 persen dan kebijakan kenaikan output TBS 10 persen yang diterapkan pada saat terjadinya penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Skenario 7 juga memberikan dampak yang positif baik pada kebun petani plasma maupun pada kebun perusahan inti. Kombinasi kebijakan ini sama sama mengakibatkan kenaikan keuntungan finansial dan keuntungan ekonomi baik pada kebun petani plasma maupun pada kebun perusahaan inti. kebun perusahaan inti relatif lebih sensitif dari kebun petani plasma. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan keuntungan finansial 20.43 persen dan keuntungan ekonomi 20.78 persen dari kebun perusahaan inti yang relatif lebih besar dibandingkan kenaikan keuntungan finansial 20.33 persen dan keuntungan ekonomi 20.76 persen pada kebun petani plasma.

5.5.2. Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Tingkat Proteksi Pemerintah pada Perkebunan Kelapa Sawit

Dampak kebijakan ekonomi terhadap berbagai tingkat proteksi pemerintah pada perkebunan kelapa sawit dapat dilihat melalui hasil analisis terhadap tujuh skenario sebagaimana tertuang pada Tabel 15. Dari Tabel 15 dapat diketahui pada perkebunan kelapa sawit petani plasma dan perusahaan inti, dari sisi rasio NPCO, untuk penerapan semua skenario yang ada ternyata tidak memberikan dampak apa apa pada output, baik yang sifatnya protektif maupun disinsentif. 149 Tabel 15. Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Berbagai Rasio Analis Matrik Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit Skenario Kebijakan NPCO NPCI EPC PC SRP Kebun Petani Plasma Nilai Basis 1.0000 0.8925 1.0333 1.0214 0.0104 Skenario 1 1.0000 0.8944 1.0333 1.0214 0.0103 Skenario 2 1.0000 0.8925 1.0294 1.0177 0.0094 Skenario 3 1.0000 0.8903 1.0333 1.0214 0.0104 Skenario 4 1.0000 0.8944 1.0294 1.0177 0.0094 Skenario 5 1.0000 0.8922 1.0333 1.0214 0.0104 Skenario 6 1.0000 0.8903 1.0295 1.0178 0.0095 Skenario 7 1.0000 0.8922 1.0294 1.0177 0.0094 Kebun Perusahaan Inti Nilai Basis 1.0000 0.9018 1.0309 1.0171 0.0083 Skenario 1 1.0000 0.9035 1.0308 1.0170 0.0082 Skenario 2 1.0000 0.9018 1.0273 1.0141 0.0075 Skenario 3 1.0000 0.8999 1.0309 1.0171 0.0083 Skenario 4 1.0000 0.9035 1.0272 1.0141 0.0074 Skenario 5 1.0000 0.9016 1.0309 1.0171 0.0083 Skenario 6 1.0000 0.8999 1.0273 1.0142 0.0076 Skenario 7 1.0000 0.9016 1.0273 1.0141 0.0075 Keterangan: Skenario 1 = harga pupuk naik 10 persen Skenario 2 = harga TBS naik 10 persen Skenario 3 = nilai tukar rupiah menguat dari Rp 9 750 menjadi Rp 9 000 Skenario 4 = kombinasi skenario 1 dan 2 Skenario 5 = kombinasi skenario 1 dan 3 Skenario 6 = kombinasi 2 dan 3 Skenario 7 = kombinasi 1, 2 dan 3 Walaupun harga pupuk naik 10 persen Skenario 1, ternyata produsen perkebunan kelapa sawit masih saja memperoleh dampak kebijakan protektif dan bukannya disinsentif. Dampak dari kebijakan kenaikan input ini langsung terlihat pada nilai NPCI merupakan indikator tingkat proteksi pemerintah terhadap input menjadi tertinggi dari seluruh tujuh skenario yang ada baik pada perkebunan kelapa sawit petani plasma maupun dari kebun perusahaan inti. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan kenaikan harga pupuk memang berdampak terhadap pengurangan nilai dari subsidi yang ada. Dari analisis rasio lainnya juga diperoleh hal yang sama yaitu: 1 nilai EPC relatif tidak berubah masih lebih 150 besar dari 1 yang mengindikasian adanya proteksi secara simultan terhadap input-output, 2 nilai PC juga relatif tidak berubah masih tetap lebih besar dari 1, mengindikasikan bahwa keseluruhan kebijakan masih memberikan insentif kepada produsen walaupun terjadi sedikit pengurangan, dan 3 nilai SRP tetap positif, yang mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah masih berakibat pada pemberian subsidi kepada produsen walau sedikit berkurang. Pada Skenario 2, dari nilai EPC, NPCI dan NPCO yang relatif tidak berubah juga menegaskan bahwa dampak kebijakan ini bersifat protektif serta dari nilai PC dan SRP yang juga relatif tidak berubah meyakinkan bahwa kebijakan ini memberikan insentif atau seperti dampak subsidi kepada produsen walaupun agak menurun. Pada Skenario 3, nilai EPC, NPCI dan NPCO juga relatif tidak berubah, menegaskan bahwa dampak dari menguatnya nilai rupiah ini masih belum mengeleminir sifat protektif. Begitu juga dengan nilai PC dan SRP yang relatif tetap, mengandung pengertian bahwa terjadinya penguatan nilai rupiah ternyata dampaknya memberikan insentif atau masih memberikan subsidi kepada produsen. Pada Skenario 4, nilai EPC, NPCI dan NPCO relatif tidak berubah, menegaskan bahwa dampak kebijakan ini bersifat protektif. Nilai PC dan SRP yang juga relatif tidak berubah mengindikasikan bahwa kebijakan ini memberikan insentif atau masih memberikan subsidi kepada produsen walaupun agak menurun. Pada Skenario 5, nilai EPC, NPCI dan NPCO yang relatif tidak berubah juga menegaskan bahwa dampak kebijakan ini bersifat protektif serta dari nilai PC 151 dan SRP yang juga relatif tidak berubah meyakinkan bahwa kebijakan ini memberikan insentif atau seperti dampak subsidi kepada produsen walaupun agak menurun. Pada Skenario 6, nilai EPC, NPCI dan NPCO yang relatif tidak berubah juga menegaskan bahwa dampak kebijakan ini bersifat protektif serta dari nilai PC dan SRP yang juga relatif tidak berubah meyakinkan bahwa kebijakan ini memberikan insentif atau seperti dampak subsidi kepada produsen walaupun agak menurun. Pada Skenario 7, nilai EPC, NPCI dan NPCO yang agak sedikit menurun juga menegaskan bahwa dampak kebijakan ini bersifat protektif. Dan dari nilai PC dan SRP yang juga relatif tidak berubah meyakinkan bahwa kombinasi kebijakan ini memberikan insentif atau seperti dampak subsidi kepada produsen walaupun agak menurun.

5.5.3. Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Keunggulan Kompetitif dan Keunggulan Komparatif