Tinjauan Studi Dayasaing dan Matriks Neraca Kebijakan

43 Melalui pengembangan pola patungan ini, maka berbagai manfaat akan diperoleh, baik bagi petani, koperasi, pengusaha, maupun pemerintah daerah, yaitu: 1 petanianggota koperasi memperoleh 2 sumber pendapatan, yaitu selain dari kebunnya sebagai tenaga kerja juga mendapatkan deviden dari perusahaan patungan; 2 kelangsungan usaha akan lebih terjamin, karena tidak akan lagi terjadi konflik usaha dengan masyarakat; 3 terjaminnya ketersediaan minyak goreng, mentega dan sabun dilokasi dengan harga terjangkau; 4 prasarana jalan di daerah tidak cepat rusak, karena lalu-lalang TBS berkurang dan tonase kendaraan yang lebih ringan; dan 5 ekonomi wilayah akan lebih cepat berkembang dan akan mendorong meningkatnya pendapatan daerah.

2.4. Tinjauan Studi Dayasaing dan Matriks Neraca Kebijakan

Dayasaing pada prinsipnya merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi komoditi dengan mutu baik dan biaya produksi yang rendah sehingga pada harga pasar internasional produsen dapat memperoleh keuntungan dan dapat mempertahankan kelanjutan kegiatan produksinya. Lindert dan Kindleberger 1993, menyebutkan bahwa konsep daya saing berpijak pada dari konsep keunggulan komparatif yang pertamakali dikenal dengan model Ricardian, yang dikenal dengan hukum keunggulan komparatif the law of comparative advantage dari Ricardo. G. Habler selanjutnya menyempurnakan teori keunggulan komparatif, yaitu dengan menafsirkan bahwa labour of value hanya dapat digunakan pada barang antara, sehingga menurutnya teori biaya imbangan theory opportunity cost dipandang lebih relevan. Selanjutnya teori H. Ohlin tentang pola perdagangan menyatakan bahwa: “Komoditi yang dalam produksinya memerlukan faktor produksi yang melimpah dan faktor produksi 44 yang langka diekspor untuk ditukar dengan barang-barang yang membutuhkan faktor produksi dalam proporsi yang sebaliknya. Jadi secara tidak langsung faktor produksi yang melimpah diekspor dan faktor produksi yang langka diimpor”. Rahman, Sudaryanto dan Simatupang 2003 mengemukakan bahwa konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing potensial dalam artian daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditi yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi. Keunggulan komparatif bersifat dinamis. Menurut Schydlowsky 1984 faktor-faktor yang berubah adalah ekonomi dunia, lingkungan domestik dan teknologi. Berdasarkan uraian uraian tersebut, keunggulan komparatif adalah suatu ukuran relatif yang menunjukkan potensi keunggulan komoditi tersebut dalam perdagangan di pasar bebas. Sedangkan keunggulan kompetitif masih menurut Rahman, Sudaryanto dan Simatupang 2003 merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada perekonomian aktual. Adapun Porter 1985, Martin et al. 1991 , Tweeten 1992 dan Wild, Wild dan Han 1999 menyatakan bahwa keunggulan daya saing pada prinsipnya merupakan kemampuan suatu negaraperusahaan untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar secara menguntungkan dan berkelanjutan melalui pemanfaatan keunggulan komparatifnya. Sementara itu menurut Porter 1990 menyatakan teori keunggulan kompetitif suatu negara terhadap suatu industri tegantung kepada kapasitas dan kemampuan untuk melakukan inovasi dan up grade. Terdapat empat elemen yang dimiliki setiap negara untuk membentuk basis keunggulan kompetitif yaitu kondisi input factor conditions, kondisi 45 permintaan demand conditions, industri penunjang related and supporting industies dan struktur pasar firm strategy, structure and rivalry. Dalam konteks PAM, efisiensi merujuk pada kemampuan sistem usaha tani untuk menghasilkan keuntungan pada harga efisien atau harga sosial. Hal ini merefleksikan bahwa dalam sistem usaha tani tidak terjadi pendistorsian kebijakan dan kegagalan pasar. Sedangkan tingkat dayasaing competitiveness merefleksikan kemampuan dari usaha tani untuk menghasilkan keuntungan pada harga aktual pasar atau harga privat pada lokasi usaha tani tersebut berada Rasmikayati dan Nurasiyah, 2004 ; Pearson et al. , 2005 Oktaviani 1991 melakukan studi untuk menganalisis efisiensi finansial, efisiensi ekonomis dan keunggulan komparatif dari komoditas pangan di Indonesia dengan menggunakan Policy Analysis Matrix. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa komoditas pangan di enam propinsi di tahu 1984 dan 1989 memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif, Hal ini ditunjukkan dari nilai keuntungan privat dan sosial yang sama-sama positif. Sedangkan dari sisi kebijakan pemerintah diketahui bahwa secara keseluruhan kebijakan pemerintah tidak memberikan insentif bagi produsen untuk berproduksi. Simanjutak 1992 melakukan studi untuk menganalisis dayasaing dan dampak kebijaksanaan pemerintah terhadap dayasaing perusahaan kelapa sawit di Indonesia. Analisis dayasaing dilakukan dengan menggunakan pendekatan Policy Analysis Matrix sedangkan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dibangun sebuah model berdasarkan fungsi produksi Cobb-Douglas. Dari hasil penelitian diketahui bahwa secara umum pada periode 1985 -1989 PTP masih cukup mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif sebagai penghasil 46 CPO dan Inti. Perusahaan Swasta Asing mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif yang jauh lebih tinggi dibandingkan PTP dalam menghasilkan devisa, sedangkan Swata Nasional masih belum mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif. Dari sisi produktivitas, beberapa faktor utama yang dapat mempengaruhi biaya produksi adalah produktivitas TBS, CPO dan Inti per hektar, pengaruh kenaikan harga input produksi dan keadaan alokasi input produksi variabel. Matoskova and Izakova 2003 melakukan studi yang bertujuan untuk mendefenisikan sifat kompetitif dari kelompok-kelompok pangan terpilih di Slovakia berdasarkan indikator keunggulan komparatif DRC dan PCR, dan menangkap dampak kebijakan ekonomi terhadap biaya dan pendapatan dari produk-produk pangan berdasarkan pada efek penyebaran I, J, K, L dan koefisien-koefisien proteksi nominal NPCI dan NPCO dan proteksi efektif EPC, PC, dan SRP. Analisis Policy Accounting Matrix PAM digunakan untuk menganalisis menghitung indikator keunggulan komparatif dan dampak kebijakan ekonomi terhadap biaya dan pendapatan dari produk-produk pangan. Berdasarkan hasil analisis PAM dapat disimpulkan bahwa: Pertama, milling industry pada tahun 1998 dan 1999 secara ekonomi efektif dan tidak hanya memiliki keunggulan komparatif pada pasar domesik, namun juga memiliki keunggulan komparatif pada pasar internasional. Pada waktu yang bersamaan, pada kedua tahun tersebut keuntungan diperoleh baik berdasarkan harga individu maupun berdasarkan harga sosial. Kedua, beberapa feedstuffs industry memiliki keunggulan komparatif pada pasar internasional dan memiliki nilai keuntungan yang positif berdasarkan harga 47 sosial. Namun demikian, feedstuffs industry pada pasar domestik tidak memiliki keunggulan komparatif dan cenderung merugi. Ketiga, pasta industry tidak memiliki keunggulan komparatif baik pada pasar internasional maupun pada pasar domestik, serta cenderung merugi baik berdasarkan harga individu maupun harga sosial. Keempat, spirits industry memiliki keunggulan kompetitif pada pasar domestik dan memberikan keuntungan berdasarkan harga individu. Namun demikian, industri ini tidak memiliki keunggulan komparatif pada pasar internasional. Kelima, wine industry mempunyai keunggulan kompetitif dan menguntungkan. Namun industri ini sangat tidak kompetitif pada tahun 1999 dibandingkan dengan tahun 1998. Keenam, beer industry efisien secara ekonomi pada tahun 1998 dan 1999. Industri ini memiliki keunggulan komparatif pada pasar domestik maupun pasar internasional, serta memberikan keuntungan baik berdasarkan harga individu maupun berdasarkan harga sosial. Ketujuh, malt industry tidak memiliki keunggulan komparatif dan tidak menguntungkan pada tahun 1998. Pada tahun 1999 juga masih kurang kompetitif pada pasar internasional, namun pada pasar domestik berada pada posisi kompetitif. Untuk meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif upaya untuk menekan biaya produksi perlu dilakukan oleh berbagai produsen industri pangan. Studi lainnya yang menggunakan analisis yang sama dilakukan oleh Hai and Heidhues 2004. Studi ini dilakukan berdasarkan pengamatan atas fenomena bahwa percepatan perubahan lingkungan ekonomi global dan reformasi ekonomi domesik di Vietnam telah mengedepankan isu-isu keunggulan komparatif dari sektor perberasan. Pada tahun-tahun belakangan ini, Vietnam telah berupaya untuk meningkatkan kompetitif pasar ekspor berasnya. Studi ini bertujuan untuk 48 menguji fluktuasi keunggulan komparatif produksi beras Vietnam berdasarkan sejumlah skenario dari liberalisasi perdagangan dan reformasi ekonomi di Vietnam. Untuk menganalisis permasalahan tersebut, Policy Analysis Matrix PAM digunakan dan dilengkapi dengan model ekonometrika. Studi ini memasukkan sejumlah skenario simulasi dari liberalisasi perdagangan dan reformasi ekonomi, menggunakan beragam faktor tunggal dan kelompok faktor seperti harga produk dan biaya-biaya input, seperti harga impor pupuk, lahan, biaya air, tenaga kerja dan sebagainya. Hasil empiris menggambarkan bahwa pada tahun 1998 skenario dasar, keunggulan komparatif beras relatif tinggi dan menggunakan sumberdaya domestik seperti lahan, tenaga kerja dan air, yang efisien secara ekonomi. Elastisitas dugaan DRC terhadap harga beras dunia dan nilai tukar bayangan shadow exchange rate pada tahun 1998 memperlihatkan kondisi keunggulan komparatif. Elastisitas dugaan DRC terhadap sewa lahan, biaya sosial tenaga kerja, harga impor pupuk, dan biaya air irigasi mengindikasikan nilai absolut yang kecil dan berdampak negatif terhadap keunggulan komparatif dengan kenaikan harga. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa keunggulan komparatif beras sangat sensitif terhadap perubahan harga ekspor. Dapat ditambahkan bahwa nilai tukar dan sewa lahan juga penting dalam mempengaruhi keunggulan komparatif sektor perberasan di Vietnam. Hasil empiris lainnya memperlihatkan bahwa Vietnam masih mampu meningkatkan keunggulan komparatif produksi beras pada dekade mendatang, namun demikian keunggulan komparatif secara serius berdampak atau mengancam kondisi perekonomian secara simultan. 49 Selanjutnya Winter and Nelson 1991 melakukan studi yang menggunakan analisis PAM dengan tujuan untuk menganalisis kelayakan usaha dari komoditas Tembakau di Zimbabwe, dan menganalisis kelayakan usaha tersebut pada berbagai regim yang berbeda, dengan harapan petani dapat memutuskan untuk menanam komoditas campuran dan mengarahkan petani di wilayah Afrika ini agar dapat menanamkan modalnya secara tepat. Hasil studi ini menyebutkan bahwa kelayakan usaha dalam memproduksi tembakau mendorong petani untuk meningkatkan produksinya pada masa mendatang. Kelayakan sosial mengandung pengertian bahwa komoditas ini disamping akan meningkatkan pendapatan petani juga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional Zimbabwe. Hasil simulasi menyimpulkan bahwa pada kondisi hasil dan kualitas yang relatif rendah, dan efek disinsentif dari nilai tukar yang terlalu tinggi overvalued exchange rate, diperlukan skema kredit agar petani tertarik untuk mengusahakan komoditas tembakau. Ketika dilakukan devaluasi nilai tukar sebesar 20 akan membuat program kredit tidak lagi diperlukan karena komoditas tembakau akan menjadi sangat menguntungkan tanpa adanya program kredit. Studi dengan menggunakan pendekatan policy analysis matrix PAM yang dimodifikasi dilakukan oleh Mohanty and Chaudhary 2002 untuk menganalisis efisiensi produksi benang sebagai salah satu dari lima komoditas utama di India. Hasil studi ini mengindikasikan bahwa produksi benang di India tidak efisien, hal ini disebabkan kebijakan pemerintah secara langung membuat harga benang menjadi murah dan sektor tekstil menjadi tidak efisien. 50 Aji 2003 di Fakultas Pertanian Universitas Jember melakukan penelitian menggunakan PAM untuk menganalisis efisiensi dan daya saing sistem usaha tani kedelai di Jember. Dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa sistem usaha tani kedelai baik untuk varietas umum maupun varietas yang baru kedua duanya ditemukan efisien dan kompetitif. Tingkat dayasaing dan efisiensi dari varietas baru dijumpai lebih besar dibandingkan dengan varietas biasa. Private benefit cost ratio PBCR dari sistem usaha tani dengan menggunakan varietas baru lebih tinggi 13 persen dari PBCR sistem usaha tani dengan varietas yang biasa. Disamping itu nilai PCR dari sistem usaha tani varitas biasa yang lebih tinggi 0.33 dibandingkan dengan nilai PCR pada sistem usahatani varietas baru 0.27 juga mengindikasikan bahwa sistem usahatani varietas baru lebih kompetitif dibadingkan dengan sistem usahatani varietas biasa. Rasmikayati dan Nurasiyah 2004 menggunakan PAM untuk meneliti kelayakan ekonomi dari investasi yang dilakukan untuk pembangunan pembenihan kentang. Penelitian ini juga mengakses efisiensi relatif dari sistem usaha tani pembenihan kentang masing masing untuk yang benih tersertifikasi, domestik dan benih asal impor. Penelitian juga menganalisis tingkat dayasaing sistem usahatani kentang yang menggunakan benih kentang berasal dari benih tersertifikasi, domestik dan benih impor. Hasil penelitian menunjukkan ke tiga sistem usaha tani sama sama memberikan keuntungan yang tinggi baik untuk harga privat maupun harga sosial. Walaupun demikian tampak bahwa sistem usaha tani yang berasal dari benih tersertifikasi mempunyai keuntungan yang secara signifikan lebih baik dibanding dengan sistem usaha tani dengan benih baik yang berasal dari domestik ataupun impor. 51 Perdana 2003 menggunakan analisis PAM untuk menganilisis tingkat daya saing dan efisiensi usaha penggemukan sapi di Kabupaten Bandung Jawa Barat. Dari hasil analisis PAM usaha penggemukan sapi ditemukan amat menguntungkan, baik pada tingkat harga privat maupun harga sosial. Usaha penggemukan, baik bibit lokal maupun bibit impor memberikan keuntungan yang baik serta insetif positif bagi produsen yang mencerminkan penggunaan sumberdaya yang efisien. Usaha penggemukan sapai dengan bibit lokal, dengan pakan rumput dan jerami merupakan aktivitas yang paling menguntungkan. Saptana, Friyatno dan Bastuti 2004 menganalisis dayasaing komoditi tembakau rakyat di Klaten Jawa Tengah dengan menggunakan analis PAM. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa tembakau skalau usaha kecil di Klaten mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, masing diindikasikan dari nilai DRC antara 0.42 – 0.65 dan nilai PCR = 0.55 – 0.67. Walaupun demikian pasar tembakau khususnya untuk ekspor mengalami distorsi yang sangat tinggi, dengan adanya bea cukai yang mencapai 30 – 40 persen. Sehingga untuk Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dari segi ekonomi maupun privat akan lebih menguntungkan meningkatkan produksi dalam negeri dibandingkan dengan impor. Romdhon dan Siregar 2004 menggunakan PAM untuk menelaah dayasaing industri kecil gula kelapa di Kabupaten Banyumas. Dalam penelaahan kebijakan yang direkomendasikan, penelitian ini menambahkan analisis opsi kelembagaan dengan menggunakan fungsi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas gula kelapa di Kabupaten Banyumas mempunyai dayasaing yang relatif tinggi. Pengusahaan komoditas tersebut memberikan 52 keuntungan secara privat maupun secara sosial. Hasil analisis menunjukkan bahwa keuntungan sosial lebih besar dibandingkan dengan keuntungan privat. Distorsi ini terutama disebabkan oleh kegagalan pasar, dan berkenaan dengan kontrak tradisional yang umumnya mengikat produsen gula kelapa penderes. Dari analisis fungsi logistik diketahui bahwa pendapatan rumah tangga penderes, karakteristik komoditas yang diusahakan, dan karakteristik kelembagaan merupakan faktor-faktor penentu opsi kelembagaan pemasaran yang dipilih penderes.

2.5. Tinjauan Studi Peranan Sektoral dalam Perekonomian