151 dan SRP yang juga relatif tidak berubah meyakinkan bahwa kebijakan ini
memberikan insentif atau seperti dampak subsidi kepada produsen walaupun agak menurun.
Pada Skenario 6, nilai EPC, NPCI dan NPCO yang relatif tidak berubah
juga menegaskan bahwa dampak kebijakan ini bersifat protektif serta dari nilai PC dan SRP yang juga relatif tidak berubah meyakinkan bahwa kebijakan ini
memberikan insentif atau seperti dampak subsidi kepada produsen walaupun agak menurun.
Pada Skenario 7, nilai EPC, NPCI dan NPCO yang agak sedikit menurun
juga menegaskan bahwa dampak kebijakan ini bersifat protektif. Dan dari nilai PC dan SRP yang juga relatif tidak berubah meyakinkan bahwa kombinasi kebijakan
ini memberikan insentif atau seperti dampak subsidi kepada produsen walaupun agak menurun.
5.5.3. Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Keunggulan Kompetitif dan Keunggulan Komparatif
Dampak kebijakan ekonomi terhadap keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif pada perkebunan kelapa sawit dapat dilihat melalui hasil
analisis terhadap tujuh skenario sebagaimana tertuang pada Tabel 16. Dampak
dari penerapan kebijakan Skenario 1 menurunkan keunggulan kompetitif dan
keunggulan komparatif dari kebun petani plasma, diindikasikan dari meningkatnya PCR dari 0.3731 menjadi 0.3746 serta meningkatnya nilai DRCR
dari 0.3658 menjadi 0.3673. Hal yang sama juga terjadi pada kebun perusahaan inti, yang diindikasikan dari meningkatnya PCR dari 0.3729 menjadi 0.3743 serta
meningkatnya DRCR dari 0.3644 menjadi 0.3658.
152 Tabel 16. Dampak Kebijakan Ekonomi terhadap Keunggulan Kompetitif dan
Keunggulan Komparatif pada Perkebunan Kelapa Sawit Skenario Kebijakan
PCR DRC
Kebun Petani Plasma Nilai Basis
0.3731 0.3658
Skenario 1 0.3746
0.3673 Skenario 2
0.3311 0.3234
Skenario 3 0.3714
0.3640 Skenario 4
0.3323 0.3246
Skenario 5 0.3729
0.3656 Skenario 6
0.3298 0.3220
Skenario 7 0.3309
0.3232 Kebun Perusahaan Inti
Nilai Basis 0.3729
0.3644 Skenario 1
0.3743 0.3658
Skenario 2 0.3307
0.3220 Skenario 3
0.3712 0.3627
Skenario 4 0.3318
0.3232 Skenario 5
0.3726 0.3641
Skenario 6 0.3294
0.3207 Skenario 7
0.3305 0.3218
Keterangan: Skenario 1 = harga pupuk naik 10 persen
Skenario 2 = harga TBS naik 10 persen Skenario 3 = nilai tukar rupiah menguat dari Rp 9 750 menjadi Rp 9 000
Skenario 4 = kombinasi skenario 1 dan 2 Skenario 5 = kombinasi skenario 1 dan 3
Skenario 6 = kombinasi 2 dan 3 Skenario 7 = kombinasi 1, 2 dan 3
Sementara itu, dampak kebijakan Skenario 2 menaikkan keunggulan
kompetitif dan keunggulan komparatif dari kebun petani plasma, diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3731 menjadi 0.3311 serta menurunnya nilai DRCR
dari 0.3658 menjadi 0.3234. Hal yang sama juga terjadi pada kebun perusahaan inti, yang diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3729 menjadi 0.3307 serta
menurunnya DRCR dari 0.3644 menjadi 0.3220. Dampak dari penguatan nilai tukar rupiah dari Rp 9 750 menjadi Rp 9 000
Skenario 3 juga menaikkan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif
153 dari kebun petani plasma, diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3731
menjadi 0.3714, serta meningkatnya nilai DRCR dari 0.3658 menjadi 0.3640. Hal yang sama juga terjadi pada kebun perusahaan inti, yang diindikasikan dari
menurunnya PCR dari 0.3729 menjadi 0.3712 serta menurunnya DRCR dari 0.3644 menjadi 0.3627.
Kombinasi kebijakan kenaikan harga pupuk 10 persen dengan kebjakan kenaikan output TBS sebesar 10 persen Skenario 4 memberikan dampak yang
sama dengan Skenario 2 dan 3. Keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dari kebun petani plasma meningkat, diindikasikan dari menurunnya
PCR dari 0.3731 menjadi 0.3323 serta meningkatnya nilai DRCR dari 0.3658 menjadi 0.3246. Keunggulan kompetitif dan komparatif kebun perusahaan inti
juga meningkat, yang diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3729 menjadi 0.3318 serta menurunnya DRCR dari 0.3644 menjadi 0.3232.
Dari nilai rasio-rasio di atas tampak bahwa dampak negatif dari kebijakan kenaikan harga pupuk 10 persen menjadi tertutupi oleh dampak positif yang lebih
besar dari kebijakan kenaikan output TBS 10 persen. Sehingga pada akhirnya
Skenario 4 juga berdampak positif bagi pengusahaan kelapa sawit petani plasma
maupun bagi kebun perusahaan inti. Dampak kebijakan protektif input dan terjadinya penguatan nilai tukar
rupiah menjadi Rp 9 000 per dollar Amerika Serikat Skenario 5 menaikkan
keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dari kebun petani plasma walaupun relatif kecil, diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3731 menjadi
0.3729 serta meningkatnya nilai DRCR dari 0.3658 menjadi 0.3656. Hal yang sama juga terjadi pada kebun perusahaan inti, yang diindikasikan dari
154 menurunnya PCR dari 0.3729 menjadi 0.3726 serta menurunnya DRCR dari
0.3644 menjadi 0.3641. Hasil analisis Skenario 5 juga tetap berdampak positif
bagi kebun petani plasma maupun bagi kebun perusahaan inti. Dampak kebijakan kenaikan output TBS 10 dan terjadinya penguatan
nilai tukar rupiah menjadi Rp 9000 per dollar Amerika Serikat Skenario 6
menaikkan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dari kebun petani plasma, diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3731 menjadi 0.3298 serta
meningkatnya nilai DRCR dari 0.3658 menjadi 0.3220. Hal yang sama juga terjadi pada kebun perusahaan inti, yang diindikasikan dari menurunnya PCR dari
0.3729 menjadi 0.3294 serta menurunnya DRCR dari 0.3644 menjadi 0.3207. Dari nilai rasio-rasio di atas tampak bahwa kebijakan kenaikan harga
output TBS 10 persen diikuti dengan penguatan nilai rupiah memberikan dampak kenaikan keuntungan finansial dan keuntungan ekonomi yang tertinggi dari semua
skenario kebijakan yang ada. Begitu juga dengan dampaknya pada keunggulan
kompetitif dan keunggulan komparatif. Melalui penerapan Skenario 6
memberikan dampak positif bagi kebun petani plasma maupun bagi kebun perusahaan inti dalam bentuk capaian tertinggi pada keunggulan kompetitif dan
komparatif. Hal ini terlihat dari nilai PCR dan DRCR yang terendah dibandingkan dengan penerapan skenario-skenario lainnya.
Dampak kebijakan protektif input-output dan terjadinya penguatan nilai
tukar rupiah Skenario 7 menaikkan keunggulan kompetitif dan keunggulan
komparatif dari kebun petani plasma, diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3731 menjadi 0.3309 serta meningkatnya nilai DRCR dari 0.3658 menjadi
0.3232. Hal yang sama juga terjadi pada kebun perusahaan inti, yang
155 diindikasikan dari menurunnya PCR dari 0.3729 menjadi 0.3305 serta
menurunnya DRCR dari 0.3644 menjadi 0.3218.
5.6. Dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Pengusahaan Pabrik Kelapa Sawit