Kelembagaan Petani Kelapa Sawit Rakyat

119 rata 5 orang. Adapun jumlah tanggungan keluarga petani swadaya berkisar antara 2-8 orang dengaran rata-rata 4 orang. Hal ini berarti setiap kepala keluarga menanggung kebutuhan hidup anggota keluarganya sebanyak 4 jiwa untuk petani plasma, dan 3 jiwa untuk petani swadaya. Sebanyak 80 persen anggota keluarga petani tersebut tergolong anak-anak berumur kurang dari 15 tahun, baik pria maupun wanita.

5.1.2. Kelembagaan Petani Kelapa Sawit Rakyat

Keberadaan kelembagaan pertanian diikuti dengan partisipasi aktif petani dalam kelembagaan tersebut diyakini mampu mendorong terwujudnya sasaran pembangunan pertanian. Sasaran pembangunan pertanian yang dimaksud adalah mewujudkan perolehan produksi yang optimal melalui pengalokasian faktor produksi yang efisien sehingga pendapatan yang diperoleh petani atau perusahaan maksimum. Ada empat kelembagaan petani kelapa sawit rakyat yang menjadi penekanan dalam studi ini. Kelembagaan petani yang dimaksud adalah kelembagaan kelompok tani dan koperasi, kelembagaan pemasaran, dan perusahaan patungan. Menjadi anggota kelompok tani merupakan keharusan bagi petani kelapa sawit pada pola Perkebunan Inti Rakyat PIR. Dengan kata lain seluruh petani plasma sudah bisa dipastikan menjadi anggota kelompok tani 100 persen. Sama halnya dengan kelompok tani pada usahatani lainnya, kelompok tani pada perkebunan kelapa sawit rakyat pola PIR memiliki peranan utama dalam melakukan perencanaan usahatani mulai dari penyediaan sarana produksi, aktivitas produksi, sampai dengan panen dan penanganan pasca panen, serta 120 pemasaran. Secara spesifik kelompok tani pada perkebunan kelapa sawit rakyat pola PIR berperan dalam melakukan komunikasi dengan pihak inti berkaitan dengan teknis usahatani kelapa sawit dan negoisasi harga serta berbagai aktivitas pengembangan perkebunan kelapa sawit lainnya. Berbeda dengan petani plasma, petani kelapa sawit pola swadaya petani swadaya sebagian besar tidak menjadi anggota suatu kelompok tani 93.33 persen, hanya 6.67 persen yang menjadi anggota kelompok tani. Kondisi ini berimplikasi terhadap produktivitas kelapa sawit petani swadaya yang lebih rendah daripada produktivitas kelapa sawit petani plasma sehingga perolehan pendapatan dalam pengelolaan kebun kelapa sawit juga menjadi rendah. Menurut petani plasma dan swadaya yang menjadi anggota kelompok tani, banyak manfaat yang diperoleh dengan menjadi anggota kelompok tani. Pertama, manfaat dalam penyediaan sarana produksi. Kelompok tani mengorganisir petani untuk membeli pupuk dan pestisida secara kolektif sehingga sarana produksi yang dibutuhkan dapat disediakan dalam jumlah yang cukup, tepat waktu, dan dengan harga yang relatif lebih murah. Kedua, manfaat dalam melakukan aktivitas usahatani pengelolaan kebun. Kelompok tani menjadi wadah bagi petani untuk bertukar pikiran dan melakukan musyawarah dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam aktivitas usahatani, misalnya masalah pengendalian gulma, hama dan penyakit tanaman, serta transfer teknologi dan inovasi baru dalam pembudidayaan tanaman kelapa sawit. Dan ketiga, manfaat dalam melakukan pemasaran produk dan negosiasi harga dengan pihak pembeli. Melalui lembaga kelompok tani, para petani dapat menjual TBS secara berkelompok sehingga menghemat biaya transportasi. Disamping itu petani memiliki bargaining position 121 daya tawar yang lebih kuat dalam melakukan penetapan harga jual TBS dibandingkan apabila petani menjualnya sendiri-sendiri. Disamping harus menjadi anggota kelompok tani, petani plasma juga diharuskan untuk menjadi anggota koperasi. Hal dilakukan karena penjualan TBS petani plasma ke perusahaan inti pabrik milik perusahaan inti dikelola secara kolektif melalui koperasi. Oleh karenanya seluruh petani plasma menjadi anggota koperasi. Sementara itu, tidak satupun petani swadaya yang diwawancari di Kabupaten Siak yang menjadi anggota koperasi. Hal ini terjadi karena belum ada koperasi yang dibentuk dan petani swadaya kurang memahami tentang manfaat didirikannya koperasi. Secara umum koperasi yang beroperasi di wilayah perkebunan kelapa sawit pola PIR melaksanakan beragam aktivitas, meliputi: menjual sembilan bahan pokok sembako, menjual sarana produksi, menyediakan transportasi umum, transportasi pengangkutan TBS, dan simpan pinjam. Dengan demikian, koperasi kelapa sawit di wilayah ini sangat membantu petani plasma dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan pengelolaan perekebunan kelapa sawit dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam memasarkan produknya TBS, para petani plasma seluruhnya menyatakan bahwa mereka menjual produknya ke perusahaan inti PTP. Hal ini dilakukan karena sudah ada komitmen yang kuat dari petani plasma untuk menjual produknya ke PTP. Namun demikian petani menghadapi dua permasalahan utama berkaitan dengan pemasaran produk ke PTP. Pertama, harga TBS yang rendah atau tidak sesuai dengan kondisi perekonomian saat ini. Harga TBS terendah yang diterima petani sebesar Rp 235kg dan tetinggi Rp 896kg, 122 dengan rata-rata Rp 685kg. Dengan rata-rata harga tersebut petani tidak mampu membeli sarana produksi dalam jumlah yang cukup dan membayar upah pekerja secara layak. Menurut petani plasma harga TBS yang sesuai dengan kondisi perekonomian saat ini adalah sebesar Rp 952kg. Dan kedua, petani tidak mengetahui sistem penentuan harga TBS. Sebanyak 86.67 persen petani plasma yang menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui sistem penetapan harga TBS, hanya 13.33 persen sisanya yang mengetahui sistem penetapan harga TBS. Di sisi lain perusahaan inti menyatakan bahwa banyak TBS plasma tidak masuk ke PKS Perusahaan Inti. Permasalahan ini muncul sejak adanya PKS tanpa kebun. Sesuai peraturan pembelian TBS, perusahaan inti harus tunduk kepada SK Menhutbun Nomor 627Kpts-II1998 tentang Ketentuan Penetapan Harga Pembelian TBS, dimana harga TBS ditentukan dengan rumus : HTBS = k Rendemen CPO x Harga CPO + Rendemen Kernel x Harga Kernel. Dengan munculnya PKS tanpa kebun, para petani plasma dengan mudah menjual TBS ke mereka, karena PKS tersebut tidak terikat dengan SK Menhutbun tersebut sehingga harga dapat ditentukan setiap waktu. Akibatnya pada saat harga TBS diluar tinggi petani tidak menjual TBS ke perusahaan inti sehingga PKS Perusahaan Inti mengalami idle capacity. Sebaliknya jika harga TBS di luar rendah, petani memaksakan menjual TBS ke perusahaan inti. Ustha 2005 menyatakan bahwa kondisi semacam ini sudah merupakan fenomena umum di berbagai perusahaan kelapa sawit milk negara yang menerapakan pola PIR di Indonesia. Sementara itu, sebagian besar petani swadaya menjual produknya melalui pedagangan pengumpul 93.33 persen, dan 6,67 persen sisanya langsung menjual 123 ke PKS milik PTP Nusantara V. Kondisi ini menyebabkan harga TBS yang diterima oleh petani swadaya lebih rendah daripada harga TBS yang diterima petani plasma. Harga TBS terendah yang diterima petani swadaya sebesar Rp 418kg dan tertinggi sebesar Rp 606kg, dengan rata-rata Rp 517kg. Sama halnya dengan petani plasma, seluruh petani swadaya menyatakan bahwa harga TBS yang mereka terima masih terlalu rendah. Menurut mereka harga TBS yang sesuai layak adalah sebesar Rp 780kg.

5.1.3. Budidaya Kelapa Sawit