Konsep Pembangunan Pertanian TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pembangunan Pertanian

Berbagai model dan konsep pembangunan pertanian telah dikembangkan menjadi teori pembangunan pertanian. Namun demikian, menurut Hayami dan Ruttan 1985 model pembangunan ekonomi dan pertanian tetap tidak lengkap jika tidak melalui proses tertentu yang melibatkan berbagai aspek sistem pertanian secara keseluruhan. Aspek-aspek tersebut mencakup bagaimana aksi kolektif dari komunitas lokal sampai ke level pemerintah pusat, dapat diorganisasi sedemikian rupa untuk menghasilkan barang-barang publik dalam merespon berbagai perubahan kondisi perekonomian. Hal itu dapat dilakukan baik yang mencakup pengenalan teknologi baru maupun perbaikan institusi. Stevens dan Jabara 1988 serta Hayami dan Ruttan 1985 telah dengan baik mendiskusikan teori-teori pembangunan ekonomi dan pertanian. Hayami dan Ruttan 1985 menyebutkan ada sembilan teori pembangunan ekonomi dan pertanian yang dominan, meliputi: model konservasi, model fundamentalisme industri, model dampak industri-perkotaan, model difusi, model pertama perubahan budaya dan pembangunan masyarakat, model Neo-Marxist dan ketergantungan, model tahapan pertumbuhan, model high-payoff input Schultz, dan model imbas inovasi teknologi. Sedangkan Stevens dan Jabara 1988 menyebut 8 model pembangunan pertanian yaitu: model konservasi, model fundamentalisme industri, model dampak industri-perkotaan, model difusi, model pertama perubahan budaya dan pembangunan masyarakat, model Neo-Marxist dan ketergantungan, model tahapan pertumbuhan, model high-payoff input 12 Schultz. Pada bagian ini akan diuraikan berbagai konsep pembangunan pertanian mengacu pada uraian Stevens dan Jabara 1988. Model konservasi the conservation model menyatakan bahwa sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi, oleh karenanya upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas produk pertanian perlu dilakukan. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan melakukan konservasi lahan. Ada dua asumsi yang digunakan dalam model ini, yakni: 1 lahan untuk produksi pertanian langka dan menjadi semakin langka, dan 2 lahan dalam kondisi kurang subur memungkinkan untuk digunakan dalam memproduksi produk pertanian, dan tindakan untuk mencegah penurunan hasil atau meningkatkan produktivitas lahan berlangsung lambat. Implikasi dari teori ini adalah akibat dari lahan yang semakin langka dan lahan kritis digunakan menyebabkan produktivitas marginal tenaga kerja dan lahan menurun. Untuk mengatasi masalah ini perlu dilakukan konservasi lahan. Dalam jangka pendek, relevansi teori ini pada negara-negara sedang berkembang ditemukan beragam. Sejumlah negara sedang berkembang dapat mengatasi masalah penurunan produktivitas marginal dengan meningkatkan investasi, namun pada negara-negara yang mengembangkan sistem pertanian tradisional model konservasi ini relevan dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, model konservasi relevan diterapkan pada negara-negara sedang berkembang. Model konservasi memiliki beberapa kelemahan, meliputi: Pertama, pada beberapa dekade terakhir cakupan peningkatan produktivitas lahan lebih besar dari perkiraan ilmuwan klasik seperti yang dikemukan pada model konservasi. Di negara maju produksi pertanian menunjukkan peningkatan hasil, dengan 13 kontribusi tambahan luas lahan yang relatif kecil. Kedua, model konservasi tidak mempertimbangkan kontribusi industri yang menghasilkan input buatan, seperti pupuk buatan dan pestisida. Kontribusi pupuk buatan dan pestisida juga cukup besar terhadap perolehan produksi pertanian disamping lahan. Ketiga, model konsevasi gagal menjelaskan dampak perubahan teknologi terhadap permintaan lahan pertanian. Konservasi lahan memerlukan biaya yang besar dibandingkan dengan perubahan teknologi, dan perubahan teknologi akan meningkatkan produktivitas lahan pertanian lebih baik daripada konservasi lahan. Ke empat, kelemahan utama dari model konservasi adalah bersifat noneconomic nature. Model konservasi secara umum hanya mengukur lahan dan produktivitas secara fisik, tidak menekankan manfaat ekonomi dari investasi atas konservasi yang dilakukan. Berbeda dengan model konservasi, model fundamentalisme industri The Industrial Fundamentalism Model menekankan pentingnya industri dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi. Model ini juga menggunakan dua asumsi, yakni: 1 jika investasi difokuskan pada pengembangan industri, maka pertumbuhan ekonomi yang cepat akan dicapai, dan 2 sektor pertanian kurang penting dalam meningkatkan pertumbuhan. Teori fundamentalisme industri ini mendapat kritik dari Jorgenson 1961, Ranis dan Fei 1961 dengan model ekonomi dua sektor. Mereka menyatakan bahwa keterlambatan sektor pertanian akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Proporsi alokasi investasi yang besar pada sektor industri selalu menghasilkan pendapatan yang tinggi pada sektor industri dan memperlambat pertumbuhan sektor-sektor lainnya, sebaliknya 14 investasi pada sektor pertanian akan mempercepat pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Selanjutnya model dampak industri-perkotaan The Urban-Industrial Impact Model menyatakan bahwa produktivitas pertanian adalah fungsi dari jarak antara kota dan areal industri. Jarak dari pasar kota mempengaruhi intensitas ladang dan pertumbuhan berbagai tanaman keras. Model ini berdasarkan pada teori sewa Ricardian dan Von Thunen yang menyatakan bahwa jarak dari pasar kota mempengaruhi intensitas perladangan dan pertumbuhan tanaman. Dalam model Von Thunen, variabel eksplanatori adalah biaya transportasi produk pertanian ke pasar kota. Oleh karenanya petani-petani yang menghasilkan produk-produk pertanian yang mudah busuk dan rusak cenderung memproduksi produk pertaniannya di sekitar wilayah perkotaan dan industri dengan harga lahan yang cukup tinggi. Sedangkan petani-petani yang menghasilkan produk-produk pertanian yang tidak mudah rusak dan tahan lama cenderung memproduksi produknya jauh dari areal perkotaan karena harga lahan relatif murah. Selanjutnya Schultz 1953 berdasarkan model Von Thunen menjelaskan disparitas regional pertumbuhan dan pembangunan pertanian di Amerika Serikat, dengan hipotesis utama adalah organisasi ekonomi di areal pertanian yang berkerja dengan baik berhubungan dengan industri perkotaan. Model difusi The Diffusion Model berdasarkan pada hipotesis bahwa peningkatan produksi pertanian tergantung pada: 1 peningkatan arus informasi ke petani tentang teknologi baru dan tatanan organisasi baru, seperti kredit, dan 2 kesediaan untuk belajar tentang bagaimana membuat manajemen pengambilan keputusan lebih rasional secara ekonomi berkaitan dengan akses terhadap 15 sumberdaya. Difusi adalah proses penyebaran inovasi ke para anggota suatu sistem sosial yang menekankan pada pengembangan teknologi pertanian spesifik lokasi, meliputi: 1 keragaman jenis tanah, serangan hama dan penyakit dan variabel-variabel pertumbuhan tanaman lainnya, 2 keragaman biaya kapital relatif terhadap tenaga kerja., 3 perbedaan aturan sosial dan kelembagaan. Ada empat kelemahan model difusi, meliputi: Pertama, hasil riset menyatakan bahwa petani-petani tradisional mempunyai pengetahuan yang baik tentang teknologi tradisional dan alokator yang efisien dari sumberdaya yang mereka miliki. Oleh karenanya usaha untuk mengajarkan kepada para petani tentang bagaimana mereka mengalokasikan sumberdaya tradisional mereka adalah sia-sia. Kedua, ketersediaan teknologi baru yang terbatas di negara-negara sedang berkembang yang produktif jika didifusi. Ketiga, personil penyuluh selalu tidak dilatih dan oleh karenanya mereka tidak berhasil mentransfer pengetahuannya ke petani yang memiliki kemampuan terbatas. Dan keempat, agen-agen penyuluh cenderung tidak memahami kondisi sosial dan pertanian di lokasi tugasnya karena mereka berasal dari perkotaan atau daerah lain yang memiliki karakteristik yang berbeda. Selanjutnya model perubahan budaya The Cultural-Change-First Model dan pergerakan pembangunan masyarakat, serta model Neo-Marxist dan teori ketergantungan menekan pada pentingnya aspek kelembagaan dan budaya masyarakat dan menggerakkan pembangunan ekonomi dan pertanian. Model pertama perubahan budaya The Cultural-Change-First Model dan pergerakan pembangunan masyarakat mengidentifikasi nilai-nilai dan institusi-institusi sama baiknya dengan teknologi sebagai variabel-variabel fundamental yang 16 mempengaruhi pembangunan. Hasil indentifikasi model ini menyebutkan bahwa perluasan pembangunan suatu komoditas terkait dengan perubahan nilai-nilai dan kelembangan tradisional. Perubahan budaya dan institusi di pedesaan berkaitan dengan sistem nilai dan institusi sosial mempercepat kemajuan ekonomi. Ada tiga asumsi yang digunakan sehingga perubahan terjadi: 1 sumberdaya- sumberdaya pedesaan tidakbelum dialokasikan secara efisien, 2 pengembangan masyarakat yang bekerja di pedesaan secara siginifikan mengubah nilai-nilai dan institusi-institusi pedesaan, dan 3 pengembangan masyarakat yang bekerja di pedesaan relevan dengan teknologi dan informasi baru. Ketersediaan teknologi baru yang terbatas di negara-negara sedang berkembang yang produktif jika didifusi. Model Neo-Marxist mengasumsikan bahwa produksi ditentukan oleh perubahan kelembagaan. Model ini sangat terbatas karena mengabaikan hubungan antara kekayaan sumberdaya dan perubahan teknologi, dan antara kekayaan sumberdaya, kekayaan budaya, dengan perubahaan kelembagaan. Sementara itu teori ketergantungan menggambarkan bahwa peningkatan ketergantungan ekonomi negara-negara sedang berkembang terhadap negara-negara maju menyebabkan pengurasan sumberdaya dan pendapatan dari negara-negara sedang berkembang sebagai satelit oleh negara-negara maju sebagai pusat. Wilayah- wilayah metropolitan sebagai pusat di semua negara sedang berkembang lebih maju dan para pekerja pertaniaan di pedesaan diisolasi sehingga cenderung miskin. Teori ini juga menyatakan bahwa para elite lokal terperangkap, cenderung mengeksploitasi negaranya dengan berpihak kepada pihak asing dalam perdagangan. Konsep pembangunan ekonomi yang juga populer digunakan untuk 17 menggambarkan konsep pembangunan pertanian adalah model lima tahap pembangunan Rostow. Model ini berdasarkan pada konsep leading sectors. Dengan perubahan teknologi menyebabkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan meningkat. Rostow 1960 berpendapat bahwa negara-negara dapat mengharapkan melewati lima tahapan pertumbuhan ekonomi, yaitu: 1 ekonomi tradisional, 2 prakondisi untuk tinggal landas, 3 tinggal landas, 4 dorongan menuju kedewasaan, dan 5 era konsumsi masal yang tinggi. Tahap pertama, ekonomi tradisional, dengan ciri utama adalah: Pertama, agricultural economic base perekonomian berbasis pertanian yang mempekerjakan 70–80 persen penduduk pada sektor pertanian dengan produktivitas yang rendah dan sedikit surplus jika ada untuk dijual. Kedua, adanya suatu social order tatanan sosial yang bersifat feodal dan dalam tatanan sosial tersebut perubahan merupakan hal yang tidak biasa, sedangkan teknologi bersifat statik. Tahap kedua, prakondisi tinggal landas, merupakan masa transisi dimana prasyarat pertumbuhan swadaya dibangun. Masyarakat masih tergolong tradisional, terus bergerak meskipun lambat. Keadaan ini maju karena adanya campur tangan dari pihak luar, yaitu dari masyarakat yang lebih maju. Pada periode ini, telah ada usaha untuk meningkatkan tabungan. Tabungan dipakai untuk melakukan investasi pada sektor-sektor produksi yang menguntungkan, seperti usaha peningkatan produksi dan usaha peningkatan pendidikan. Investasi ini dilakukan oleh perorangan maupun oleh negara. 18 Tahap ketiga, tinggal landas, didefinisikan sebagai revolusi industri yang bertalian secara langsung dengan perubahan radikal di dalam metode produksi dan jangka waktu yang lama. Periode ini ditandai dengan tersingkirnya hambatan- hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi. Tabungan dan investasi yang efektif meningkat dari 5 persen menjadi 10 persen dari pendapatan nasional atau lebih. Industri-industri baru mulai berkembang dengan sangat pesat. Keuntungan sebagian besar ditanamkan kembali ke pabrik yang baru. Sektor modern dari perekonomian menjadi berkembang. Pertanian menjadi usaha yang komersial dan bukan sekedar untuk konsumsi. Perlunya proses modernisasi untuk peningkatan produktivitas pertanian dengan ongkos yang lebih murah. Tahap keempat, dorongan menuju kedewasaan, dimana masyarakat telah efektif menerapkan teknologi modern terhadap seluruh sumberdaya mereka, meskipun terjadi pasang surut. Antara 10 sampai 20 persen dari pendapatan nasional selalu diinvestasikan kembali agar bisa mengatasi persoalan pertambahan penduduk. Industri berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan industri terjadi tidak saja meliputi teknik-teknik produksi, tetapi juga aneka barang yang diproduksi. Barang yang diproduksikan bukan saja terbatas pada barang konsumsi, tetapi juga barang modal. Pada tahap ini terlihat adanya kedewasaan teknologi. Tahap kelima, era konsumsi masal yang tinggi. Pada tahap ini pendapatan masyarakat sudah meningkat. Terjadi peningkatan konsumsi yang tinggi, bukan saja pada barang-barang kebutuhan pokok tetapi juga dalam hal leisuer. Pada tahap ini negara berada dalam output full employment dimana pengangguran sudah tidak ada sekitar 4 persen, dan peningkatan kesadaran akan jaminan 19 sosial. Investasi untuk meningkatkan produksi tidak lagi menjadi tujuan utama. Sesudah taraf kedewasaan dicapai, surplus ekonomi akibat proses politik yang terjadi dialokasikan untuk kesejahteraan sosial dan penambahan dana sosial. Pada titik ini pembangunan sudah merupakan proses yang berkesinambungan yang bisa menopang kemajuan secara terus menerus. Teori tahapan pembangunan pertanian lainnya dikemukan oleh Wharton 1963 dan Mellor 1966. Wharton 1963 menyimpulkan tiga tahap pembangunan pertanian, yaitu: 1 tradisional statik, 2 transisional, dan 3 dinamis. Mellor 1966 merumuskan model tahapan pembangunan pertanian berdasarkan dua batasan, yaitu: 1 batasan perubahan teknologi antara tahapan tradisional dan labor intensive, dan 2 batasan perubahan biaya tenaga kerja relatif terhadap kapital. Sebagai penutup pada bagian ini dikemukan High-Payoff Input Model oleh Schultz. Schultz memfokuskan pada dua pertanyaan: 1 bagaimana menciptakan dan menyediaan sesuatu yang baru kepada para petani, higher-payoff technology dalam penggunaan alat-alat kapital dan input lainnya, dan 2 Bagaimana meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Untuk meningkatkan penggunaan alat- alat kapital dan input lainnya diperlukan investasi dalam pengembangan teknologi pertanian. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi negara-negara miskin dari sektor pertanian sangat tergantung pada ketersediaan dan harga faktor-faktor pertanian dari negara maju. Selanjutnya untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja diperlukan investasi sumberdaya manusia yang memadai. Peningkatan pendidikan petani dapat meningkatkan pendapatan petani dan kesejahteraan masyarakat. 20 2.2. Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi 2.2.1. Pertumbuhan Ekonomi, Pengurangan Pengangguran dan Kemiskin- an, serta Pemerataan Pendapatan Beberapa permasalahan yang paling menantang bagi pengambil kebijakan nasional dalam masalah pembangunan dan kesejahteran manusia yang ada di berbagai negara-negara sedang berkembang saat ini antara lain adalah upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cepat dibarengi dengan upaya pengurangan kesenjangan pendapatan, kemiskinan dan pengangguran Ali, 2007; Warr, 2006; Islam, 2004; Bhalla, 2002; Bautista, 2001; Perkins et al, 2001. Perkins et al 2001, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memang penting tetapi tidak memenuhi kondisi yang cukup untuk dapat meningkatkan standar hidup banyak orang yang hidup pada negara-negara dengan pendapatan nasional perkapita yang rendah. Diskusi tentang siapa yang memperoleh keuntungan dari pertumbuhan ekonomi telah berlangsung sejak lama. Meningkatnya kesenjangan dalam pendapatan dan kesejahteraaan masyarakat serta semakin persistennya kemiskinan pada masyarakat kelas bawah menjadi topik yang sering didiskusikan sejak lama. Bahkan ahli filsafat sosial Karl Mark dan novelis seperti Charles Dickens menjadikannya sebagai tema tema utama pembahasan mereka. Lewis 1954, dengan model surplus tenaga kerjanya menyatakan bahwa pada mulanya kesenjangan akan meningkat tetapi pada ahirnya akan lenyap pada saat pembangunan terjadi. Peningkatan kesenjangan ini terjadi karena 1 peningkatan bagian pendapatan yang diterima oleh kapitalis akibat peningkatan yang terjadi pada sektor yang dikembangkan, 2 kesenjangan pada pendapatan tenaga kerja juga terjadi pada tahap awal pembangunan, ketika sebagian kecil 21 tenaga kerja mengalami peningkatan upah dari level upah buruh ke level upah di sektor kapitalis. Oleh karena itu model Lewis ini sering disebut sebagai petumbuhan dahulu baru kemudian dilakukan redistribusi grow first, then redistribute. Selanjutnya Perkins et al 2001 menyebutkan tiga model alternatif lainnya yaitu: 1 redistribute first then grow Melaksanakan redistribusi terlebih dahulu baru tumbuh, 2 redistribution with growth Pelaksanaan redistribusi dengan pertumbuhan, dan 3 basic human needs kebutuhan dasar manusia. Model melaksanakan redistribusi terlebih dahulu baru kemudian tumbuh, adalah merupakan model radikal yang dterapkan oleh negara-negara Asia beraliran sosial khususnya Cina. Pembagian kepemilikan sumberdaya pada kelompok kelompok produsen berskala kecil atau bahkan sering terjadi pengelolaannya dalam suatu sistem kepemilikan yang kolektif, berdampak langsung pada penghilangan pendapatan atas properti dari kepemilikan terdahulu kepada pemerintahan atau pemilik-pemilik baru yang memilikinya secara kolektif. Hal ini secara subtansial dapat merubah pemerataan pendapatan. Pengelolaan yang baik properti ini akan meningkatkan produktivitasnya, sehingga terjadilah fenomena redistribute first then grow. Tetapi bila asetnya ternyata tidak produktif, kerugian yang menimpa pemilik-pemilik baru tidak sebesar apabila itu menimpa pada pemilik lama. Model radikal seperti yang dilakukan oleh Cina ini hanya bisa terjadi kalau negara dikuasai oleh rejim yang kuat yang muncul lewat revolusi. Oleh karena itu Taiwan dan Korea Selatan kemudian memodifikasi versi model ini dalam model redistribute then develop yang membagi kepemilikan lahan yang luas di desa desa tepat setelah perang dunia II berakhir dan berakibat pada 22 terjadinya percepatan dalam pembangunan dan secara komparatif dapat dikatakan terjadi adanya pemerataan Perkins et al , 2001. Keinginan untuk mencegah terjadinya hal yang ekstrim sebagaimana terjadi baik pada terkosentrasinya pembangunan industri pada model Lewis maupun pada restrukturisasi kepemilikan aset secara radikal mengarahkan pada jalan tengah yaitu pelaksanaan redistribusi dengan pertumbuhan redistribution with growthRWG. Ide dasar dari RWG ini adalah kebijakan pemerintah harus mencoba untuk membentuk pola pembangunan yang memungkinkan produsen dengan pendapatan rendah dalam banyak negara umumnya banyak berada pada sektor primer pertanian dan usaha kecil di pedesaan dapat melihat peluang peningkatan pendapatan dan selanjutnya dapat memperoleh sumberdaya yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang tersebut. Menurut kelompok studi Bank Dunia, setidaknya ada tujuh instrumen kebijakan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan ini. Pertama, upaya untuk membuat tenaga kerja relatif lebih murah daripada kapital dan hal ini dapat mendorong penyerapan tenaga kerja lebih banyak pada tenaga kerja tidak terampil. Ke dua, redistribusi secara dinamis terhadap aset-aset dengan cara mendorong penciptaan aset yang memungkinkan kelompok miskin dapat memilikinya misalnya tanah pertanian yang telah meningkat kualitasnya dan toko-toko kecil. Ke tiga, peningkatan pendidikan untuk memungkinkan peningkatan kemampuan literasi, ketrampilan dan akses terhadap ekonomi modern. Ke empat, penerapan pajak yang lebih progresif. Ke lima, pemenuhan kebutuhankecukupan barang barang konsumsi seperti makanan dasar untuk kelompok miskin. Ke enam, intervensi pada pasar komoditas untuk membantu produsen produsen miskin dan konsumen. Ke tujuh, pembangunan 23 teknologi baru yang dapat membantu meningkatkan produktivitas pekerja yang berpendapatan rendah. Starategi pembangunan yang berbasis pada pedesaan dan yang berorientasikan pada pemerataan sering diterapkan pada negara-negara yang didominansi oleh pedesaan. Untuk negara-negara semacam ini waktu yang digunakan oleh sektor modern untuk mencapai tingkat pemerataan yang diinginkan menjadi lebih lama. Oleh karena itu strategi yang berbasis pada pedesaan diharapkan dapat lebih mencapai pola pemerataan yang diharapkan dibandingkan dengan strategi pembangunan yang ditekankan pada pertumbuhan kota dan industri. Di sisi lain negara-negara yang memiliki sektor modern relatif lebih luas, berharap untuk dapat menciptakan ekonomi modern yang terintegrasi dalam waktu yang lebih singkat, sementara itu dengan ketersediaan surplus yang lebih besar dapat diredistribusikan pada sektor sektor tradisional melalui jasa sosial dan proyek proyek pembangunan pedesaan Perkins et al, 2001. Kekhawatiran tentang bagaimana cepatnya pembangunan ekonomi-- meskipun telah fokus pada kemiskinan, dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok miskin pada kebanyakan negara negara yang sedang berkembang menjadi acuan dasar pada pendekatan kebutuhan dasar manusia basic human needsBHN. Meskipun pendekatan BHN dan RWH mempunyai tujuan yang sama, tetapi berbeda dalam bagaimana upaya terbaik dalam pencapaiannya. Kalau pendekatan RWG lebih menekankan pada peningkatan produktivitas dan kemampuan daya beli dari kelompok miskin, pendekatan BHN lebih menekankan pada kecukupan dalam pemberian layanan publik, dengan perhatian lebih kepada kelompok miskin yang dapat menjamin bahwa kelompok miskin dapat 24 memperoleh akses terhadap layanan publik yang diberikan. Tujuan dari strategi BHN adalah pada penyediaan bagi kelompok miskin dengan beberapa komoditi dan layanan dasar seperti makanan pokok, air dan sanitasi, kesehatan, pendidikan primer dan pendidikan non formal serta perumahan. Strategi BHN ini setidaknya membutuhkan dua hal penting agar dapat berjalan sukses. Pertama, cukupnya pembiayaan yang diperlukan untuk memungkinkan penyediaan layanan-layanan dan komoditi yang dapat dipenuhi dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat miskin. Ke dua, ketersediaan jaringan pelayanan yang dibutuhkan untuk mendistribusikan layanan layanan tersebut dalam bentuk yang sesuai bagi konsumsi kelompok miskin, khususnya di wilayah lokasi kelompok miskin tersebut tinggal. Hasil review Bank Dunia terhadap problem di dunia ke tiga menggaris bawahi dua tindakan dasar untuk pengurangan kemiskinan yaitu melalui kebijakan peningkatan produktivitas terhadap sumber-sumber yang dimiliki oleh kelompok miskin—tenaga kerjanya, dan upaya mencukupi layanan sosial dasar kepada kelompok miskin. Strategi yang menunjang pentingnya pemenuhan kebutuhan dasar ini merupakan komplemen dari strategi RWG Perkins et al, 2001. Cara yang paling menjanjikan untuk meningkatkan pemerataan selama pertumbuhan menurut pendekatan reformis adalah dengan lebih menitikberatkan pada penciptaan tenaga kerja. Hal lain yang penting dalam pertumbuhan yang menjamin pemerataan adalah hubungan antara harga output di tingkat pedesaan dan kota. Jika harga hasil pertanian ditekan untuk mempertahankan upah rendah di perkotaan, hal ini dapat berimplikasi buruk pada kesejahteraan mayoritas kelompok miskin yang tinggal di pedesaan dan utamanya bekerja di sektor 25 pertanian. Akhirnya adalah pertanyaan mendasar apakah pemerintah pemerintah pada negara negara miskin pada kenyataannya akan mengambil kesempatan untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi disamping upayanya untuk meningkatkan pertumbuhan. Pengurangan kemiskinan telah meningkat menjadi hal utama yang hendak dicapai dalam upaya pembangunan dunia. Persatuan Bangsa Bangsa dan Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan ini menetapkan target untuk pengurangan insiden kemiskinan dunia hingga pada tahun 2015. Percepatan pertumbuhan pada negara-negara berpendapatan rendah adalah kondisi yang diperlukan bagi pencapaian tujuan ini Perkins, 2001. 2.2.2 Peranan Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Bank Dunia pada tahun 2008 memberikan perhatian khusus terhadap peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari pemilihan tajuk laporan tahunannya pada world development report 2008 yang bertajukkan pertanian untuk pembangunan. Bank Dunia meyakini bahwa pada abad 21 ini sektor pertanian masih akan terus berperan sebagai instrumen yang fundamental dalam pembangunan berkelanjutan dan upaya pengurangan kemiskinan. Pertanian diyakini dapat secara harmoni bersama sama sektor lainnya untuk dapat menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat, upaya pengurangan kemiskinan dan perwujudan lingkungan yang berkelanjutan World Bank, 2007. Peran pertanian dalam pembangunan ekonomi sebagaimana disebut dalam laporan bank dunia tersebut memang sejak lama sudah diyakini oleh para ahli ekonomi. Kuznets 1964, sektor pertanian di negara-negara sedang berkembang kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, dapat dikelompokkan dalam empat bentuk yaitu kontribusi produk, kontribusi pasar, 26 kontribusi faktor-faktor produksi dan kontribusi devisa. Sedangkan menurut Steven dan Jabara 1988, meskipun peran utama dari sektor pertanian adalah untuk memproduksi pangan dan produk produk pertanian yang menunjang pembangunan ekonomi, sektor pertanian juga memberikan kontribusi sangat penting lainnya dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Dari pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan setidaknya sektor pertanian memberikan kontribusi dalam pembangunan ekonomi dalam enam hal yaitu: 1 kontribusi penyerapan tenaga kerja 2 kontribusi terhadap pendapatan 3 kontribusi terhadap penyediaan pangan 4 kontribusi terhadap penyediaan bahan baku bagi sektor lainnya, 5 kontribusi dalam bentuk kapital dan 6 ikut menyumbang dalam penyediaan mata uang asing dari hasil ekspor pertanian Stringer, 2001; Todaro, 2000; Timmer, 1995; Delgado, et al. 1994; Johnston and Mellor, 1961. Secara singkat Bank Dunia menyebut bahwa pertanian berkontribusi secara unik pada pembangunan dalam bentuk sebagai aktivitas ekonomi, sumber kehidupan, dan sebagai penyedia jasa lingkungan Worl Bank, 2007. Kontribusi sektor pertanian terhadap pembangunan berbeda beda untuk berbagai negara tergantung bagaimana negara tersebut tergantung pada pertanian sebagai sumber pertumbuhan dan sebagai instrumen dalam pengurangan kemiskinan. Selanjutnya Bank Dunia membagi negara-negara di dunia dalam tiga kelompok berdasar sumbangan sektor pertanian terhadap pertumbuhan agregat selama kurun waktu 15 tahun. Ke tiga kelompok tersebut adalah yaitu: 1 kelompok negara berbasis pertanian, dimana pertanian merupakan sumber utama pertumbuhan. Hal ini dicirikan dengan rata-rata kontribusi pertanian terhadap pertumbuhan GDP sebesar 32 persen. Di samping itu kebanyakan dari masyarakat 27 miskinnya 70 persen berada di wilayah pedesaan 2 kelompok negara yang mengalami transformasi, dimana pertanian bukan lagi sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi yaitu rata-rata menyumbang hanya sekitar 7 persen dari pertumbuhan GDP. Indonesia dikelompokkan dalam kelompok negara yang mengalami transformasi ini. 3 kelompok negara urban, dimana pertanian kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi rendah, rata-rata kontribusinya terhadap pertumbuhan GDP sebesar 5 persen dan mayarakat miskin umumnya tinggal di perkotaan. Selanjutnya bagi kelompok negara yang mengalami transformasi sebagaimana Indonesia, kontribusi sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi dapat dilakukan dalam melalui: 1 pengelolaan terhadap perbedaan yang menyolok antara pedesaan dan perkotaan dan 2 pengurangan kemiskianan di pedesaan melalui upaya pertanian baru dan penyerapan tenaga kerja non pertanian World Bank, 2007 Steven dan Jabara 1998 menambahkan bahwa peran sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi terlihat dari keterkaitannya dengan sektor sektor lainnya, karena berdasarkan berbagai studi keterkaitan antar sektor ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana kontribusi sektor pertanian terhadap sektor-sektor lainnya dan bagaimana kontribusi sektor-sektor lainnya terhadap sektor pertanian. Kontribusi penting sektor pertanian terhadap sektor lainnya yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi antara lain berupa: 1 meningkatnya produksi pangan dan produk pertanian lainnya yang digunakan untuk kepentingan domestik di perkotaan dan untuk ekspor, 2 tambahahan tenaga kerja pada sektor non pertanian, 3 aliran bersih dari kapital yang berasal dari sektor pertanian 28 yang dikeluarkan untuk investasi pada sektor sektor lain, 4 peningkatan permintaan dari sektor pertanian terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor sektor lainnya. Sedangkan kontribusi sektor-sektor lain yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan yang lebih cepat pada sektor pertanian dapat berupa: 1 produksi dari sektor industri terhadap input yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian, 2 peningkatan permintaan terhadap pangan dan produk pertanian lainnya baik karena terjadinya peningkatan pendapatan maupun karena terjadinya peningkatan pergeseran jumlah proporsi tenaga kerja yang bekerja di sekor non pertanian, 3 pemenuhan kecukupan dan pengembangan infrastruktur yang dibutuhkan seperti jalan, transportasi, komunikasi dan begitu juga pendidikan. Banyaknya aliran ekonomi antar sektor ini akan meningkat pesat sejalan dengan pembangunan ekonomi. Kelemahan dalam input produktif dan peralatan kapital dapat memperlemah pertumbuhan pertanian, dan pada akhirnya dapat mengurangi laju pertumbuhan dalam pendapatan nasional per kapita. Pertumbuhan yang rendah dalam pertanian akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya negara-negara yang proporsi utama penghasilannya masih berasal dari sektor pertanian Steven dan Jabara, 1988; Thorbecke, 1969; Yotopoulus dan Nugent, 1976. Para ekonom sejak dulu telah mendiskusikan kontiribusi peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi, khususnya kontribusinya terhadap pertumbuhan secara keseluruhan dan terhadap modernisasi Stringer, 2001. Melihat karakter peran pertanian dalam pembangunan ekonomi dan mengidentifikasi berbagai cara untuk meningkatkan peran tersebut telah menjadi tema klasik dalam ekonomi pembangunan Mellor, 1966; Mellor 1986; Winters et 29 al, 1998. Beberapa ahli seperti Rosentein-Rodan 1943, Lewis 1954; Scitovsky 1954; Hirschman 1958; Jorgenson 1961; serta Ranis dan Fei 1961 menggarisbawahi peran pertanian karena kelimpah ruahan sumberdaya alamnya dan suplai tenaga kerjanya serta kemampuan sektor ini untuk memberikan surplus transfer pada sektor industri. Sedangkan Hayami and Ruttan 1985 dan Winters et al. 1998 secara spesifik menyatakan bahwa untuk beberapa negara yang hendak melakukan industrialisasi, sektor pertanian merupakan sumber utama yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan investasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa suksesnya industrialisasi tergantung kepada adanya solusi terhadap berbagai masalah yang berkaitan dengan penciptaan, transfer dan penggunaan surplus dari sumberdaya sektor pertanian. Dengan perannya sebagai penyedia bahan baku bagi sektor industri, peran utama pertanian dalam transformasi perekonomian yang sedang berkembang sering dipandang sebelah mata dalam strategi sentral melalui percepatan laju indutrialisasi Stringer, 2001; Vogel, 1994. Secara khusus Hirschman 1958 mengabaikan pertanian sebagai sumber pertumbuhan, karena kegagalan sektor pertanian untuk memperlihatkan keterkaitan ke depan dan ke belakang yang kuat antar industri yang diperlukan bagi pembangunan. Selanjutnya Hirschman 1958 menjelaskan bahwa lemahnya keterkaitan ke belakang dari sektor pertanian mengakibatkan gagalnya sektor ini untuk menginduksi terbentuknya kapital. Hal inilah yang mengakibatkan bahwa sektor pertanian tidak dapat dijadikan sebagai sektor andalan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam kaitan ini Jhingan 1991 menyatakan bahwa ada pandangan yang berbeda antara 30 Hirschman dan Adelman dalam hal pengembangan sektor pertanian. Perbedaan pendapat itu terletak pada kriteria pemilihan sektor kunci leading sector. Kriteria yang digunakan Hirschman dalam menentukan sektor kunci dikritik oleh Aldeman sebagai terlalu sempit, karena hanya mempertimbangkan keterkaitan produk dan yang lebih spesifik keterkaitan ke belakang. Hal ini tentu saja dapat menempatkan sektor pertanian pada sektor yang inferior. Pada kenyataannya berdasarkan hasil penelitian Syafaat dan Mardianto 2002; Poonyth et al. 2001; Anderson and Strutt 1999; Delgado, et al. 1994; Haggblade et al. 1991; Bautista 1986; Adelman 1984; Rangarajan1982; Bell dan Hazell 1980; menunjukkan bahwa keterkaitan antar sektor pertanian dengan sektor industri tidak hanya keterkaitan produk, tetapi ada media keterkaitan lainnya yaitu keterkaitan konsumsi, investasi dan tenaga kerja yang mampu menjelaskan secara lebih menyeluruh mengenai keterkaitan ke dua sektor tersebut. Oleh karena itu kriteria yang digunakan oleh Hirschman untuk menentukan sektor kunci tidak mampu menjelaskan potensi keterkaitan sektor pertanian dengan industri Syafaat dan Mardianto, 2002. Dari hasil identifikasinya terhadap sumber pertumbuhan output nasional, Syafaat dan Mardianto 2002 menemukan bahwa sektor pertanian mempunyai kontribusi yang tinggi dalam pembentukan output nasional. Walaupun demikian pengembangan sektor pertanian primer saja tidak cukup memadai untuk mempatkan sektor pertanian sebagai penggerak ekonomi nasional. Untuk mengatasi kelemahan tersebut maka perlu dikembangkan sektor komplemen, atau dengan kata lain pengembangan sektor pertanian harus diletakkan dalam kerangka pengembangan agribisnis di wilayah pedesaan. 31 Hal tersebut di atas sejalan dengan temuan SMERU Research Institute Suryahadi et al., 2006 yang menyatakan bahwa dalam kondisi cepatnya perkembangan perkotaan di Indonesia, sektor pedesaan masih memegang peran penting perekonomian nasional. Mayoritas penduduk Indonesia masih tinggal dan bekerja di pedesaan, yang utamanya masih pada sektor pertanian. Bukti yang kuat menunjukkan bahwa 80 penduduk miskin ditemukan di pedesaan. Oleh karena itu diperlukan strategi yang efektif untuk meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan. Karena secara khusus area pedesaan senantiasa didentifikasikan sebagai sektor pertanian, maka pertanyaannya adalah manakah yang paling efektif mendorong produktivitas terlebih dulu di sektor pertanian atau lebih baik mengivestasikan pada sektor non pertanian di pedesaan. Dari hasil penelitian ternyata pertumbuhan sektor pertanian secara kuat menginduksi pertumbuhan sektor non pertanian di pedesaan. Meskipun berfluktuasi, diduga rata-rata sebesar 1 dari pertumbuhan sektor pertanian dapat menginduksi pertumbuhan sektor non pertanian sebesar 1.2 di pedesaan. Dengan demikian strategi pembangunan pedesaan melalui pembangunan sektor pertanian dapat memberikan daya dorong dalam pertumbuhan ekonomi yang cepat pada wilayah pedesaan di Indonesia. Syafaat dan Mardianto 2002 dalam hal ini menyarankan pentingnya pengembangan sistem agribisnis pedesaan karena beberapa hal: 1 Sektor pertanian dan pedesaan seharusnya masih dianggap sebagai tempat penyerapan tenaga kerja terbesar dalam ekonomi, sehingga peningkatan pembangunan sektor pertanian dapat mengatasi masalah pengangguran. 2 Sektor pertanian dan pedesaan merupakan penopang utama sistem perekonomian nasional, mengingat sebagian besar populasi berada di pedesaan. Oleh karena itu peningkatan 32 pembanguan pertanian dan pedesaan dapat mendorong perekonomian, mendorong terjadinya pendewasaan dalam transformasi struktural ke arah industrialisasi, serta dapat meningkatkan pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia sekaligus mendorong ke arah pengentasan kemiskinan 3 Sektor pertanian sebagai penghasil makanan pokok dan mengurangi ketergantungan pangan pada pasar internasional 4 Sektor pertanian dapat membantu menjaga stabilitas perekonomian nasional, karena bobotnya yang besar dalam indek harga konsumen 5 Sektor pertanian dapat mendorong ekspor dan mengurangi impor produk- produk pertanian, pada gilirannya dapat menyumbang pemantapan neraca pembayaran 6 Sektor pertanian dapat meningkatkan sektor industri, karena adanya keterkaitan yang erat antara sektor pertanian dengan sektor industri mencakup keterkaitan produk, konsumsi dan investasi 7 Pengembangan sektor industri dan komersial yang padat karya dan berbasis pedesaan perlu didorong dengan insentif fiskal serta diperlukan pengembangan pasar finansial dengan memanfaatkan nilai nilai masyarakat pedesaan. Sebagaimana telah didiskusikan pada sub bab sebelumnya, upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cepat dibarengi dengan upaya pengurangan kesenjangan pendapatan, kemiskinan dan pengangguran merupakan konsern utama para pengambil kebijakan Ali, 2007; Warr, 2006; Islam, 2004; Bhalla, 2002; Bautista, 2001; Perkins et al, 2001. Para pemimpin negara negara di Afrika Selatan Poonyth et al, 2001, Vietnam Bautista, 2001 dan Indonesia Presiden Republik Indonesia, 2006 menjadikan hal ini sebagai perhatian utama. Lewat tripple track stategy pro-growth, pro-job, dan pro-poor, Presiden Republik Indonesia merencanakan peningkatan pertumbuhan dengan 33 mengutamakan ekspor dan investasi, menggerakkan sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja, dan merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan dan ekonomi pedesaan untuk mengurangi kemiskinan. Pembangunan pertanian diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus dapat membantu mengurangi kesenjangan pendapatan, kemiskinan dan pengangguran Warr, 2006; Poonyth et al, 2001; Bautista, 2001; Bautista, 1999. Strategi pembangunan pertanian yang diharapkan dapat mencapai hal tersebut dapat dipertimbangkan antara lain adalah strategi Agricultural-Led Growth Poonyth, 2001, Agriculture-Based Development Bautista, 2001, Agribisnis: Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian di Pedesaan Saragih, 2001; Syafaat dan Mardianto, 2002, Agricultural Demand Led Industrialization ADLI Adelman, 1984, dan strategi The Improved-Income-Distribution-with-Growth Mellor, 1976 dalam Stevens and Jabara, 1988. Strategi Agricultural-Led Growth Poonyth et al, 2001, pada prinsipnya menekankan bahwa sektor pertanian adalah merupakan sektor pemimpin dalam pembangunan ekonomi karena sektor pertanian merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu sektor pertanian perlu mendapat perhatian utama dibandingkan sektor lainnya karena potensinya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Pembangunan sektor pertanian yang produktif dan pedesaan yang lebih baik merupakan kunci bagi pertumbuhan sektor pertanian dan merupakan prekondisi bagi suksesnya pembangunan ekonomi. Strategi Agriculture-Based Development Bautista, 2000; 2001, didasarkan pada pertimbangan bahwa di banyak negara-negara berpendapatan 34 rendah mayoritas penduduknya berada di wilayah pedesaan, dimana sektor pertanian merupakan sumber utama kehidupan. Strategi ini menjadi lebih efektif dibandingkan strategi subtitusi impor maupun strategi export-led industrialization, berdasarkan pertimbangan bahwa memberikan peluang penciptaan pendapatan, secara langsung maupun tidak langsung kepada penduduk di pedesaan. Melalui strategi ini sumberdaya publik ditingkatkan untuk dialokasikan bagi sektor pertanian dan pedesaan dan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan penduduk pedesaan. Adapun strategi Agribisnis: Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian di Pedesaan Saragih, 2001; Syafaat dan Mardianto, 2002, didasari pertimbangan bahwa pengembangan sektor pertanian primer saja tidak cukup memadai untuk menempatkan sektor pertanian sebagai penggerak ekonomi nasional. Untuk mengatasi kelemahan tersebut maka perlu dikembangkan sektor komplemen baik sektor hulu maupun hilirnya di pedesaan. Dengan kata lain pengembangan sektor pertanian harus diletakkan dalam kerangka pengembangan agribisnis di wilayah pedesaan. Strategi Agricultural Demand Led Industrialization ADLI Adelman, 1984 lahir sebagai jawaban atas kegagalan strategi Export-Led Industrialization dalam mengatasi masalah mendasar yang dihadapi negara berkembang. Strategi ini merupakan satu dari strategi pembangunan nasional berbasis pada pertanian sebagai sektor primer dan pengembangan industri dengan penekanan kuat pada keterkaitan antara pertanian dan industri serta interaksinya. Strategi ADLI akan menekankan pada peningkatan produktivitas pertanian sebagai sarana untuk mencapai industrialisasi. Strategi ini akan mencapai tujuan industrialisasi melalui 35 pengembanganperluasan permintaan internal untuk barang barang yang dihasilkan oleh industri domestik. Adapun strategi The Improved-Income-Distribution-with-Growth Mellor, 1976 dalam Stevens and Jabara, 1988, lebih menekankan pada peningkatan pemerataan pendapatan. Strategi pertumbuhan berorientasi pada tenaga kerja ini didasarkan pengalaman dengan berbagai masalah pembangunan yang terjadi di India dan Afrika Selatan, serta memfokuskan pada pertanian berukuran kecil sampai menengah. Strategi ini mempunyai tiga prioritas utama. Pertama, mengakselerasi pertumbuhan dari sektor pertanian dengan fokus pada: 1 kecukupan kebutuhan akan input pupuk 2 investasi secara masif pada infrastruktur pengendalian air khususnya yang berskala kecil, mengelola dan mengendalikan proyek-proyek dengan baik 3 memperluas kegiatan penelitian 4 memperluas keberadaan penyuluh yang terlatih untuk membantu petani-petani kecil.

2.3. Pola Pengembangan Perkebunan