Klasifikasi Partai Politik Konseptualisasi Politik

Partai ideologi atau partai azas Sosialisme, fasisme, komunisme, Kristen- Demokrat biasanya mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijaksanaan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai yang kuat dan mengikat. Terhadap calon anggota diadakan saringan, sedangkan untuk menjadi anggota pimpinan diisyaratkan lulus melalui beberapa beberapa tahap percobaan. Untuk memperkuat ikatan batin dan kemurnian ideologi, maka pungut iuran secara teratur dan disebarkan organ-organ partai yang memuat ajaran-ajaran serta keputusan-keputusan yang telah dicapai oleh pimpinan.

3. Sistem Partai

Selain pambagian diatas, Maurice Duverger dalam bukunya yang terkenal Political Parties , yaitu sistem partai-tunggal one party system, sistem dwi-partai two-party system dan sistem multi-partai multi-party system. 40 a. Sistem Partai Tunggal One-Party System Sistem ini merupakan model lama dalam bidang pemerintahan, yakni sistem authoritarian otoriter yang digerakkan oleh satu partai tunggal yang berkuasa. Sistem partai tunggal hanya mengakui satu partai yang diperkenankan dalam suatu negara. 41 Pola partai-tunggal terdapat di beberapa negara Afrika Ghana di masa Nkrumah, Guinea, Mali, Pantai Gading. Eropa Timur dan RRC. Suasana kepartaian dinamakan non-kompetitif oleh karena itu, partai-partai 40 Ibid, 167 41 Hafied Cangara, Komunikasi Politik, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009, hal. 220 yang ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan tidak dibenarkan bersaing secara merdekan melawan partai itu. 42 b. Sistem Dwi Partai Ada beberapa negara yang saat ini menganut sistem dwi partai, yaitu Amerika Serikat dan Filipina, yang dinamakan oleh Maurice Dauverger sebagai khas Anglo Saxon. Dalam sistem ini, partai-partai jelas dibagi dalam partai yang berkuasa karena menang dalam pemilihan umum dan partai oposisi karena kalah dalam pemilihan umum. Dari gambaran di atas sangatlah jelas dimana letak peranan dan tanggung jawab mengenai pelaksanaan fungsi-fungsinya dalam suatu negara. Dalam sistem ini, partai yang kalah akan berperan sebagai partai pengecam utama oposisi sedangkan partai yang menang akan setia terhadap kebijaksanaan dalam pemerintahan. Akan tetapi hal ini bisa saja terbalik atau berpindah tangan, tergantung partai mana yang menang dalam pemilu itu sendiri. Sistem dwi partai umumnya diperkuat dengan digunakannya sistem pemilihan single-member constituency Sistem Distrik di mana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja. Sistem pemilihan ini mempunyai kecendrungan untukk menghambat pertumbuhan dan perkembangan partai kecil, sehingga dengan demikian memperkokoh sistem dwi-partai yang ada. 43 c. Sistem Multi Partai 42 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, Jakarta: PT Gramedia, 1986, cet. X, hal. 167-168. 43 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, Jakarta: PT Gramedia, 1986, cet. X, hal. 169 Model sistem multi partai ini banyak sekali di anut oleh banyak negara, diantaranya, negara Indonesia. Pada umumnya keanekaragaman dalam komposisi masyarakat merujuk pada perkembangan sistem multi-partai. Di mana perbedaan ras, agama, atau suku bangsa adalah kuat, golongan-golongan masyarakat lebih cendrung untuk menyalurkan ikatan-ikatan terbatas primordial dalam satu wadah saja. 44 Dalam hal ini, tentu sistem multi partai merupakan cerminan dalam berbagai macam ras, agama, atau suku bangsa yang terdapat pada suatu negara. Tentu hal ini merupakan suatu keniscayaan bilamana kedekatan primordial dapat mempengaruhi afiliasi pada suatu partai yang dekat dengannya atau memiliki ikatan tersendiri. Sistem multi partai, apalagi kalau digandengkan dengan sistem pemerintahan parlementer, mempunyai kecendrungan untuk menitik beratkan kekuasaan pada badan legislatif sehingga peranan badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. 45 Hal ini disebabkan karena tidak ada satu partai yang kuat dalam membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai-partai lain. Dalam keadaan seperti ini, partai yang berkoalisi harus selalu mengadakan musyawarah dan kompromi dengan partai-partai lainnya dan menghadapi kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai koalisi lainnya dapat di tarik kembali. Jadi artinya koalisi atau oposisi tidak permanen selama masa jabatan suatu pemerintahan berlangsung dalam satu periode. 44 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar ilmu politik, Jakarta: PT Gramedia, 1986, cet. X, hal. 169 45 Ibid, hal. 170