Kearifan Tradisional Masyarakat TINJAUAN PUSTAKA

11 asli, native people penduduk asli atau tradisional people masyarakat tradisional Dasman 1991 dalam Primack et al. 1998. Indonesia diperkirakan dihuni oleh 100 – 150 famili tumbuhan yang meliputi 25.000-30.000 spesies tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di dalam kawasan hutan alam. Diperkirakan separuh dari jumlah tersebut merupakan tumbuhan berkayu dan buah-buahan Meijer 1974 dan masih banyak sekali yang belum diketahui manfaatnya Khazahara 1986. Telah lama masyarakat tradisional hidup secara berdampingan dengan keanekaraman hayati atau sumber daya alam yang ada di sekelilingnya. Di sebagian besar tempat, ternyata mereka tidak melakukan perusakan besar-besaran terhadap sumber daya alam yang ada di sekelilingnya tersebut Primack et al. 1998. Masyarakat tradisional telah berhasil memanfaatkan metoda-metoda irigasi yang bersifat inovatif, misalnya dengan melakukan panen yang bervariasi. Metode tersebut telah memungkinkan kehidupan manusia dengan populasi yang tinggi tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan maupun komunitas biologis di sekelilingnya. Namun, saat ini masyarakat tradisional sedang dihadapkan pada perubahan lingkungan secara besar-besaran akibat meningkatnya interaksi masyarakat dengan dunia luar, yang seringkali timbul perbedaan tajam antara generasi tua dan muda. Banyak masyarakat tradisional yang mempunyai etika konservasi yang kuat, walaupun etika tersebut lebih halus dan tersamar dibandingkan keyakinan konservasi dunia Barat. Etika konservasi telah memberikan pengaruh pada perilaku sehari-hari Gomez-Pompa Kaus 1992; Posey 1992 dalam Primack et al. 1998. Salah satu contoh yang baik dari penerapan pandangan konservasi adalah pada suku Indian Huastec, di timur laut Meksiko. Mereka memelihara lahan pertanian secara permanen, juga memelihara hutan yang terletak dibukit- bukit, dan daerah aliran sungai, berdasarkan konservasi dikenal dengan istilah lokal te’lom. Di kawasan hutan tersebut terdapat 300 species yang merupakan sumber makanan, kayu dan berbagai produk bermanfaat lainnya. Mereka melakukan modifikasi pada komposisi species di hutan untuk mendukung berbagai species bermanfaat dengan cara menanam dan memangkas gulma secara berkala Alcorn 1984 dalam Primack et al. 1998. 12

E. Hubungan Budaya Dayak dengan Hutan

Kebudayaan mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat dengan agama atau sistem kepercayaanbelieve system. Sistem kepercayaanagama bagi kelompok etnik Dayak hampir tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya dan kehidupan sosial ekonomi sehari-hari. Kepribadian, tingkah laku, sikap, perbuatan, kegiatan sosial ekonomi orang Dayak sehari-hari dibimbing, didukung dan dihubungkan tidak saja dengan sistem kepercayaan atau ajaran agama dan adat istiadat, tetapi juga dengan nilai-nilai budaya Algadrie 1994 dalam Florus et al. 1994. Hubungan etnis Dayak dengan hutan dengan segala isinya merupakan hubungan timbal balik, di satu pihak alam memberikan kemungkinan- kemungkinan bagi perkembangan budaya etnis Dayak, di lain pihak etnis Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya. Pola kehidupan etnis Dayak tradisional masih sangat tergantung pada sumber alam, mata pencahariannya terbatas pada kemungkinan-kemungkinan yang disediakan oleh alam Arman 1994 dalam Florus et al. 1994. Mata pencaharian orang Dayak selalu ada hubungannya dengan hutan. Hutan digunakan sebagai tempat berburu, untuk berladang pohon-pohon di hutan di buka, untuk mengusahakan tanaman perkebunan, etnis Dayak cenderung memilih tanaman hutan seperti karet, rotan, tengkawang dan sejenisnya. Kecenderungan seperti itu merupakan suatu refleksi dari hubungan yang akrab yang telah berlangsung berabad-abad dengan hutan dan segala isinya. Hutan merupakan basis utama dari kehidupan, sosial, ekonomi, budaya dan politik kelompok etnik Dayak Florus et al. 1994. Pengolahan lahan tradisional masyarakat Dayak didasarkan pada sistem perladangan daur ulang untuk masa putaran tertentu. Masa putaran 3 sampai 4 tahun untuk tana’ ujung dan paya’; 5 sampai 6 tahun untuk tana’ rambur dan kereng; dan 10-15 tahun untuk tana’ toan hutan sekunder. Kultur material etnis Dayak juga dipengaruhi dan berorientasi pada hutan, rumah panjang yang masih asli di buat seluruhnya dari kayu. Tiang, lantai, dinding, atap, bahkan pengikat semuanya diambil dari hutan. Peralatan transportasi sungai berupa sampan-sampan kecil biasanya dibuat dengan teknologi sederhana yaitu dengan mengeruk batang pohon. Peralatan kerja dan senjata 13 seperti kapak, beliung, parang, bakul, tikar, mandau, talabang perisai, tengkalang dan sumpit sebagian bahannya terbuat dari bahan-bahan yang diambil dari hutan Arman 1994 dalam Florus et al. 1994. Demikian pula dengan kebudayaan non material orang Dayak banyak sekali berhubungan dengan hutan. Sebagai contoh pohon-pohon besar atau spesies kayu tertentu dipandang sebagai perlambang kekuatan atau mistik. Hal tersebut menggambarkan bahwa kehidupan tradisional dan budaya Dayak sulit dipisahkan dari sumber daya hutan.

F. Hubungan Budaya Melayu dengan Hutan

Etnis Melayu yang mendiami wilayah pedalaman Sintang merupakan pengelola hutan yang gigih, hutan belantara yang begitu tebal bertukar menjadi kampung dan ladang. Tradisi mengelola hutan untuk kepentingan manusia tidak dapat dipisahkan karena hutan mempunyai kaitan yang erat dengan kepentingan manusia selama berada di dalam hutan. Pada masa dahulu masyarakat Melayu menganggap bahwa hutan mempunyai semangat yang keras nuansa magis sangat tinggi. Hutan selain di huni oleh binatang buas, hutan juga di huni berbagai jenis jembalang makhluk halus, yang dapat menyebabkan bencana pada manusia. Lantaran kepercayaan tersebut, masyarakat Melayu beranggapan perlu mengadakan upacara khas bila hendak mengambil rotan, damar, kayu, buluh, akar kayu dan sebagainya atau untuk membuka lahan baru. Adat tersebut dilaksanakan demi menjamin keselamatan seseorang www.members.tripod.comniah_abdullahtamadunnew 2007. Sebelum datangnya Islam di kehidupan etnis Melayu Sintang, masyarakat memiliki kepercayaan animisme. Namun sejak Islam memasuki kehidupan masyarakat Melayu, Melayu selalu diidentikkan dengan Islam. Masyarakat Melayu juga mempercayai kelebihan sesuatu hari dalam melakukan upacara atau acara-acara yang penting dalam hidup. Bulan atau hari yang dipilih didasarkan pada kalender Hijriah. Hari yang kurang baik untuk masuk hutan adalah hari Selasa akhir bulan Melayu. Hari yang baik untuk melakukan upacara adalah hari Rabu, Kamis, dan Jumat. Hari-hari tersebut dipercayai mendatangkan manfaat yang lebih. Selain itu, dalam budaya Melayu terdapat sistem kekerabatan yang bersifat bilateral, masyarakat juga percaya akan petuah-petuah yang di sampaikan