Kajian Etnobotani di Indonesia

10 Kemajuan teknologi telah menimbulkan akses terhadap lingkungan dan dampak negatif terhadap kesehatan, misalnya obat-obatan atau pewarna makanan sintetis. Akhir-akhir ini, di Indonesia timbul gerakan untuk kembali alam atau back to nature, diantaranya berupaya memanfaatkan kembali sumber daya nabati alami, seperti penggunaan obat tradisional, kosmetik, pewarna yang dibuat dari bahan alami. Hal yang terpenting adalah bagaimana pengetahuan tradisional dapat diselamatkan, untuk dikaji kembali. Pusat dari pengetahuan tradisional mengenai pemanfaatan tumbuhan ini umumnya dijumpai pada negara-negara berkembang dan umumnya terletak pada kawasan tropika, baik di Amerika, Afrika maupun Asia. Di negara-negara ini pula dikatakan merupakan sumber dari pengetahuan tradisional serta sumber daya hayati yang meliputi tumbuhan, hewan dan jasad renik terdapat. Penelitian etnobotani di Indonesia, telah banyak dilakukan oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu, tetapi dikatakan bahwa penelitan tersebut hanya sebagai sampingan saja. Hal tersebut menyebabkan data dan informasi mengenai etnobotani tersebut diberbagai publikasi dari berbagai disiplin ilmu, misalnya ahli botani lebih menitikberatkan pada pemanfaatan tumbuhannya sedangkan ahli antropologi lebih menitikberatkan pada manusianya Soekarman Riswan 1992. Beberapa kajian etnobotani terhadap beberapa etnis di Indonesia yaitu etnobotani Pandanaceae dalam kehidupan etnis Arfak, Irian Jaya Sadsoeitoeboen 1999, etnobotani pinang yaki Areca vestiaria oleh etnis Bolaang Mongondow, Sulawesi Simbala 2006, dan etnobotani benzoin Stryrax spp. pada etnis batak di Tapanuli Utara, Sumatera Utara Purwanto et al. 2003.

D. Kearifan Tradisional Masyarakat

Bangsa Indonesia yang mendiami diseluruh pulau-pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke terdiri dari suku-suku yang masing-masing mempunyai kebudayaan dan adat istiadat yang berkembang dan diwariskan secara turun- temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kehidupan suku-suku tersebut terutama yang mempunyai interaksi dekat dengan sumberdaya dan lingkungannya secara turun-temurun pula mewarisi pola hidup tradisional yang dijalani oleh leluruhnya. Masyarakat setempat yang hidup secara tradisional tersebut dikenal dengan istilah-istilah tribal people masyarakat suku, indigenous people orang 11 asli, native people penduduk asli atau tradisional people masyarakat tradisional Dasman 1991 dalam Primack et al. 1998. Indonesia diperkirakan dihuni oleh 100 – 150 famili tumbuhan yang meliputi 25.000-30.000 spesies tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di dalam kawasan hutan alam. Diperkirakan separuh dari jumlah tersebut merupakan tumbuhan berkayu dan buah-buahan Meijer 1974 dan masih banyak sekali yang belum diketahui manfaatnya Khazahara 1986. Telah lama masyarakat tradisional hidup secara berdampingan dengan keanekaraman hayati atau sumber daya alam yang ada di sekelilingnya. Di sebagian besar tempat, ternyata mereka tidak melakukan perusakan besar-besaran terhadap sumber daya alam yang ada di sekelilingnya tersebut Primack et al. 1998. Masyarakat tradisional telah berhasil memanfaatkan metoda-metoda irigasi yang bersifat inovatif, misalnya dengan melakukan panen yang bervariasi. Metode tersebut telah memungkinkan kehidupan manusia dengan populasi yang tinggi tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan maupun komunitas biologis di sekelilingnya. Namun, saat ini masyarakat tradisional sedang dihadapkan pada perubahan lingkungan secara besar-besaran akibat meningkatnya interaksi masyarakat dengan dunia luar, yang seringkali timbul perbedaan tajam antara generasi tua dan muda. Banyak masyarakat tradisional yang mempunyai etika konservasi yang kuat, walaupun etika tersebut lebih halus dan tersamar dibandingkan keyakinan konservasi dunia Barat. Etika konservasi telah memberikan pengaruh pada perilaku sehari-hari Gomez-Pompa Kaus 1992; Posey 1992 dalam Primack et al. 1998. Salah satu contoh yang baik dari penerapan pandangan konservasi adalah pada suku Indian Huastec, di timur laut Meksiko. Mereka memelihara lahan pertanian secara permanen, juga memelihara hutan yang terletak dibukit- bukit, dan daerah aliran sungai, berdasarkan konservasi dikenal dengan istilah lokal te’lom. Di kawasan hutan tersebut terdapat 300 species yang merupakan sumber makanan, kayu dan berbagai produk bermanfaat lainnya. Mereka melakukan modifikasi pada komposisi species di hutan untuk mendukung berbagai species bermanfaat dengan cara menanam dan memangkas gulma secara berkala Alcorn 1984 dalam Primack et al. 1998.