102 karena yang dipanen adalah bagian daun atau pucuk yang merupakan struktur
vegetatif, maka yang terjadi kemudian adalah permudaan kembali pada bagian tersebut. Jika masyarakat dalam memanen sengkubak memperhatikan
kelangsungan pertumbuhannya, maka sesungguhnya pemanenan terhadap daun sengkubak dengan batas-batas yang wajar tidak akan menyebabkan masalah yang
berarti.
d. Meningkatkan Pengetahuan dalam Pembudidayaan Sengkubak
Strategi konservasi sumber daya alam di era pelaksanaan otonomi daerah saat ini, dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat yang berada di
sekitar kawasan dengan membina perilaku produktif yang berwawasan lingkungan, serta meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola sumber
daya alam tersebut, hal tersebut dapat dilakukan dengan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan Sudarmadji 2002.
Dalam hal pengelolaan kawasan hutan, masyarakat etnis Dayak khususnya telah memiliki pengetahuan yang cukup baik. Namun dalam budidaya
sengkubak, etnis Dayak dan Melayu Sintang belum memiliki teknik budidaya lokal yang dapat digunakan. Untuk itu, perlu dilakukan upaya meningkatkan
pengetahuan masyarakat terutama terhadap pembudidayaan sengkubak.
5. Pengelolaan Hutan oleh Etnis Dayak
Pengelolaan hutan oleh masyarakat dayak merupakan suatu strategi konservasi yang dapat dilestarikan. Mengapa etnis Dayak, karena etnis Melayu
saat ini lebih terkonsentrasi berada di pusat kota kabupaten atau kecamatan, etnis Dayak pada komunitas tertentu saat ini masih intens mengelola hutan karet alam
campuran. Di samping diperoleh manfaat dari segi ekonomi yaitu hasil getah karet kulat, hutan-hutan sekunder yang dikelola oleh etnis Dayak tersebut juga
merupakan habitat sengkubak di Kabupaten Sintang. Sengkubak masih dapat bertahan dan lestari karena memiliki pengelola yang jelas yaitu masyarakat
sekitar hutan. Hutan merupakan bagian yang penting bagi sebagian kehidupan suku
Dayak pedalaman Sintang. Hutan adalah tempat dimana masyarakat memenuhi
103 kebutuhan sosialnya ruang individu, keluarga dan masyarakat, kebutuhan
spiritualnya tempat keramat, tempat pemakaman dan rumah ibadah, kebutuhan ekonominya hasil hutan, bahan baku dan kesempatan kerja dan kebutuhan fisik
masyarakat makanan, bahan bakar, obat-obatan dan alat. Hutan merupakan sumber kebutuhan pokok dan ekonomi masyarakat, dari
hasil menoreh karet di hutan karet alam, setiap bulan setiap keluarga suku Dayak Desa, Siberuang dan Sekujang Sintang dapat menghasilkan rata-rata 160 kg kulat
getah karet atau setara dengan Rp. 1.120.000. Sebagian kebutuhan hidup dapat dipenuhi dengan mengelola hutan karet alam di samping kegiatan menanam padi
di ladang yang tetap dilakukan untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Masyarakat Dayak mempunyai pandangan perspektif yang berbeda
terhadap hutan. Hutan dianggap sebagai sebuah ruang yang pernah dihuni oleh pendahulunenek moyang yang pengaruhnya terhadap hutan tersebut dapat
dilacak kembali. Masyarakat mempunyai aturan tersendiri dalam pengelolaan hutan, ada sistem kepercayaan tradisional norma, tabu, dan praktek tradisional
yang disepakati yang mendukung nilai dan membimbing sistem pengelolaan hutan yang dijalankan. Masyarakat memiliki pengetahuan yang luas terhadap
hutan yang dikelola, masyarakat pengelola sangat paham peranan masing-masing pohon atau tumbuhan yang terdapat di dalam kawasan yang dikelola. Sebagai
contoh masyarakat mengerti jenis pohon kempas Koompasia malaccensis sebagai tempat bersarangnya lebah, pohon kempelas Tetracera macrophylla
berguna sebagai bahan amplas tradisional, pohon rambai hutan Sarcotheca macrophylla
buahnya digunakan masyarakat sebagai pembersih kuku. Adanya pemahaman terhadap kegunaan dari masing-masing komponen
yang terdapat dalam hutan yang dikelola, hal tersebut membuat masyarakat sangat mengerti bagaimana memperlakukan hutan yang dikelola. Tindakan yang
diambil dalam pengelolaan hutan didasarkan atas pengetahuan dan pemahaman yang mendalam terhadap masing-masing komponen hutan. Keunggulan lain dari
teknologi asli masyarakat Dayak dalam pengelolaan sumber daya alam hutan adalah adanya pola-pola pemanfaatan yang tergantung pada banyak sumber, baik
kayu maupun non kayu sehingga tidak menimbulkan tekanan pada salah satu spesies tertentu Moniaga dalam Florus et al. 1994.