60 ketersediaan benih secara berkesinambungan, menumbuhkembangkan industri
dalam negeri serta meningkatkan devisa negara. Pada kebijakan ini terdapat larangan untuk mengimpor beberapa jenis benih tanaman hias seperti adenium
obesum, beberapa jenis aglaonema, anthurium serta phylodendron. Selain itu terdapat jumlah maksimal benih yang dapat diimpor oleh perusahaan berbentuk
PT yaitu sebanyak 10.000 tanaman dengan 200 tanaman untuk setiap varietas. Introduksi benihbibit dari luar negeri hanya dapat dilakukan jika materi induk
belum tersedia di dalam negeri. Hal ini berpengaruh pada kelancaran produksi Istana Alam, karena sampai saat ini Istana Alam masih mengimpor benih
beberapa indukan tanaman hias dari Thailand dan Cina yang dianggap lebih bervariasi dan berkualitas.
6.1.2. Faktor Ekonomi
Faktor lingkungan ekonomi yang mempengaruhi industri tanaman hias dapat dilihat dari beberapa indikator, yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi,
kurs rupiah terhadap dollar Amerika, dan pengeluaran rata-rata perkapita. 1
Pertumbuhan Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari besarnya nilai PDB Produk
Domestik Bruto dan PDRB Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan. Pertumbuhan ekonomi secara nasional cenderung mengalami
peningkatan Tabel 12. Pada tahun 2004, pertumbuhan PDB sebesar 5,13 persen atau sekitar 1.660,6 triliun rupiah. Lalu mengalami peningkatan pada
tahun 2005 yaitu sebesar 1.750,7 triliun rupiah dengan pertumbuhan sebesar 5,68 persen. Kemudian kembali meningkat pada tahun 2006 menjadi 1.846,7
triliun rupiah, pertumbuhan sebesar 5,48 persen. Pada tahun 2007, PDB nasional juga mengalami peningkatan pertumbuhan sebesar 6,30 persen
dengan PDB sebesar 1.964,0 triliun rupiah.
61
Tabel 12. Perkembangan dan Pertumbuhan PDB Indonesia Tahun 2004-
2007 Tahun
PDB atas Dasar Harga Konstan 2000 Triliun Rupiah
Pertumbuhan PDB
2004 1.660,6
5,13 2005
1.750,7 5,68
2006 1.846,7
5,48 2007
1.964,0 6,30
Sumber: BPS 2008
Pertumbuhan ekonomi kota Depok dapat dilihat dari nilai PDRB atas dasar harga konstan. Pertumbuhan ekonomi kota Depok juga cenderung
mengalami peningkatan Tabel 13. Pada tahun 2004, pertumbuhan PDRB
kota Depok sebesar 6,5 persen dengan nilai 4.440.876,83 juta rupiah. Kemudian mengalami peningkatan di tahun 2005 sebesar 6,96 persen dengan
nilai 4.750.034,10 juta rupiah. Lalu pada tahun 2006, PDRB juga mengalami peningkatan menjadi 5.066.129,06 juta rupiah atau sebesar 6,65 persen.
Hingga pada tahun 2007, PDRB kembali meningkat sebesar 6,95 persen dengan nilai 5.418.246,94 juta rupiah. Tingkat pertumbuhan ekonomi ini
menggambarkan kesejahteraan masyarakat yang ada di suatu daerah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi kota Depok ini
menjadi peluang bagi Istana Alam, dimana semakin sejahtera masyarakat kota Depok maka semakin tinggi daya belinya. Hal ini akan berpengaruh
pada peningkatan penjualan tanaman hias di Istana Alam.
62
Tabel 13. Perkembangan dan Pertumbuhan PDRB Kota Depok Tahun 2004-
2007
Tahun PDRB atas Dasar Harga Konstan 2000
Jutaan Rupiah Pertumbuhan PDRB
2004 4.440.876,83
6,50 2005
4.750.034,10 6,96
2006 5.066.129,06
6,65 2007
5.418.246,94 6,95
Sumber: BPS kota Depok 2008
2 Tingkat Inflasi
Laju inflasi pada bulan Oktober 2007 sampai April 2009 mengalami fluktuasi Tabel 14. Pada bulan Oktober 2007 hingga Agustus 2009 cenderung
mengalami peningkatan. Namun, perbaikan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah cukup berhasil dalam menurunkan tingkat inflasi pada bulan
Oktober 2009 hingga April 2009. Akan tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa tingkat inflasi akan mengalami peningkatan kembali.
Tingkat inflasi yang cenderung fluktuatif ini menjadi ancaman bagi perusahaan. Tingkat inflasi berpengaruh terhadap daya beli masyarakat,
dimana inflasi yang tinggi akan menurunkan daya beli masyarakat. Fluktuasi tingkat inflasi ini membuat manajemen perusahaan sulit untuk melakukan
prediksi terhadap perkembangan daya beli masyarakat dan hal ini mengakibatkan suatu ketidakpastian usaha.
63
Tabel 14. Tingkat Inflasi Bulanan pada Bulan Oktober 2007-April 2009
Bulan Tahun Tingkat Inflasi
April 2009 7,31
Februari 2009 8,60
Desember 2008 11,06
Oktober 2008 11,77
Agustus 2008 11,85
Juni 2008 11,03
April 2008 8,96
Februari 2008 7,40
Desember 2007 6,59
Oktober 2007 6,88
Sumber: Bank Sentral Republik Indonesia 2009
3 Kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika
Kurs valuta asing juga berpengaruh terhadap perkembangan usaha tanaman hias ini, karena perusahaan masih mengimpor sebagian bahan baku
utamanya. Persentase bahan baku yang diimpor adalah sebesar 80 persen dari total keseluruhan bahan baku, dimana 16 persen diantaranya merupakan
bahan baku non bibit tanaman. Bahan baku yang masih diimpor antara lain bibit adenium, agloenema, bonsai, pot dan alat berkebun.
Kurs rupiah terhadap dollar amerika dari bulan Januari 2005 hingga Juli 2008 cukup stabil, namun setelah Juli 2008 hingga Mei 2009 kurs uang kertas
asing USD ini mengalami ketidakstabilan dimana kurs mengalami fluktuasi yang cukup tinggi Gambar 7. Menurut Suwarsono 1994, jika kurs terlalu
rendah maka eksportir akan merugi karena harga barang yang diekspor dinilai terlalu mahal diukur dengan mata uang asing, sedangkan jika kurs
terlalu tinggi maka importir akan merugi karena harga barang yang diimpor berharga amat mahal jika diukur dengan mata uang lokal. Hal ini merupakan
ancaman bagi perusahaan dimana ketidakstabilan ini berpengaruh terhadap harga bahan baku bibit tanaman yang diimpor dari Thailand dan Cina.
64
Gambar 7. Kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Tahun 2005-2009
Sumber: Bank Sentral Republik Indonesia 2009
4 Pengeluaran Rata-Rata per Kapita
Pengeluaran rata-rata per kapita mencerminkan tingkat konsumsi masyarakat. Pada Tabel 15
dapat dilihat jumlah pengeluaran rata-rata per kapita sebulan menurut kelompok barang di beberapa kota di daerah Jawa Barat pada tahun
2007 yang menunjukkan pola konsumsi dari masyarakat. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pengeluaran rata-rata per kapita masyarakat kota Depok
untuk produk makanan adalah sebesar Rp 250.414 dan untuk produk non makanan sebesar Rp 357.646. Hal ini mengindikasikan bahwa persentase
pengeluaran masyarakat kota Depok untuk produk non makanan lebih besar daripada produk makanan, yaitu sebesar 58,81 persen untuk produk non
makanan dan 41,19 persen untuk produk makanan. Kondisi ini mencerminkan bahwa konsumsi masyarakat kota Depok terhadap produk non
makanan cukup tinggi, dimana produk non makanan tersebut secara umum merupakan kebutuhan sekunder ataupun tersier. Hal ini mengindikasikan
bahwa masyarakat kota Depok masih memiliki daya beli yang cukup baik untuk memenuhi kebutuhan sekunder maupun tersiernya. Produk tanaman
hias merupakan salah satu kebutuhan tersier, sehingga hal ini menjadi peluang bagi perusahaan dalam memasarkan produknya.
65
Tabel 15. Pengeluaran Rata-Rata per Kapita Sebulan Menurut Kelompok
Barang di Jawa Barat pada Tahun 2007 Kota
Makanan Rp
Persentase Non Makanan
Rp Persentase
Bogor 249.624
37,67 412.983
62,33 Sukabumi
255.558 51,10
244.603 48,90
Bandung 226.878
41,42 320.876
58,58 Cirebon
194.545 44,18
245.771 55,82
Bekasi 235.438
39,91 354.468
60,09 Depok
250.414 41,19
357.464 58,81
Cimahi 245.556
45,21 297.550
54,79 Tasikmalaya
176.778 46,31
204.964 53,69
Banjar 173.871
51,42 164.282
48,34
Sumber: Survei Sosial Ekonomi Daerah, BPS Provinsi Jawa Barat 2007
6.1.3. Faktor Sosial, Budaya, Demografi, dan Lingkungan