Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba

41 akan dihukum sesuai hukum negara. Perbedaannya adalah dalam hukum adat, anggota masyarakat dihukum sesuai hukum adat yang berlaku dalam masyarakat itu dan bukan hukum negara. Hukuman tersebut datang dari anggota masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang memiliki adat istiadat sendiri, norma hukum dalam bermasyarakat, dinamakan masyarakat yang berbudaya. Setiap etnik masyarakat memiliki kebudayaan tersendiri yang dijadikan sebagai tatacara sikap perilaku dalam masyarakat. Sama halnya dengan etnik Batak Toba yang memiliki kebudayaan tersendiri. Batak Toba memiliki nilai yang terkandung dalam kebudayaan sendiri. Nilai budaya dapat dijabarkan dengan aturan-aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat. Masyarakat yang mengerti akan nilai budayanya, berarti masyarakat tersebut sudah mengetahui apa yang pantas dan yang tidak pantas untuk dilakukan Koentjaraningrat, 1970: 381. Aturan-aturan yang merupakan nilai budaya digunakan menjadi pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai budaya berfungsi sebagai pemberi arah dan pendorong tingkah laku manusia sehari-hari. Nilai budaya terungkap dalam bentuk wujud aspeknya yaitu pada sistem kekerabatan dalam masyarakat.

3.2. Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba

Masyarakat Batak Toba menarik garis keturunan dari pihak ayah atau pihak laki-laki yang dinamakan dengan prinsip patrilineal. Suatu kelompok adat dihitung dari satu ayah disebut saama, atau satu nenek disebut dengan saompung dan kelompok kekerabatan yang besar adalah marga. Kelompok kekerabatan yang terkecil atau keluarga batih disebut ripe. Istilah ripe dapat juga dipakai untuk menyebut keluarga luas patrilineal. Saompu dapat disebut klen, istilah ini dipakai Universitas Sumatera Utara 42 juga untuk menyebut kerabat yang terikat dalam satu nenek moyang Lubis, 1999: 112. Berdasarkan prinsip keturunan masyarakat Batak Toba yang berarti garis keturunan etnis adalah dari anak laki-laki. Anak laki-laki memegang peranan penting dalam kelanjutan generasi. Berarti apabila seseorang tidak mempunyai anak laki-laki, maka dianggap napunu karena tidak dapat melanjutkan silsilah ayahnya. Silsilah yang tidak dapat berlanjut lagi, sama halnya bahwa seseorang itu tidak akan pernah diingat atau diperhitungkan lagi dalam silsilah keluarga Rajamarpodang, 1992: 105. Hubungan kekerabatan yang timbul sebagai akibat dari penarikan garis keturunan patrilineal mempunyai nilai yang sangat penting. Pada urutan generasi setiap ayah yang mempunyai anak laki-laki menjadi bukti nyata dalam silsilah kelompok patrilinealnya. Seorang ayah mempunyai dua atau lebih kelompok keturunan yang masing-masing mempunyai identitas sendiri. Apabila mereka berkumpul maka akan menyebut ayah tadi ompu parsadaan. Ompu berarti: kakek, moyang laki-laki; sada adalah satu, jadi merupakan titik temu mereka. Mereka yang berasal dari nenek moyang yang satu nasaompu dari generasi ke generasi akan menjadi satu marga. Marga merupakan suatu pertanda bahwa orang yang menggunakannya masih mempunyai kakek bersama atau percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seorang kakek menurut garis patrilineal Bruner dalam Lubis, 1999: 112. Berdasarkan prinsip patrilineal, masyarakat Batak Toba mengartikannya bahwa laki-laki mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam meneruskan silsilah dan keturunan keluarga. Laki-lakilah yang dapat menurunkan marga bagi Universitas Sumatera Utara 43 keturunannya. Setiap anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun perempuan selalu mencantumkan marga ayahnya dan bukan marga ibunya dibelakang nama pribadinya. Berdasarkan prinsip patrilineal, maka kekuasaan berada ditangan laki- laki. Masyarakat Batak Toba menurut ketentuan dalam kebudayaannya harus selalu memelihara kepribadian dan rasa kekeluargaan harus tetap terpupuk. Hal tersebut dilakukan bukan saja terhadap keluarga dekat, tetapi juga terhadap keluarga jauh yang semarga. Nama panggilan terhadap seseorang adalah nama marganya dan bukan nama pribadinya. Apabila sesama orang Batak bertemu, maka yang pertama ditanya adalah nama marganya dan bukan nama pribadi atau tempat tinggal. Dengan mengetahui marga, mereka akan mengikuti proses penelusuran silsilah untuk mengetahui hubungan kekerabatan diantara mereka. Proses penelusuran silsilah disebut dengan martutur atau martarombo. Dengan martutur mereka mengetahui kedudukan masing-masing dan hal-hal yang tabu dapat dihindarkan. Masyarakat Batak Toba mempunyai sebuah ungkapan didalam hal martutur yaitu: ” Jolo tiniptip sanggar, asa binaen huru-huruan, jolo sinungkun marga asa binoto partuturan”. Artinya adalah: ”untuk membuat sangkar haruslah terlebih dahulu dibuat bahannya, dan untuk mengetahui hubungan keluarga haruslah terlebih dahulu menanyakan marganya”. Dengan demikian, orang yang saling berkenalan itu dapat mengetahui apakah dia mempunyai hubungan keluarga satu sama lainnya, sehingga dapat ditentukan kedudukan dalam hubungan tersebut. Selain hubungan marga secara garis keturunan antara marga-marga juga mempunyai hubungan lain fungsional. Marga mempunyai fungsi tertentu Universitas Sumatera Utara 44 terhadap marga lain yang terjadi akibat perkawinan. Hubungan fungsional ini mengakibatkan adanya penggolongan marga didalam kaitannya dengan marga lain yang menimbulkan suatu sistem kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba yang disebut dengan Dalihan na Tolu. Dalihan na Tolu dalam bahasa Indonesia adalah tungku nan tiga. Tungku adalah alat memasak, dimana periuk dan belanga diletakkan di atasnya untuk memasak makanan. Orang Batak melambangkan alat memasak makanan dalihan yang tiga batunya sebagai lambang struktur sosial mereka. Sebab terdapat tiga golongan penting didalam masyarakat Batak Toba yaitu hula-hula, boru, dan dongan sabutuha Simanjuntak, 2006: 99-103. Menurut Koenjaraningrat 1984, 125-128 Dalihan na Tolu tersebut selalu tercermin dalam setiap aspek-aspek kehidupan masyarakat Batak Toba, aktivitas- aktivitas hidup bersama terdapat pada pesta-pesta seperti: perkawinan, mendirikan rumah, dan upacara keagamaan. Pada setiap pesta dalam masyarakat Batak Toba harus kelihatan tiga kelompok kerabat yaitu: hula-hula, dongan sabutuha dan boru yang mempunya hubungan khusus dengan orang yang menyelenggarakan pesta suhut. Ketiga kelompok tersebutlah yang disebut dengan Dalihan na Tolu.

3.3. Wujud Nilai Budaya Masyarakat Batak Toba

Dokumen yang terkait

Tradisi Lisan Nyanyian Rakyat Anak-Anak Pada Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan

4 139 22

Komparatif Nilai Sosial Budaya Perkawinan Batak Toba Pada Masyarakat Asal dengan Perantauan (Studi Komparatif Antara Desa Hutajulu Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan dengan Kelurahan Sidorame Kecamatan Medan Perjuangan)

4 53 119

Struktur Kalimat Bahasa Batak Toba Di Kabupaten Humbang Hasundutan Kecamatan Lintong Ni Huta Berdasarkan Hubungan Subjek Dan Predikat: Analisis Teori X-Bar

13 210 63

Geografi Dialek Bahasa Batak Toba di Kabupaten Humbang Hasundutan

5 49 172

Analisis Tekstual Dan Musikal Ende Marhaminjon Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan

3 70 102

Analisis Tekstual Dan Musikal Ende Marhaminjon Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan

2 2 11

Analisis Tekstual Dan Musikal Ende Marhaminjon Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan

0 0 1

Analisis Tekstual Dan Musikal Ende Marhaminjon Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan

1 2 15

Analisis Tekstual Dan Musikal Ende Marhaminjon Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan

1 3 19

Analisis Tekstual Dan Musikal Ende Marhaminjon Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan

1 5 2