63 Secara kultural konseptualisasi Batak Toba mengenai anak mengacu hanya
kepada laki-laki dan bukan perempuan. Dampak dari kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan perempuan mencerminkan kedudukan yang berbeda dimana
anak perempuan tidak berhak dalam penerusan silsilah marga, dalam hak mendapat warisan, dalam aktivitas adat serta dalam pendidikan Irianto, 2003: 9.
4.1.1. Anak Perempuan Bukan Penerus Keturunan Marga
Berdasarkan budaya Batak Toba perempuan bukanlah sebagai penerus keturunan marga ayahnya. Anak perempuan akan menjadi anggota kelompok
suaminya. Perempuan juga hanya akan melahirkan anak buat suaminya. Perempuan hanya menumpang dalam keluarga ayahnya. Bagi keluarga suaminya
perempuan hanya memperbanyak keturunan dan tetap mempunyai hak menumpang. Perempuanlah yang melahirkan anak buat suaminya,walaupun
demikian, marga ibu tetap tidak akan pernah dicantumkan di belakang nama si anak yang dilahirkannya.
4.1.2. Anak Perempuan Bukan Sebagai Ahli Waris
Menurut Rajamarpodang 1992: 491 memperhatikan pembagian warisan pada masyarakat Batak Toba dengan pengalaman sejarah pada pembagian warisan
itu, dapat dikatakan sangat banyak sorotan. Budaya masyarakat Batak Toba terhadap pembagian warisan dianggap tidak jujur malahan mungkin dikatakan
tidak adil terhadap sesama turunannya. Pada prakteknya pembagian warisan itu terdapat diskriminasi yang terdapat pada satu turunan yaitu: terhadap anak
perempuan.
Universitas Sumatera Utara
64 Menurut Vergouwen dalam Irianto,2003: 120, dalam hal pembagian
harta warisan, ada ketentuan bahwa anak laki-laki yang mewarisi harta peninggalan ayahnya. Bagi keluarga yang mempunyai anak laki-laki, hanya
merekalah yang menjadi ahli waris, sedangkan apabila tidak mempunyai keturunan anak laki-laki, atau hanya memiliki keturunan anak perempuan, maka
harta peninggalan ayahnya beralih ke saudara laki-laki ayahnya. Apabila saudara laki-laki ayahnya sudah meninggal, maka harta peninggalan ayahnya jatuh kepada
anak laki-laki dari saudara laki-laki ayahnya. Anak perempuan tidak akan mendapatkan harta warisan dari peninggalan orang tuanya, dan dia hanya berhak
menikmatinya saja, itupun samasa ayahnya belum meninggal. Sebuah keluarga yang masih memiliki kepala rumah tangga yaitu seorang
ayah, maka anak perempuan hanya bisa menikmati hartanya saja tanpa memilikinya. Sepeninggalan ayahnya, maka harta tersebut akan dibagi-bagikan
oleh saudara laki-laki saja. Bagi keluarga yang tidak mempunyai saudara laki-laki, maka dengan sendirinya harta peninggalan tersebut diambil alih oleh saudara laki-
laki ayahnya. Menurut Van Dijk bahwa anak perempuan tidak mendapatkan hak waris
karena anak perempuan akan keluar dari golongan famili patrilinealnya sesudah mereka kawin. Anak perempuan tidak akan mendapatkan apa-apa, sekalipun
dalam pemilikan rumah peninggalan orang tuanya dalam Lubis, 1999: 125. Menurut Irianto 2003: 10 perempuan memang dianggap patut untuk
meminta sebidang tanah kepada ayah atau saudara laki-lakinya. Hal ini dihubungkan dengan peristiwa yang sangat khusus yaitu perkawinan, dimana
pemberian tersebut dinamakan pauseang. Walaupun anak perempuan diberikan
Universitas Sumatera Utara
65 pauseang yang berupa sebidang tanah, tetapi masih ada hal-hal sebagai syaratnya.
Syaratnya adalah bahwa pauseang tersebut tidak bisa dijual oleh sipenerima karena masih ada ikatannya dengan pihak pemberi pauseang tersebut.
Pauseang adalah benda pemberian oleh hula-hula kepada boru, ada berbentuk lahan atau tanah dan ada yang berbentuk lainnya. Sekarang dikenal
dengan tanah pauseang. Yang disebut dengan tano pauseang yaitu: ulos na sora buruk yaitu lahan pertanian yang merupakan wujud dari ulos hela, ulos tondi
parompa dan indahan arian. Semuanya itu baik berasal dari pauseang, maupun yang berasal dari ulos na sora buruk disebut tano pauseang. Sifat dari tano
pauseang ini adalah arta usako yang tidak boleh dibagi tetapi diwarisi dan dikuasai oleh keluarga yang mendapat. Walaupun demikian tetap terikat kepada
nilai pemersatu untuk rumpun keluarga dan bernilai restu dari pihak hula-hula. Masih ada ikatan moral tanah pauseang dengan hula-hula yang memberikan
Rajamarpodang, 1992: 507. Menurut Irianto 2003: 10 pauseang ini dapat berupa tanah yang diminta
oleh pihak boru kepada pihak hula-hula atau dapat juga meminta untuk anak laki- lakinya yang disebut sebagai indahan arian. Pengertian ini, berbeda dengan anak
laki-laki, hak anak perempuan terbatas pada ”hak meminta” yang berdasarkan cinta kasih. Perempuan tidak akan meminta bila ia mengetahui tidak akan diberi.
Namun perempuan harus meminta sebab bila tidak, maka ia tidak akan diberi. Secara tersirat anak perempuan dipandang mempunyai makna yang sama
dengan anak laki-laki, sehingga perlakuan adil harus diberikan kepada anak perempua seperti halnya kepada anak laki-laki. Namun dalam hal yang berkaitan
dengan pewarisan, pengertian adil tidak diartikan untuk memberi akses yang sama
Universitas Sumatera Utara
66 kepada anak perempuan dan anak laki-laki. Anak perempuan Batak Toba tidak
akan mendapatkan harta peninggalan orang tuanya karena dianggap akan menimbun kekayaan orang lain yaitu pihak keluarga suaminya Irianto, 2003; 10.
4.1.3. Anak Perempuan Bukan Sebagai Pelaksana Aktivitas Adat