48 semakin baik budi bahasa si anak dan semakin disenangi oleh anggota
masyarakat. Menurut Zulkarnaen 1995: 23 anak adalah: semua yang lahir dari
seorang ibu sebagai hasil konsepsi antara suami istri, biasanya melalui perkawinan yang sah atau hukum yang berlaku. Ketiga pandangan hidup di atas bukan
mengacu pada baik anak laki-laki maupun anak perempuan melainkan hanya mengacu pada anak laki-laki saja. Hal ini disebabkan oleh budaya patrilineal
masyarakat Batak Toba. Adanya pandangan anak laki-laki yang selalu terpenting bagi masyarakat Batak Toba, telah terwarisi dari generasi ke generasi berikutnya
dan sulit untuk berobah. Tujuan hidup ini dipandang oleh orang Batak sebagai sesuatu yang sangat
berharga yang harus diwujudkan. Ketiga tujuan hidup itu sangat dihubungkan terhadap pendidikan. Bagi masyarakat Batak Toba, pendidikan merupakan salah
satu jalan untuk mencapai kemakmuran. Berdasarkan hal itulah masyarakat Batak Toba selalu mengusahakan anak laki-laki yang harus menginjakkan kaki di
bangku pendidikan.
3.4. Kedudukan Anak Laki-laki dan Anak Perempuan pada Adat Budaya Batak Toba
Berdasarkan adat masyarakat Batak Toba, anak laki-laki dengan anak perempuan diperlakukan dengan sangat tidak adil. Nilai anak laki-laki dengan
anak perempuan pada masyarakat Batak Toba mencerminkan hubungan kekuasaan yang timpang antara laki-laki dengan perempuan. Budaya Batak Toba
selalu menempatkan perempuan pada posisi yang lemah Irianto, 2005: 2.
Universitas Sumatera Utara
49 Sebuah pepatah mengatakan: ”membesarkan seorang anak perempuan
sama saja seperti mengairi pohon rindang di halaman orang lain”. Pepatah tersebut berarti: jika anak laki-laki dengan anak perempuan disamakan haknya,
maka sama saja memperkaya atau menambah kekayaan orang lain. Setelah menikah perempuan akan tinggal dengan suaminya. Seorang perempuan akan
membawa miliknya kepada keluarga suaminya. Mengapa perempuan lebih menyukai laki-laki, itu karena anak perempuan
akan meninggalkan rumah suatu hari nanti. Sementara anak laki-laki menawarkan janji akan masa depan atas menantu perempuan serta para cucu. Perempuan yang
melahirkan anak laki-laki diperlakukan lebih baik daripada perempuan yang hanya melahirkan anak perempuan, apalagi pada perempuan yang tidak bisa
mempunyai anak sama sekali. Perlakuan seperti itu berlanjut kepada generasi selanjutnya. Anak laki-laki disusui lebih sering dan lebih lama dibanding saudara
perempuannya. Anak laki-laki lebih sering mendapat perawatan dokter daripada anak perempuan serta anak laki-laki dididik secara lebih serius.
3.5. Kedudukan Anak Laki-laki pada Adat Budaya Batak Toba
Menurut Panggabean 2004: 30 pada adat Batak Toba, laki-laki disebut sebagai ”tampuk ni pasu-pasu, ihot ni ate-ate, tum-tum ni siubeon”. Artinya
adalah anak laki-laki itu adalah segalanya, dan sangat berharga bagi orang Batak Toba. Seseorang yang tidak mempunyai anak laki-laki disebut ”terbang ke udara
dan hanyut terbawa angin”. Orang Batak Toba mati-matian supaya mempunyai anak laki-laki. Segala cara diusahakan supaya mendapatkan anak laki-laki. Hal itu
Universitas Sumatera Utara
50 dilakukan karena anak laki-laki merupakan penyambung silsilah keluarga, ahli
waris serta pemelihara dan pelaksana hukum adat. Masyarakat Batak Toba mempunyai ungkapan:”anak do hamatean boru
hangoluan”. Menurut pengertian sebenarnya adalah: anak laki-laki merupakan kematian dan anak perempuan adalah kehidupan. Masyarakat Batak Toba tidak
mengartikan ungkapan tersebut dalam pengertian sebenarnya, akan tetapi bagi masyarakat Batak Toba mempunyai pengertian tersendiri. Bagi masyarakat Batak
Toba, orang tua bercita-cita dan sangat terhormat bila mati di rumah anaknya dan jangan sampai di rumah borunya. Boru disebut hangoluan karena memang boru
itu pada dasarnya memberi suka cita dan rasa hormat kepada orang tua dan hula- hulanya. Boru selalu berusaha untuk tidak membuat marah ayah atau hula-
hulanya. Prinsip patrilineal digunakan untuk menggambarkan dominasi laki-laki
atas perempuan dan anak-anak didalam keluarga serta ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya. ”Patrilineal”
adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat seperti dalam pemerintahan, militer, pendidikan, industri,
bisnis, perawatan kesehatan, agama serta pada dasarnya perempuan tercerabut dari akses terhadap kekuasaan itu yang menyebabkan ketimpangan.
Ketimpangan kekuasaan antara anak laki-laki dengan perempuan tersebut sangat berpengaruh terhadap peran gender tradisional yang sangat sulit berobah.
Karena ini merupakan ciri pokok masyarakat yang terorganisir sepanjang garis patrilineal dimana ada ketidaksetaraan hubungan gender antara laki-laki dengan
Universitas Sumatera Utara
51 perempuan. Menolak ketidak adilan gender, berarti menolak seluruh struktur
sosial yang berlaku dalam masyarakat. Masyarakat Batak Toba adalah salah satu etnik yang juga berprinsip
patrilineal. Pada masyarakat Batak Toba kedudukan anak laki-laki berbeda dengan kedudukan anak perempuan. Adat Batak Toba membuat posisi perempuan
lebih rendah. Anak laki-lakilah yang mendominasi semua aspek kehidupan dalam bermasyarakat.
Masyarakat Batak Toba menganggap nilai anak laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Kedudukan anak laki-laki sangat tercermin dalam
kehidupan sehari-hari. Cermin kedudukan anak laki-laki ini adalah sebagai: penerus keturunan marga, ahli waris, pelaksana adat dan diutamakan dalam
pendidikan. Keempat aspek tersebut sangat mencerminkan perbedaan posisi anak laki-laki dengan anak perempuan.
3.5.1. Anak Laki-laki sebagai Penerus Keturunan Marga.
Prinsip patrilineal menjadi tulang punggung masyarakat Batak Toba, karena laki-laki itulah yang membentuk kelompok kekerabatan. Artinya, jika
seseorang tidak mempunyai anak laki-laki, maka dianggap napunu. Sebuah
keluarga sangat mendambakan kehadiran anak laki-laki, karena garis keturunan marga diteruskan oleh anak laki-laki. Keinginan untuk memperoleh keturunan
telah terwarisi oleh setiap generasi. Sebuah garis keturunan marga akan punah kalau tidak ada lagi anak laki-laki yang dilahirkan Vergowen, 1986.
Universitas Sumatera Utara
52 Nilai anak laki-laki bagi orang tuanya yaitu:
1. Mengangkat nama baik orang tuanya. Anak laki-laki dalam keluarga
mencerminkan kepribadian keluarga. Seorang anak yang berkelakuan baik dalam lingkungan masyarakat akan disenangi oleh warga masyarakat.
Sering kali seorang anak dijadikan panutan yang pantas untuk ditiru oleh anak-anak yang lain. Keluarga dari si anak tersebut akan merasa bangga
mempunyai anak yang berkelakuan baik. Apalagi kalau si anak mempunyai pendidikan yang pantas untuk ditiru. Si anak mampu
mengharumkan nama baik keluarganya. 2.
Sumber kebahagiaan bagi orang tuanya. Kehadiran anak laki-laki mampu menghidupkan suasana dalam keluarga. Tanpa anak dalam sebuah
keluarga, maka keluarga tersebut akan terasa sunyi. Anaklah yang mampu membuat orang tuanya tersenyum serta sebagai pandamai antara ayah dan
ibu. Kehadiran seorang anak membuat orang tuanya dihargai dalam masyarakat. Keluarga yang telah mempunyai anak laki-laki tidak akan
resah lagi karena penyambung silsilah marganya telah lahir. Kebahagiaan orang tua ada ditangan keberhasilan anak-anaknya.
3. Tumpuan kekuatan dalam sebuah keluarga. Anak memberikan manfaat
yang banyak dalam keluarga. Salah satunya bahwa orang tua sangat membutuhkan bantuan dari anak-anaknya baik bantuan dalam keuangan
maupun bantuan tenaga. Anak sangat dibutuhkan dalam membantu pekerjaan orang tua. Orang tua yang sudah lanjut usia akan bertumpu pada
anak-anaknya. Anaklah yang bertanggung jawab untuk menjaga dan merawat orang tua, terutama saat sakit. Anak juga yang bertanggung
Universitas Sumatera Utara
53 jawab untuk menafkahi orang tuanya setelah orang tua tidak
memungkinkan lagi untuk bekerja. Ketiga hal tersebutlah yang menyebabkan nilai anak laki-laki dan anak perempuan
tidak sama bagi masyarakat Batak Toba. Anak laki-lakilah yang bertanggung jawab atas ketiga hal tersebut, sementara anak perempuan akan bertanggung
jawab terhadap kelangsungan keluarga suaminya setelah menikah
Koenjaraningrat, 1998: 109-111.
3.5.2. Anak Laki-laki Sebagai Ahli Waris
Menurut Rajamarpodang 1992: 495 pewaris adalah: orang yang mewariskan harta benda sedangkan ahli waris adalah orang yang menerima harta
benda peninggalan tersebut. Hukum waris adat Batak Toba adalah: hukum yang mengatur harta benda peninggalan orang yang sudah meninggal dunia. Sementara
benda-benda warisan adalah: benda atau barang baik bergerak maupun tidak bergerak yang diwariskan oleh generasi pendahulu kepada generasi berikutnya
atau dari harta peninggalan nenek moyang, orang tua kepada turunan atau anak- anaknya.
Berdasarkan sistem pewarisan yang ideal pada masyarakat Batak Toba
sepenuhnya berada ditangan laki-laki. Warisan adalah hak peralihan dan penerusan harta benda dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Ketentuan ahli
waris menurut hukum adat adalah berdasarkan sistem kekeluargaan. Masyarakat Batak Toba mendasarkan pada hubungan kekerabatan yang patrilineal, dimana
hanya anak laki-laki saja yang berhak mewarisi harta peninggalan dari orang tuanya karena anak laki-lakilah penyambung silsilah marga dan penegak hukum
Universitas Sumatera Utara
54 adat. Berdasarkan pewarisan yang ideal tersebut maka yang berhak untuk
mewarisi rumah peninggalan dari orang tuanya adalah anak laki-laki saja Lubis, 1999: 125.
Menurut Panggabean 2004: 111 ada harta warisan yang tidak bisa dibagi-bagikan oleh anggota keluarga dan dijadikan hak milik pribadi. Harta
warisan yang disebut pusaka di adat budaya Batak Toba adalah: milik bersama sebagai lambang kekeluargaan dan persaudaraan saompu atau semarga. Harta
pusaka seperti itu tidak dapat dibagi dan inilah yang disebut harta pusaka tinggi.
3.5.2.1. Jenis-jenis Harta Pusaka Tinggi 3.5.2.1.1. Golat
Dinamakann Golat atau tanah marga adalah: lahan milik kelompok turunan atau marga. Golat atau tanah marga ini disebut juga tanah adat. Biasanya
Golat, tanah marga atau tanah adat ini dijadikan tempat pemburuan atau tempat menggembalakan ternak. Golat yang berupa kolam dijadikan tempat ternak ikan,
dimana hasilnya menjadi milik bersama. Bisa juga dijadikan membuka perkampungan untuk anak-anak manjae. Penduduk yang tinggal di areal tanah
adat atau tanah marga ini disebut sada ulaon adat atau saparadatan.
3.5.2.1.2. Jabu Silaon
Jabu Silaon itu adalah tanah pertama yang didirikan leluhur sipemilik tanah adat itu. Jabu Silaon ini disebut juga namanya Jabu Parsantian yang
digunakan untuk tempat berkumpul sesama pemilik Golat dalam mengadakan ibadah. Jabu Parsantian disebut rumah satu Ompu yang selalu dipelihara dengan
baik dan dijadikan tempat berkumpul sesama bersaudara pada acara-acara tertentu, misalnya dalam acara perkumpulan keluarga Panggabean, 2004: 112.
Universitas Sumatera Utara
55
3.5.2.1.3. Homban
Homban adalah lahan mula-mula yang diusahakan pencipta Golat atau tanah marga itu. Biasanya Homban itu berada di tengan-tengah persawahan.
Homban merupakan salah satu bukti bahwa orang Batak Toba berbudaya hauma sawah. Ada juga yang mengatakan bahwa Homban itu adalah nama sejenis mata
air yang disekitarnya ditanami bunga-bungaan dan pohon beringin. Mata air yang disebut Homban ini adalah milik satu sub marga atau satu ompu.
3.5.2.1.4. Tambak
Tambak adalah kuburan keluarga yang ditandai dengan pohon beringin. Dimana ada Tambak leluhur satu marga atau satu ompu itu, berarti tanah
disekitarnya itu adalah tanah keturunannya. Tambak kini sudah berubah menjadi batu napir yaitu: bangunan semen yang dijadikan tempat penguburan mayat dan
sekaligus menimpan saring-saring keturunan satu ompu. Hak waris sangat menjunjung tinggi anak laki-laki. Anak perempuan tidak
berhak atas warisan bahkan perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki tidak pernah akan bisa memiliki warisan orang tuanya.
3.5.3. Anak Laki-laki sebagai Pelaksana Aktivitas Adat
Berdasarkan Dalihan Na Tolu, yang berperan dalam kegiatan adat, misalnya dalam upacara pernikahan, yang berperan dalam mengatur jalannya
pesta tersebut adalah kaum laki-laki. Pada sebuah pesta yang berhak untuk bicara dan mengambil keputusan adalah laki-laki. Laki-lakilah yang akan menjadi utusan
sebuah keluarga untuk menghadiri sebuah undangan pesta pada masyarakat Batak Toba. Itulah sebabnya hanya laki-laki yang mengerti masalah adat.
Universitas Sumatera Utara
56 Pada masyarakat Batak Toba, seorang anak laki-laki sudah diajarkan
tentang nilai-nilai budayanya sendiri. Anak laki-laki disadarkan akan hak dan kewajibannya sebagai calon pemimpin dalam keluarga. Tujuan dari pengajaran itu
adalah supaya anak laki-laki itu mengerti tentang budayanya sendiri karena dialah penyambung atau penerus keturunan marga keluarganya untuk menghindari
kepunahan.
3.5.4. Anak Laki-laki Diutamakan dalam Pendidikan
Menurut Murniati 2004: 17 pendidikan merupakan bagian dari usaha pembudayaan manusia. Pendidikan tidak bisa lepas begitu saja dari pengaruh
budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat. Pada masyarakat Batak Toba pendidikan lebih diutamakan bagi anak laki-laki. Sebab anak laki-lakilah yang
lebih utama untuk mengetahui budayanya. Sejak kecil anak laki-laki sudah diajarkan tentang budayanya. Anak laki-
laki lebih diutamakan dalam bidang pendidikan agar mendukung terhadap pengetahuan budaya. Anak laki-laki selalu diusahakan untuk sekolah oleh orang
tuanya. Orang tua akan selalu berusaha semampunya untuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Tujuan dari hal ini adalah agar kelak anaknya dapat
mengangkat nama baik orang tuanya. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin mengerti akan nilai budaya dalam masyarakatnya. Bagi masyarakat
Batak Toba, anak laki-lakilah yang harus diusahakan dalam pendidikan karena anak laki-laki disebut sebagai penerus marga. Keluarga yang kurang mampu saja
akan tetap berusaha untuk menyekolahkan anaknya sekalipun harus meminjam dari kaum kerabat ataupun tetangga.
Universitas Sumatera Utara
57 Menurut Murniati 2004: 4 manusia sejak lahir sudah dibuat identitas oleh
orang tuanya. Mulai proses belajar, manusia membedakan jenis laki-laki dengan perempuan. Tidak hanya memandang aspek biologisnya saja, tetapi juga dikaitkan
dengan fungsi dasarnya dan kesesuaian pekerjaannya. Dari proses belajar ini, muncul teori gender yang kemudian dijadikan landasan berfikir dan menjadi
falsafah hidup sehingga menjadi ideologi. Perempuan lebih lemah dari laki-laki, serta nilai anak laki-laki lebih tinggi dari pada nilai anak perempuan.
Kebudayaan Batak Toba berakar pada sistem kekerabatan patrilineal yang mengikat anggota-anggotanya dalam hubungan yang disebut dengan Dalihan Na
Tolu yaitu hubungan yang berasal dari kelompok kekerabatan tertentu dalam satu marga. Dalam hubungan dengan orang lain, orang Batak menempatkan dirinya
dalam susunan Dalihan Na Tolu tersebut, sehingga dapat mencari adanya kemungkinan hubungan kekerabatan diantara sesamanya.
Sejarah orang Batak hanya dapat ditelusuri melalui garis laki-laki. Seorang anak perempuan dalam keluarga dan istri tidak tercatat dalam peta tersebut.
Berdasarkan sistem patrilineal itu, laki-laki dan perempuan menyandang hak dan kewajiban yang berbeda terhadap klen mereka. Laki-laki sejak kecil sudah
disadarkan bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah dan kebudayaan Batak Toba dan mereka bertanggung jawab terhadap kelangsungan
klen ayahnya.
Universitas Sumatera Utara
58
BAB IV PERUBAHAN PERLAKUAN TERHADAP ANAK
PEREMPUAN
4.1. Perlakuan Terhadap Anak Perempuan sebelum mengenal modernisasi
Cara memperlakukan anak perempuan merupakan suatu hal milik para orang tua yang disesuaikan dengan budaya setempat. Sebelum masyarakat
mengenal modernisasi, masyarakat sangat memegang teguh nilai budaya yang sangat tinggi menjunjung nilai anak laki-laki. Tingginya nilai anak laki-laki
menyebabkan anggapan terhadap anak perempuan hanya sebagai pelengkap saja. Bagi orang tua memiliki anak perempuan tanpa adanya anak laki-laki merupakan
sebuah aib yang harus ditanggung seumur hidupnya, sebaliknya memiliki anak laki-laki tanpa anak perempuanpun bukanlah menjadi sebuah masalah.
Berdasarkan anggapan tersebut maka cara memperlakukan anak laki-laki dengan anak perempuan tidak sama, dimana anak perempuan dianggap lemah yang selalu
dikekang dengan nilai budaya yang ada. Berdasarkan adat Batak Toba perempuan berada dibawah kekuasaan laki-
laki. Perempuan hanya dapat melaksanakan aturan yang berlaku dengan sendirinya dalam lingkungan dimana dia tinggal. Melanggar aturan yang telah
ditetapkan berarti melanggar nilai budayanya sendiri. Setiap pelanggaran, akan dikenakan sanksi atau hukuman.
Perempuan adalah hak menumpang di rumah orang tuanya, dan kalaupun dia dikawinkan, dia akan pergi ke kampung marga suaminya. Seorang perempuan
tetap disebut sebagai hak menumpang walaupun di rumah suaminya. Semua itu
Universitas Sumatera Utara
59 karena si perempuan bukan menjadi kepala keluarga tetapi suaminya. Seberapa
banyakpun harta yang dimiliki oleh perempuan yang dibawa ke rumah suaminya tetap dinamakan menumpang. Anak-anak yang dilahirkanpun, walau sudah capek
mengandung dan melahirkan, marga ibu tetap tidak dicantumkan di belakang nama anaknya.
Menurut Ihromi 1995: 225 wanita sebagai istri mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan suaminya, guna menciptakan dan
membina keluarga sehat, sejahtera dan bahagia serta keutuhan keluarga sebagai unit sosial terkecil. Pada sebuah keluarga, suami dan istri harus saling
menghargai, saling mengerti dan saling mendukung dalam mengembangkan potensi, bakat dan profesi masing-masing. Suami dan istri dalam keluarga juga
harus saling mencintai dan mengasihi. Salah satu akses idiologi gender adalah terbentuknya struktur budaya
patriarkhat. Pada budaya tersebut, kedudukan perempuan ditentukan lebih rendah dari pada kedudukan laki-laki. Di dalam masyarakat, terjadi dominasi laki-laki
atas perempuan diberbagai bidang kehidupan. Kedudukan suami lebih dominan dalam keluarga. Manusia menciptakan aturan-aturan agama sebagai bagian dari
struktur budaya dalam kehidupan sosial. Status perempuan adalah tergantung pada laki-laki dalam keluarganya.
Sebelum menikah, perempuan tergantung pada ayah, setelah menikah pada suami dan setelah tua tergantung pada anak laki-laki. Kitab kejadian, menyebutkan
bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan sama seperti citra Allah. Pengertian sebenarnya berarti laki-laki dengan perempuan adalah sama dan mempunyai
kedudukan yang sama.
Universitas Sumatera Utara
60 Berdasarkan pengertian di atas, dapat terlihat dengan jelas perbedaan
perlakuan yang seharusnya antara laki-laki dengan perempuan adalah sama. Dilihat dalam prakteknya, pernyataan tersebut tidak terlaksana. Seperti yang
terjadi pada masyarakat Batak Toba posisi laki-laki dengan posisi perempuan tidak sama. Laki-laki berkuasa atas perempuan. Perempuan hanya bisa tunduk dan
mematuhi semua aturan-aturan yang ditentukan oleh laki-laki. Hal ini dikarenakan oleh adat budaya Batak Toba yang selalu mengutamakan anak laki-laki.
Menurut Sanituti bahwa: kecenderungan meningkatnya kasus perlakuan sewenang-wenang terhadap wanita, baik secara fisik maupun fsikis, seringkali
lebih berkisar sebagai ’isu’ dalam pembicaraan ataupun pemberitaan di media massa. Kedudukan perempuan dalam keluarga tidak terlepas dari sistem sosial
masyarakat yang melingkupinya. Subordinasi wanita dalam masyarakat sebenarnya sudah berlangsung sangat lama dan bersifat universal. Kondisi
tersebut sering dikaitkan dengan tradisi posisi subordinasi wanita terhadap laki- laki yang menimbulkan sikap-sikap pasrah dan menutup diri. Seorang istri sampai
berupaya menutupi sikap kasar yang dilakukan oleh laki-laki terhadap dirinya. Alasan dilakukannya hal tersebut adalah untuk menjaga keseimbangan rumah
tangga, keluarga serta masyarakat dalam Ihromi, 1995: 509. Kekerasan ada pada semua tingkatan kelompok masyarakat dan telah
membudaya. Terciptanya status persamaan derajat antara laki-laki dengan perempuan, untuk membentuk kemandirian maka para perempuan perlu
memperkuat basis pendidikannya sebagai sarana untuk tampil lebih terbuka, berani dan tidak sekedar pasrah pada nasib yang menimpa dirinya. Berarti
Universitas Sumatera Utara
61 pendidikan merupakan faktor utama untuk memperbaiki cara hidup yang lebih
baik. Perempuan yang sudah menikah akan ikut bersama dengan suaminya
dalam membentuk rumah tangga sendiri. Dalam rumah tangga, suami adalah kepala keluarga. Sebagai kepala rumah tangga, suami lah yang berhak membina
rumah, penguasaan atas anak-anak dan istri serta atas harta benda. Suami juga melayani dan dilayani atas kemauannya sendiri. Hal ini didasarkan pada prinsip
patrilineal. Prinsip patrilineal dengan perkawinan yang bermas kawin, menyebabkan
orang sering cenderung beranggapan bahwa kedudukan perempuan yang sudah kawin menjadi rendah. Apalagi dari pihak keluarga suami yang disebut sebagai
pembeli menganggap bahwa perempuan itu telah menjadi milik keluarganya dan sering kali diperlakukan semaunya. Si perempuan hanya dapat pasrah, walaupun
diperlakukan kurang baik. Perempuan tidak mau memberitahukan kepada orang tuanya atas apa yang dialaminya dalam keluarga suaminya. Perempuan seringkali
menutupi segala kesusahan yang terjadi pada dirinya. Pandangan rendah terhadap perempuan yang sudah menikah tidak
tercermin dalam jalannya keluarga karena pada prakteknnya tidak demikian, istrilah yang paling banyak berperan dalam menjalankan rumah tangga. Istri yang
memberi keturunan bagi suaminya, membina rumah tangga, menyambut tamu yang datang ke rumah dengan caranya sendiri, sehingga mengharumkan nama
keluarga. Istri juga lebih berperan penting untuk mengumpulkan kekayaan, sebab pada dasarnya perempuanlah yang selalu penuh dengan perhitungan dalam
melakukan sesuatu terutama dalam pengeluaran.
Universitas Sumatera Utara
62 Perempuan masyarakat Batak Toba terkenal dengan kegigihannya dalam
menjalankan roda ekonomi rumah tangganya. Jarang sekali terlihat perempuan Batak Toba hanya berdiam diri di rumah dan hanya mengharap penghasilan dari
suaminya. Berbagai usaha dilakukan oleh perempuan Batak agar ekonomi rumah tangganya tetap berjalan. Bahkan tidak jarang dalam kenyataan, penghasilan sang
istri lebih besar dari pada penghasilan suaminya, walaupun demikian sang istri tetap menghargai suaminya sebagai kepala rumah tangganya.
Seorang istri bukanlah kepala rumah tangga, tetapi sang istrilah yang berperan penting untuk mendidik dan memelihara anak-anaknya sampai dewasa.
Tiba saatnya anak-anak sudah mendapat kesuksesan dalam hidupnya, orang tidak memandang itu berkat kerja keras sang ibu. Orang akan memandang kekaguman
kepada ayahnya, sebaliknya bila anak-anaknya melakukan suatu kejahatan atau kesalahan maka orang akan memandang itu sebagai kesalahan mendidik anak dari
ibunya. Keluarga Batak Toba mempunyai aturan yang harus dilaksanakan oleh
anggota yang ada didalamnya, yang dengan sendirinya dianggap menjadi bagian dari nilai budaya. Seorang istri harus selalu hormat dan tunduk kepada suami.
Sama halnya dengan anak perempuan dalam sebuah keluarga, harus selalu hormat, segan dan taat kepada ayah dan saudara laki-lakinya. Pada sebuah
keluarga, perempuan tidak diperhitungkan untuk pengambilan sebuah keputusan. Mencari jalan keluar sebuah masalah, pendapat perempuan tidak pernah
ditanyakan, bahka perempuan sangat jarang dihadirkan dalam pertemuan atau rapat keluarga. Pada sebuah keluarga sangat tercermin perbedaan antara
kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan.
Universitas Sumatera Utara
63 Secara kultural konseptualisasi Batak Toba mengenai anak mengacu hanya
kepada laki-laki dan bukan perempuan. Dampak dari kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan perempuan mencerminkan kedudukan yang berbeda dimana
anak perempuan tidak berhak dalam penerusan silsilah marga, dalam hak mendapat warisan, dalam aktivitas adat serta dalam pendidikan Irianto, 2003: 9.
4.1.1. Anak Perempuan Bukan Penerus Keturunan Marga
Berdasarkan budaya Batak Toba perempuan bukanlah sebagai penerus keturunan marga ayahnya. Anak perempuan akan menjadi anggota kelompok
suaminya. Perempuan juga hanya akan melahirkan anak buat suaminya. Perempuan hanya menumpang dalam keluarga ayahnya. Bagi keluarga suaminya
perempuan hanya memperbanyak keturunan dan tetap mempunyai hak menumpang. Perempuanlah yang melahirkan anak buat suaminya,walaupun
demikian, marga ibu tetap tidak akan pernah dicantumkan di belakang nama si anak yang dilahirkannya.
4.1.2. Anak Perempuan Bukan Sebagai Ahli Waris
Menurut Rajamarpodang 1992: 491 memperhatikan pembagian warisan pada masyarakat Batak Toba dengan pengalaman sejarah pada pembagian warisan
itu, dapat dikatakan sangat banyak sorotan. Budaya masyarakat Batak Toba terhadap pembagian warisan dianggap tidak jujur malahan mungkin dikatakan
tidak adil terhadap sesama turunannya. Pada prakteknya pembagian warisan itu terdapat diskriminasi yang terdapat pada satu turunan yaitu: terhadap anak
perempuan.
Universitas Sumatera Utara
64 Menurut Vergouwen dalam Irianto,2003: 120, dalam hal pembagian
harta warisan, ada ketentuan bahwa anak laki-laki yang mewarisi harta peninggalan ayahnya. Bagi keluarga yang mempunyai anak laki-laki, hanya
merekalah yang menjadi ahli waris, sedangkan apabila tidak mempunyai keturunan anak laki-laki, atau hanya memiliki keturunan anak perempuan, maka
harta peninggalan ayahnya beralih ke saudara laki-laki ayahnya. Apabila saudara laki-laki ayahnya sudah meninggal, maka harta peninggalan ayahnya jatuh kepada
anak laki-laki dari saudara laki-laki ayahnya. Anak perempuan tidak akan mendapatkan harta warisan dari peninggalan orang tuanya, dan dia hanya berhak
menikmatinya saja, itupun samasa ayahnya belum meninggal. Sebuah keluarga yang masih memiliki kepala rumah tangga yaitu seorang
ayah, maka anak perempuan hanya bisa menikmati hartanya saja tanpa memilikinya. Sepeninggalan ayahnya, maka harta tersebut akan dibagi-bagikan
oleh saudara laki-laki saja. Bagi keluarga yang tidak mempunyai saudara laki-laki, maka dengan sendirinya harta peninggalan tersebut diambil alih oleh saudara laki-
laki ayahnya. Menurut Van Dijk bahwa anak perempuan tidak mendapatkan hak waris
karena anak perempuan akan keluar dari golongan famili patrilinealnya sesudah mereka kawin. Anak perempuan tidak akan mendapatkan apa-apa, sekalipun
dalam pemilikan rumah peninggalan orang tuanya dalam Lubis, 1999: 125. Menurut Irianto 2003: 10 perempuan memang dianggap patut untuk
meminta sebidang tanah kepada ayah atau saudara laki-lakinya. Hal ini dihubungkan dengan peristiwa yang sangat khusus yaitu perkawinan, dimana
pemberian tersebut dinamakan pauseang. Walaupun anak perempuan diberikan
Universitas Sumatera Utara
65 pauseang yang berupa sebidang tanah, tetapi masih ada hal-hal sebagai syaratnya.
Syaratnya adalah bahwa pauseang tersebut tidak bisa dijual oleh sipenerima karena masih ada ikatannya dengan pihak pemberi pauseang tersebut.
Pauseang adalah benda pemberian oleh hula-hula kepada boru, ada berbentuk lahan atau tanah dan ada yang berbentuk lainnya. Sekarang dikenal
dengan tanah pauseang. Yang disebut dengan tano pauseang yaitu: ulos na sora buruk yaitu lahan pertanian yang merupakan wujud dari ulos hela, ulos tondi
parompa dan indahan arian. Semuanya itu baik berasal dari pauseang, maupun yang berasal dari ulos na sora buruk disebut tano pauseang. Sifat dari tano
pauseang ini adalah arta usako yang tidak boleh dibagi tetapi diwarisi dan dikuasai oleh keluarga yang mendapat. Walaupun demikian tetap terikat kepada
nilai pemersatu untuk rumpun keluarga dan bernilai restu dari pihak hula-hula. Masih ada ikatan moral tanah pauseang dengan hula-hula yang memberikan
Rajamarpodang, 1992: 507. Menurut Irianto 2003: 10 pauseang ini dapat berupa tanah yang diminta
oleh pihak boru kepada pihak hula-hula atau dapat juga meminta untuk anak laki- lakinya yang disebut sebagai indahan arian. Pengertian ini, berbeda dengan anak
laki-laki, hak anak perempuan terbatas pada ”hak meminta” yang berdasarkan cinta kasih. Perempuan tidak akan meminta bila ia mengetahui tidak akan diberi.
Namun perempuan harus meminta sebab bila tidak, maka ia tidak akan diberi. Secara tersirat anak perempuan dipandang mempunyai makna yang sama
dengan anak laki-laki, sehingga perlakuan adil harus diberikan kepada anak perempua seperti halnya kepada anak laki-laki. Namun dalam hal yang berkaitan
dengan pewarisan, pengertian adil tidak diartikan untuk memberi akses yang sama
Universitas Sumatera Utara
66 kepada anak perempuan dan anak laki-laki. Anak perempuan Batak Toba tidak
akan mendapatkan harta peninggalan orang tuanya karena dianggap akan menimbun kekayaan orang lain yaitu pihak keluarga suaminya Irianto, 2003; 10.
4.1.3. Anak Perempuan Bukan Sebagai Pelaksana Aktivitas Adat
Kedudukan perempuan dalam aktivitas adat selalu dinomorduakan. Artinya, bahwa hanya laki-laki yang memiliki hak untuk berbicara dalam setiap
aktivitas adat dan perempuan hanya menjadi pendamping suaminya saja. Anak perempuan dalam aktivitas adat tidak akan pernah lepas dari ikatan Dalihan na
Tolu. Berdasarkan Dalihan na Tolu kedudukan boru sudah ditetapkan. Boru tidak berhak bersuara dalam ulaon adat. Boru hanya sebagai penyedia makanan untuk
semua keluarga dan para undangan pesta. Pada aktivitas adat, boru hanya sebagai parhobas atau hanya sabagai penyedia makanan dan minuman bagi semua orang
yang hadir dalam acara pesta tersebut. Pada suatu pesta, boru harus benar-benar bekerja sebagai pelayan kalau tidak ingin mandapatkan teguran dari hula-hulanya.
Mendapatkan tegurang dari hula-hula merupakan yang membuat boru merasa sangat malu, sebab hula-hula orang yang sangat dihormati dan harus disegani.
4.1.4. Anak Perempuan Tidak Diutamakan Dalam Pendidikan
Secara umum perempuan tidak tergantung secara ekonomi kepada pria. Hal ini tidak berarti bahwa mereka diperlakukan sama dengan pria. Perbedaan
dalam hak, kewajiban dan kegiatan antara pria dan wanita ditemukan diberbagai bidang. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 didalamnya dinyatakan
bahwa: ”tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Meskipun
Universitas Sumatera Utara
67 pernyataan itu mengandung arti baik pria maupun wanita masing-masing
mempunyai hak yang sama dalam mengecap pendidikan formal, namun dalam kenyataannya masih ada anggapan yang menghambat wanita untuk mengikuti
pendidikan formal Ihromi, 1995: 227. Menurut Ihromi 1995: 230-238 ada tiga alasan yang dapat menjelaskan
bahwa sedikit proporsi anak perempuan bersekolah dibanding anak laki-laki yaitu: 1.
Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin terbatas jumlah sekolah yang tersedia. Penyebabnya adalah SD terdapat dihampir semua desa di
Indonesia. Seorang murid SD tidak perlu keluar desa untuk sekolah. Melainkan murid harus menempuh perjalanannya yang lebih jauh bila ia
bersekolah di SLTP, karena SLTP umumnya lebih jauh jaraknya dan masih di kota. Banyak orang tua yang enggan bila anak perempuan mereka
pergi ke sekolah yang jauh. 2.
Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mahal biaya yang diperlukan untuk bersekolah. Tingginya biaya menjadi hambatan untuk melanjutkan
sekolah terutama untuk mereka yang miskin. Di keluarga miskin, orang tua lebih memilih untuk menyekolahkan anak laki-laki dari pada anak
perempuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin banyak jumlah sekolah swasta dibandingkan dengan sekolah negeri. Negeri kwalitasnya
lebih baik jadi anak orang miskin yang nemnya rendah terpaksa sekolah swasta.
3. Keinginan orang tua untuk menyekolahkan anak perempuan berkaitan
dengan keinginan untuk memperbaiki hidup mereka dengan mendapatkan suami untuk anak perempuan mereka yang berpendidikan juga. Seringkali
Universitas Sumatera Utara
68 orang tua tidak bisa melakukan investasi dalam pendidikan anak mereka,
karena tenaga anak perempuan sangat mereka butuhkan di rumah. Investasi dalam pendidikan juga seringkali tidak mereka rasakan karena
anak perempuan menjadi anggota keluarga suami setelah mereka menikah. Tidak mengejutkan jika dua pertiga penduduk dunia yang buta huruf
adalah perempuan. Anak perempuan lebih sedikit mendapat pendidikan formal dibandingkan saudara laki-lakinya. Anak perempuan mendapat pendidikan ala
kadarnya atau tidak sama sekali. Penyebab semua hal ini adalah karena sangat beratnya menghadapi dunia, dimana selalu terjadi ketidakadilan.
Penilaian bahwa diskriminasi gender merupakan akar dari berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Jenis kelamin atau lebih tepat lagi
karena gender seseorang, misalnya untuk perempuan, maka kesempatan mengikuti pendidikan oleh keluarga dan masyarakat tidaklah dianggap penting,
sedangkan untuk laki-laki pendidikan dianggap penting. Pembedaan ini sejak waktu yang lama dianut oleh sebagian besar dari anggota masyarakat-masyarakat
manusia, sehingga akibatnya adalah ketinggalan perempuan dalam tingkat pendidikan. Ketertinggalan demikian menimbulkan ketertinggalan dalam berbagai
bidang hidup lainnya dan dampaknya kelihatan dalam rendahnya posisi tawar tenaga kerja perempuan. Perempuan dianggap lemah emosional, tidak rasional,
lemah energi dan kodratnya adalah melakukan tugas-tugas reproduksi serta merawat dan membesarkan maupun mengurus anak dan rumah tangga Ihromi,
1995: 278. Berdasarkan kodrat tersebut anak perempuan tetap memikul tanggung
jawab utama untuk kerja domestik. Misalnya banyak anak perempuan lebih
Universitas Sumatera Utara
69 dominan bekerja di rumah dan membantu orang tua. Adapun anak perempuan
yang merasakan pendidikan di bangku sekolah itu hanya sebahagian kecil saja, disebabkan karena faktor ekonomi, dimana ada sebagian anak yang ingin
bersekolah, namun orang tuanya tidak mampu untuk menyekolahkannya. Demi saudara laki-laki, anak perempuan rela untuk tidak sekolah asalkan saudara laki-
lakinya dapat menginjak bangku pendidikan. Faktor yang menyebabkan perempuan sulit mendapatkan pendidikan ada
tiga yaitu: iklim ekonomi, sikap sosial dan lingkungan sekolah. Iklim ekonomi maksudnya: adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kurangnya sumber daya.
Iklim ekonomi ini adalah faktor yang utama penyebab pendidikan sulit diperoleh. Iklim ekonomi dipengaruhi oleh keadaan geografis masyarakat, yakni lingkungan
alam menjadi sumber penghasilan masyarakat. Sikap sosial contohnya: seorang petani sangat memerlukan bantuan selama
masa sibuk. Akibatnya orang tua menarik anak perempuan dari sekolah dibandingkan dengan anak laki-laki. Orang tuanya mengharapkan anak
perempuannya ikut memikul beban rumah tangga. Lingkungan sekolah merupakan faktor ketiga. Lingkungan sekolah dapat
dilihat dari lebih sempitnya jenis pendidikan yang cocok bagi perempuan dibanding laki-laki. Bagi perempuan yang tetap mengecap pendidikan sekolah,
lingkungan sekolah akan menentukan pendidikan macam apa yang pantas untuk diterimanya. Hal inilah penyebab orang tua lebih mengutamakan anak laki-laki
Mosse, 1996: 106-107. Masyarakat yang berprinsip patrilineal juga memperlakukan anak-anak
mereka sesuai dengan nilai budaya. Prinsip patrilineal yang mengandung arti
Universitas Sumatera Utara
70 bahwa melihat garis keturunan dari garis ayah. Prinsip ini membuat masyarakat
Batak Toba selalu mengutamakan anak laki-laki bahkan dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Anak laki-laki lebih diutamakan dalam
pendidikan dibandingkan anak perempuan. Anak laki-laki adalah kebanggaan orang tua. Semakin tinggi pendidikan seorang anak, maka orang tua semakin
terhormat dalam masyarakat. Kurangnya pendidikan terhadap perempuan dipengaruhi oleh nilai budaya,
dimana anak perempuan suatu saat akan menikah dengan laki-laki dari kelompok kekerabatan yang lain. Semakin tinggi keberhasilan seorang perempuan, maka
dalam masyarakat Batak Toba menganggap semakin memperkaya kelompok kerabat yang akan menjadi suami si perempuan. Masyarakat Batak Toba
menganggap anak perempuannya sebagai harta kelompok kerabat lain. Alasannya bahwa suatu saat perempuan akan meninggalkan kelompok kerabat ayahnya dan
pergi dengan kelompok kerabat yang baru. Alasan inilah yang membuat peluang perempuan untuk mendapatkan pendidikan semakin kecil.
Keempat aspek di ataslah yang sangat mencerminkan perbedaan nilai anak laki-laki dengan nilai anak perempuan pada masyarakat Batak Toba. Hal tersebut
dilaksanakan oleh anggota masyarakat secara turun temurun dan telah membudaya. Masyarakat Batak Toba dari awalnya selalu mengutamakan anak
laki-laki dan berusaha membuatnya berhasil. Keberhasilan anak laki-laki
merupakan suatu kebahagiaan bagi orang tuanya.
Dampak dari perlakuan yang diperoleh anak perempuan ada dua macam akibatnya, yakni anak perempuan menjadi bersifat pasif atau bersifat aktif. Pasif
berarti diam atau dapat dikatakan tidak adanya perubahan dan hanya bisa
Universitas Sumatera Utara
71 menerima dan melaksanakan apa adanya saja, sedangkan perlakuan yang
berdampak aktif berarti muncul dorongan untuk merespon perlakuan dalam menuju perubahan.
Masyarakat Batak Toba adalah salah satu etnik yang berprinsip patrilineal yaitu: melihat garis keturunan dari pihak laki-laki. Masyarakat Batak Toba selalu
mengutamakan anak laki-laki. Nilai budaya Batak Toba yang selalu ingin diwujudkan oleh anggota masyarakat yaitu: hagabeon, hamoraon dan
hasangapon yang merupakan tujuan hidup hanya mengacu pada anak laki-laki. Anak laki-laki selalu diutamakan dalam berbagai macam aktivitas-aktivitas
kehidupan yakni anak laki-laki sebagai penerus marga, sebagai pelaksana aktivitas adat, sebagai ahli waris serta diutamakan dalam pendidikan.
Berdasarkan keempat hal di atas, maka keluarga sangat mengharapkan kehadiran anak laki-laki. Menurut para informan, sebelum mengenal modernisasi
masyarakat desa Pollung sebagai masyarakat yang diteliti memegang teguh dan melaksanakan aturan budaya yang mengharuskan adanya anak laki-laki. Keluarga
yang tidak memiliki keturunan dikatakan dengan nasomarboras dan dipandang rendah untuk menghindari hal tersebut, masyarakat Pollung melakukan berbagai
macam cara supaya mempunyai keturunan. Harta yang berlimpah tidak ada nilainya kalau tidak mempunyai keturunan. Lebih baik miskin tetapi mempunyai
keturunan, daripada banyak harta tetapi tidak mempunyai keturunan. Seperti bapak W. Sinaga 45 mengatakan:
”Tujuan berumah tangga yang paling utama adalah untuk memperoleh keturunan. Harta yang banyak tidak berarti bagiku kalau tidak
mempunyai anak. Lebih baik hidup apa adanya asalkan aku sudah memiliki anak”.
Universitas Sumatera Utara
72 Maksud dari ucapan bapak W. Sinaga, bahwa harta bukanlah segala-galanya,
melainkan anak laki-lakilah yang dianggap sebagai kebahagiaan keluarga. Keluarga yang sudah menikah dalam waktu yang sudah cukup lama tetapi
belum dikaruniai anak, biasanya resah dan akan melakukan berbagai macam cara untuk dapat memiliki anak. Bapak W. Sinaga merupakan salah seorang informan
yang juga sekian lama resah karena belum dikaruniai anak. Bapak W. Sinaga mengatakan:
”Nungnga adong ualu taon hami naung marruma tangga, alai ndang adong dope anakhonhu. Ahu songon sahalak guru namananda agama,
sabar paimahon anggiat nian hatop dapotan anak ahu. Anggo dirohangku unang ma nean sampe laho hami marsungkun tu datu songon halak na
asing. Anggo tu dokter do nungnga jot-jot hami laho. Alai ala nungnga tung leleng hami paimahon so marnadapot, laho do hami mardampol atik
boha nataralit pamatang nami. Tong dang boi gabe dipaksama hami manungkun tu datu, alai sai tong do ndang adong. Gabe dipasombu hami
nama, jolo adong ma dalan na asing annon”. kami sudah delapan tahun menikah, tetapi belum mempunyai anak. Saya sebagai seorang guru yang
beragama, sabar menunggu jangan sampai bertanya kepada dukun. Kami sudah sering berobat ke dokter tetapi belum juga ada hasil yang baik.
Kami pergi ke tukang kusut siapa tahu ada anggota badan yang terkilir. Belum juga berhasil, lalu kami dipaksa pergi ke dukun dan berobat namun
tetap tidak ada. Kami jadi pasrah dan hanya mengharapkan suatu saat ada jalan.
Berdasarkan uraian di atas menjelaskan, bahwa keluarga bapak W. Sinaga sudah melakukan berbagai macam cara guna mendapatkan anak. Hasil dari usaha
mereka tetap tidak ada dan mereka mengadopsi seorang anak laki-laki dari saudara mereka sendiri dengan tujuan anak tersebut sebagai pembawa berkat
Mereka hanya bisa mengharapkan suatu saat ada jalan lain yang mereka temukan. Para informan mengatakan ada tiga macam cara yang dilakukan oleh
keluarga yang belum mempunyai anak, supaya mempunyai anak yaitu:
Universitas Sumatera Utara
73 1.
Pertama sekali suami istri pergi ke dokter untuk konsultasi dan melakukan pemeriksaan. Gunanya yaitu untuk mencari tahu kendala apa yang mereka
hadapi. Biasanya dokter anak menganjurkan berbagai hal yang harus dijalani untuk melihat perkembangannya.
2. Apabila cara yang pertama tidak berhasil, maka suami istri biasanya
disuruh oleh keluarga untuk dikusut. Gunanya untuk mengetahui sekaligus untuk menghindari kemungkinan ada anggota tubuh yang kurang sehat,
misalnya: terkilir. 3.
Apabila cara yang kedua juga belum berhasil, maka suami istri akan disuruh pergi kedukun untuk bertanya, apa kemungkinannya penyebab
mereka tidak mempunyai keturunan. Pada masa ini masyarakat percaya, bahwa dukun bisa mengobati segala jenis penyakit yang tidak bisa diobati
oleh dokter. Masyarakat juga percaya bahwa dukun dapat mengetahui hal- hal di luar kemampuan manusia. Menurut masyarakat banyak warga yang
berhasil mempunyai keturunan setelah melakukan cara yang ketiga ini. Keluarga yang berhasil mempunyai keturunan setelah melakukan pengobatan
tradisional, biasanya akan merasa sangat senang. Oleh kebahagiaan yang dirasakan, maka kehadiran anak tersebut akan dirayakan. Kehadiran anak itu
membuat orang tuanya sempurna dimata masyarakat. Keutamaan anak laki-laki berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan
anak perempuan, bahkan dalam penentuan jodoh anak perempuan sering disangkutpautkan atas kehendak sang ayah maupun saudara laki-laki. Hal ini
diartikan untuk kebahagiaan anak perempuan untuk berkeluarga, tanpa peduli apakah hal itu membuat anak perempuan bahagia atau tidak. Setiap orang yang
Universitas Sumatera Utara
74 tidak patuh pada aturan akan dikenakan sanksi. Ibu Risda Manalu 40 yang
menjadi seorang informan mengatakan: ”Saonari hujalo sada songon uhum sian keluargakku. Alana didokhon do
au mangalo adat najolo lao marruma tangga. Ala hutuntun do muli tu baoakku jala ndang olo au muli tu paribanhu tinodo ni damang dohot
angka ibotokku. Dungi ndang dianggap nasida be au songon boru dahot iboto nasida”. sekarang saya telah menerima hukuman atau sanksi dari
keluargaku. Dulu aku melawan adat dalam berumah tangga. Aku menikah dengan lak-laki pilihanku. Saya tidak mau menikah dengan paribanku
sebagai laki-laki pilihan ayah. Mereka tidak menganggap aku sebagai anggota keluarga lagi.
Berdasarkan tindakan ibu Risda yang menolak perintah ayah dan saudara laki-lakinya, maka ibu Risda dianggap telah melakukan penimpangan terhadap
nilai budaya. Atas penimpangan tersebut ibu Risda dihukum dengan mengeluarkannya dari anggota keluarga. Ibu Risda merasa sedih atas hukuman
yang diterimanya akibat nilai budaya yang harus dipatuhi. Kejadian seperti inilah yang ditakutkan oleh anggota masyarakat terutama oleh kaum perempuan. Mereka
takut dituduh melanggar aturan budaya. Oleh sebab itu, perempuan selalu berusaha untuk patuh pada perintah-perintah ayah atau saudara laki-lakinya.
Bukan hanya dalam pemilihan jodoh ini anak perempuan merasa terkekang. Mengenai harta warisan perempuan juga terkekang, dimana anak
perempuan tidak mempunyai hak apa-apa atas harta peninggalan sang ayah. Jangankan anak perempuan yang masih gadis, seorang jandapun tidak memiliki
hak atas peninggalan suaminya. Seperti ibu Roma Banjar Nahor 36 yang dijadikan sebagai salah satu informan yang mengatakan:
”Di taon 1980 muli ma ahu tu marga Sinaga. Nungnga 5 taon hami marripe alai ndang dapotan anak alana parsinondukku marsahit-sahit.
Laos sahitnaima mambaen ibana lao. Alani naso dapotan anak hami saleleng marripe, sadari dipaujung parsinondukhu tu udean, laos sadari
ima ahu dipaulak tu natua-tuakku. Sadari i musema natua-tuaku mamboan
Universitas Sumatera Utara
75 ahu mulak. Songoni ahu dialap naujui, laos songoni musema ahu
dipaulak. Ias ala ndang adong tading-tading ni parsinondukhu dilean tu ahu.” Pada tahun 1986 saya menikah dengan marga Siregar. Kami telah
menikah selama 5 tahun dan tidak dikaruniai keturunan baik laki-laki maupun perempuan. Suamiku pun sakit-sakitan dan akhirnya meninggal.
Setelah suamiku dikuburkan, maka aku langsung dikembalikan pada orang tuanya. Orang tuaku membawaku pulang kekampungku. Aku tidak
mendapatkan sedikitpun dari harta peninggalan suamiku. Bagaimana aku datang ke rumah suamiku, begitu juga aku dibalikkan kerena tidak ada dari
milik suamiku diberikan.
Kasus diatas mencerminkan, bahwa pada masa lalu akses perempuan dalam hal waris tidak ada. Kasus tersebut juga mencerminkan bahwa perempuan hanya
mempunyai hak menumpang dimanapun berada. Kasus di atas menjelaskan tentang seorang janda yang tidak memiliki anak
sama sekali. Penulis juga memperoleh informasi dari para informan, bahwa seorang janda yang hanya memiliki anak perempuan tanpa anak laki-laki
dianggap dengan tidak memiliki anak sama sekali. Salah seorang janda yang dipilih dari beberapa orang informan yang
memiliki anak laki-laki yakni ibu Lamtiur br. Lumban Gaol 38 mengatakan: ”Ahu marruma tangga hutubuhon do sada anak baoa, alai ikhon tong do
iba manaon nahassiti. Hudokhon pe songoni, alana adongdo sada baoa hutubuhon hape tongdo dipaulak ahu, jala ndang adong artani baoaki
dilean tu ahu. Holan on, dipaloas do hami tong mangula dohot mamanghe tading-tading ni baoakku, alai saleleng so sohot dope anakhu jala ahu
ndang boi muli muse”. Dari hasil rumah tangga saya, saya melahirkan seorang anak, tetapi saya tetap merasakan sakitnya hidup. Saya berkata
demikian, karena walaupun saya melahirkan seorang anak laki-laki, tetapi harta suamiku tidak dapat aku miliki. Namun kami bisa mengerjakan dan
memakai harta peninggalan suamiku selama anakku belum menikah dan aku juga tidak boleh menikah lagi selama menggunakan harta suamiku.
Berdasarkan kasus di atas, mencerminkan bahwa budayalah yang mengatur setiap tindakan masyarakat. Seorang janda merasa diperlakukan tidak adil, namun tidak
Universitas Sumatera Utara
76 ada upaya perempuan untuk bertindak sebab hal itu telah membudaya dan
dianggap wajib untuk dijalani. Kesempatan untuk mengecap pendidikan juga mencerminkan hal yang
sama, dimana kesempatan anak perempuan sangat kecil sekali untuk sekolah. Anak laki-laki yang diutamakan dalam pendidikan. Masyarakat Batak Toba selalu
mengusahakan anak laki-lakinya agar dapat mengecap pendidikan setinggi- tingginya. Seseorang akan dipandang terhormat dalam sebuah masyarakat, jika
mempunyai anak yang berhasil terutama berhasil dalam pendidikan. Perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan tercermin dalam kehidupan sehari-
hari. Penulis melakukan wawancara kepada sebagian dari orang tua tentang
pentingnya pendidikan. Ibu Jekson Sinaga 49 sebagai salah seorang informan yang menjelaskan usaha mereka untuk membuat anak laki-lakinya sekolah yang
mengatakan: ”Na ditaon 2000 i anakhu si Jekson nungnga SMP kalas sada. Sai
huusahahon hami do nasatolap nami anggiat boi si Jekson on singkola natimbo ala baoa ibana, dohot muse anak siahaan. Sahali hadapotan ma
ibana marisap jala roma surat panggilan sian sikkola hu urus mai asa hatop sae jala asa boi si Jekson on singkola muse. Di taon 2004, si Jekson
nungnga kalas dua SMU. Lao tupanaikan kalas, tinggal ma ibana. Nungnga tinggal lari musema ibana dohot donganna. Hulului hami ma
ibana, dungi dapot ma ibana sian Sidikkalang. Ndang olo mulak anggo so naik ibana. Lao ma ahu mangelek tu kepala sikkola jala dipanaik ma.
Dang olo si Jekson singkola anggo so pindah ala maila ibana ninna. Tong hupapinda hami ibana anggiat nian olo muse singkola. Nalojaan nian
niula lao pamajuhon angka baoa on alai ingkon do alani ido gabe denggan ruma tangga niba”. Di tahun 2000 anakku si Jekson duduk
dibangku kelas satu SMP. Kami selalu mengusahakannya semampu kami supaya si Jekson dapat sekolah setinggi-tingginya, terutama dia laki-laki
sekaligus anak sulung kami. Sekali di ketahuan merokok, surat panggilanpun datang dari kepala sekolah dan saya mengurusnya,
masalahnyapun selesai. Di tahun 2004 dia sudah duduk di kelas dua SMU. Penaikan kelas dia tetap tinggal di kelas dua. Sudah tinggal lari pula dia
bersama temannya. Kami mencarinya, dia dapat dari Sidikkalang. Dia
Universitas Sumatera Utara
77 tidak mau pulang kalau tidak naik kelas. Aku pergi ke kepala sekolah dan
memohon supaya dia dinaikkan. Jekson mengatakan lagi dia tidak mau sekolah kalau tidak dipindahkan. Kami pindahkan dia sekolah ke Dolok
Sanggul. Susah memang kami rasakan, tetapi harus kami lakukan supayadia bisa maju, karena kehadirannyalah, rumah tangga kami tetap
utuh.
Kasus di atas mencerminkan keutamaan anak laki-laki. Apapun akan dilakukan oleh orang tua asalkan anak laki-lakinya berhasil dalam pendidikan.
Berbeda halnya dengan anak perempuan yang juga diperlakukan sesuai nilai budaya. Anak perempuan selalu dinomorduakan seperti wawancara yang
dilakukan oleh penulis terhadap seorang anak perempuan yang dijadikan sebagai informan, dimana anak perempuan ini telah merasakan ketidak mampuannya
didalam rumah tangga. Ince Lumban Gaol 21 mengatakan: ”Singkola ahu sahat kalas onom SD ndang adong dope nahassit hutaon
alana adong dope natua-tuakhu. Lao masuk tu SMP ma ahu marujung ma dainang jala dipasahatma ahu tu ibotongku naung mangoli. Sahat tu kalas
sada SMP singkola dope ahu. Boi do huihuthon parsiajarani, jala dapot do au bantuan sian pamarenta. Sai hugogo do nian karejo dohot
marsiajar asa boi tong ahu marsingkola. Alai ala karejo namangabuk di orai ito ma ahu sikkola. Ndang tolap ahu mangalo itongku. Laos so
singkola be ahu. Hape hupingkir-pingkir so ditanggung itongku nean ahu alai ingkon hutaon doi”. Saya duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar
dan belum ada masalah karena ibu masih hidup. Saat mau masuk SMP ibuku meninggal dan meninggalkan saya pada abangku yang sudah
menikah. Saya masih tetap sekolah sampai masuk SMP kelas 1. Saya dapat mengikuti pelajaran, oleh karena itu saya bebas biaya sekolah oleh
pemerintah dan masih mendapatkan beasiswa sebagai keperluan yang lain. Saya juga selalu berusaha untuk bekerja dan belajar dengan baik supaya
tetap bisa sekolah, tetapi kerena pekerjaan saya diberhentikan untuk mengurus ladang abang. Alasan ini dijadikan abang untuk menghentikan
aku dari sekolah. Sayapun hanya pasrah pada nasib. Saya pikir-pikir, kenapa saya harus menuruti kehendak abang sementara saya tidak
dibiayai. Kasus di atas mencerminkan perempuan yang diperlakukan sesuai nilai
budaya yang mencerminkan sikap pasif anak perempuan yang takut akan sanksi
Universitas Sumatera Utara
78 dan merasa bahwa hal itu harus dijalani. Budaya Batak Toba yang mnjunjung
tinggi nilai anak laki-laki membuat peluang anak perempuan sempit untuk merobah diri menjadi maju. Menjunjung anak laki-laki sudah membudaya dan
setiap anggota masyarakat melaksanakannya.
4.2. Proses Terjadinya Perubahan Perlakuan terhadap Anak Perempuan
proses berarti berlangsungnya suatu masalah yang terjadi dari awal sampai akhir permasalahan tersebut. Proses perubahan ini terjadi dapat dijelaskan dari
beberapa keutamaan anak laki-laki pada budaya Batak Toba. Keutamaan itu adalah laki-laki sebagai penerus keturunan marga, anak laki-laki sebagai ahli
waris, anak laki-laki berperan dalam aktivitas adat dan anak laki-laki diutamakan dalam pendidikan. Anak perempuan selalu dinomorduakan karena orang Batak
menganggap anak perempuan suatu saat akan keluar dari anggota klen ayahnya, seperti Bapak Yunus Lumban Gaol 63 yang mengatakan:
”Halak Batak do sude naadong di Pollung on. Biasana halak Batak Toba holan manghaporluhon anak baoa do. Alana holan baoa do namasuk tu
bagasan tarombo ni halak Batak sahat tusalelengna. Molo boru-boru dung muli tu marga naasing, angka anakna pe otomatis do masuk jala
dikira tu bagasan tarombona”. Penduduk desa Pollung ini seluruhnya adalah suku Batak Toba. Biasanya orang Batak hanya mementingkan anak
laki-laki. Sebab hanya laki-laki yang masuk dalam silsilah. Menurut bapak Yunus yang diwawancarai oleh penulis, bahwa anak laki-
laki sebagai penerus marga tidak akan pernah berubah. Alasan informan tersebut adalah karena sampai kapanpun anak laki-lakilah yang masuk kedalam tarombo
silsilah orang Batak Toba secara turun temurun. Apabila anak perempuan sudah menikah dengan marga yang lain, maka keturunannya baik perempuan atau yang
laki-lakipun otomatis masuk dalam silsilah suaminya secara regenerasi. Menurut
Universitas Sumatera Utara
79 informan, sampai kapanpun perempuan tidak akan menjadi penerus marga, karena
hal ini merupakan nilai budaya yang tidak akan pernah mungkin berubah. Menurut Bapak Yunus, laki-laki juga yang diutamakan dalam
melaksanakan aktivitas adat yang mengatakan: ”Diparadaton pe naujui holan baoa do dipangke. Molo adong nalao
sihataon taringot nahombar tu paradaton halan baoa do marpungu disi. Di ulaon pe baoa do hundul mangkatai. Anggo boru palingan hundul alai
ndang manghatai. Godangan do boru marhobas paradehon sipanganon. Alai sonari nungnga godang boru-boru namamboto partuturan dohot
paradatan. Nungnga diparsiajari nasida be parruhuton ni adat”. Dahulu dalam acara adat, cuma laki-laki yang diutamakan. Jika ada yang mau
dibicarakan tentang acara adat, laki-laki yang berkumpul. Dalam penyelenggaraan pestapun, laki-laki yang duduk dan bicara. Perempuan
bisa duduk tetapi tidak berhak untuk becara. Perempuan dalam pesta Cuma melayani dan meniapkan makanan. Tapi sekarang perempuan sudah pintar
mengenai adat dan mereka mengerti. Mereka sudah mulai belajar.
Pada aktivitas adat ini anak laki-laki masih tetap diutamakan. Tugas perempuan bukan hanya sebagai melayani para undangan saja. Perempuan sudah
mulai masuk dalam aktivitas adat. Perempuan juga sudah bertanya tentang seluk beluk adat pada ayahnya. Saat perempuan bertanya yang berhubungan dengan
adat ayahnya sudah mau untuk menjelaskan. Saat keluarga berbicara yang berhubungan dengan adat, anak perempuan dengan sendirinya sudah duduk
bersama dan mendengarkan tentang yang dibicarakan. Pada akhirnya banyak perempuan yang telah mengerti tentang adat. Perempuan yang selama ini tidak
pernah diajarkan tentang budaya oleh orang tuanya karena dianggap tidak penting. Menurut bapak Yunus perempuan saat ini tidak lagi pakum atau berdiam
diri. Telah terjadi perubahan dimana perempuan telah ikut menghadiri setiap undangan. Bahkan menurut informan sudah lebih rajin prempuan menghadiri
Universitas Sumatera Utara
80 undangan pesta. Kebanyakan para suami menyuruh istri untuk menghadiri
undangan pesta, apalagi yang menyelenggarakan pesta tersebut dari keluarga jauh. Bapak Yunus juga meninggung tentang anak laki-laki sebagai ahli waris
yang mengatakan: ”Taringot tu parartaon pe najolo holan baoa do namarhak disi. Molo
dung marujung natua-tua nasida langsung marpungu do angka ianakhonna baoa lao mangkatai taringat tuparartaon. Anggo boru ndang
adong dapotan. Alai saonari nungnga mulai be dilean tu boru. Apalagi molo nung muli, dilean hula-hulana do tunasida”. Tentang harta warisan
hanya anak laki-laki yang berhak untuk membagi-bagikannya. Setelah orang tua sudah tiada, para laki-laki langsung berkumpul untuk
membicarakan mengenai pembagian harta warisan. Perempuan tidak ikut serta dalam hal itu. Sekarang sudah mulai berubah. Anak perempuan
sudah ikut mendapatkan harta peninggalan dari orang tua. Apalagi kalau perempuan sudah menikah. Maka pihak hula-hula yang memberikannya.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa pada masa lalu perempuan tidak mendapat hak atas harta warisan. Menurut informasi dari seorang informan,
laki-laki sebagai pewaris dengan alasan: karena laki-laki sebagai penanggung jawab penuh kepada orang tuanya. Sementara kepada perempuan adalah: orang
tua hanya pemberi bantuan saja. Perempuan tidak mampu untuk melawan ketentuan hukum waris tersebut.
Bergulirnya waktu membuat anak perempuan untuk mengambil hati orang tuanya dengan maksud untuk ikut meminta bagian dari harta orang tuanya. Sang
anak pun melakukan berbagai macam usaha untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seperti Ramli Lumban Gaol 25, sebagai seorang informan
mengatakan bahwa dia melakukan segala yang baik di dalam keluarga, dia juga lebih rajin dan lebih giat bekerja dari yang sebelumnya. Tujuannya adalah agar
ayahnya menyetujui permintaannya. Ramli selalu melakukan yang terbaik guna mendapatkan keinginannya. Melihat kerja keras Ramli yang semakin baik,
Universitas Sumatera Utara
81 akhirnya ayahnya menyetujui permintaan Ramli. Anak perempuan yang lainpun
melakukan segala yang baik di dalam keluarga. Misalnya, anakpun lebih rajin bekerja dan berusaha membuat hati orang tua bahagia. Berdasarkan usaha dan
kerja keras perempuan, akhirnya sebagian orang tua di desa ini sudah mendengar dan mempertimbangkan usul atau permintaan anak perempuannya.
Perempuan janda juga sudah melakukan berbagai macam usaha untuk memperoleh haknya dari peninggalan suaminya. Biasanya seorang janda yang
hanya melahirkan anak perempuan langsung dikembalikan kepada orang tuanya, sedangkan janda yang melahirkan anak laki-laki biasanya hanya dapat menikmati
harta sebelum anaknya menikah dan janda tidak diizinkan untuk menikah lagi. Di desa ini sudah banyak janda yang telah menerima haknya dari peninggalan
suaminya. Seorang janda tidak mau lagi menyerahkan harta peninggalan suaminya kepada orang lain. Perempuan janda sudah melakukan berbagai macam
cara supaya hartanya tetap menjadi miliknya. Penulis juga melihat mulai ada perubahan dibidang pendidikan. Sesuai
budaya Batak Toba, anak laki-laki yang diusahakan untuk tetap sekolah. Saat penulis melihat di lapangan, telah tercermin kesamaan kesempatan antara anak
laki-laki dengan anak perempuan untuk mengecap pendidikan. Berdasarkan informasi dari para informan disimpulkan, hal ini terjadi karena faktor pendorong
dari dalam dan dari luar. Faktor dari dalam yang dimaksud adalah dari dalam diri anak perempuan yang berusaha untuk bisa sekolah. Awalnya orang tua melihat
usaha kerja keras anak perempuan dalam belajar. Para informan mengatakan: jarang sekali bahkan orang tua tidak pernah mendapat laporan tentang kelakuan
Universitas Sumatera Utara
82 buruk di sekolah tentang anak perempuan mereka. Sebaliknya, kelakuan buruk
lebih sering dilakukan oleh anak laki-laki Anak perempuan melakukan usaha sendiri untuk mendapatkan biaya
sekolah. Seperti bekerja di ladang orang lain dengan mendapatkan gaji yang sebanding, meminta kepada orang tua untuk mengerjakan sesuatu dengan tujuan
diberikan imbalan dari orang tua serta ada juga yang jualan makanan ringan bahkan memelihara ternak sendiri dengan meminta modal dari orang tua seperti
yang terlihat pada gambar di bawah ini yang menunjukkan anak perempuan yang memelihara ternaknya sendiri.
Gambar 4.1 Anak Perempuan yang sedang Memberi Makan Ternaknya. Dibawah ini juga terdapat gambar anak perempuan yang menunjukkan bahwa
masih pagi anak perempuan sudah pulang dari ladang dan membawa ubi untuk makanan ternak peliharaan mereka.
Universitas Sumatera Utara
83 Gambar 4.2. Anak Perempuan Pulang dari Ladang
Berdasarkan usaha-usaha yang dilakukan perempuan, akhirnya hati orang tua terdorong untuk memberikan kesempatan yang sama antara anak laki-laki
dengan anak perempuan dalam pendidikan. Perjuangan-perjuangan anak perempuan itu menjadi pendorong perubahan cara memperlakukan anak
perempuan terjadi. Masuknya unsur-unsur baru merupakan faktor dari luar yang semakin
mendorong anak perempuan untuk berusaha semakin maju. Masuknya unsur- unsur baru mendorong anak perempuan Pollung semakin mengetahui banyak hal,
anak perempuanpun membandingkan yang terjadi di dalam lingkungannya dengan yang terjadi di luar lingkungannya. Perkembangan zaman sangat mempengaruhi
peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai teknologi, bahkan mengenai pendidikan yang dijadikan menjadi kaca mata anak perempuan Pollung.
Perkembangan zaman membuat anak perempuan Pollung untuk membandingkan lingkungannya dengan luar lingkungannya. Anak perempuan
Pollung melihat bahwa dilingkungan luar, anak perempuan juga diutamakan. Hal ini dapat menjadi cermin serta dapat memberikan peluang bagi anak perempuan
Universitas Sumatera Utara
84 untuk lebih maju. Perkembangan zaman merupakan unsur terpenting dalam
menunjang terjadinya proses perubahan dalam suatu masyarakat. Perubahan dapat terjadi karena ada peluang atau kesempatan.
4.3. Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Perubahan Perlakuan terhadap Anak Perempuan