66 kepada anak perempuan dan anak laki-laki. Anak perempuan Batak Toba tidak
akan mendapatkan harta peninggalan orang tuanya karena dianggap akan menimbun kekayaan orang lain yaitu pihak keluarga suaminya Irianto, 2003; 10.
4.1.3. Anak Perempuan Bukan Sebagai Pelaksana Aktivitas Adat
Kedudukan perempuan dalam aktivitas adat selalu dinomorduakan. Artinya, bahwa hanya laki-laki yang memiliki hak untuk berbicara dalam setiap
aktivitas adat dan perempuan hanya menjadi pendamping suaminya saja. Anak perempuan dalam aktivitas adat tidak akan pernah lepas dari ikatan Dalihan na
Tolu. Berdasarkan Dalihan na Tolu kedudukan boru sudah ditetapkan. Boru tidak berhak bersuara dalam ulaon adat. Boru hanya sebagai penyedia makanan untuk
semua keluarga dan para undangan pesta. Pada aktivitas adat, boru hanya sebagai parhobas atau hanya sabagai penyedia makanan dan minuman bagi semua orang
yang hadir dalam acara pesta tersebut. Pada suatu pesta, boru harus benar-benar bekerja sebagai pelayan kalau tidak ingin mandapatkan teguran dari hula-hulanya.
Mendapatkan tegurang dari hula-hula merupakan yang membuat boru merasa sangat malu, sebab hula-hula orang yang sangat dihormati dan harus disegani.
4.1.4. Anak Perempuan Tidak Diutamakan Dalam Pendidikan
Secara umum perempuan tidak tergantung secara ekonomi kepada pria. Hal ini tidak berarti bahwa mereka diperlakukan sama dengan pria. Perbedaan
dalam hak, kewajiban dan kegiatan antara pria dan wanita ditemukan diberbagai bidang. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 didalamnya dinyatakan
bahwa: ”tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Meskipun
Universitas Sumatera Utara
67 pernyataan itu mengandung arti baik pria maupun wanita masing-masing
mempunyai hak yang sama dalam mengecap pendidikan formal, namun dalam kenyataannya masih ada anggapan yang menghambat wanita untuk mengikuti
pendidikan formal Ihromi, 1995: 227. Menurut Ihromi 1995: 230-238 ada tiga alasan yang dapat menjelaskan
bahwa sedikit proporsi anak perempuan bersekolah dibanding anak laki-laki yaitu: 1.
Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin terbatas jumlah sekolah yang tersedia. Penyebabnya adalah SD terdapat dihampir semua desa di
Indonesia. Seorang murid SD tidak perlu keluar desa untuk sekolah. Melainkan murid harus menempuh perjalanannya yang lebih jauh bila ia
bersekolah di SLTP, karena SLTP umumnya lebih jauh jaraknya dan masih di kota. Banyak orang tua yang enggan bila anak perempuan mereka
pergi ke sekolah yang jauh. 2.
Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mahal biaya yang diperlukan untuk bersekolah. Tingginya biaya menjadi hambatan untuk melanjutkan
sekolah terutama untuk mereka yang miskin. Di keluarga miskin, orang tua lebih memilih untuk menyekolahkan anak laki-laki dari pada anak
perempuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin banyak jumlah sekolah swasta dibandingkan dengan sekolah negeri. Negeri kwalitasnya
lebih baik jadi anak orang miskin yang nemnya rendah terpaksa sekolah swasta.
3. Keinginan orang tua untuk menyekolahkan anak perempuan berkaitan
dengan keinginan untuk memperbaiki hidup mereka dengan mendapatkan suami untuk anak perempuan mereka yang berpendidikan juga. Seringkali
Universitas Sumatera Utara
68 orang tua tidak bisa melakukan investasi dalam pendidikan anak mereka,
karena tenaga anak perempuan sangat mereka butuhkan di rumah. Investasi dalam pendidikan juga seringkali tidak mereka rasakan karena
anak perempuan menjadi anggota keluarga suami setelah mereka menikah. Tidak mengejutkan jika dua pertiga penduduk dunia yang buta huruf
adalah perempuan. Anak perempuan lebih sedikit mendapat pendidikan formal dibandingkan saudara laki-lakinya. Anak perempuan mendapat pendidikan ala
kadarnya atau tidak sama sekali. Penyebab semua hal ini adalah karena sangat beratnya menghadapi dunia, dimana selalu terjadi ketidakadilan.
Penilaian bahwa diskriminasi gender merupakan akar dari berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Jenis kelamin atau lebih tepat lagi
karena gender seseorang, misalnya untuk perempuan, maka kesempatan mengikuti pendidikan oleh keluarga dan masyarakat tidaklah dianggap penting,
sedangkan untuk laki-laki pendidikan dianggap penting. Pembedaan ini sejak waktu yang lama dianut oleh sebagian besar dari anggota masyarakat-masyarakat
manusia, sehingga akibatnya adalah ketinggalan perempuan dalam tingkat pendidikan. Ketertinggalan demikian menimbulkan ketertinggalan dalam berbagai
bidang hidup lainnya dan dampaknya kelihatan dalam rendahnya posisi tawar tenaga kerja perempuan. Perempuan dianggap lemah emosional, tidak rasional,
lemah energi dan kodratnya adalah melakukan tugas-tugas reproduksi serta merawat dan membesarkan maupun mengurus anak dan rumah tangga Ihromi,
1995: 278. Berdasarkan kodrat tersebut anak perempuan tetap memikul tanggung
jawab utama untuk kerja domestik. Misalnya banyak anak perempuan lebih
Universitas Sumatera Utara
69 dominan bekerja di rumah dan membantu orang tua. Adapun anak perempuan
yang merasakan pendidikan di bangku sekolah itu hanya sebahagian kecil saja, disebabkan karena faktor ekonomi, dimana ada sebagian anak yang ingin
bersekolah, namun orang tuanya tidak mampu untuk menyekolahkannya. Demi saudara laki-laki, anak perempuan rela untuk tidak sekolah asalkan saudara laki-
lakinya dapat menginjak bangku pendidikan. Faktor yang menyebabkan perempuan sulit mendapatkan pendidikan ada
tiga yaitu: iklim ekonomi, sikap sosial dan lingkungan sekolah. Iklim ekonomi maksudnya: adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kurangnya sumber daya.
Iklim ekonomi ini adalah faktor yang utama penyebab pendidikan sulit diperoleh. Iklim ekonomi dipengaruhi oleh keadaan geografis masyarakat, yakni lingkungan
alam menjadi sumber penghasilan masyarakat. Sikap sosial contohnya: seorang petani sangat memerlukan bantuan selama
masa sibuk. Akibatnya orang tua menarik anak perempuan dari sekolah dibandingkan dengan anak laki-laki. Orang tuanya mengharapkan anak
perempuannya ikut memikul beban rumah tangga. Lingkungan sekolah merupakan faktor ketiga. Lingkungan sekolah dapat
dilihat dari lebih sempitnya jenis pendidikan yang cocok bagi perempuan dibanding laki-laki. Bagi perempuan yang tetap mengecap pendidikan sekolah,
lingkungan sekolah akan menentukan pendidikan macam apa yang pantas untuk diterimanya. Hal inilah penyebab orang tua lebih mengutamakan anak laki-laki
Mosse, 1996: 106-107. Masyarakat yang berprinsip patrilineal juga memperlakukan anak-anak
mereka sesuai dengan nilai budaya. Prinsip patrilineal yang mengandung arti
Universitas Sumatera Utara
70 bahwa melihat garis keturunan dari garis ayah. Prinsip ini membuat masyarakat
Batak Toba selalu mengutamakan anak laki-laki bahkan dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Anak laki-laki lebih diutamakan dalam
pendidikan dibandingkan anak perempuan. Anak laki-laki adalah kebanggaan orang tua. Semakin tinggi pendidikan seorang anak, maka orang tua semakin
terhormat dalam masyarakat. Kurangnya pendidikan terhadap perempuan dipengaruhi oleh nilai budaya,
dimana anak perempuan suatu saat akan menikah dengan laki-laki dari kelompok kekerabatan yang lain. Semakin tinggi keberhasilan seorang perempuan, maka
dalam masyarakat Batak Toba menganggap semakin memperkaya kelompok kerabat yang akan menjadi suami si perempuan. Masyarakat Batak Toba
menganggap anak perempuannya sebagai harta kelompok kerabat lain. Alasannya bahwa suatu saat perempuan akan meninggalkan kelompok kerabat ayahnya dan
pergi dengan kelompok kerabat yang baru. Alasan inilah yang membuat peluang perempuan untuk mendapatkan pendidikan semakin kecil.
Keempat aspek di ataslah yang sangat mencerminkan perbedaan nilai anak laki-laki dengan nilai anak perempuan pada masyarakat Batak Toba. Hal tersebut
dilaksanakan oleh anggota masyarakat secara turun temurun dan telah membudaya. Masyarakat Batak Toba dari awalnya selalu mengutamakan anak
laki-laki dan berusaha membuatnya berhasil. Keberhasilan anak laki-laki
merupakan suatu kebahagiaan bagi orang tuanya.
Dampak dari perlakuan yang diperoleh anak perempuan ada dua macam akibatnya, yakni anak perempuan menjadi bersifat pasif atau bersifat aktif. Pasif
berarti diam atau dapat dikatakan tidak adanya perubahan dan hanya bisa
Universitas Sumatera Utara
71 menerima dan melaksanakan apa adanya saja, sedangkan perlakuan yang
berdampak aktif berarti muncul dorongan untuk merespon perlakuan dalam menuju perubahan.
Masyarakat Batak Toba adalah salah satu etnik yang berprinsip patrilineal yaitu: melihat garis keturunan dari pihak laki-laki. Masyarakat Batak Toba selalu
mengutamakan anak laki-laki. Nilai budaya Batak Toba yang selalu ingin diwujudkan oleh anggota masyarakat yaitu: hagabeon, hamoraon dan
hasangapon yang merupakan tujuan hidup hanya mengacu pada anak laki-laki. Anak laki-laki selalu diutamakan dalam berbagai macam aktivitas-aktivitas
kehidupan yakni anak laki-laki sebagai penerus marga, sebagai pelaksana aktivitas adat, sebagai ahli waris serta diutamakan dalam pendidikan.
Berdasarkan keempat hal di atas, maka keluarga sangat mengharapkan kehadiran anak laki-laki. Menurut para informan, sebelum mengenal modernisasi
masyarakat desa Pollung sebagai masyarakat yang diteliti memegang teguh dan melaksanakan aturan budaya yang mengharuskan adanya anak laki-laki. Keluarga
yang tidak memiliki keturunan dikatakan dengan nasomarboras dan dipandang rendah untuk menghindari hal tersebut, masyarakat Pollung melakukan berbagai
macam cara supaya mempunyai keturunan. Harta yang berlimpah tidak ada nilainya kalau tidak mempunyai keturunan. Lebih baik miskin tetapi mempunyai
keturunan, daripada banyak harta tetapi tidak mempunyai keturunan. Seperti bapak W. Sinaga 45 mengatakan:
”Tujuan berumah tangga yang paling utama adalah untuk memperoleh keturunan. Harta yang banyak tidak berarti bagiku kalau tidak
mempunyai anak. Lebih baik hidup apa adanya asalkan aku sudah memiliki anak”.
Universitas Sumatera Utara
72 Maksud dari ucapan bapak W. Sinaga, bahwa harta bukanlah segala-galanya,
melainkan anak laki-lakilah yang dianggap sebagai kebahagiaan keluarga. Keluarga yang sudah menikah dalam waktu yang sudah cukup lama tetapi
belum dikaruniai anak, biasanya resah dan akan melakukan berbagai macam cara untuk dapat memiliki anak. Bapak W. Sinaga merupakan salah seorang informan
yang juga sekian lama resah karena belum dikaruniai anak. Bapak W. Sinaga mengatakan:
”Nungnga adong ualu taon hami naung marruma tangga, alai ndang adong dope anakhonhu. Ahu songon sahalak guru namananda agama,
sabar paimahon anggiat nian hatop dapotan anak ahu. Anggo dirohangku unang ma nean sampe laho hami marsungkun tu datu songon halak na
asing. Anggo tu dokter do nungnga jot-jot hami laho. Alai ala nungnga tung leleng hami paimahon so marnadapot, laho do hami mardampol atik
boha nataralit pamatang nami. Tong dang boi gabe dipaksama hami manungkun tu datu, alai sai tong do ndang adong. Gabe dipasombu hami
nama, jolo adong ma dalan na asing annon”. kami sudah delapan tahun menikah, tetapi belum mempunyai anak. Saya sebagai seorang guru yang
beragama, sabar menunggu jangan sampai bertanya kepada dukun. Kami sudah sering berobat ke dokter tetapi belum juga ada hasil yang baik.
Kami pergi ke tukang kusut siapa tahu ada anggota badan yang terkilir. Belum juga berhasil, lalu kami dipaksa pergi ke dukun dan berobat namun
tetap tidak ada. Kami jadi pasrah dan hanya mengharapkan suatu saat ada jalan.
Berdasarkan uraian di atas menjelaskan, bahwa keluarga bapak W. Sinaga sudah melakukan berbagai macam cara guna mendapatkan anak. Hasil dari usaha
mereka tetap tidak ada dan mereka mengadopsi seorang anak laki-laki dari saudara mereka sendiri dengan tujuan anak tersebut sebagai pembawa berkat
Mereka hanya bisa mengharapkan suatu saat ada jalan lain yang mereka temukan. Para informan mengatakan ada tiga macam cara yang dilakukan oleh
keluarga yang belum mempunyai anak, supaya mempunyai anak yaitu:
Universitas Sumatera Utara
73 1.
Pertama sekali suami istri pergi ke dokter untuk konsultasi dan melakukan pemeriksaan. Gunanya yaitu untuk mencari tahu kendala apa yang mereka
hadapi. Biasanya dokter anak menganjurkan berbagai hal yang harus dijalani untuk melihat perkembangannya.
2. Apabila cara yang pertama tidak berhasil, maka suami istri biasanya
disuruh oleh keluarga untuk dikusut. Gunanya untuk mengetahui sekaligus untuk menghindari kemungkinan ada anggota tubuh yang kurang sehat,
misalnya: terkilir. 3.
Apabila cara yang kedua juga belum berhasil, maka suami istri akan disuruh pergi kedukun untuk bertanya, apa kemungkinannya penyebab
mereka tidak mempunyai keturunan. Pada masa ini masyarakat percaya, bahwa dukun bisa mengobati segala jenis penyakit yang tidak bisa diobati
oleh dokter. Masyarakat juga percaya bahwa dukun dapat mengetahui hal- hal di luar kemampuan manusia. Menurut masyarakat banyak warga yang
berhasil mempunyai keturunan setelah melakukan cara yang ketiga ini. Keluarga yang berhasil mempunyai keturunan setelah melakukan pengobatan
tradisional, biasanya akan merasa sangat senang. Oleh kebahagiaan yang dirasakan, maka kehadiran anak tersebut akan dirayakan. Kehadiran anak itu
membuat orang tuanya sempurna dimata masyarakat. Keutamaan anak laki-laki berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan
anak perempuan, bahkan dalam penentuan jodoh anak perempuan sering disangkutpautkan atas kehendak sang ayah maupun saudara laki-laki. Hal ini
diartikan untuk kebahagiaan anak perempuan untuk berkeluarga, tanpa peduli apakah hal itu membuat anak perempuan bahagia atau tidak. Setiap orang yang
Universitas Sumatera Utara
74 tidak patuh pada aturan akan dikenakan sanksi. Ibu Risda Manalu 40 yang
menjadi seorang informan mengatakan: ”Saonari hujalo sada songon uhum sian keluargakku. Alana didokhon do
au mangalo adat najolo lao marruma tangga. Ala hutuntun do muli tu baoakku jala ndang olo au muli tu paribanhu tinodo ni damang dohot
angka ibotokku. Dungi ndang dianggap nasida be au songon boru dahot iboto nasida”. sekarang saya telah menerima hukuman atau sanksi dari
keluargaku. Dulu aku melawan adat dalam berumah tangga. Aku menikah dengan lak-laki pilihanku. Saya tidak mau menikah dengan paribanku
sebagai laki-laki pilihan ayah. Mereka tidak menganggap aku sebagai anggota keluarga lagi.
Berdasarkan tindakan ibu Risda yang menolak perintah ayah dan saudara laki-lakinya, maka ibu Risda dianggap telah melakukan penimpangan terhadap
nilai budaya. Atas penimpangan tersebut ibu Risda dihukum dengan mengeluarkannya dari anggota keluarga. Ibu Risda merasa sedih atas hukuman
yang diterimanya akibat nilai budaya yang harus dipatuhi. Kejadian seperti inilah yang ditakutkan oleh anggota masyarakat terutama oleh kaum perempuan. Mereka
takut dituduh melanggar aturan budaya. Oleh sebab itu, perempuan selalu berusaha untuk patuh pada perintah-perintah ayah atau saudara laki-lakinya.
Bukan hanya dalam pemilihan jodoh ini anak perempuan merasa terkekang. Mengenai harta warisan perempuan juga terkekang, dimana anak
perempuan tidak mempunyai hak apa-apa atas harta peninggalan sang ayah. Jangankan anak perempuan yang masih gadis, seorang jandapun tidak memiliki
hak atas peninggalan suaminya. Seperti ibu Roma Banjar Nahor 36 yang dijadikan sebagai salah satu informan yang mengatakan:
”Di taon 1980 muli ma ahu tu marga Sinaga. Nungnga 5 taon hami marripe alai ndang dapotan anak alana parsinondukku marsahit-sahit.
Laos sahitnaima mambaen ibana lao. Alani naso dapotan anak hami saleleng marripe, sadari dipaujung parsinondukhu tu udean, laos sadari
ima ahu dipaulak tu natua-tuakku. Sadari i musema natua-tuaku mamboan
Universitas Sumatera Utara
75 ahu mulak. Songoni ahu dialap naujui, laos songoni musema ahu
dipaulak. Ias ala ndang adong tading-tading ni parsinondukhu dilean tu ahu.” Pada tahun 1986 saya menikah dengan marga Siregar. Kami telah
menikah selama 5 tahun dan tidak dikaruniai keturunan baik laki-laki maupun perempuan. Suamiku pun sakit-sakitan dan akhirnya meninggal.
Setelah suamiku dikuburkan, maka aku langsung dikembalikan pada orang tuanya. Orang tuaku membawaku pulang kekampungku. Aku tidak
mendapatkan sedikitpun dari harta peninggalan suamiku. Bagaimana aku datang ke rumah suamiku, begitu juga aku dibalikkan kerena tidak ada dari
milik suamiku diberikan.
Kasus diatas mencerminkan, bahwa pada masa lalu akses perempuan dalam hal waris tidak ada. Kasus tersebut juga mencerminkan bahwa perempuan hanya
mempunyai hak menumpang dimanapun berada. Kasus di atas menjelaskan tentang seorang janda yang tidak memiliki anak
sama sekali. Penulis juga memperoleh informasi dari para informan, bahwa seorang janda yang hanya memiliki anak perempuan tanpa anak laki-laki
dianggap dengan tidak memiliki anak sama sekali. Salah seorang janda yang dipilih dari beberapa orang informan yang
memiliki anak laki-laki yakni ibu Lamtiur br. Lumban Gaol 38 mengatakan: ”Ahu marruma tangga hutubuhon do sada anak baoa, alai ikhon tong do
iba manaon nahassiti. Hudokhon pe songoni, alana adongdo sada baoa hutubuhon hape tongdo dipaulak ahu, jala ndang adong artani baoaki
dilean tu ahu. Holan on, dipaloas do hami tong mangula dohot mamanghe tading-tading ni baoakku, alai saleleng so sohot dope anakhu jala ahu
ndang boi muli muse”. Dari hasil rumah tangga saya, saya melahirkan seorang anak, tetapi saya tetap merasakan sakitnya hidup. Saya berkata
demikian, karena walaupun saya melahirkan seorang anak laki-laki, tetapi harta suamiku tidak dapat aku miliki. Namun kami bisa mengerjakan dan
memakai harta peninggalan suamiku selama anakku belum menikah dan aku juga tidak boleh menikah lagi selama menggunakan harta suamiku.
Berdasarkan kasus di atas, mencerminkan bahwa budayalah yang mengatur setiap tindakan masyarakat. Seorang janda merasa diperlakukan tidak adil, namun tidak
Universitas Sumatera Utara
76 ada upaya perempuan untuk bertindak sebab hal itu telah membudaya dan
dianggap wajib untuk dijalani. Kesempatan untuk mengecap pendidikan juga mencerminkan hal yang
sama, dimana kesempatan anak perempuan sangat kecil sekali untuk sekolah. Anak laki-laki yang diutamakan dalam pendidikan. Masyarakat Batak Toba selalu
mengusahakan anak laki-lakinya agar dapat mengecap pendidikan setinggi- tingginya. Seseorang akan dipandang terhormat dalam sebuah masyarakat, jika
mempunyai anak yang berhasil terutama berhasil dalam pendidikan. Perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan tercermin dalam kehidupan sehari-
hari. Penulis melakukan wawancara kepada sebagian dari orang tua tentang
pentingnya pendidikan. Ibu Jekson Sinaga 49 sebagai salah seorang informan yang menjelaskan usaha mereka untuk membuat anak laki-lakinya sekolah yang
mengatakan: ”Na ditaon 2000 i anakhu si Jekson nungnga SMP kalas sada. Sai
huusahahon hami do nasatolap nami anggiat boi si Jekson on singkola natimbo ala baoa ibana, dohot muse anak siahaan. Sahali hadapotan ma
ibana marisap jala roma surat panggilan sian sikkola hu urus mai asa hatop sae jala asa boi si Jekson on singkola muse. Di taon 2004, si Jekson
nungnga kalas dua SMU. Lao tupanaikan kalas, tinggal ma ibana. Nungnga tinggal lari musema ibana dohot donganna. Hulului hami ma
ibana, dungi dapot ma ibana sian Sidikkalang. Ndang olo mulak anggo so naik ibana. Lao ma ahu mangelek tu kepala sikkola jala dipanaik ma.
Dang olo si Jekson singkola anggo so pindah ala maila ibana ninna. Tong hupapinda hami ibana anggiat nian olo muse singkola. Nalojaan nian
niula lao pamajuhon angka baoa on alai ingkon do alani ido gabe denggan ruma tangga niba”. Di tahun 2000 anakku si Jekson duduk
dibangku kelas satu SMP. Kami selalu mengusahakannya semampu kami supaya si Jekson dapat sekolah setinggi-tingginya, terutama dia laki-laki
sekaligus anak sulung kami. Sekali di ketahuan merokok, surat panggilanpun datang dari kepala sekolah dan saya mengurusnya,
masalahnyapun selesai. Di tahun 2004 dia sudah duduk di kelas dua SMU. Penaikan kelas dia tetap tinggal di kelas dua. Sudah tinggal lari pula dia
bersama temannya. Kami mencarinya, dia dapat dari Sidikkalang. Dia
Universitas Sumatera Utara
77 tidak mau pulang kalau tidak naik kelas. Aku pergi ke kepala sekolah dan
memohon supaya dia dinaikkan. Jekson mengatakan lagi dia tidak mau sekolah kalau tidak dipindahkan. Kami pindahkan dia sekolah ke Dolok
Sanggul. Susah memang kami rasakan, tetapi harus kami lakukan supayadia bisa maju, karena kehadirannyalah, rumah tangga kami tetap
utuh.
Kasus di atas mencerminkan keutamaan anak laki-laki. Apapun akan dilakukan oleh orang tua asalkan anak laki-lakinya berhasil dalam pendidikan.
Berbeda halnya dengan anak perempuan yang juga diperlakukan sesuai nilai budaya. Anak perempuan selalu dinomorduakan seperti wawancara yang
dilakukan oleh penulis terhadap seorang anak perempuan yang dijadikan sebagai informan, dimana anak perempuan ini telah merasakan ketidak mampuannya
didalam rumah tangga. Ince Lumban Gaol 21 mengatakan: ”Singkola ahu sahat kalas onom SD ndang adong dope nahassit hutaon
alana adong dope natua-tuakhu. Lao masuk tu SMP ma ahu marujung ma dainang jala dipasahatma ahu tu ibotongku naung mangoli. Sahat tu kalas
sada SMP singkola dope ahu. Boi do huihuthon parsiajarani, jala dapot do au bantuan sian pamarenta. Sai hugogo do nian karejo dohot
marsiajar asa boi tong ahu marsingkola. Alai ala karejo namangabuk di orai ito ma ahu sikkola. Ndang tolap ahu mangalo itongku. Laos so
singkola be ahu. Hape hupingkir-pingkir so ditanggung itongku nean ahu alai ingkon hutaon doi”. Saya duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar
dan belum ada masalah karena ibu masih hidup. Saat mau masuk SMP ibuku meninggal dan meninggalkan saya pada abangku yang sudah
menikah. Saya masih tetap sekolah sampai masuk SMP kelas 1. Saya dapat mengikuti pelajaran, oleh karena itu saya bebas biaya sekolah oleh
pemerintah dan masih mendapatkan beasiswa sebagai keperluan yang lain. Saya juga selalu berusaha untuk bekerja dan belajar dengan baik supaya
tetap bisa sekolah, tetapi kerena pekerjaan saya diberhentikan untuk mengurus ladang abang. Alasan ini dijadikan abang untuk menghentikan
aku dari sekolah. Sayapun hanya pasrah pada nasib. Saya pikir-pikir, kenapa saya harus menuruti kehendak abang sementara saya tidak
dibiayai. Kasus di atas mencerminkan perempuan yang diperlakukan sesuai nilai
budaya yang mencerminkan sikap pasif anak perempuan yang takut akan sanksi
Universitas Sumatera Utara
78 dan merasa bahwa hal itu harus dijalani. Budaya Batak Toba yang mnjunjung
tinggi nilai anak laki-laki membuat peluang anak perempuan sempit untuk merobah diri menjadi maju. Menjunjung anak laki-laki sudah membudaya dan
setiap anggota masyarakat melaksanakannya.
4.2. Proses Terjadinya Perubahan Perlakuan terhadap Anak Perempuan