Pembahasan Umum HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

pengembangan potensi diri anak tunalaras dan pengembangan usaha menjadi program intensif dampak pengembangan model.

F. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Pembahasan Umum

Berdasarkan PP 73 Bab II Pasal 2 tentang tujuan PLS, menyatakan bahwa tujuan Pendidikan Luar Sekolah memiliki makna: 1 melayani warga belajar supaya tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayat guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya. 2 Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan pendidikan ke tingkat danatau jenjang yang lebih tinggi. 3 Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah. Tujuan PLS tiada lain untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai- nilai yang memungkinkan bagi seseorang atau kelompok untuk berperan serta secara efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaannya, masyarakat dan bahkan negaranya. Pendidikan Luar Sekolah sebagai sebuah proses pendidikan berbasis masyarakat, memiliki keleluasaan dalam mengembangkan dan membina program- programnya. Hal ini disebabkan pendidikan luar sekolah pada prosesnya bertujuan menjangkau semua lapisan masyarakat pada kondisi apapun. Sesuai dengan prinsip tersebut, hasil penelitian dan pengembangan model yang dilakukan dalam studi ini, menunjukkan bahwa PLS memiliki keluasan dalam hal pengembangan dan pengendalian konsep-konsep yang selalu menjadi acuan dalam prinsip pembelajarannya. Sebagaimana prinsip pembelajaran sepanjang hayat yang dikemukakn Gonzales dan Pijono 1997:232 bahwa konsep dasar hakekat pendidikan sepanjang hayat, yaitu : 1 setiap orang harus didorong untuk menjadi pelajar yang mengarahkan diri sendiri dan menjadi agen-agen aktif untuk pendidikan mereka sendiri, 2 Banyak sumber-sumber pendidikan alternatif disamping sekolah yang melayani kebutuhan pendidikan mereka, 3 semua pengalaman dan sumber belajar itu tersedia buat semua orang, setiap saat, baik yang belajar paruh waktu. Program-program PLS yang dijalankan pada satu negara pada umumnya merupakan jawaban terhadap permasalahan sosial yang dihadapi negara tersebut. Selama ini PLS dipandang memberikan solusi terhadap permasalahan karena pendidikan luar sekolah merupakan alternatif solusi yang baik untuk memecahkan berbagai permasalahan tersebut. Peran PLS sebagaimana diungkapkan di atas, sejalan dengan pendapat Sutaryat Trisnamansyah 2003: 19, bahwa PLS bertujuan untuk: 1 memperoleh keterampilan yang segera akan dipergunakan, 2 berpusat pada peserta didik, 3 waktu penyelenggaraan relatif singkat, dan pada umumnya tidak berkesinambungan, 4 menggunakan kurikulum kafetaria, 5 menggunakan metode pembelajaran partisifatif, dengan penekanan pada belajar mandiri, 6 hubungan pendidik dengan peserta didik bersifat mendatar, 7 penggunaan sumber-sumber lokal. Berdasarkan paparan di atas, PLS memiliki banyak keunggulan yaitu; memiliki program yang fleksibel sesuai dengan kebutuhan belajar masyarakat. Oleh karena itu, dalam aplikasinya penggunaan kurikulum dan proses pembelajaran ditetapkan bersama peserta didik. Karakteristik pendidikan luar sekolah tersebut merupakan rujukan konsep bagi pengembangan pendidikan kecakapan hidup. Peningkatan mutu pendidikan merupakan komitmen untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai modal dasar pembangunan bangsa, agar dapat hidup sejajar dengan bangsa lain di dunia ini. Dalam merealisasikan komitmen tersebut di atas, Pemerintah Departemen Pendidikan Nasional telah mengupayakan berbagai inovasi dan program pendidikan, antara lain Program Pendidikan beorientasi Kecakapan Hidup Life Skill Education. Tujuan utama pendidikan kecakapan hidup adalah untuk mempersiapkan peserta didik agar memiliki kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang dikembangkan dalam menjaga kelangsungan hidup dan mengembangkan dirinya. Meskipun bervariasi dalam menyatakan tujuan pendidikan kecakapan hidup, namun konvergensinya cukup jelas yaitu bahwa tujuan utama pembelajaran kecakapan hidup adalah menyiapkan peserta didik agar yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya di masa datang. Esensi dari pembelajaran kecakapan hidup adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan nilai-nilai kehidupan nyata, baik preservatif maupun progresif. Lebih spesifiknya, tujuan pendidikan kecakapan hidup dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, memberdayakan aset kualitas batiniyah, sikap, dan perbuatan lahiriyah peserta didik melalui pengenalan logos, penghayatan etos, dan pengamalan patos nilai-nilai kehidupan sehari-hari sehingga dapat digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya. Kedua, memberikan wawasan yang luas tentang pengembangan karir, yang dimulai dari pengenalan diri, eksplorasi karir, orientasi karir, dan penyiapan karir. Ketiga, memberikan bekal dasar dan latihan-latihan yang dilakukan secara benar mengenai nilai-nilai kehidupan sehari-hari yang dapat memampukan peserta didik untuk berfungsi menghadapi kehidupan masa depan yang sarat kompetisi dan kolaborasi sekaligus. Keempat, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya sekolah melalui pendekatan manajemen berbasis sekolah dengan mendorong peningkatan kemandirian sekolah, partisipasi stakeholders, dan fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah. Kelima, memfasilitasi peserta didik dalam memecahkan permasalahan kehidupan yang dihadapi sehari-hari, misalnya kesehatan mental dan pisik, kemiskinan, kriminal, pengangguran, lingkungan sosial dan pisik, narkoba, kekerasan, dan kemajuan iptek. Salah satu latar belakang penelitian ini adalah mewujudkan konsep PLS dan pendidikan kecakapan hidup dalam konteks pengembangan model. Pengembangan model yang dimaksud adalah pengembangan model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Penelitian ini diterapkan pada sekelompok warga belajar tunalaras. Pelatihan dalam konteks kelompok didasari oleh pemikiran bahwa kegiatan belajar dalam kelompok lebih bermakna dan memberikan kekuatan kolektivitas. Oleh karena itu, kelompok belajar dapat berfungsi: 1 sebagai metode, 2 sebagai media, 3 sebagai sarana pembelajaran, dan 4 sebagai agen perubahan. Dalam pandangan lain, Kindervatter 1979:207 menyatakan peran kelompok belajar sangat penting sebagai agen pembaharuan dalam rangka pemberdayaan empowering process. Manfaat yang dapat diperoleh dari kelompok belajar adalah dapat dengan mudah membelajarkan anggotanya, mengubah tingkah lakunya, bahkan mengembangkan masyarakat sampai dengan berdirinya lembaga keuangan lokal the local bank. Pengembangan model pelatihan kecakapan hidup pun berkenaan dengan konsep pelatihan. Pelatihan training merupakan pembelajaran pengembangan individual yang bersifat mendesak karena munculnya suatu kebutuhan saat ini. Menurut Robinson dalam Anwar 2004: 163 pelatihan sebagai suatu instruksi atau proses pendidikan yang bertujuan untuk membangun dan mengembangkan pengetahuan serta keterampilan yang telah dimiliki. Pengertian pelatihan tersebut memiliki makna bahwa tujuan dasar pelatihan untuk membangun dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan individu agar dapat mencapai tingkat yang diharapkan. Selanjutnya Anwar 2004: 169, menegaskan bahwa pelatihan adalah usaha berencana yang diselenggarakan supaya dicapai penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang relevan dengan kebutuhan peserta pelatihan. Dari definisi tersebut dapat ditafsirkan bila pelatihan kecakapan hidup diberikan kepada anak tunalaras dapat meningkatkan kualitas sikap anak tunalaras dalam meningkatkan kemandiriannya untuk hidup bermasyarakat secara wajar. Pelatihan pada hakikatnya pun merupakan salah satu wujud konkret pendidikan. Tilaar 1999 menegaskan bahwa hakikat pendidikan berkenaan dengan konsep pendekatan reduksionisme dan pendekatan holistik integratif. Sejalan dengan pendapat tersebut, pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani merupakan refleksi hakikat pendidikan melalui pendekatan holistik integratif. Bila pendekatan reduksionisme melihat proses pendidikan, peserta didik, dan keseluruhan perbuatan pendidikan termasuk lembaga pendidikan tidak secara utuh, maka pendekatan holistik integratif memandang bahwa hakikat pendidikan memiliki komponen: pendidikan merupakan suatu proses berkesinambungan; proses pendidikan berarti menumbuhkembangkan eksistensi; eksistensi manusia yang memasyarakat; proses pendidikan dalam masyarakat yang membudaya; dan proses bermasyarakat dan membudaya mempunyai dimensi-dimensi waktu dan ruang. Pengembangan model pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani Jakarta, dilakukan melalui langkah-langkah: 1 mengadakan pendekatan terhadap pihak panti ; 2 koordinasi dengan sumber belajar; 3 penyiapan lingkungan; dan 4 penyiapan panduan model pelatihan kecakapan hidup. Pendekatan terhadap pihak panti, bertujuan untuk memperoleh izin untuk mengadakan dan menerapkan pengembangan PKH. Pendekatan terhadap pihak panti dilakukan sejak di awal kegiatan. Dukungan pihak panti terhadap pengembangan model pelatihan kecakapan hidup ini ditunjukkan dengan: 1 menerima dengan baik kehadiran peneliti; 2 mengadakan dialog secara terbuka bersama peneliti tentang hal-hal yang berhubungan dengan program PKH; 3 menyambut baik dan merespon dengan segala tawaran peneliti untuk mengembangkan model pelatihan kecakapan hidup yang ditunjukkan dengan sikap dan tindakannya yang kondusif; 4 menyediakan dan melengkapi fasilitas yang diperlukan bagi terselenggaranya pengembangan model; dan 5 memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada peneliti untuk melakukan penelitian dan pengembangan model pelatihan kecakapan hidup sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta merupakan bentuk pelayanan rehabilitasi sosial yang diberikan kepada anak tunalaras meliputi: pembinaan fisik, bimbingan mental dan sosial, pelatihan ketarampilan, serta resosialisasi serta pembinaan lanjut anak nakal agar dapat menjalankan fungsi sosialnya secara wajar dan mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan uraian di atas, bahwa dalam pengembangan pelatihan kecakapan hidup juga termasuk juga ada proses rehabilitasi. Departemen Sosial dalam Sunaryo 1995: 108 memberi pengertian bahwa “rehabilitasi adalah suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan penderita cacat mampu melakukan fungsi-fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat”. Secara lebih spesifik rehabilitasi sosial dapat diartikan sebagai suatu proses perbaikan yang ditujukan pada anak luar biasa khususnya anak tunalaras agar mereka cakap berbuat dalam menjalani hidup dan kehidupannya di masyarakat secara lebih bermakna. Sebelum uji lapangan dimulai, peneliti terlebih dahulu mengadakan sosialisasi tentang pengembangan model pelatihan kecakapan hidup yang akan dilaksanakan, melalui tanya jawab dan diskusi terhadap pihak yang terkait di panti. Kegiatan ini dilakukan selama kegiatan penelitian tahap satu dan tahap dua, dan seminggu sebelum pelaksanaan uji lapangan II kegiatan sosialisasi lebih diintensifkan. Kegiatan yang dilakukan dalam uji lapangan II adalah menerapkan pengembangan model pelatihan kecakapan hidup diPanti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Pada tahap pelaksanaan uji lapangan II, para sumber belajar dan peserta program menunjukkan kesungguhan dalam mengikuti setiap tahapan kegiatan pada pengembangan model PKH. Tahapan-tahapan penerapan model pelatihan kecakapan hidup yang diikutinya secara sungguh-sungguh adalah sebagai berikut: 1. kegiatan pada tahap perencanaan, meliputi; kegiatan mengidentifikasi kebutuhan belajar, merumuskan dan mengadakan kontrak belajar, merumuskan materi belajar, dan merumuskanmemilih alat dan media belajar; 2. tahap pelaksanaan, meliputi; a menciptakan iklim pelatihan yang harmonis sehingga terjalin hubungan akrab antara sumber belajar dengan peserta program; dan b sumber belajar dan peserta program bersama-sama dalam mengisi kegiatan pelatihan sehingga terjadi proses interaksi saling membelajarkan secara dinamis; 3. pada tahap evaluasi, sumber belajar maupun peserta program sama-sama melakukan kegiatan evaluasi baik terhadap proses maupun hasil pelatihan, sehingga kegiatan evaluasi benar-benar bertumpu pada sumber belajar dan peserta program; dan 4. membahas dampak model pelatihan kecakapan hidup bagi peningkatan pengembangan usaha maupun terhadap kecakapan akademik , keterampilan, serta sikap kemandirian peserta program. Monitoring dan evaluasi dilakukan pada saat model pelatihan kecakapan hidup berlangsung, kegiatan ini dilakukan terutama untuk menilai kelayakan dan efektivitas model yang dikembangkan. Setiap selesai penyajian, peneliti bersama- sama dengan sumber belajar dan peserta program mendiskusikan hasil uji lapangan yang dilakukan. Peneliti mengikuti setiap perubahan dan perkembangan sebagai pengaruh dari penerapan model pelatihan kecakapan hidup terhadap peserta program. Hasil monitoring dan evaluasi tersebut, dijadikan sebagai bahan diskusi bersama dengan sumber belajar dan peserta program, setiap satu minggu selama pelaksanaan uji lapangan II. Hasil monitoring, evaluasi dan diskusi bersama dengan sumber belajar dan peserta program, menunjukkan bahwa model pelatihan kecakapan hidup dapat dikembangkan secara efektif dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Beberapa indikator yang menunjukkan keefektifan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Nara sumber belajar dan peserta program telah memperoleh dan memiliki pemahaman yang lebih tinggi tentang isi dan prinsip-prinsip model pelatihan kecakapan hidup yang dikembangkan. 2. Pihak panti dan peserta program dapat mengembangkan model pelatihan kecakapan hidup sesuai dengan prosedur yang didesain dalam model. 3. Sumber belajar dan peserta program dapat menumbuhkan iklim pelatihan yang harmonis dan akrab. 4. Adanya kesanggupan dari sumber belajar dan peserta program untuk menerapkan model PKH dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. 5. Model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta yang dikembangkan dapat meningkatkan kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial, serta menumbuhkan kemandirian warga belajar. Implikasi teoritis dari pengembangan model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta ini, memperkuat teori-teori kemandirian sebelumnya. Pendapat tersebut diartikan kemandirian adalah penggunaan daya sendiri untuk bertindak dan membuat keputusan atau mempertimbangkan tanpa bergantung kepada orang lain. Brookfield 1993 mengemukakan bahwa kemandirian sebagai kekuatan seseorang di dalam memahami dan menyadari alternatif – alternatif pilihan bagi dirinya. Covey 1989:49 menegaskan pula bahwa Independence is the paradigma of I-I can do it; Iam responsible: I am self-reliant: I can choose.. Interdependence is the paradigma of We-We can do it: We can cooperate: We can combine our talents and abilities and create something greatertogether. Wetherington Rifaid,2000 mengemukakan bahwa kemandirian ditunjukan oleh adanya kemampuan untuk mengambil inisiatif, kreatif, kemampuan mengatasi masalah, penuh ketekunan, merasa puas atas usahanya dan berkeinginan mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Havighurst 1972 menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu: a emosi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua; b ekonomi, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang tua; c Intelektual, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi; dan d sosial, aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain. Model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras yang dikembangkan secara nyata telah dapat meningkatkan empat kecakapan hidup, yakni kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial. Implikasi teoritis pada model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras terletak pada: pertama, aspek relevansinya dengan kebutuhan. Berdasarkan temuan empiris, penerapan model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta menunjukkan efektivitasnya bagi terpenuhinya kebutuhan pelatihan warga belajar sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar dan kreativitas. Kedua, aspek inovasinya dalam pengembangan anak tunalaras di masyarakat. Dalam penerapannya, model pelatihan kecakapan hidup mampu memberikan rehabilitasi dan peningkatan kecakapan hidup anak tunalaras yang positif. Warga belajar tunalaras merupakan salah satu komponen bangsa yang perlu mendapat perhatian serius melalui cara-cara yang tepat dan akurat agar mampu memperbaiki kehidupan dan penghidupannya. Upaya untuk memperbaiki kehidupan dan penghidupannya dilakukan melalui jalur pendidikan nonformal yang merupakan alternatif terbaik dan paling tepat.

2. Pembahasan Khusus