Hasil Observasi Asumsi Model

d Pelatihan kecakapan hidup Menurut Warga Belajar Pelatihan ini menurut saya sangat bermanfaat. Harapan saya dengan mengikuti keterampilan ini, saya akan lebih mudah kembali ke masyarakat dan memiliki keahluan yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan di masa datang.

2. Hasil Observasi

Hasil observasi lapangan menghasilkan beberapa data yang sangat penting untuk diungkapkan. Melihat lingkungan sekitar PSMP Handayani Putera Jakarta, yang sangat kondusf dan memadai, PSMP ini seharusnya mampu menjelma menjadi salah satu panti yang dapt membantu warga belajar dalam menapaki masa depannya agar lebih baik. Kelengkapan sarana dan prasarana pelatihan kecakapan hidup sangat memadai. Lingkungan yang cukup luas, sarana ibadah yang memadai, sarana praktek yang optimal, dan kemapanan para pengelolanya, merupakan sebuah modal dalam pengembangan pelatihan. Kegiatan pelatihan antara tutor dan warga belajar terlihat berjalan dengan baik. Dari hasil pegamatan langsung penulis, diketahui bahwa panti belum mempunyai kurikulum sendiri yang aplikatif yang dijadikan pegangan untuk pelatihan kecakapan hidup. Selain itu, tidak adanya buku sumber atau panduan pelatihan yang berstandar akan menghambat juga. Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani memerlukan suatu perencanaan yang dituangkan dalam program kerja yang kemudian direalisasikan dalam pelaksanaan kegiatan pelatihan, standar kurikulum, standar keahlian tutor, dan sebagainya.

2. Hasil Analisis SWOT

Analisis model faktual pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani Jakarat akan menggunakan pendekatan analisis SWOT strength, weakness, opportunity, threat. Berdasarkan pendekatan tersebut dapat dijelaskan berikut ini. Kekuatan strength di PSMP Handayani Jakarta pada pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup, yakni adanya kesatupaduan dan struktur organisasi manajemen lembaga yang sangat optimal. PSMP ini sudah memiliki kelengkapan personal dan sumber daya yang memadai. Melalui Surat Keputusan Menteri Sosial No. HUK 3-2-494479 tanggal 30 Oktober 1965, PSMP ditetapkan menjadi Pilot Proyek Taruna Loka Marga Guna yang terdiri dari Taman Rekreasi Sehat Anak-anak Dwikora, Observation Home untuk anak-anak Tuna Sosial, camp pendidikan dan latihan kerja untuk anak-anak mogok drop out, serta Usaha Kesejahteraan Wanitagadis desaLSD. Surat Keputusan Menteri Sosial No. HUK 3-1-48144 tanggal 7 Oktober 1968 menetapkan proyek tersebut menjadi Panti Pendidikan Anak Tuna Sosial Wisma Handayani, camp pendidikan dan latihan kerja anak-anak, Sanggar rekreasi sehat Ade Irma Suryani, Pusat Perkemahan Remaja termasuk Pramuka dari Jakarta dan sekitarnya, serta Pusat Pendidikan, kursus-kursus dan upgrading petugas Direktorat Jenderal Kesejahteraan Anak, Keluarga dan Masyarakat Departemen Sosial. Kelemahan weakness atas pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani Jakarta, di antaranya: pertama, proses penyusunan rencana program kegiatan PSMP tidak melibatkan warga belajar secara intensif. Kedua, tidak mengadakan tes keterampilan awal warga belajar sehingga tidak diketahui keterampilan siap warga belajar. Ketiga, materi-materi program pelatihan yang akan dikembangkan tidak dibuat secara terencana dan sistematis. Keempat, tidak merumuskan tujuan kegiatanprogram secara eksplisit yang diarahkan untuk menumbuhkembangkan kemandirian berwirausaha warga belajar. Kelima, nara sumber teknis atau tutor tidak mempersiapkan rencana pelatihan dalam bentuk tertulis baik dalam modul atau kemasan tertulis lainnya. Keenam, tidak mempersiapkan proses evaluasi program secara sistematis. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka terhadap aspek-aspek pengembangan evaluasi pelatihan secara terintegrasi. Ketujuh, ada kecenderungan nara sumber teknis tutor tidak menguasai azas-azas pelatihan dengan sistem tutorial, baik pada tahapm perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Kedelapan, nara sumber teknis dalam setiap pertemuan, tidak pernah menjelaskan tujuan pelatihannya secara detail sehingga kurang menggugah rasa keingintahuan warga belajar. Kesembilan, kegiatan pelatihan dan PKH hanya bertumpu pada praktik dan penguasaan keterampilan yang berkenaan dengan keterampilan ototmotif, teknik pengelasan, dan teknik pendingin sehingga hanya bersifat praktik dan warga belajar belum memiliki sikap kemandirian. Kesepuluh, proses pelatihan tidak menggunakan metode pelatihan yang terpadu. Sebagian besar hanya bertumpu pada kegiatan praktik sehingga tidak menampakkan proses pelatihan dengan model tertentu. Kesebelas, tidak dibuatkannya rencana evaluasi secara terpadu atau terintegrasi yang komprehensif, sehingga tolok ukur kriteria penilaiannya tidak jelas. PSMP Handayani Jakarta dalam beberapa segi memiliki kelemahan dan keterbatasan. Akan tetapi, pada sisi lain, pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup memiliki beberapa peluang opportunity yang memungkinkan terus dikembangkan. Peluang tersebut antara lain: pertama, perhatian dan antusiasme masyarakat sekitar sangat tinggi. Ini dibuktikan dari partisipasi masyarakat yang turut andil sebagai partisipan dan sponsor pelaksana di PSMP Handayani Jakarta. Partisipasi masyarakat diwujudkan dalam bentuk menitipkan anaknya yang nakal di PSMP. Di samping itu, sabagian anggotam masyarakat sekitar PSMP turut andil dalam membantu kelancaran program. Misalnya, memanfaatkan jasa keterampilan yang dimiliki warga belajar atau turut serta menjadi sponsor bengkel kerja magang warga belajar. Antusiame yang tinggi tersebut menjadi bekal dan fondasi pengembangan PSMP. Kedua, program pelatihan otomotif, teknik pengelasan, dan teknik pendingin merupakan bidang kerja yang aplikatif dan berkembang pesat di masyarakat yang pertumbuhannya sangat dinamis. Diharapkan dengan pemilihan materi latih pada bidang tersebut, warga belajar dapat memanfaatkannya ketika kembali ke masyarakat dan mampu bekerja atau embuka lahan usaha yang produktif. Ketiga, perhatian pemerintah daerah daerah dan pusat sangat tinggi. Perhatian tersebut berupa dukungan dana, manajemen, peralatan, dan personalia. Keempat, Kinerja PSMP Handayani Jakarta sangat baik sehingga mempunyai reputasi nasional dan daya tarik kepada masyarakat untuk turut serta berpartisipasi. Profil dan berbagai kesuksesan dalam menjalankan program, menjadi unggulan di mata masyarakat. Kelima, upaya untuk menjalin kerja sama dengan pihak lain, telah dirintis sejak dulu dan kini berjalan dengan berbagai instansi pemerintah maupun swasta dalam rangka pengembangan PSMP Handayani. Ancaman threat terhadap keberlangsungan PSMP, yang perlu diantisipasi di antaranya: pertama, keterbatasan dana operasional. Sementara ini, PSMP mengandalkan dana subsidi pemerintah yang pada tataran tertentu dana tersebut cukup memadai. Akan tetapi, pengembangan program yang lain memerlukan suntikan dana tambahan sehingga PSMP dapat melakukan pengembangan. Kedua, keterbatasan personalia, khususnya instruktur. Intrusktur yang diberdayakan selama ini adalah rekruetmen yang berstatus PNS, honorer, dan tenaga lapangan. Rekruetmen pada umumnya adalah alumni PSMP yang mempunyai keahlian tertentu. Dengan keterbatasan anggaran, maka pengembangan diri para personalia tersebut terbatas sehingga berimbas pula pada keterbatasan pengembangan programnya. C. Analisis Kebutuhan Model dan Pengembangan Model Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta 1. Analisis Kebutuhan Model Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta Analisis kebutuhan pengembangan model bermaksud memberikan gambaran mengenai strategi atau pendekatan dalam pengembangan model pendidikan kecakapan hidup di PSMP Handayani Jakarta sehingga dapat tergambarkan bentuk titik masuk atau aspek pelatihan di PSMP dan alternatif strategi pengembangannya. Pendekatan yang dilakukan dalam menetapkan titik masuk sebagai fokus peluang pengembangan model pendidikan kecakapan hidup ini menggunakan pendekatan kelembagaan. Dapat dipahami secara teoritis, apabila kita hendak memasuki dan memahami masyarakat hendaknya harus masuk dengan cara memilih fokus yang dipandang strategis dan mudah dimasukinya. Secara kelembagaan, terdapat dua peluang yang akan dijadikan kunci ke arah pengembangan model pendidikan kecakapan hidup di PSMP Handayani Jakarta, yaitu adanya peluang prospek usaha dan pengembangan potensi diri warga belajar di masyarakat dan pengembangan pada keterikatan antara warga belajar dengan lembaga PSMP dalam monitoring dan bimbingan terpadu kepada warga belajar setelah warga belajar selesai mengikuti pelatihan di PSMP. Namun dari hasil studi lapangan mengenai aspek peluang tersebut, berhasil diidentifikasi bahwa peluang tersebut merupakan salah satu alternatif program yang dipandang representatif dapat dikembangkan secara utuh dan berkesinambungan sustainable melalui studi ini. Peluang pengembangan ini dimaksudkan aspek- aspek pokok dari usaha lapangan masyarakat yang dipandang sebagai potensi yang dapat mendukung terhadap model pengembangan pendidikan kecakapan hidup yang akan diterapkan di PSMP Handayani Jakarta. Berdasarkan dua peluang untuk penggambaran model, yaitu lapangan usaha masyarakat dan jenis kelembagaan ekonomi PSMP, dapat diprediksi alternatif strategi pengembangan seperti apa yang akan diterapkan. Memperhatikan karakteristik dua kelembagaan di atas, yaitu: lapangan usaha masyarakat sekitar PSMP Handayani Jakarta dan lembaga pengembangan ekonomi, dihubungkan dengan karakteristik bidang keterampilan yang dapat dikembangkan dalam rangka pengembangan model pelatihan kecakapan hidup ini, maka strategi pengembangan yang dipandang tepat adalah melalui pelatihan dengan model sinergi belajar dan usaha. Merujuk pada analisis masalah model faktual yang dikemukakan pada bagian sebelumnya, bahwa perencanaan di PSMP kurang optimal, terutama berkenaan dengan aspek: penyusunan rencana program kegiatan; tes awal materi- materi program; perumusan tujuan kegiatanprogram; tidak ada rencana pelatihan dalam bentuk tertulis; tidak mempersiapkan proses evaluasi; dan penguasaan yang rendah nara sumber teknis tutor terhadap azas-azas pelatihan dengan sistem tutorial. Dengan demikian, pada aspek perencanaan menunjukkan perlunya ada sebuah perlakuan terapan bagi para warga belajar maupun nara sumber teknis PSMP tentang materi-materi yang berkaitan dengan masalah pendidikan khususnya berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan perencanaan program. Analisis kebutuhan model pelatihan kecakapan hidup pada aspek pelaksanaan ditunjukkan oleh adanya gejala yang kurang optimal. Diidentifikasi bahwa program pendidikan kecakapan hidup yang selama ini dilaksanakan di PSMP Handayani Jakarta mengandung kelemahan berkenaan dengan: penyampaian tujuan; pengemasan materi yang tidak dituangkan ke dalam modul yang sistematis; proses pelatihan hanyalah berupa pelatihan dan penguasaan keterampilan; dan proses pelatihan tidak menggunakan metode pelatihan yang integratif, yakni metode belajar dan usaha. Analisis kebutuhan model pelatihan kecakapan hidup pada aspek evaluasi ditunjukkan pula oleh aspek yang terkait dengan masalah: tidak adanya penduan evaluasi standar untuk mengukur keterampilan warga belajar, tidak adanya proses evaluasi intensif dan terukur selama kegiatan berlangsung, dan tidak dibuatkannya rencana kegiatan evaluasi secara terpadu. 2. Pengembangan Model Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta a. Rancangan Model Konseptual Pelatihan Kecakapan Hidup Rancangan model konseptual merupakan kerangka model yang hendak disusun ke dalam model yang lebih operasional dalam pelaksanaan uji coba model. Model pelatihan kecakapan hidup untuk meningkatkan kemandirian anak tunalaras dilaksanakan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Tujuan yang ingin dicapai dalam rancangan model konseptual yang akan dikembangkan dalam penelitian ini secara substansial meliputi tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang adalah membantu anak tunalaras untuk mengembangkan kemandirian diri sendiri dan kelompok dalam belajar, bekerja, dan berusaha secara berkelanjutan dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki warga belajar dan masyarakat dengan tetap memperhatikan pelestarian sumber daya alam dan lingkungannya. Kegiatan bimbingan dan pembinaan maupun bantuan terhadap kelompok sasaran yang ada dimaksudkan agar mereka warga belajar mampu berkembang menjadi insan yang mandiri serta berkelanjutan dalam mengembangkan usaha dengan sikap yang mandiri. Tujuan jangka pendek melalui pelatihan kecakapan hidup diharapkan agar anak tunalaras warga belajar yang berasal dari berbagai latar belakang memiliki kecakapan akademik dan kecakapan vokasional dalam mengembangkan potensi yang dimiliki untuk bekerja, mengelola, dan mengolah sumber daya yang ada dengan atau bersama orang lain sehingga menjadi usaha produktif. Desain pengembangan model pelatihan kecakapan hidup mengandung 7 tujuh tahapan yang diajukan dalam pengembangan model ini. Bila disajikan dalam bentuk narasi, ketujuh tahapan tersebut adalah: a. Fase kajian teori; landasan teori dan penyusunan desain; b. Fase penemuan model di lapangan praksis; c. Deskripsi sistem pelatihan kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta; d. Verifikasi Modelvalidasi ahli, praktisi dan uji coba terbatas; hasil validasi gagasan pengembangan model pelatihan kecakapan hidup, e. Implementasi Model treatment; f. Penerapan gagasan pengembangan model pelatihan kecakapan hidup, g. Hasil Implementasi dan dampak kemandirian; hasil pengembangan model pelatihan kecakapan hidup. Ketujuh fase di atas telah dideskripsikan pada bagian terdahuludalam desain penelitian. Bagian ini berupaya mengemukakan alur proses penelitian sebagai salah satu perwujudan dari proses menuju pada fase ke empat, yaitu verifikasi model, terutama validasi ahli dan praktisi. Diharapkan dengan adanya proses verifikasi dan validasi model, hasil penelitian ini memiliki pertanggungjawaban ilmiah yang tinggi. Pembahasan mengenai alur proses penelitian dan pengembangan model kecakapan hidup pada bagian ini menggambarkan mengenai implementasi atau pelaksanaan penelitian dan pengembangan model, sebagai bagian dari fase-fase yang telah dirancang dalam desain secara makro, pada bagian ini berupaya mendeskripsikan beberapa aspek. Alur proses atau tahapan studi lapangan dalam rangka penelitian dan pengembangan model pelatihan kecakapan hidup di PSMP Handayani Jakarta, merentang sejak dilakukannya studi lapangan tahap 1 sampai dengan berhasil diungkapkan hasil pengembangan modelnya itu sendiri. Bertitik tolak dari kondisi faktual anak tunalaras yang tergabung dalam PSMP Handayani Jakarta, serta analisis masalah, kebutuhan belajar dan karakteristik anak tunalaras, maka program kegiatan pelatihan berbasis kemandirian menjadi pertimbangan dalam mendesain model pelatihan kecakapan hidup. Model konseptual yang disusun dalam program kemandirian anak tunalaras melalui PKH ini secara umum sama dengan program-program pelatihan yang lain, yaitu terdiri dari tiga langkah pokok, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan diakhiri dengan penilaian. Berdasarkan tiga langkah pokok dalam model konseptual yang dikembangkan, dapat dijelaskan aspek-aspek komponen model pelatihan kemandirian anak tunalaras yang akan diujicobakan dan dikembangkan dalam penelitian ini. Adapun aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut : 1 Perencanaan Sistem perencanaan pelatihan kecakapan hidup berbasis kemandirian anak tunalaras disusun dengan pendekatan partsisipatif, sehingga melibatkan calon peserta, pekerja sosial peksos, dan instansi terkait untuk menetapkan berbagai hal yang terkait dengan perencanaan program. Perencanaan program yang dilakukan sejalan dengan konsep tujuan dan fungsi panti sosial. Tujuan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya. Panti Sosial sedikitnya memiliki ketiga fungsi tersebut. Namun demikian menurut Siahaan, yang dikutip oleh Tim Peneliti di Badan Pelatihan dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial Depsos RI 2003, sesungguhnya masih ada satu fungsi lagi yang ada dalam sebuah panti, yaitu fungsi pendidikan dan pelatihan. Menurutnya, hal itu mengingat bahwa dalam sebuah panti terdapat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, baik kepada klien secara langsung maupun kepada tenaga di luar Panti dalam meningkatkan kemampuan pelayanan kesejahteraan sosial. Sebagaimana yang dilakukan dalam pengembangan model pelatihan kecakapan hidup sebagai upaya peningkatan kemandirian anak tunalaras ini, tidak akan terjadi tumpang tindih baik dari sisi program maupun sasaran karena semua instansi yang terlibat terlebih dahulu telah melakukan koordinasi. Bentuk koordinasi yang dilakukan adalah sebelum kegiatan pelatihan berlangsung, terlebih dahulu dilakukan rapat kerja bersama yang dipimpin dan dihadiri oleh para pengurus dan pengelola panti. Hasilnya disepakati kalau program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup menjadi tanggung jawab bersama. Masing-masing instansi yang terlibat Depsos dan Depdiknas menyatakan kesediaannya untuk membantu dalam hal pengelolaan dan pembinaan lanjutan. Rancangan program pelatihan kecakapan hidup yang telah tersusun dan disepakati bersama ini terdiri atas tiga jenis kecakapan vokasional yaitu perbengkelan las, teknik pendingin, dan otomotif. Sebagaimana yang juga telah diungkapkan sebelumnya bahwa ketiga jenis kecakapan vokasional ini dilatihkan dalam satu paket pelatihan atau dalam waktu yang bersamaan. Pemisahannya dilakukan hanya pada saat pemberian materi teknis atau praktik, sedang saat acara pembukaan, pemberian materi umum dan acara penutupan tetap dilakukan bersama. Dalam menyususn rancangan pengembangan program pelatihan kecakapan hidup mengandung unsur-unsur yang dapat diuraikan sebagai berikut : a Tujuan Pelatihan Secara umum tujuan pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras di puast Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di PSMP Handayani adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya. Secara khusus, program PKH di PSMP Handayani bertujuan : a Meningkatkan kecakapan akademik dan kecakapan vokasional anak tunalaras yang dapat dijadikan mata pencaharian. b Menyebarluaskan kecakapan akademik dan kecakapan vokasional melalui peningkatan kecakapan hidup. c Menumbuhkembangkan kreatifitas masyarakat khususnya warga belajar tunalaras dalam memecahkan permasalahan dengan memanfaatkan potensi sumber daya dan kelembagaan masyarakat. d Untuk dapat memulihkan kondisi psikologis dan kondisi sosial serta fungsi sosial anak nakal sehingga mereka dapat hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat serta menjadi sumber daya manusia yang berguna, produktif dan berkualitas, serta berakhlak mulia. b Kelompok Sasaran Kelompok sasaran program ditetapkan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh PSMP Handayani yaitu anak nakal yang mempunyai kriteria sebagai berikut : a Anak nakal yang berusia 10-18 tahun dan belum menamatkan pendidikan dasar 9 tahun. Bagi mereka diberikan pelayanan pendidikan setaraf Sekolah Dasar SD dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP umum. b Anak nakal yang berusia 16-21 tahun dan minimal telah menamatkan pendidikan Sekolah Dasar SD. Bagi mereka diberikan bimbingan fisik, mental, sosial dan ketrampilan kerja. c Anak nakal yang berkonflik dengan hukum, meliputi : 1 Sedang dalam proses penyidikan oleh polisi. 2 Sedang dalam proses pengadilan jaksa penuntut umum. 3 Menjalani putusan hakim. 4 Setelah selesai menjalani pidana anak. c Sumber BelajarFasilitator Kriteria dan kualifikasi untuk Sumber Belajar SB yang direkrut untuk program pelatihan kecakapan hidup adalah sebagai berikut: a Berusia 20-50 tahun b Tingkat pendidikan minimal SMA c Alumni PSMP Handayani Jakarta. d Mampu menjalin kerja sama dan berkomunikasi dengan baik e Memiliki kemampuan membelajarkan dan melatih f Memiliki kecakapan vokasional vokasional sesuai yang diprogramkan d Kurikulum Identifikasi kebutuhan warga belajar menunjukkan ada 3 tiga aspek yang perlu dilakukan penguatan yaitu: a aspek personal, berupa ketidakmampuan anak tunalaras sebagai warga belajar dalam memecahkan masalah dan menyadari potensi yang dimilikinya; b aspek sosial, berupa keterbatasan anak tunalaras dalam hal kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga tidak mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya; dan c aspek vokasional, berupa keinginan anak tunalaras untuk menguasai kecakapan vokasional tertentu sehingga mampu menjadi manusia yang produktif dan mandiri. Dengan memperhatikan hasil identifikasi tersebut dan mempertimbangkan kondisi masyarakat maka disusun isi kurikulum yang difokuskan pada pengembangan kecakapan individu, kecakapan sosial, dan kecakapan vokasional. Berdasarkan fokus tersebut, maka disusun kriteria isi kurikulum pelatihan kecakapan hidup berbasis kemandirian sebagai berikut: a Strategi pelatihan kecakapan hidup dengan berbagai jenis kecakapan vokasional selalu diarahkan untuk menggali berbagai potensi yang ada di masyarakat setempat. b Menjadikan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari sebagai masukan pokok pengembangan kurikulum. c Pengelolaan usaha mandiri sebagai fokus materi pelatihan dengan penekanan pada pengembangan kemandirian. d Jenis kecakapan vokasional yang dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar dan permintaan pasar. Untuk tema kurikulum, hal-hal yang dikemukakan mencakup: 1 Kecakapan akademik tentang jenis-jenis keterampilan; 2 Kecakapan akademik tentang pembentukan dan strategi pengelolaan usaha; 3 Kecakapan akademik tentang pengelolaanproses perbengkelan dan jasa; 4 Kecakapan akademik tentang pemasaran; 5 Kecakapan akademik tentang pengelolaan keuangan; 6 Kecakapan akademik tentang pengelolaan organisasikelompok yang terlibat dalam kegiatan usaha; dan 7 Kecakapan akademik tentang pengelolaan jiwa kepemimpinan dalam menjalankan usaha bersama. e Bahan Ajar dan Latihan Bahan ajar yang dikembangkan untuk program pelatihan semuanya dituangkan dalam bentuk diktatmodul yang mencakup bahan ajar kegiatan kecakapan vokasional dan usaha bersama. Secara rinci, bahan ajar ini mencakup: a Modul pelatihan seri kegiatan kewirausahaan tentang proses pelayanan servis dan jasa. b Modul pelatihan seri kewirausahaan tentang Kepemimpinan, Sumberdaya Manusia SDM dan Pengelolaan Keuangan. c Modul kecakapan vokasional bidang perbengkelan Las, teknik pendingin, dan otomotif. f Media Pelatihan Keterampilan Media pelatihan yang dipergunakan adalah alat tulis, modul dan bahan-bahan praktik. g Metode Pelatihan Keterampilan Pendekatan yang digunakan dalam pengembangan model pelatihan kecakapan hidup adalah pendekatan andragogi, partisipatoris dengan metode ceramah, diskusi, kerja kelompok dan praktik. h Waktu dan Tempat Pelatihan Kegiatan pelatihan dilangsungkan selama dua minggu atau 12 hari penuh dari tgl 14 Februari - 28 Maret 2008. Kegiatannya dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pada uji coba tahap pertama selama 6 hari dan uji coba tahap kedua juga 6 hari dengan jumlah jam pelajaran sebanyak 96 jam 45 menit. i Evaluasi Akhir Pelatihan Evaluasi pelatihan kecakapan vokasional dilakukan dengan a evaluasi prapelatihan b evaluasi proses pelatihan, dan c evaluasi akhir pelatihan. Pada dasarnya, evaluasi dilakukan pada aspek-aspek a kemampuan memahami materi dan b kemampuan mempraktikkan.

b. Pelaksanaan

Pelibatan berbagai pihak dalam proses pelatihan kecakapan vokasional menjadi penting dalam pelatihan, misalnya antara lain: lembaga pemerintah daerah melalui dinasinstansi teknis terkait, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Disnakertrans, sumber belajarfasilitator, tokoh masyarakat dan para kader organisasi kemasyarakatan. Kerja sama berbagai pihak sesungguhnya sangat diperlukan dalam program pelatihan kecakapan hidup, yaitu sejak perencanaan program sampai evaluasi program pelatihan, termasuk kegiatan monitoring, dan pembinaan berkelanjutan. Keterlibatan mereka dalam kegiatan evaluasi pelatihan kecakapan vokasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan satu program pelatihan kecakapan hidup. Dalam banyak hal, pemantauan pasca kegiatan pelatihan terabaikan yang disebabkan berbagai alasan, antara lain tidak tersedianya anggaran atau terbatasnya sumber daya manusia Sumber Belajar dan atau tenaga pendamping yang bertanggung jawab pada program pelatihan. Dalam pelatihan yang menganut sistem pelatihan orang dewasa, yaitu anak tunalaras sebagai warga belajar sehingga kemampuan dalam penguasaan materi selama proses dan setelah kegiatan berakhir sesungguhnya dapat diketahui oleh warga belajar sendiri.

c. Evaluasi

Evaluasi model pelatihan kecakapan hidup lebih mengedepankan pada kerja sama untuk mengetahui keberhasilan pencapaian program pelatihan kecakapan vokasional oleh warga belajar. Evaluasi pelatihan kecakapan vokasional dilakukan secara bersama-sama, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil program pelatihannya. Evaluasi proses dilakukan terhadap warga belajar, terdiri dari motivasi belajar, kerja sama, dan partisipasi warga belajar dalam proses pelatihan. Bagi sumber belajarfasilitator evaluasi tersebut bermanfaat untuk memperbaiki dan meningkatkan unjuk kerja performance sebagai pembelajar atau warga belajar, antara lain terkait dengan penguasaan materi, penggunaan media dan bahan pelatihan, metode dan fasilitassarana pelatihan, serta bimbingan selama proses pelatihan. Sedangkan evaluasi akhir pelatihan dilakukan untuk mengetahui penguasaan materi pelatihan oleh warga belajar teori dan praktik. Evaluasi pasca penyelenggaraan program pelatihan kecakapan hidup selain dilakukan oleh peneliti juga melibatkan beberapa petugas atau sumber belajar sekaligus melakukan pemantauan monitoring. Kegiatan para petugas tersebut adalah untuk melakukan pemantauan pada kemandirian warga belajar yang telah mengikuti program pelatihan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kontribusi penerapan model pelatihan kecakapan hidup dalam menguasai kecakapan vokasional vocational skills untuk meningkatkan kemandirian anak tunalaras warga belajar, kesejahteran, dan taraf hidup mereka. Model konseptual pelatihan kecakapan hidup yang dikembangkan dan mengacu pada pendekatan pelatihan orang dewasa adult learning ini, dalam perspektif Pendidikan Luar Sekolah program pelatihan tersebut diimplementasikan melalui pendekatan partisipatif dan kolaboratif. Pendekatan ini juga berlaku dalam program pembinaan lanjutan setelah mereka memiliki kecakapan vokasional dan usaha. Sedangkan secara substansial pengembangan model pada program pelatihan yang dikembangkan mengarah pada munculnya kepercayaan yang melekat pada warga belajar untuk mengatur diri dalam menjalankan tugas sehari-hari karena menyadari telah memiliki kemampuan yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan. Secara umum, walaupun dalam pelatihan kecakapan hidup lebih menekankan pada penguasan kecakapan vokasional praktis, namun tidak mengabaikan aspek kecakapan akademik secara teoretis. Dalam pelatihan kecakapan vokasional orang dewasa kegiatan belajar kecakapan vokasional praktis akan menarik bilamana materi yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan dengan metode pelatihan yang menarik pula. Karena itu model belajar dengan learning by doing dan metode pemecahan masalah problem solving methods adalah motode-metode yang dianggap sangat tepat bagi warga belajar. Untuk itu, metode pelatihan kecakapan hidup juga akan menarik dan bermakna bagi warga belajar bilamana terdapat kesesuaian antara materi dengan jenis kecakapan vokasional yang dipilih atas dasar kebutuhan nyata kelompok sasaran program calon warga belajar melalui kesepakatan bersama. Berdasarkan analisis hasil studi eksplorasi dan analisis kebutuhan belajar anak tunalaras sebagai warga belajar, pengembangan model pelatihan kecakapan hidup dalam penelitian ini mencakup beberapa hal, di antaranya sebagai berikut: Pertama, deskripsi model pelatihan yang dikembangkan akan mencoba menggambarkan pelatihan kecakapan hidup sebagai sistem, konsep, program dan pendekatan. Dalam penelitian ini, pelatihan kecakapan hidup dipandang sebagai penguatan untuk kemandirian anak tunalaras sebagai warga belajar. Selain itu, dipaparkan juga mengenai pengembangan media dan bahan materi pelatihan menggunakan sistem penghantaran secara terintegrasi. Kedua, memaparkan potensi-potensi sumber daya yang ada di masyarakat SDA, SDM dan nilai budaya, yang menjadi basis dan sumber pelatihan warga belajar dalam rangka untuk memperoleh sumber penghasilan atau pendapatan. Sebagian sumber daya lokal dipilih atas dasar keunggulan-keunggulan komparatif dengan pertimbangan potensi ekonomi pedesaan dan perkotaan yang diarahkan kepada pelatihan ekonomi yang mampu memberikan nilai tambah. Ketiga, untuk menyosialisasikan konsep pelatihan kecakapan hidup bagi warga belajar, perlu dipilih jenis-jenis usaha ekonomi produktif melalui pengembangan model yang akan diujicobakan. Pelatihan jenis-jenis kecakapan vokasional usaha ekonomi produktif bagi kelompok warga belajar dalam penelitian dan pengembangan model pelatihan ini terbatas pada pengelolaan dan pelayanan di bidang jasa. Keempat, proses perancangan program dan bahan belajar yang menggambarkan tentang langkah-langkah kegiatan apa yang dilakukan, dengan dan bersama siapa merancang dan melaksanakan program pelatihan serta bahan belajar apa yang sebaiknya dikembangkan. Dalam proses ini, tidak lupa juga memperhatikan karakteristik warga belajar anak tunalaras sebagai kelompok sasaran, bagaimana prosesnya, apa metode dan keluaran produk yang dihasilkan. Kelima, proses kemandirian anak tunalaras melalui model pelatihan kecakapan hidup menggambarkan bagaimana memproses antara instrumen input, environment input, dan other input yang disepakati bersama untuk menghasilkan output serta outcomes, serta untuk mengetahui keberhasilan pelatihan terhadap kelompok sasaran. Peran dan tugas-tugas fasilitator dan kelompok sasaran akan dikembangkan ke dalam aktifitas pelatihan keterampilan. Pengorganisasian warga belajar dan bahan belajar, penggunaan motode pelatihan serta bimbingan lanjutan menjadi bagian yang terintegrasi dalam model pelatihan kecakapan hidup dengan pendekatan partisipatif dan kolaboratif. Program pelatihan melalui model pelatihan kecakapan hidup bukanlah suatu produk final bagi program kemandirian anak tunalaras dalam upaya mengatasi masalah ekonomi. Atas pertimbangan dan alasan tersebut, rancangan model konseptual yang disusun mempertimbangkan beberapa kemungkinan yang diperkirakan akan terjadi dan menjadi hambatan dalam proses penelitian dan pengembangan model, baik yang bersifat internal bersumber dari diri peneliti sendiri, seperti keterbatasan kemampuan dan pemahaman antara lain: menjustifikasi secara akurat fenomena-fenomena sosial terhadap model-model pelatihan yang relatif beragam dan berubah, maupun eksternal bersumber dari peneliti, seperti administratif dan kondisi lapangan. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah persiapan yang dapat mengeliminir hambatan yang bakal terjadi, sehingga perlu adanya antisipasi dalam implementasinya.

b. Validasi dan Revisi Rancangan Model Konseptual

Kegiatan validasi dilakukan setelah rancangan model konseptual selesai disusun. Dalam upaya mendapatkan model akhir, model konseptual yang telah disusun masih perlu mendapatkan perbaikan dan penyempurnaan dengan mendengarkan masukan dan pandangan dari kalangan pakar Pendidikan Luar Sekolah dan pakar pelatihan serta praktisi program pelatihan. Secara khusus, juga diminta masukan dari praktisi baik dari Dinas Sosial dan Diknas Jakarta untuk visualisasi model sehingga menjadi visualisasi yang mudah dipahami dan menarik. Langkah selanjutnya dari hasil penelitian dengan prosedur penelitian dan pengembangannya, dilakukan diskusi dengan teman sejawat dan pihak yang terlibat dalam program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan. Diskusi dilakukan dengan cara memberikan rancangan model konseptual pelatihan yang akan dikembangkan dan bahan belajar yang akan digunakan dalam pelatihan untuk diberi catatan perbaikan dan penyempurnaan. Hasil diskusi dengan para pakar dan praktisi disusun dan dikompilasikan sebagai bahan untuk berdiskusi dan mengadakan pembahasan dengan nara sumber lain agar semakin menyempurnakan dan memperbaiki model tersebut. Dalam penelitian ini, dilakukan dua tahapan pengujian validasi, yakni teoritik dan empirik. Berikut ini beberapa masukan yang penting dari nara sumber.

a. Penilaian Ahli terhadap Rancangan Model konseptual

Beberapa masukan penting dari nara sumber terhadap model yang akan dikembangkan, antala lain sebagai berikut: 1 Model pelatihan kecakapan hidup cukup memadai dan sesuai dengan kebutuhan dalam rangka meningkatkan kemandirian anak tunalaras; 2 Model pelatihan kecakapan hidup selain memerlukan pelibatan berbagai pihak, juga memerlukan pendekatan yang tepat sehinga bisa dijalin kerjasama sejak dari mulai pelatihan sampai kegiatan berusaha; 3 Model pelatihan kecakapan hidup yang dibangun khusus bagi anak tunalaras harus selalu direncanakan dari bawah dengan melibatkan calon warga belajar; 4 Model yang diajukan ini cukup memadai dan dapat menjadi panduan para fasilitatortutor dan pendamping dalam melakukan tugas pembinaan kecakapan vokasional kepada anak tunalaras; 5 Sistem dan proses perencanaan program, pendekatan, media, materi serta metode pelatihannya cukup memadai dengan prinsip kecakapan hidup, pendekatan partisipatif sebagai upaya kemandirian anak tunalaras; 6 Model ini dapat diterima karena proses kemandirian anak tunalaras dilakukan dengan basis masyarakat atau memanfaatkan sebagian sumber daya lokal alam, manusia dan budaya setempat; 7 Model ini dimungkinkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat umumnya dan kelompok gabungan anak tunalaras khususnya dalam hal pelatihan keterampilan; 8 Model ini dapat memberikan penguatan terhadap model pelatihan yang telah ada, khususnya dalam program pelatihan ekonomi masyarakat yang selama ini kurang memperoleh penekanan dalam melakukan identifikasi dan penentuan prioritas kebutuhan belajar masyarakat; dan 9 Sistematika dan visualisasi, serta kerangka bahan belajar untuk pelatihan kecakapan hidup melalui pelatihan sebagai upaya kemandirian anak tunalaras sudah sesuai. Komentar yang diberikan nara sumber memberikan penekanan pada empat hal, yaitu: 1 rancangan model, media pelatihan, pemanfaatan sumber daya lokal yang terkait dengan pelatihan kecakapan hidup, dan relevansinya dengan kebutuhan anak tunalaras; 2 kerangka pikir, isi sistematika, alur dan visualisasi model; dan 3 proses pengelolaan pelatihan; serta 4 bahan dan sumber belajar. Beberapa hal yang perlu direvisi dari model pelatihan kecakapan hidup bagi anak tunalaras berdasarkan masukan dari para ahli adalah 1 visualisasi model dalam bentuk gambar disesuaikan dengan aspek-aspek komponen model pelatihan kecakapan hidup supaya lebih spesifik; 2 arah program pelatihan kecakapan hidup lebih ditekankan pada usaha untuk membangun kemandirian anak tunalaras sehingga memiliki nilai tambah dalam pemberdayaannya; dan 3 pelatihan kecakapan hidup lebih ditekankan pada vocational skills, Beberapa masukan yang berasal dari nara sumber pada model konseptual pelatihan kecakapan hidup untuk meningkatkan kemandirian anak tunalaras, kemudian dijadikan bahan perbaikan dan penyempurnaan, terutama terkait dengan pelatihan kecakapan hidup yang lebih ditekankan pada “vocational skills” dan pembentukan kemandirian.

b. Penilaian Praktisi terhadap Rancangan Model Konseptual

Komentar praktisi terhadap model konseptual yang akan dikembangkan lebih memberikan penekanan pada tiga hal, yaitu: 1 model, khususnya relevansinya dengan kebutuhan anak tunalaras yang terkait dengan memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental, sosial dan pelatihan keterampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut bagi anak nakal agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan; 2 evaluasi dan monitoring; dan 3 bahan belajar sebagai panduan warga belajar dan fasilitatorpembimbing. Beberapa hal yang perlu direvisi dari model ini berdasarkan masukan dari para praktisi adalah memperbaiki kekurangan dalam menentukan jenis-jenis kecakapan vokasional terapan yang ekonomis disesuaikan dengan kebutuhan belajar yang dipilih dan disepakati oleh calon warga belajar dengan mempertimbangkan potensi setempat dan yang mungkin disediakan termasuk fasilitasperalatan praktik dan media pelatihan yang dibutuhkan dalam pelatihan.

c. Tanggapan Warga Belajar terhadap Desain Model Konseptual

Tanggapan terhadap rancangan model konseptual pelatihan kecakapan hidup terutama ditujukan dan diharapkan datang dari para anak tunalaras calon warga belajar yang dijadikan peserta dalam penelitian ini. Komentar calon warga belajar terhadap model konseptual yang akan dikembangkan dalam penelitian ini lebih memberikan penekanan pada tiga hal, yaitu: 1 kesesuaian model pelatihan kecakapan hidup dengan kebutuhan belajar dan potensi sumber daya yang ada di daerah; 2 bahan belajar yang mereka butuhkan; 3 fasilitatorsumber belajar, dan pembimbing. Rancangan model konseptual terlebih dahulu direvisi berdasarkan beberapa masukan yang diberikan para pembimbing, para ahli di luar pembimbing, para praktisi pelatihan PLS, dan calon warga belajar sehingga dihasilkan sebuah model konseptual yang siap untuk diimplementasikan. Sebagaimana diungkapkan dalam bab III, bahwa model pengembangan penelitian dilakukan dalam dua kegiatan I dan II. Hasil model konseptual dari pengembangan penelitian yang dilakukan pada kegiatan I, setelah divalidasi dan direvisi atau yang siap untuk diimplementasikan dapat dilihat pada gambar 4.5 sebagai berikut. Model konseptual lihat di file gambar model Gagasan model pelatihan kecakapan hidup dilatarbelakngi oleh beberapa masalah yang muncul sebagai hasil kajian lapangan melalui observasi dan studi lapangan. Permasalahan pertama berkenaan dengan input warga belajar. Warga belajar pada pelatihan kecakapan hidup berasal dari Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Mereka datang dari berbagai daerah lengkap dengan berbagai latar belakangnya. Karakteristik utama warga belajar tersebut adalah: 1 mereka mempunyai penyimpangan perilaku; 2 memiliki permasalahan dalam belajar; 3 membutuhkan pendidikan khusus; dan sebagainya. Permasalahan kedua, berkenan dengan kompetensi vokasional yang rendah. Kompetensi vokasional warga belajar tersebut hanya berkenaan dengan keterampilan yang berhubungan dengan keperluan hidup yang kurang produkif. Kompetensi vokasional yang produktif harus dimiliki oleh warga belajar agar mereka mampu memenuhi kebutuhannya sendiri secara ekonomi bahkan mampu mandiri secara wirausaha. Permasalahan ketiga berkenaan dengan latar belakang ekonomi yang beragam tetapi pada umumnya berasal dari kalangan ekonomi kurang mampu. Latar belakang ekonomi menjadi fokus perhatian penulis sebagai bahan kajian penyusunan model karena berhubungan langsung dengan tujuan dan dampak pengembangan model pelatihan kecakapan hidup. Tujuan akhir model ini adalah terbentuknya warga belajar yang memiliki kecakapan hidup dan kemandirian. Kondisi ekonomi yang kurang tentu akan berpengaruh pada karakteristik warga belajar dalam berbagai sudut pandang. Permasalahan berikutnya berkenan dengan perencanan, pelaksanaan, evaluasi, dan sumber belajar tutor juga yang kurangmemahami azas-azas pelaksanaan pelatihan. Keempat aspek tersebut tidak dikelola denganbaik layaknya kegiatan pelatihan yang harus disusun dan silaksanakan dengan sistematis. Beberapa permasalahan dan latar belakang tersebut menjadi dasar pemikiran penulis dalam mengembangkan model konseptual pelatihan kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Latar belakang tersebut menjadi dasar penyusunan program dan dasar penyusunan teknis pelatihan kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Program pelatihan berkenaan dengan pengembangan pada aspek: kurikulum, pendekatan, dan tujuan. Kurikulum yang dikembangkan dalam pelatihan kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta adalah kurikulum terintegratif. Kurikulum ini merupakan sebuah program kerja yang dikembangkan berdasarkan aspek-aspek unsur-unsurnya secara terintegrasi yakni: kemandirian secara fisik, mental, dan sosial; pengembangan sarana dan prasarana pendukung pelatihan, uraian waktu, teknik evaluasi, dan sebagainya. Pendekatan yang dikembangkan adalah pendekatan pelatihan partisipatif. Pendekatan ini sangat cocok diterapkan pada anak tunalaras karena anak tunalaras memiliki penyimpangan perilaku yang berbeda dari anak biasa sehingga keterlibatan emosi dan sosialnya harus dikontrol. Pendekatan partisipatif mampu mengakomodasi karakteristik anak tunalaras sehingga memungkinkan mereka aktif dan turut berperan serta dalam pelatihan. Tujuan pelatihan adalah agar anak tunalaras memiliki kecakapan vokasional. Kecakapan vokasional yang dikembangkan melalui pelatihan ini adalah kecakapan di bidang otomotif, teknik pengelasan, dan teknik pendingin. Pada aspek teknis pelatihan berkenaan dengan manajemen, proses belajaran mengajar pelatihan, dan evaluasi serta pengembangannya. Manajemen berkenaan dengan tata laksana pelatihan. Manajemen yang dimaksud adalah manajemen dalam bidang: tata rancang personal, tata rancang materi pelatihan, tata rancang sarana dan prasarana, tata rancang keuangan, dan sebagainya. PBM berkenaan dengan teknik proses pelatihan. Evaluasi dan pengembangannya berkenaan dengan teknik penentuan model evaluasi, jenis evaluasi, instrumen evaluasi, dan teknik pengukurannya. Seluruh paparan di atas merupakan pengembangan tahap perencanaan pelatihan. Tahap perencanaan ini akan menjadi landasan pelaksanaan pelatihan. Proses pelatihan kecakapan hidup dikembangkan berdasarkan beberapa unsur yang turut berpengaruh pada pelaksanaannya. Pertama, pemberian tes awal. Tes awal diterapkan untuk mengetahui kemampuan awal warga belajar yang berkenaan dengan materi pelatihan yanag akan disampaikan. Melalui tes awal titik tolak materi akan dikembangkan sesuai dengan hasilnya. Proses pelatihan juga dipengaruhi oleh proses bimbingan fisik, mental, dan sosial yang sudah menjadi program kerja Panti Sosial. Bimbingan tersebut biasanya dilaksanakan pada pagi hari dan malam hari. Secara khusus, faktor lingkungan juga turut mempengaruhi input warga belajar. Faktor-faktor tersebut adalah: lingkungan sekitar, keluarga, ekonomi, dan sebagainya. Faktor tersebut merupakan faktor bawaan yang tidak dapat dilepaskan pada diri warga belajar. Proses pelaksanaan pelatihan diakhiri oleh pemberian tes akhir yang merupakan salah satu cara yang paling efekif untuk menguji keberhasilan pelatihan lebih jauh lagi keberhasilan rancangan model. Seluruh pelaksanaan tersebut merupakan tahap pelaksanaan model atau kegiatan inti. Gambaran pelaksanaan pelatihan tersebut pun dapat dijadikan dasar dalam merevisi program kegiatan. Revisi diperlukan pada saat menemukan bagian- bagian pelatihan yang kurang optimal. Proses pelatihan kecakapan hidup diharapkan mampu membentuk warga belajar memiliki kemandirian secara fisik, mental, dan sosial. Di samping itu, diharapkan juga dapat membentuk warga belajar yang memiliki kecakapan hidup akademik, vokasional, sosial, dan personal. Semua karakteristik warga belajar yang menjadi tujuan pelatihan tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan evaluasi. Hasil evaluasi perancangan pelatihan tersebut dapat mejadi dasar pengembangan model pelatihan kecakapan hidup. Pengembangan dapat dilakukan melalui pemberdayaan warga belajar ke bengkel-bengkel yang sudah menjalin kerja sama, mendirikan koperasi, dan sebagainya. Paparan model pelatihan tersebut merupakan dasar bagi pelaksanaan pelatihan tahap implementasi model.

C. Implementasi Model Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial

Marsudi Putra Handayani Jakarta 1. Uji Coba Model Tahap I Kegiatan implementasi uji coba model pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras dilakukan melalui dua tahap. Pada uji coba tahap 1, sumber belajartutor yang didampingi peneliti lebih aktif dalam memberikan atau menyampaikan materi baik teori maupun praktik kepada warga belajar selama berlangsungnya kegiatan uji coba. Kegiatan ini dilakukan selain untuk mengetahui hasil atau kesesuaian antara konsep dengan penerapannya, juga untuk melihat kemungkinan adanya kelemahan dan hambatan yang akan segera diperbaiki. Pada uji coba tahap 2, sumber belajartutor mengurangi perannya dalam kegiatan proses pelatihan. Sumber belajar yang tetap didampingi peneliti lebih banyak melakukan pengamatan atau sebagai pemantau dan hanya sesekali memberikan arahan bila dianggap masih ada kegiatan dari warga belajar yang masih kurang sesuai. Pada tahap kedua ini lebih diarahkan agar setiap warga belajar memiliki kemandirian dan pengalaman langsung dalam melakukan setiap kegiatan.

a. Persiapan

Pada tahap persiapan, yaitu sebelum model konseptual diujicobkan atau diimplementasikan, lagkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, melakukan diskusi dengan calon warga belajar yang diikuti oleh aparatur Dinas Sosial Kota Jakarta sebagai pengelola pekerja sosial, orang tua asuh, dan instruktur. Fokus diskusi membahas tentang masalah-masalah sosial- ekonomi, termasuk masalah pendidikan anak tunalaras, pelatihan yang efektif, jalinan kerja sama dengan pihak luar para penguasaha atau pemilik bengkel, dan potensi-potensi ekonomi yang mungkin dan dapat dikembangkan. Kedua, penentuan jensi-jenis kecakapan vokasional praktis yang dijadikan materi pelatihan sesuai dengan kebutuhan belajar calon warga belajar pada program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup. Ketiga, melakukan koordinasi dengan pengelola Panti Asuhan Marsudi Putra Handayani Jakarta, dalam hal ini ditujukan pada upaya menjalin kerja sama dan penguatan kelembagaan untuk mendukung pengembangan program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup. Keempat, penyiapan bahan belajar. Materi-materi pelatihan yang dimasukan dalam program pelatihan keterampilan, disusun dalam bentuk bahan belajar berdasarkan kebutuhan belajar calon warga belajar. Penyiapan materi- materi bahan belajar dilakukan mulai bulan Juli sampai Agustus 2008. Peyusunan bahan belajar tertulis dilakukan melalui kerja sama dengan beberapa instansi terkait, khususnya Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan Kota Jakarta yang berkedudukan sebagai praktisi dalam penyusunan model bahan belajar. Setelah melalui diskusi dan validasi, selanjutnya bahan belajar diperbanyak sesuai dengan kebutuhan program pelatihan kecakapan hidup. Kelima, penetapan nama calon warga belajar yang akan mengikuti pelatihan kecakapan hidup. Jumlah seluruh warga belajar pelatihan sebanyak 60 orang. Keenampuluh warga belajar tersebut terbagi menjadi tiga kelompok, yakni 25 orang warga belajar kelompok kecakapan vokasional otomotif, 18 orang warga belajar kelompok kecakapan vokasional pengelasan, dan 17 orang warga belajar teknik pendingin. Keenam, penetapan waktu dan tempat pelatihan. Sebelum kegiatan pelatihan diselenggarakan, terlebih dahulu peneliti mengadakan pertemuan dengan tutorfasilitator, dan perwakilan calon warga belajar Dari pertemuan tersebut disepakati program dan jadwal kegiatan pelatihan untuk uji coba model tahap I, sekaligus menyepakati jenis-jenis kecakapan vokasional yang akan dipelajari dan menentukan tempat penyelenggaraan program pelatihan. Kegiatan program pelatihan pada tahap I disepakai mulai tanggal 14 sampai 28 Pebruari 2008. Ketujuh, persiapan peralatan pelatihan dan pelatihan, mediabahan pelatihan yang dibutuhkan dalam pelatihan, selain disiapkan sendiri oleh peneliti, juga disiapkan oleh PSMP, dan fasilitator.

b. Pelaksanaan

Sebelum pelaksanaan eksperimen terlebih dahulu dilakukan tes awal pretest kepada warga belajar sebagai subyek penelitian. Fokus tes yang dilakukan secara tertulis hanya berorientasi pada dimensi pelatihan keterampilan. Setelah warga belajar diberikan perlakuan dengan model program pelatihan kecakapan hidup selanjutnya dilakukan tes akhir posttest . Pemberian pretes, dilakukan secara tertulis, observasi, dan dengan wawancara kepada seluruh warga belajar yang telah dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok pengelasan, kelompok teknik pendingin, dan kelompok teknik otomotif. Materi yang diujicobakan berupa kegiatan praktik, dan aspek yang diwawancarakan berkisar pada kemampuan awal atau yang telah dikuasai dari masing-masing jenis kecakapan vokasional yang mereka ikuti. Materi pretes yang diberikan kepada tiap kelompok terdiri dari materi kecakapan akademik sebanyak 15 item, materi kecakapan vokasional sebanyak 15 item, materi kecakapan personal sebanyak 15 item, dan materi kecakapan sosial sebanyak 15 item. Penilaian keempat aspek kecakapan tersebut dilakukan dengan menggunakan pilihan berganda. Setiap item yang benar diberi skor 1 dan salah dengan skor 0, serta benar semua diberi skor 15 100. 1 Kelompok Teknik Otomotif Secara umum hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata seluruh warga belajar masih belum mengetahui sepenuhnya dan memerlukan pendalaman dari masing-masing materi kecakapan akademik otomotif yang mereka butuhkan. Kekurangan ini dibuktikan dari 15 item soal tertulis yang diberikan kepada warga belajar hanya mampu memperoleh nilai rata- rata sebelum pelatihan sebesar 7,60 yang menunjukkan nilai minimum sebesar 7, dan nilai maksimum 9. Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata- rata sebesar 7,28 nilai minimum 6 dan maksimum 9. Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam menggali dan menemukan informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara kreatif yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,56 nilai minimum 7 dan maksimum 8. Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam berkomunikasi dan bekerja sama yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,56 nilai minimum 6 dan maksimum 9. Secara rinci hasil pretes kecakapan hidup otomotif dari keempat aspek kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial pada tahap I terhadap 25 warga belajar yang mengikuti jenis kecakapan vokasional dapat dilihat dalam tabel 4.6 berikut: TABEL 4.6 DATA HASIL PRETES KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 7 46.67 8 53.33 8 53.33 8 53.33 2 7 46.67 8 53.33 8 53.33 7 46.67 3 7 46.67 8 53.33 7 46.67 7 46.67 4 7 46.67 8 53.33 7 46.67 7 46.67 5 7 46.67 6 40.00 7 46.67 8 53.33 6 8 53.33 6 40.00 8 53.33 8 53.33 7 7 46.67 7 46.67 8 53.33 8 53.33 8 8 53.33 7 46.67 7 46.67 7 46.67 9 7 46.67 6 40.00 7 46.67 7 46.67 10 8 53.33 7 46.67 8 53.33 7 46.67 11 8 53.33 6 40.00 8 53.33 8 53.33 12 9 60.00 7 46.67 8 53.33 8 53.33 13 9 60.00 8 53.33 8 53.33 8 53.33 1 2 3 4 5 6 7 8 9 14 8 53.33 8 53.33 7 46.67 8 53.33 15 8 53.33 7 46.67 7 46.67 8 53.33 16 7 46.67 8 53.33 7 46.67 7 46.67 17 7 46.67 8 53.33 7 46.67 9 60.00 18 8 53.33 7 46.67 7 46.67 9 60.00 19 7 46.67 7 46.67 8 53.33 9 60.00 20 7 46.67 7 46.67 8 53.33 6 40.00 21 8 53.33 8 53.33 8 53.33 7 46.67 22 8 53.33 8 53.33 8 53.33 8 53.33 23 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67 24 8 53.33 7 46.67 8 53.33 6 40.00 25 7 46.67 7 46.67 8 53.33 7 46.67 Jumlah 190 1266.67 182 1213.333 189 1260 189 1260 Rata- rata 7.60 50.67 7.28 48.53 7.56 50.40 7.56 50.40 2 Kelompok Teknik Pengelasan Hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata seluruh warga belajar masih belum mengetahui sepenuhnya dan memerlukan pendalaman dari masing-masing materi teknik pengelasan. Kekurangan ini dibuktikan dari 15 item soal tertulis yang diberikan kepada warga belajar hanya mampu memperoleh nilai rata-rata sebelum pelatihan sebesar 7,61 yang menunjukkan nilai minimum sebesar 7 dan nilai maksimum 8. Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan praktis yang berkenaan dengan pengelasan walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,28 nilai minimum 6 dan maksimum 8. Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam menggali dan menemukan informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara kreatif yang berkenaan dengan pengelasan walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,44 nilai minimum 7 dan maksimum 8. Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam berkomunikasi dan bekerja sama yang berkenaan dengan tekinik pengelasan walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,33 nilai minimum 7 dan maksimum 8. Secara rinci hasil pretes kecakapan hidup teknik pengelasan dari keempat aspek kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial pada tahap I terhadap 18 warga belajar yang mengikuti jenis kecakapan hidup dapat dilihat dalam tabel 4.7 berikut. TABEL 4.7 HASIL PRETES KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 7 46.67 8 53.33 8 53.33 8 53.33 2 8 53.33 8 53.33 8 53.33 7 46.67 3 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67 WB Jumlah Skor WB Jumlah Skor WB Jumlah Skor WB Jumlah Skor WB 4 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67 5 8 53.33 6 40.00 7 46.67 8 53.33 6 8 53.33 8 53.33 8 53.33 8 53.33 7 7 46.67 7 46.67 8 53.33 8 53.33 8 8 53.33 7 46.67 7 46.67 7 46.67 9 7 46.67 6 40.00 7 46.67 7 46.67 10 8 53.33 7 46.67 8 53.33 7 46.67 11 8 53.33 6 40.00 8 53.33 7 46.67 12 7 46.67 7 46.67 8 53.33 7 46.67 13 7 46.67 8 53.33 8 53.33 7 46.67 14 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67 15 8 53.33 7 46.67 7 46.67 8 53.33 16 7 46.67 7 46.67 7 46.67 7 46.67 17 7 46.67 7 46.67 7 46.67 8 53.33 18 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67 Jumlah 137.00 913.33 131.00 873.33 134.00 893.33 132.00 880.00 Rata-rata 7.61 50.74 7.28 48.52 7.44 49.63 7.33 48.89 3 Kelompok Teknik Pendingin Pada kelompok teknik pendingin, secara umum hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata tidak jauh berbeda dengan kecakapan vokasional lainnya. Seluruh warga belajar masih belum mengetahui sepenuhnya dan memerlukan pendalaman dari masing-masing materi kecakapan vokasional teknik pendingin yang mereka butuhkan. Kekurangan ini dibuktikan dari 15 item soal tertulis yang diberikan kepada warga belajar hanya mampu memperoleh nilai rata-rata sebelum pelatihan sebesar 7,88 yang menunjukkan nilai minimum sebesar 7 dan nilai maksimum 8. Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata- rata sebesar 7,76 nilai minimum 7 dan maksimum 9. Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil menggali dan menemukan informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara kreatif yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,71 nilai minimum 7 dan maksimum 9. Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil dalam berkomunikasi dan bekerja sama yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai awal rata-rata sebesar 7,59 nilai minimum 7 dan maksimum 9. Secara rinci hasil pretes kecakapan hidup teknik pendingin dari keempat aspek kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial pada tahap I terhadap 17 warga belajar yang mengikuti jenis kecakapan ini dapat dilihat dalam tabel 4.8 berikut: TABEL 4.8 HASIL PRETES KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial 1 2 3 4 5 6 7 1 8 53.33 7 46.67 7 46.67 7 46.67 2 9 60.00 7 46.67 7 46.67 9 60.00 3 8 53.33 8 53.33 9 60.00 8 53.33 4 7 46.67 7 46.67 8 53.33 7 46.67 5 7 46.67 7 46.67 8 53.33 7 46.67 6 8 53.33 8 53.33 8 53.33 8 53.33 7 9 60.00 7 46.67 7 46.67 7 46.67 8 9 60.00 7 46.67 7 46.67 7 46.67 9 8 53.33 8 53.33 7 46.67 7 46.67 10 9 60.00 9 60.00 8 53.33 7 46.67 11 8 53.33 8 53.33 8 53.33 8 53.33 12 7 46.67 8 53.33 8 53.33 7 46.67 13 7 46.67 8 53.33 8 53.33 8 53.33 14 7 46.67 8 53.33 7 46.67 7 46.67 15 9 60.00 9 60.00 8 53.33 9 60.00 16 7 46.67 8 53.33 8 53.33 8 53.33 17 7 46.67 8 53.33 8 53.33 8 53.33 Jumlah 134.00 893.33 132.00 880.00 131.00 873.33 129.00 860.00 Rata-rata 7.88 52.55 7.76 51.76 7.71 51.37 7.59 50.59 Setelah diketahui hasil dari tes awal, langkah selanjutnya dilakukan uji coba model pelatihan dan pengujian bahan belajar. Kegiatan tes awal bertujuan untuk mengetahui di bidang mana saja yang dianggap lemah oleh warga belajar, yang selanjutnya akan diberikan penekanan-penekanan khusus pada bidang yang dianggap lemah tersebut. Sebelum warga belajar mempraktikkan secara langsung, masing-masing kelompok didampingi oleh para tutor dan sumber belajarnya. Materi yang diberikan pada saat uji coba, diawali oleh nara sumber dengan menjelaskan dan mempraktikkan masing-masing jenis keterampilan. Setiap akhir penjelasan dari masing-masing keterampilan, warga belajar disuruh menanyakan hal-hal yang dianggap kurang jelas. Kemudian tiap-tiap warga belajar disuruh mempraktikkan materi yang telah diberikan dalam dan diujicobakan tutor. Sedangkan untuk pengujian bahan belajar, kepada warga belajar juga dibagikan satu buah bahan belajar atau modul dari masing-masing jenis keterampilan. Setiap warga belajar diminta untuk memberikan tanggapan atas isi dan bentuk bahan belajar yang telah dibagikan. Kalau materi teknis dari keempat jenis kecakapan vokasional diberikan secara terpisah kepada masing-masing kelompok, maka pemberian materi umum yang berkenaan kemandirian seperti kemandirian secara fisik dapat bekerja sendiri dengan baik, kemandirian secara mental dapat berpikir secara kreatif dan analitis dalam menyusun dan mengekspresikan gagasan dan kemandirian secara emosional nilai yang ada dalam diri sendiri.

c. Penilaian Evaluasi

Kegiatan penilaian evaluasi dilakukan sesuai rancangan dan persiapan model yang telah ditetapkan. Penilaian selain bertujuan untuk melihat hasil kemampuan atau peningkatan materi yang telah diberikan melalui tes akhir postes, juga untuk melihat bagaimana proses dari keseluruhan kegiatan pelatihan yang telah dilaksanakan. Kegiatan postes dilaksanakan dengan membagikan lembaran tes dari masing-masing jenis kecakapan yang telah diberikan kepada keempat kelompok sesuai jenis keterampilannya. Hasil tes dibantu dengan hasil wawancara, dan hasil pengamatan atau observasi. Kegiatan pengamatan dilakukan selama berlangsungnya kegiatan uji coba. Hasil postes pada uji coba tahap pertama adalah sebagai berikut. 1 Kelompok Otomotif Secara umum hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata seluruh warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan kecakapan akademik. Peningkatan ini diperoleh setelah warga belajar mengikuti proses pelatihan. Dengan menggunakan alat tes yang sama, pada aspek kecakapan akademik warga belajar mampu memperoleh nilai rata-rata setelah pelatihan sebesar 12,32 yang menunjukkan nilai minimum sebesar 11 dan nilai maksimum 13. Selanjutnya untuk menguji sigfikansinnya digunakan uji t karena data merupakan skala interval dan berdasarkan uji normalitas diperoleh kesimpulan baik data pretes dan postes mengikuti distribusi normal. Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,76 nilai minimum 11 dan maksimum 14. Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan terampil dalam menggali dan menemukan informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara kreatif yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,56 nilai minimum 11 dan maksimum 14. Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih terampil dalam berkomunikasi dan bekerja sama yang berkenaan dengan otomotif walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 11,92 nilai minimum 11 dan maksimum 14. Secara rinci, hasil postes kecakapan vokasional otomotif dari keempat aspek kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial pada tahap I terhadap 25 warga belajar yang mengikuti jenis kecakapan vokasional dapat dilihat dalam tabel 4.9 berikut. TABEL 4.9 HASIL POSTES UJI COBA TAHAP I KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 12 80.00 13 86.67 14 93.33 10 66.67 2 12 80.00 13 86.67 12 80.00 12 80.00 3 12 80.00 11 73.33 11 73.33 11 73.33 WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial 4 11 73.33 11 73.33 11 73.33 13 86.67 5 11 73.33 12 80.00 12 80.00 12 80.00 6 12 80.00 13 86.67 13 86.67 13 86.67 7 12 80.00 14 93.33 13 86.67 14 93.33 8 13 86.67 14 93.33 14 93.33 11 73.33 9 13 86.67 13 86.67 13 86.67 13 86.67 10 13 86.67 13 86.67 13 86.67 13 86.67 11 12 80.00 14 93.33 14 93.33 11 73.33 12 11 73.33 12 80.00 14 93.33 12 80.00 13 13 86.67 12 80.00 14 93.33 11 73.33 14 13 86.67 13 86.67 11 73.33 13 86.67 15 12 80.00 13 86.67 11 73.33 13 86.67 16 12 80.00 14 93.33 12 80.00 11 73.33 17 14 93.33 12 80.00 13 86.67 12 80.00 18 13 86.67 12 80.00 13 86.67 11 73.33 19 13 86.67 12 80.00 14 93.33 12 80.00 20 13 86.67 12 80.00 12 80.00 13 86.67 21 12 80.00 14 93.33 14 93.33 11 73.33 22 11 73.33 13 86.67 11 73.33 11 73.33 23 13 86.67 13 86.67 11 73.33 13 86.67 24 13 86.67 13 86.67 13 86.67 11 73.33 25 12 80.00 13 86.67 11 73.33 11 73.33 Jumlah 308 2053.3 319 2126.7 314 2093.3 298 1986.7 Rata- rata 12.32 82.13 12.76 85.07 12.56 83.73 11.92 79.47 Hasil analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada tahap pertama, ternyata warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan materi. Peningkatan tersebut terlihat dari pemberian pretes dan postes yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.10 sebagai berikut. TABEL 4.10 PENINGKATAN HASIL PRETES - POSTES UJI COBA TAHAP I PADA KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain 1 7 12 5.00 8 13 5.00 8 14 6.00 8 10 2.00 2 7 12 5.00 8 13 5.00 8 12 4.00 7 12 5.00 3 7 12 5.00 8 11 3.00 7 11 4.00 7 11 4.00 4 7 11 4.00 8 11 3.00 7 11 4.00 7 13 6.00 5 7 11 4.00 6 12 6.00 7 12 5.00 8 12 4.00 6 8 12 4.00 6 13 7.00 8 13 5.00 8 13 5.00 7 7 12 5.00 7 14 7.00 8 13 5.00 8 14 6.00 8 8 13 5.00 7 14 7.00 7 14 7.00 7 11 4.00 9 7 13 6.00 6 13 7.00 7 13 6.00 7 13 6.00 10 8 13 5.00 7 13 6.00 8 13 5.00 7 13 6.00 11 8 12 4.00 6 14 8.00 8 14 6.00 8 11 3.00 12 9 11 2.00 7 12 5.00 8 14 6.00 8 12 4.00 13 9 13 4.00 8 12 4.00 8 14 6.00 8 11 3.00 14 8 13 5.00 8 13 5.00 7 11 4.00 8 13 5.00 15 8 12 4.00 7 13 6.00 7 11 4.00 8 13 5.00 16 7 12 5.00 8 14 6.00 7 12 5.00 7 11 4.00 17 7 14 7.00 8 12 4.00 7 13 6.00 9 12 3.00 18 8 13 5.00 7 12 5.00 7 13 6.00 9 11 2.00 19 7 13 6.00 7 12 5.00 8 14 6.00 9 12 3.00 20 7 13 6.00 7 12 5.00 8 12 4.00 6 13 7.00 21 8 12 4.00 8 14 6.00 8 14 6.00 7 11 4.00 22 8 11 3.00 8 13 5.00 8 11 3.00 8 11 3.00 23 8 13 5.00 8 13 5.00 7 11 4.00 7 13 6.00 24 8 13 5.00 7 13 6.00 8 13 5.00 6 11 5.00 25 7 12 5.00 7 13 6.00 8 11 3.00 7 11 4.00 Jumlah 190 308 118.00 182 319 137.00 189 314 125.00 189 298 109.00 Rata- rata 7.60

12.32 4.72

7.28 12.76

5.48 7.56

12.56 5.00

7.56 11.92

4.36 Dari hasil analisis uji coba lapangan ditemukan; bahwa secara deskriptif model yang dikembangkan telah dianggap layak, namun masih ada beberapa faktor yang perlu diperbaiki dalam implementasi tahap berikutnya, yaitu: a waktu praktik bagi warga belajar yang perlu diperbanyak, b bahan belajar lebih disederhanakan, dan memperbanyak kegiatan praktik. Sedangkan setelah pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup diidentifikasi: a perlunya program pembinaan lanjutan dan b pembentukan jaringan kemitraan dalam pemagangan dengan kelompok usaha. Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil pretes dan postes, kecakapan hidup warga belajar dianggap masih belum memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata-rata setelah uji coba tahap I pada aspek kecakapan akademik sebesar 4,72 31,47; materi kecakapan vokasional mengalami kenaikan sebesar 5,48 36,53; kecakapan personal mengalami kenaikan sebesar 5 33,33; dan kecakapan sosial mengalami kenaikan sebesar 4,36 29,07. 2 Kelompok Teknik Pengelasan Sama halnya dengan kecakapan hidup yang lain, hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata seluruh warga belajar masih belum mengetahui sepenuhnya dan memerlukan pendalaman dari masing- masing materi teknik pengelasan. Dengan menggunakan alat tes yang sama, pada aspek kecakapan akademik warga belajar mampu memperoleh nilai rata-rata setelah pelatihan sebesar 12,61 yang menunjukkan nilai minimum 11 dan nilai maksimum 14. Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan teknik pengelasan walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,83 nilai minimum 11 dan maksimum 14. Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan terampil dalam menggali dan menemukan informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara kreatif yang berkenaan dengan pengelasan walaupun ada beberapa orang yang sudah mengetahuinya. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,22 nilai minimum 11 dan maksimum 14. Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih belum terampil berkomunikasi dan bekerja sama yang berkenaan dengan pengelasan walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 11,13 nilai minimum 11 dan maksimum 13. Secara rinci hasil postes kecakapan hidup teknik pendingin dari keempat aspek kecakapan akademik, vokasional, personal, dan sosial pada tahap I terhadap 18 warga belajar yang mengikuti jenis kecakapan vokasional dapat dilihat dalam tabel 4.11 berikut. TABEL 4.11 HASIL POSTES UJI COBA TAHAP I KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial 1 13 86.67 14 93.33 12 80.00 12 80.00 2 13 86.67 12 80.00 12 80.00 12 80.00 3 12 80.00 14 93.33 11 73.33 13 86.67 4 13 86.67 13 86.67 11 73.33 11 73.33 5 11 73.33 12 80.00 12 80.00 12 80.00 6 12 80.00 13 86.67 12 80.00 13 86.67 7 12 80.00 13 86.67 13 86.67 13 86.67 8 13 86.67 12 80.00 11 73.33 11 73.33 9 14 93.33 13 86.67 12 80.00 13 86.67 10 13 86.67 12 80.00 13 86.67 12 80.00 11 12 80.00 14 93.33 12 80.00 11 73.33 12 11 73.33 12 80.00 11 73.33 12 80.00 13 13 86.67 14 93.33 14 93.33 11 73.33 14 14 93.33 12 80.00 11 73.33 12 80.00 15 12 80.00 14 93.33 12 80.00 13 86.67 16 12 80.00 12 80.00 14 93.33 12 80.00 17 13 86.67 11 73.33 13 86.67 12 80.00 18 14 93.33 14 93.33 14 93.33 11 73.33 Jumlah 227.00 1513.33 231.00 1540.00 220.00 1466.67 216.00 1440.00 Rata- rata 12.61 84.07 12.83 85.56 12.22 81.48 12.00 80.00 Hasil analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada tahap pertama, sebagian warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan materi. Peningkatan tersebut terlihat dari pemberian pretes dan postes yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.12 berikut ini. TABEL 4.12 PENINGKATAN HASIL PRETES – POSTES UJI COBA TAHAP I PADA KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain 1 7 13 6.00 8 14 6.00 8 12 4.00 8 12 4.00 2 8 13 5.00 8 12 4.00 8 12 4.00 7 12 5.00 3 8 12 4.00 8 14 6.00 7 11 4.00 7 13 6.00 4 8 13 5.00 8 13 5.00 7 11 4.00 7 11 4.00 5 8 11 3.00 6 12 6.00 7 12 5.00 8 12 4.00 6 8 12 4.00 8 13 5.00 8 12 4.00 8 13 5.00 7 7 12 5.00 7 13 6.00 8 13 5.00 8 13 5.00 8 8 13 5.00 7 12 5.00 7 11 4.00 7 11 4.00 9 7 14 7.00 6 13 7.00 7 12 5.00 7 13 6.00 10 8 13 5.00 7 12 5.00 8 13 5.00 7 12 5.00 11 8 12 4.00 6 14 8.00 8 12 4.00 7 11 4.00 12 7 11 4.00 7 12 5.00 8 11 3.00 7 12 5.00 13 7 13 6.00 8 14 6.00 8 14 6.00 7 11 4.00 14 8 14 6.00 8 12 4.00 7 11 4.00 7 12 5.00 15 8 12 4.00 7 14 7.00 7 12 5.00 8 13 5.00 16 7 12 5.00 7 12 5.00 7 14 7.00 7 12 5.00 17 7 13 6.00 7 11 4.00 7 13 6.00 8 12 4.00 18 8 14 6.00 8 14 6.00 7 14 7.00 7 11 4.00 Jumlah 137 227 90.00 131 231 100.00 134 220 86.00 132 216

84.00 Rata-

rata 7.61

12.61 5.00

7.28 12.83

5.56 7.44

12.22 4.78

7.33 12.00

4.67 Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil pretes dan postes, kecakapan hidup dan kemampuan warga belajar dianggap masih belum memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata- rata setelah uji coba tahap I pada aspek kecakapan akademik sebesar 5,00 33,33; materi kecakapan vokasional mengalami kenaikan sebesar 5,56 37,07; kecakapan personal mengalami kenaikan sebesar 4,78 33,33; dan kecakapan sosial mengalami kenaikan sebesar 4,67 31,87. 3 Kelompok Teknik Pendingin Pada kelompok teknik pendingin, secara umum hasil pengujian pada aspek kecakapan akademik setelah dilakukan tes ternyata tidak jauh berbeda dengan kecakapan vokasional lainnya. Seluruh warga belajar masih belum mengetahui sepenuhnya dan memerlukan pendalaman dari masing-masing materi kecakapan vokasional teknik pendingin yang mereka butuhkan. Kekurangan ini dibuktikan dari 15 item soal tertulis yang diberikan kepada warga belajar hanya mampu memperoleh nilai rata-rata sesudah pelatihan tahap I sebesar 12,76 yang menunjukkan nilai minimum sebesar 11 dan nilai maksimum 14. Pada aspek kecakapan vokasional, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan terampil dalam mempraktikkan jenis-jenis kecakapan akademik vokasional praktis yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,59 nilai minimum 11 dan maksimum 14. Pada aspek kecakapan personal, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan terampil dalam menggali dan menemukan informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara kreatif yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,71 nilai minimum 11 dan maksimum 14. Pada aspek kecakapan sosial, setelah dilakukan tes, rata-rata seluruh warga belajar dinyatakan masih terampil berkomunikasi dan bekerja sama yang berkenaan dengan teknik pendingin walaupun ada beberapa orang yang sudah terampil. Hasil ini dibuktikan dari 15 item soal yang diberikan kepada warga belajar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,41 nilai minimum 11 dan maksimum 14. Secara rinci hasil postes kecakapan hidup teknik pendingin dari keempat aspek kecakapan akademik, vokasional, personal, dan sosial pada tahap I terhadap 17 warga belajar yang mengikuti jenis kecakapan hidup dapat dilihat dalam tabel 4.13 berikut. TABEL 4.13 HASIL POSTES UJI COBA TAHAP I KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial 1 12 80.00 13 86.67 11 73.33 12 80.00 2 14 93.33 12 80.00 13 86.67 13 86.67 3 14 93.33 12 80.00 14 93.33 14 93.33 4 11 73.33 11 73.33 12 80.00 11 73.33 5 11 73.33 13 86.67 11 73.33 13 86.67 6 13 86.67 13 86.67 12 80.00 13 86.67 7 14 93.33 13 86.67 14 93.33 13 86.67 8 14 93.33 14 93.33 12 80.00 11 73.33 9 13 86.67 12 80.00 13 86.67 13 86.67 10 13 86.67 12 80.00 12 80.00 11 73.33 11 12 80.00 12 80.00 14 93.33 13 86.67 12 13 86.67 13 86.67 13 86.67 13 86.67 13 12 80.00 12 80.00 14 93.33 12 80.00 14 14 93.33 12 80.00 14 93.33 12 80.00 15 13 86.67 14 93.33 12 80.00 13 86.67 16 12 80.00 12 80.00 12 80.00 12 80.00 WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial 17 12 80.00 14 93.33 13 86.67 12 80.00 Jumlah 217 1446.67 214 1426.7 216 1440 211 1406.7 Rata-rata 12.76 85.10 12.59 83.92 12.71 84.71 12.41 82.75 Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada tahap pertama, ternyata pada masing-masing warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan materi, baik pada aspek kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial. Peningkatan aspek kecakapan akademik merujuk pada pengertian bahwa kecakapan akademik warga belajar pada teknik pendingin telah meningkat. Peningkatan kecakapan vokasional menunjukkan pengertian bahwa keterampilan warga belajar pada teknik pendingin telah meningkat. Peningkatan kecakapan personal menunjukkan pengertian bahwa kecakapan menggali dan menemukan informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah secara kreatif warga belajar pada teknik pendingin telah meningkat. Peningkatan kecakapan sosial menunjukkan pengertian bahwa keterampilan berkomunikasi dan bekerja sama warga belajar pada teknik pendingin pun telah meningkat. Itu menunjukkan bahwa para warga belajar telah mengalami peningkatan dalam berbagai aspek kecakapan. Penguasaan materi tersebut terlihat dari pemberian pretes dan postes yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.14 sebagai berikut. TABEL 4.14 PENINGKATAN HASIL PRETES – POSTES DARI UJI COBA TAHAP I PADA KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain Pretes Postes Gain 1 8 12 4.00 7 13 6.00 7 11 4.00 7 12 5.00 2 9 14 5.00 7 12 5.00 7 13 6.00 9 13 4.00 3 8 14 6.00 8 12 4.00 9 14 5.00 8 14 6.00 4 7 11 4.00 7 11 4.00 8 12 4.00 7 11 4.00 5 7 11 4.00 7 13 6.00 8 11 3.00 7 13 6.00 6 8 13 5.00 8 13 5.00 8 12 4.00 8 13 5.00 7 9 14 5.00 7 13 6.00 7 14 7.00 7 13 6.00 8 9 14 5.00 7 14 7.00 7 12 5.00 7 11 4.00 9 8 13 5.00 8 12 4.00 7 13 6.00 7 13 6.00 10 9 13 4.00 9 12 3.00 8 12 4.00 7 11 4.00 11 8 12 4.00 8 12 4.00 8 14 6.00 8 13 5.00 12 7 13 6.00 8 13 5.00 8 13 5.00 7 13 6.00 13 7 12 5.00 8 12 4.00 8 14 6.00 8 12 4.00 14 7 14 7.00 8 12 4.00 7 14 7.00 7 12 5.00 15 9 13 4.00 9 14 5.00 8 12 4.00 9 13 4.00 16 7 12 5.00 8 12 4.00 8 12 4.00 8 12 4.00 17 7 12 5.00 8 14 6.00 8 13 5.00 8 12 4.00 Jumlah 134 217 83.00 132 214

82.00 131

216 85.00 129 211 82.00 Rata-rata

7.88 12.76

4.88 7.76

12.59 4.82

7.71 12.71

5.00 7.59

12.41 4.82

Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil pretes dan postes, kecakapan akademik dan kemampuan warga belajar dianggap cukup memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata-rata setelah uji coba tahap I pada aspek kecakapan akademik sebesar 4,88 32,53; materi kecakapan vokasional mengalami kenaikan sebesar 4,82 32,13; kecakapan personal mengalami kenaikan sebesar 5 33,33; dan kecakapan sosial mengalami kenaikan sebesar 4,82 32,13. Hasil analisis dari kegiatan uji coba tahap pertama menunjukkan bahwa kegiatan uji coba masih perlu ditingkatkan atau ditambah lagi. Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan para peserta, diketahui bahwa implementasi dari model yang dikembangkan telah sesuai dengan kebutuhan mereka. Metode penilaian program yang penulis terapkan telah sesuai menurut pemahaman mereka, ternyata program pelatihan kecakapan hidup melalui empat kecakapan hidup tersebut yang diterapkan mampu memberikan kontribusi kepada para peserta dalam menumbuhkan kemandirian warga belajar. Akan tetapi, apabila dilihat dari skor yang dihasilkan masih terdapat beberapa kekurangan, seperti belum adanya peserta yang belum mampu mencapai nilai sampai 100. Tidak maksimalnya perolehan skor lebih banyak disebabkan oleh waktu, keterlibatan warga belajar yang terbatas, dan materi pelatihan yang belum optimal dalam praktiknya. Oleh sebab itu, masih perlu diberikan beberapa pengulangan dan penambahan materi lain yang berkaitan dengan program pembinaan lanjutan agar warga belajar memiliki kecakapan hidup pada empat kecakapan hidup tersebut yang pada akhirnya mampu mencapai kemandirian secara ekonomi mencukupi kebutuhan sendiri.

2. Uji Coba Model Tahap II

a. Persiapan

Sebagaimana yang dilakukan pada tahap uji coba tahap I, persiapan kegiatan untuk pelaksanaan uji coba model pada tahap II hampir sama dengan tahap pertama. Hanya saja pada tahap II langkah-langkahnya yang ditempuh sedikit lebih praktis, yaitu sebagai berikut. Pertama, memeriksa hasil uji coba tahap I dan melakukan pertemuan dengan petugas-petugas yang terlibat dalam kegiatan pelatihan untuk merevisi hal-hal yang perlu dilakukan sebelum melakukan uji coba tahap II. Kedua, mengadakan pertemuan dengan warga belajar untuk menentukan dan menyepakati hal-hal dari jenis kecakapan vokasional yang masih dianggap kurang dan perlu diperdalam. Uji coba tahap II dimulai pada tanggal 14 - 28 Maret 2008 yang tetap diikuti oleh 60 orang warga belajar, yang selanjutnya kembali dibagi menjadi tiga kelompok kecil sesuai jenis kecakapan hiidup yang diikuti yaitu: otomotif, pengelasan, dan teknik pendingin. Ketiga, peneliti kembali menyiapkan berbagai keperluan kegiatan program pelatihan kecakapan vokasional bersama warga belajar, tutor, dan para pengelola yang terlibat. Berbagai keperluan tersebut antara lain; tempat, kurikulum, dan peralatanbahan-bahan yang diperlukan.

b. Pelaksanaan

Pelaksanaan eksperimen uji coba tahap II tanpa tes awal pretes t, karena pesertanya yang masih sama maka tetap menggunakan atau mengambil hasil postes pada tahap I. Program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup berbasis masyarakat, dirancang agar warga belajar dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan serta profesionalisme dalam bekerja. Kemampuan ini bersifat makro, yang perlu dijabarkan dalam seperangkat kecakapan seperti; akademik, vokasional, personal, dan sosial sehingga strategi pelatihan yang diterapkan dalam pelatihannya adalah untuk: 1 mengembangkan wawasan baru tentang pentingnya kemandirian hidup secara fisik, mental, dan sosial demi keberlangsungan hidup di masyarakat dan menjalankan usaha; 2 memotivasi warga belajar agar mampu memanfaatkan kecakapan akademik dan keterampilannya, serta dapat menganalisis dan mengkonstruksikan rencana pengembangannya setelah kembali ke masyarakat; dan 3 mengupayakan agar warga belajar anak tunalaras memiliki kemampuan dalam merencanakan dan menggunakan kecakapan vokasional yang dikuasainya dan mendorong diaplikasikannya kecakapan hidup tersebut sebagai suatu kesatuan yang utuh dalam memenuhi kebutuhan hidup. Proses pelatihan melalui pelatihan kecakapan hidup lebih banyak dilakukan untuk praktik dan pendalaman. Secara tutorial, kepada warga belajar juga diberikan pemantapan kembali mengenai materi kecakapan akademik tentang kegiatan teknis atau praktik yang dirasa waktunya masih kurang, serta materi tentang cara menjadi karyawan yang baik, pembinaan lanjutanpendampingan dan kemitraan yang juga sangat diperlukan peserta terutama dalam menjalankan usaha.

c. Penilaian Evaluasi

Kegiatan penilaian dilakukan dengan tujuan untuk melihat hasil kemampuan atau peningkatan materi yang telah diberikan sejak dari mulai tahap I sampai tahap II. Pada tahap II ini, kegiatan penilaian dilakukan untuk melihat hasil dari proses pelatihan terhadap peningkatan kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial warga belajar, yang cara penilaiannya dilakukan melalui tes akhir postes . Kegiatan postes dilaksanakan dengan membagikan lembaran tes dari masing-masing jenis kecakapan hidup yang telah diberikan kepada ketiga kelompok sesuai jenis kecakapan hidup masing-masing. Hasil tes tetap dibantu dengan hasil wawancara, dan pengamatan atau observasi. Hasil dari kegiatan evaluasi akhir menunjukkan bahwa warga belajar setelah mengikuti pelatihan kecakapan hidup, telah dapat meningkatkan kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial seperti kesadaran memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam mengikuti pelatihan dan kesediaan untuk beradaptasi di masyarakat serta berkeinginan untuk mandiri. Hasil evaluasi akhir terhadap 60 orang warga belajar ternyata telah menunjukkan peningkatan yang cukup baik. Gambaran hasil peningkatan yang diperoleh peserta setelah mengikuti pelatihan Peningkatan tersebut juga dapat dilihat dari nilai minimum dan maksimum yang diperoleh peserta setelah mengikuti pelatihan atau setelah akhir uji coba tahap kedua. Berdasarkan hasil evaluasi akhir dari dua uji coba yang telah dilaksanakan, ternyata kegiatan pelatihan kecakapan hidup secara umum mampu meningkatkan kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan persoal, dan kecakapan sosial warga belajar. Untuk melihat hasil yang diperoleh dari kedua kelompok setelah mengikuti pelatihan dapat dilihat sebagai berikut. 1 Kelompok Teknik Otomotif a Tes kecakapan akademik pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 13,44 89,60. b Tes kecakapan vokasional pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 12 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 13,84 92,70. c Tes kecakapan personal pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 13,76 91,71. d Tes kecakapan sosial pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 13,04 86,93. Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada tahap kedua, ternyata pada masing-masing warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan. Peningkatan tersebut terlihat dari hasil tes akhir yang dapat dilihat pada tabel 4.15 sebagai berikut. TABEL 4.15 HASIL POSTES UJI COBA TAHAP II KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial 1 13 86.67 15 100.00 14 93.33 13 86.67 2 14 93.33 14 93.33 14 93.33 12 80.00 3 14 93.33 13 86.67 14 93.33 13 86.67 4 14 93.33 13 86.67 14 93.33 14 93.33 WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial 5 13 86.67 14 93.33 13 86.67 13 86.67 6 13 86.67 14 93.33 14 93.33 13 86.67 7 13 86.67 15 100.00 13 86.67 14 93.33 8 14 93.33 15 100.00 14 93.33 13 86.67 9 14 93.33 13 86.67 14 93.33 13 86.67 10 14 93.33 14 93.33 13 86.67 13 86.67 11 12 80.00 15 100.00 14 93.33 13 86.67 12 13 86.67 13 86.67 14 93.33 12 80.00 13 13 86.67 14 93.33 14 93.33 13 86.67 14 14 93.33 13 86.67 13 86.67 13 86.67 15 13 86.67 13 86.67 13 86.67 13 86.67 16 12 80.00 15 100.00 12 80.00 14 93.33 17 14 93.33 14 93.33 15 100.00 12 80.00 18 13 86.67 12 80.00 14 93.33 14 93.33 19 14 93.33 14 93.33 14 93.33 14 93.33 20 14 93.33 12 80.00 14 93.33 13 86.67 21 13 86.67 15 100.00 14 93.33 13 86.67 22 14 93.33 15 100.00 15 100.00 13 86.67 23 14 93.33 13 86.67 14 93.33 14 93.33 24 14 93.33 13 86.67 14 93.33 12 80.00 25 13 86.67 15 100.00 13 86.67 12 80.00 Jumlah 336 2240 346 2306.7 344 2293.3 326 2173.3 Rata-rata 13.44 89.60 13.84 92.27 13.76 91.73 13.04 86.93 2 Kelompok Teknik Pengelasan a. Tes kecakapan akademik pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 13 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 14,11 94,070. b. Tes kecakapan vokasional pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 13 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 14,39 95,93. c. Tes kecakapan personal pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 13 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 13,89 92,59. d. Tes kecakapan sosial pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 12 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 13,61 90,74. Hasil analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada tahap kedua, ternyata pada masing-masing warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan materi. Peningkatan penguasaan materi tersebut terlihat dari hasil tes akhir uji coba tahap II yang dapat dilihat pada tabel 4.16 sebagai berikut. TABEL 4.16 HASIL POSTES UJI COBA TAHAP II KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial 1 14 93.33 15 100.00 13 86.67 12 80.00 2 13 86.67 13 86.67 13 86.67 13 86.67 3 15 100.00 15 100.00 13 86.67 14 93.33 4 14 93.33 14 93.33 13 86.67 12 80.00 5 14 93.33 14 93.33 14 93.33 12 80.00 6 14 93.33 14 93.33 14 93.33 14 93.33 7 14 93.33 15 100.00 15 100.00 13 86.67 8 15 100.00 14 93.33 13 86.67 14 93.33 9 15 100.00 14 93.33 14 93.33 14 93.33 10 14 93.33 14 93.33 14 93.33 14 93.33 11 13 86.67 15 100.00 15 100.00 14 93.33 12 13 86.67 15 100.00 15 100.00 15 100.00 13 14 93.33 15 100.00 15 100.00 13 86.67 WB Jumlah Skor WB Jumlah Skor WB Jumlah Skor WB Jumlah Skor WB 14 15 100.00 13 86.67 13 86.67 15 100.00 15 14 93.33 15 100.00 14 93.33 14 93.33 16 14 93.33 15 100.00 13 86.67 14 93.33 17 14 93.33 15 100.00 14 93.33 14 93.33 18 15 100.00 14 93.33 15 100.00 14 93.33 Jumlah 254.00 1693.33 259.00 1726.67 250.00 1666.67 245.00 1633.33 Rata-rata 14.11 94.07 14.39 95.93 13.89 92.59 13.61 90.74 3 Kelompok Teknik Pendingin a. Tes kecakapan akademik pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 13 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 14,41 96,08. b. Tes kecakapan vokasional pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 12 dan nilai maksimum 15 dan perolehan nilai rata-rata 13,94 92,94. c. Tes kecakapan personal pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 14,29 95,29. d. Tes kecakapan sosial pada bidang teknik otomotif diperoleh nilai minimum 12 dan nilai maksimum 14 dan perolehan nilai rata-rata 13,88 95,55. Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada tahap kedua, ternyata pada masing-masing warga belajar sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan materi. Peningkatan penguasaan materi tersebut terlihat dari hasil tes akhir yang dapat dilihat pada tabel 4.17 sebagai berikut: TABEL 4.17 HASIL POSTES UJI COBA TAHAP II KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial 1 14 93.33 15 100.00 14 93.33 14 93.33 2 14 93.33 15 100.00 14 93.33 14 93.33 3 15 100.00 15 100.00 15 100.00 15 100.00 4 14 93.33 14 93.33 15 100.00 14 93.33 5 15 100.00 14 93.33 15 100.00 14 93.33 6 15 100.00 13 86.67 14 93.33 13 86.67 7 14 93.33 14 93.33 15 100.00 14 93.33 8 15 100.00 14 93.33 12 80.00 14 93.33 9 15 100.00 14 93.33 15 100.00 13 86.67 10 15 100.00 12 80.00 13 86.67 14 93.33 11 15 100.00 13 86.67 15 100.00 15 100.00 12 15 100.00 14 93.33 13 86.67 14 93.33 13 14 93.33 14 93.33 15 100.00 14 93.33 14 14 93.33 13 86.67 14 93.33 14 93.33 15 13 86.67 14 93.33 15 100.00 13 86.67 16 14 93.33 14 93.33 14 93.33 14 93.33 17 14 93.33 15 100.00 15 100.00 13 86.67 Jumlah 245.00 1633.33 237.00 1580.00 243.00 1620.00 236.00 1573.33 Rata- rata 14.41 96.08 13.94 92.94 14.29 95.29 13.88 92.55 D. Deskripsi Uji Efektivitas Model 1. Deskripsi Efektivitas Model Berdasarkan Hasil Analisis Kuantitatif Statistik Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap subjek penelitian warga belajar sebanyak 60 orang yang telah menerima pretes dan postes, maka diadakan pengolahan data dengan penghitungan statistik untuk mengetahui perbedaan kemampuan yang berkenaan dengan kemampuan kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial bidang kecakapan hidup teknik otomotif, teknik pengelasan, dan teknik pendingin. Berikut akan diuraikan hasil pengujian untuk keempat aspek tersebut.

a. Teknik Otomotif

Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba baik tahap 1 maupun tahap 2 sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan materi. Peningkatan penguasaan materi tersebut terlihat dari hasil postes yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.18 sebagai berikut: TABEL 4.18 PENINGKATAN HASIL TES UJI COBA DARI TAHAP I KE TAHAP II KELOMPOK TEKNIK OTOMOTIF WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain 1 12 13 1.00 13 15 2.00 14 14 0.00 10 13 3.00 2 12 14 2.00 13 14 1.00 12 14 2.00 12 12 0.00 3 12 14 2.00 11 13 2.00 11 14 3.00 11 13 2.00 4 11 14 3.00 11 13 2.00 11 14 3.00 13 14 1.00 5 11 13 2.00 12 14 2.00 12 13 1.00 12 13 1.00 6 12 13 1.00 13 14 1.00 13 14 1.00 13 13 0.00 7 12 13 1.00 14 15 1.00 13 13 0.00 14 14 0.00 8 13 14 1.00 14 15 1.00 14 14 0.00 11 13 2.00 9 13 14 1.00 13 13 0.00 13 14 1.00 13 13 0.00 10 13 14 1.00 13 14 1.00 13 13 0.00 13 13 0.00 11 12 12 0.00 14 15 1.00 14 14 0.00 11 13 2.00 12 11 13 2.00 12 13 1.00 14 14 0.00 12 12 0.00 13 13 13 0.00 12 14 2.00 14 14 0.00 11 13 2.00 14 13 14 1.00 13 13 0.00 11 13 2.00 13 13 0.00 15 12 13 1.00 13 13 0.00 11 13 2.00 13 13 0.00 16 12 12 0.00 14 15 1.00 12 12 0.00 11 14 3.00 17 14 14 0.00 12 14 2.00 13 15 2.00 12 12 0.00 18 13 13 0.00 12 12 0.00 13 14 1.00 11 14 3.00 19 13 14 1.00 12 14 2.00 14 14 0.00 12 14 2.00 WB Jumlah Skor WB Jumlah Skor WB Jumlah Skor WB Jumlah Skor WB Jumlah Skor WB Jumlah Skor WB 20 13 14 1.00 12 12 0.00 12 14 2.00 13 13 0.00 21 12 13 1.00 14 15 1.00 14 14 0.00 11 13 2.00 22 11 14 3.00 13 15 2.00 11 15 4.00 11 13 2.00 23 13 14 1.00 13 13 0.00 11 14 3.00 13 14 1.00 24 13 14 1.00 13 13 0.00 13 14 1.00 11 12 1.00 25 12 13 1.00 13 15 2.00 11 13 2.00 11 12 1.00 Jumlah 308 336 28.00 319 346 27.00 314 344 30.00 298 326 28.00 Rata- rata

12.32 13.44

1.12 12.76

13.84 1.08

12.56 13.76

1.20 11.92

13.04 1.12

Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil test tahap I dan tahap II, kecakapan hidup dan kemampuan warga belajar dianggap sudah memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata- rata setelah uji coba tahap II pada aspek kecakapan akademik sebesar 1,12 7,46; kecakapan vokasional sebesar 1,08 7,2; kecakapan personal sebesar 1,20 8; kecakapan sosial sebesar 1,12 7,46. Berdasarkan paparan tabel pada bagian sebelumnya, menunjukkan bahwa rata-rata hasil tes tahap I sebesar 49,56 : 4 = 12,39 atau 12,32 + 12,76 + 12,56 +11,92: 4 ternyata lebih kecil dari hasil tes tahap II yaitu sebesar 54,08: 4 = 13,52 atau 13,44+13,84+13,76+13,04: 4 . Hasil ini menunjukkan bahwa kegiatan PKH terhadap warga belajar memiliki pengaruh kepada mereka. Berdasarkan hasil Uji t terhadap 25 orang warga belajar sebelum dan sesudah PKH, secara deskriptif dapat dilihat pada tabel 4.19. berikut. Tabel 4.19 Rekapitulasi Hasil Tes Tahap I dan II N Mean Min Max Tahap I 25 12,39 12 14 Tahap II 25 13,52 12 15 Dari tabel 4.21. menunjukkan bahwa hasil mean sesudah PKH 13,52 ternyata lebih besar dari mean sebelum PKH 12,39. Dengan demikian, terdapat perbedaan yaitu terdapat perubahan positif dari kemampuan warga belajar. Berdasarkan hasil perhitungan dengan uji t menunjukkan bahwa t hitung = 4,32 sedangkan t tabel 0,005 = 2,80. Jadi t hitung t tabel. Dengan demikian, ada perbedaan yang signifikan antara tes tahap I dan Tes tahap II.

b. Teknik Pengelasan

Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada tahap kedua sudah menunjukkan adanya peningkatan penguasaan materi. Peningkatan penguasaan materi tersebut secara umum menunnjukkan bahwa model pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta yang diujicobakan berhasil. Keberhasilan tersebut terlihat dari hasil postes tahap 2 yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.20 sebagai berikut: TABEL 4.20 PENINGKATAN HASIL TES UJI COBA DARI TAHAP I KE TAHAP II PADA KELOMPOK TEKNIK PENGELASAN WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain 1 13 14 1.00 14 15 1.00 12 13 1.00 12 12 0.00 2 13 13 0.00 12 13 1.00 12 13 1.00 12 13 1.00 3 12 15 3.00 14 15 1.00 11 13 2.00 13 14 1.00 4 13 14 1.00 13 14 1.00 11 13 2.00 11 12 1.00 5 11 14 3.00 12 14 2.00 12 14 2.00 12 12 0.00 6 12 14 2.00 13 14 1.00 12 14 2.00 13 14 1.00 7 12 14 2.00 13 15 2.00 13 15 2.00 13 13 0.00 8 13 15 2.00 12 14 2.00 11 13 2.00 11 14 3.00 9 14 15 1.00 13 14 1.00 12 14 2.00 13 14 1.00 10 13 14 1.00 12 14 2.00 13 14 1.00 12 14 2.00 11 12 13 1.00 14 15 1.00 12 15 3.00 11 14 3.00 12 11 13 2.00 12 15 3.00 11 15 4.00 12 15 3.00 13 13 14 1.00 14 15 1.00 14 15 1.00 11 13 2.00 14 14 15 1.00 12 13 1.00 11 13 2.00 12 15 3.00 15 12 14 2.00 14 15 1.00 12 14 2.00 13 14 1.00 16 12 14 2.00 12 15 3.00 14 13 -1.00 12 14 2.00 17 13 14 1.00 11 15 4.00 13 14 1.00 12 14 2.00 18 14 15 1.00 14 14 0.00 14 15 1.00 11 14 3.00 Jumlah 227 254 27.00 231 259 28.00 220 250 30.00 216 245 29.00 Rata- rata

12.61 14.11

1.50 12.83

14.39 1.56

12.22 13.89

1.67 12.00

13.61 1.61

Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil test tahap I dan tahap II, kecakapan hidup dan kemampuan warga belajar dianggap sudah memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata- rata setelah uji coba tahap II pada aspek kecakapan akademik sebesar 1,50 10; kecakapan vokasional sebesar 1,56 10,4; kecakapan personal sebesar 1,67 11,13; kecakapan sosial sebesar 1,61 10,73. Berdasarkan paparan tabel pada bagian sebelumnya, menunjukkan bahwa rata-rata hasil tes tahap I sebesar 49,66 : 4 = 12,415 atau 12,61 + 12,83 + 12,22 +12,00: 4 ternyata lebih kecil dari hasil tes tahap II yaitu sebesar 56: 4 = 14 atau 14,11+14,39+13,89+13,61: 4 . Hasil ini menunjukkan bahwa kegiatan PKH terhadap warga belajar pada teknik pengelasan memiliki pengaruh kepada mereka. Berdasarkan hasil Uji t terhadap 18 orang warga belajar sebelum dan sesudah PKH, secara deskriptif dapat dilihat pada tabel 4.21. berikut : Tabel 4.21 Rekapitulasi Hasil Tes Tahap I dan II N Mean Min Max Tahap I 18 12,415 11 14 Tahap II 18 14 12 15 Dari tabel 4.22. menunjukkan bahwa hasil mean sesudah PKH 14,00 ternyata lebih besar dari mean sebelum PKH 12,415. Dengan demikian, terdapat perbedaan yaitu terdapat perubahan positif dari kemampuan warga belajar. Berdasarkan hasil perhitungan dengan uji t menunjukkan bahwa t hitung = 8,78 sedangkan t tabel 0,005 = 2,90. Jadi t hitung t tabel. Dengan demikian, ada perbedaan yang signifikan antara tes tahap I dan tes tahap II.

c. Teknik Pendingin

Hasil dari analisis data yang berkenaan dengan pelaksanaan uji coba pada tahap kedua sudah menunjukkan adanya peningkatan kecakapan. Peningkatan Peningkatan tersebut terlihat dari hasil postes yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.22 sebagai berikut: TABEL 4.22 PENINGKATAN HASIL TES UJI COBA DARI TAHAP I KE TAHAP II KELOMPOK TEKNIK PENDINGIN WB Jumlah Skor Akademik Vokasional Personal Sosial Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain Tahap 1 Tahap 2 Gain 1 12 14 2.00 13 15 2.00 11 14 3.00 12 14 2.00 2 14 14 0.00 12 15 3.00 13 14 1.00 13 14 1.00 3 14 15 1.00 12 15 3.00 14 15 1.00 14 15 1.00 4 11 14 3.00 11 14 3.00 12 15 3.00 11 14 3.00 5 11 15 4.00 13 14 1.00 11 15 4.00 13 14 1.00 6 13 15 2.00 13 13 0.00 12 14 2.00 13 13 0.00 7 14 14 0.00 13 14 1.00 14 15 1.00 13 14 1.00 8 14 15 1.00 14 14 0.00 12 12 0.00 11 14 3.00 9 13 15 2.00 12 14 2.00 13 15 2.00 13 13 0.00 10 13 15 2.00 12 12 0.00 12 13 1.00 11 14 3.00 11 12 15 3.00 12 13 1.00 14 15 1.00 13 15 2.00 12 13 15 2.00 13 14 1.00 13 13 0.00 13 14 1.00 13 12 14 2.00 12 14 2.00 14 15 1.00 12 14 2.00 14 14 14 0.00 12 13 1.00 14 14 0.00 12 14 2.00 15 13 13 0.00 14 14 0.00 12 15 3.00 13 13 0.00 16 12 14 2.00 12 14 2.00 12 14 2.00 12 14 2.00 17 12 14 2.00 14 15 1.00 13 15 2.00 12 13 1.00 Jumlah 217 245 28.00 214 237 23.00 216 243 27.00 211 236 25.00 Rata-rata 12.76

14.41 1.65

12.59 13.94

1.35 12.71

14.29 1.59

12.41 13.88

1.47 Secara kuantitatif, bila dilihat dari perbandingan hasil test tahap I dan tahap II, kecakapan hidup dan kemampuan warga belajar dianggap sudah memuaskan. Hasil penilaian ini ditunjukkan seperti jumlah peningkatan skor rata- rata setelah uji coba tahap II pada aspek kecakapan akademik sebesar 1,65 11; kecakapan vokasional sebesar 1,35 9; kecakapan personal sebesar 1,59 10,6; kecakapan sosial sebesar 1,47 9,8. Berdasarkan paparan tabel pada bagian sebelumnya, menunjukkan bahwa rata-rata hasil tes tahap I sebesar 50,47 : 4 = 12,62 atau 12,76 + 12,59 + 12,71 +12,41: 4 ternyata lebih kecil dari hasil tes tahap II yaitu sebesar 56,52: 4 = 14,13 atau 14,41+13,94+14,29+13,88: 4 . Hasil ini menunjukkan bahwa kegiatan PKH terhadap warga belajar memiliki pengaruh kepada mereka. Berdasarkan hasil Uji t terhadap 17 orang warga belajar sebelum dan sesudah PKH, secara deskriptif dapat dilihat pada tabel 4.23. berikut. Tabel 4.23 Rekapitulasi Hasil tes tahap I dan II N Mean Min Max Tahap I 17 12,62 11 14 Tahap II 17 14,13 12 15 Dari tabel 4.23. menunjukkan bahwa hasil mean sesudah PKH 12,62 ternyata lebih besar dari mean sebelum PKH 14,13. Dengan demikian, terdapat perbedaan yaitu terdapat perubahan positif dari kemampuan warga belajar. Berdasarkan hasil perhitungan dengan uji t menunjukkan bahwa t hitung = 5,65 sedangkan t tabel 0,005 = 2,92. Jadi t hitung t tabel. Dengan demikian, ada perbedaan yang signifikan antara tes tahap I dan tes tahap II.

2. Deskripsi Efektivitas Model Berdasarkan Hasil Analisis Kualitatif

Deskripsi efektivitas model pada penelitian ini pun akan menyertakan deskripsi hasil analisis kualitatif berupa respon atau tanggapan dari pihak-pihak yang terlibat dengan pelaksanaan pelatihan di PSMP Handayani Jakarta.

a. Tangapan atau Respon Kepala PSMP Handayani

Modal pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras yang telah diterapkan dan dikembangkan di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta merupakan sebuah model pelatihan yang baik. Pelaksana pelatihan dapat mengikuti dan melaksanakan setiap tahapan pelatihan ini dengan terencana, tepat, dan terstruktur. Pelaksana pelatihan kecakapan hidup di PSMP menjadi berhasil. Pada tahap perencanaan, mode tersebut mampu menyuguhkan persiapan yang lengkap dalam menyelenggarakan sebuah pelatihan. Tahap perencanaan yang meliputi tujuan, sasaran, kurikulum, dan tata laksana pelatihan sangat tertata sehingga segala persiapan yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan pelatihan tersebut menjadi lengkap. Pada tahap pelaksanaan, model tersebut mampu menyelenggarakan pelatihan yang komunikatif, integratif, dan efesien. Tatanan pelatihan mulai tutor, warga belajar, dan suasana pelatihan mampu memberi kesan bahwa pelatihan tersebut terselengara dengan baik. Penambahan materi kecakapan hidup dan kewirausahaan, memungkinkan warga belajar siap menhgadapi dunianya di masa yang akan datang. Pada tahap evaluasi, peltihan dengan model tersebut mampu mengukur kemampuan siswa secara lengkap dan utuh. Dengan sistem penilaian yang komprehensif, meliputi empat kecakapan hidup, maka hasil evaluasi ini dapat menggambarkan kondisi nyata para warga belajar. Warga belajar belajar di PSMP ini adalah anak tunalaras. Salah satu karakteristik anak tunalaras adalah adanya penyimpangan perilaku yang memerlukan bimbingan dari berbagai pihak, orang tua, masyarakat, pemerintah, khusunya panti-panti. Oleh karena itu, model pelatihan kecakapan hidup yang diterapkan oleh peneliti akan kurang lengkap apabila tidak disertasi oleh adanya keberlanjutan atau kesinambungan berbagai pihak. Model ini apabila diterapkan dapat dikembangkan dengan melibatkan keluarga, masyarakat, dan lembaga instansi pemerintah untuk mengontrol para warga belajar. Ada pun bentuk dan strateginya dapat dikembangkan kemudian hari. Yang penting, kontrol atau pengawasan dari pihak tersebut menjadi sebuah faktor penambah kelengkapan model tersebut. Di sisi lain, warga belajar yang tunalaras tersebut pun, memerlukan adanya sarana untuk pengembangan potensi diri bahkan jika memungkinkan adanya pengembangan usaha. Potensi diri berkenaan dengan penyediaan peluang dalam bentuk pemberian pekerjaan. Denga bekal pelatihan yang dilaksanakan di PSMP, warga belajar telah memiliki potensi berupa keahlian yang dipilihnya sehingga tidak akan bermanfaat apabila tidak dikembangkan. Di pihak lain, jika warga belajar tidak mau bekerja, maka patut pula diberi kesempatan untuk mengembangkan usaha. Pengembangan usaha yang sesuai dengan karakteristik warga belajar. Selain itu, dapat pula kembangkan usaha secara berkelompok dalam sebuah ikatan usaha bersama.

b. Ketua Pelaksana Program Pelatihan Kecakapan Hidup

Pendidikan kecakapan hidup merupakan ragam kemampuan yang diperlukan seseorang untuk menempuh kehidupan dengan sukses, bahagia dan bermartabat. Kecakapan hidup merupakan kemampuan berkomunikasi secara efektif, kemampuan mengembangkan kerja sama, melaksanakan peranan sebagai warga negara yang bertanggung jawab, memiliki kesiapan serta kecakapan untuk bekerja, dan memiliki karakter dan etika untuk terjun ke dunia kerja. Kaitannya dengan pelaksanaan pelatihan kecakapn hidup yang telah dilaksanakan di PSMP ini, penyelenggaraannya telah sesuai dengan konsep tersebut. Keterampilan warga belajar yang dikembangkan meningkat baik secara terjemahan angka-angka, maupun dengan hasil unjuk kerja berupa hasil tes keterampilan. Bagi kami, model pelatihan tersebut sangat aplikatif, sistematis, komprehensif, dan mudah dilaksanakan. Model ini akan menjadi panduan bagi kami dalam menyelenggarakan sebuah pelatihan. Akan tetapi, agar pelatihan ini menjadi lebih efektif dan dengan dasar pengalaman menyelenggarakan pelatihan selama ini, warga belajar hendaknya tidak dijadikan sebagai objek pelatihan seperti siswa di sekolah. Dalam pelatihan tersebut warga belajar tidak ditargetkan untuk mencapai tujuan tertentu saja akan tetapi yang perlu ditargetkan adalah dampak pelatihan untuk masa depan warga belajar. Oleh karena itu, model ini harus menyertakan adanya pengawasan secara berkelanjutan, membina komunikasi dengan warga belajar sampai batas wajtu tertentu, dan adanya fasilitas dari penyelenggara pelatihan PSMP agar warga belajar memiliki peluang untk bekerja atau menciptakan lapangan usaha.

c. Pengurus Asrama Program Pelatihan

Salah satu karakteristik anak tunalaras adalah perilakunya yang tidak diharapkan oleh lingkungan, sering bertentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tempat dia berada. Tingkah lakunya sering membuat orang menjadi marah karena merasa terganggu atau dirugikan, dan mereka cenderung berhubungan dengan otorita, seperti polisi, pengadilan, guru atau orang tua. Anak tunalaras ini prestasinya di sekolah cenderung menurun dan dijauhi oleh teman-temannya sehingga mereka membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus. Anak tunalaras yang ditampung di panti rehabilitasi sosial diharapkan mereka memiliki seperangkat keterampilan teknis yang harus dimiliki anak untuk melaksanakan tugas perkembangannya sebagai individu yang memiliki kualitas SDM yang bisa bersanding dan bersaing. Pelatihan kecakapan hidup yang diselenggarakan peneliti secara psikologis mampu mengurangi perilaku warga belajar yang kurang baik. Dengan adanya kesibukan berupa latihan-latihan, maka perilaku warga belajar menjadi terkontrol. Pelatihan ini mampu mewadahi warga belajar dalam mengembangkan potensi dan keterampilannya. Akan tetapi, pelatihan ini harus mampu menjaga sikap warga belajar agar tidak kembali menjadi anak tunalaras. Oleh karena itu, hendaknya lembaga penyelenggara pelatihan menjadi jembatan penghubung kelangsungan hidup warga belajar setelah terjun ke masyarakat melalui program monitoring atau bimbingan terpimpin. Program monitoring ini diperkukan agar warga belajar mampu mengembangkan segala potensinya dengan arahan dan bimbingan lembaga sebagai pengendalinya.

d. Tutor dan Sumber Belajar Program Pelatihan Kecakapan Hidup

Interaksi tutor sebagai sumber belajar dengan warga belajar tunalaras berlangsung dengan baik. Dalam kemasan model pelatihan kecakapan hidup yang telah diselenggarakan oleh peneliti, pelatihan berlangsung dengan baik dan lancar. Keterampilan warga belajar meningkat dengan cepat. Keterampilan teknik las, teknik otomotif, dan teknik pendingin pada setiap kelompok warga belajar dapat dikuasai dengan baik sehingga apabila bekerja atau terjun membuka usaha pada tingkatan standar sudah cukup. Modal keterampilan yang telah dimiliki warga belajar akan menjadi lebih baik lagi apabila lembaga pemerintah atau swasta mampu memfasilitasi warga belajar dalam mengembangkan potensinya. Lembaga tersebut hendaknya menjadi sarana suksesnya warga belajar. Salah satu langkahnya adalah mengadakan pengawasan perilaku warga belajar setelah dilepas dari panti dan membuka peluang untuk mengembangkan potensinya. Pemikiran tersebut lahir dari keyakinan bahwa warga belajar akan berkembang kecakapan hidupnya apabila difasilitasi oleh lembaga dan adanya keberlanjutan pengawasan perilakunya. Kalau tidak diarahkan warga belajar tunalaras bukan tidak mungkin akan kembali menjadi sosok manusia yang mempunya penyimpangan perilaku.

E. Model yang Direkomendasikan 1.

Rasional Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia semakin hari semakin bertambah dengan pesat, berdasarkan data sheet keadaan jumlah penduduk tahun 2005 diperkirakan berjumlah 221.900.000 orang. Berdasarkan data tersebut apabila jumlah anak usia sekolah berkisar 40 dari populasi penduduk, maka diperkirakan anak usia sekolah berjumlah 88.750.000 orang. Kauffman J. M dan Hallahan D. P 1982 menyebutkan prevalensi anak tunalaras berjumlah 2 dari anak usia sekolah, sehingga berdasarkan pendapat tersebut di Indonesia anak tunalaras diperkirakan berjumlah 1.775.000 orang. Berdasarkan data Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah DEPDIKNAS, Th 2006 Anak Tunalaras Anak Nakal yang berjumlah 1.775.000 orang ini baru tertampung 788 orang yang tersebar di 13 Sekolah Luar Biasa SLBE se- Indonesia jadi pada dasarnya belum seluruhnya tertampung dalam pendidikan formal apalagi nonformal, ini menandakan bahwa Pendidikan Luar Sekolah untuk anak tunalaras masih dianggap hutan belantara, mengingat belum banyak yang membuka secara khusus tentang pendidikan nonformal yang diperuntukkan bagi anak tunalaras, kebanyakan baru pada taraf pendidikan formal. Secara kualitas dan kuantitas saat ini para remaja yang melakukan pelanggaran hukum di negara Indonesia semakin meningkat, hal tersebut di sinyalir dalam pernyataan resmi pejabat negara dalam arti penegak hukum. Data menunjukkan bahwa daya tampung LP anak di Tangerang isinya sudah melebihi kapasitas yang seharusnya bahkan mencapai empat kali lipat. Akhir tahun 2007 kenakalan yang dilakukan remaja dalam Gang Motor menujukkan kriminalitas yang sadisme, dengan melakukan penganiayaan dan perampokan di jalanan tanpa pilih bulu. Romli Atmasasmita 1985:23 mengatakan :“Delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan tercela.” Para remaja nakal banyak yang terlibat dalam pelanggaran norma hukum dan sosial yang dapat membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, anak tunalaras perlu diberikan layanan rehabilitasi melalui berbagai bimbingan, seperti bimbingan mental, bimbingan fisik, bimbingan sosial, dan bimbingan kecakapan vokasional yang terangkum dalam pelatihan kecakapan hidup life skills education. Setelah mengikuti program pelatihan kecakapan hidup diharapkan mereka dapat meningkatkan kemandirian dan dapat berprilaku humanis, sehingga mereka dapat memperoleh bekal kecakapan vokasional yang praktis, terpakai, terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada di masyarakat. Pelatihan kecakapan hidup sangat perlu diberikan kepada anak tunalaras, mengingat pandangan masyarakat terhadap anak yang telah diberi label “anak nakal tunalaras” lebih-lebih mereka diketahui pernah berada pada lembaga pendidikan atau penampungan anak nakal masih dipandang negatif, walaupun anak tersebut sudah tidak memiliki label anak nakal tunalaras. Diharapkan dengan bekal kecakapan vokasional hidup yang diperoleh melalui program pelatihan kecakapan hidup, anak tersebut dapat memiliki sikap kemandirian yang diharapkan masyarakat dimana mereka tinggal. Sesuai dengan Undang- Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pengajara n” yang diperkuat lagi oleh Undang-undang Pendidikan tentang Pendikan dan pengajaran luar biasa, serta Deklarasi hak anak yang berbunyi : The child that is hungry must be fed. The child that is sick must be nursed. The child that is physically and mentally handicapped must be helped. The maladjusted child must be reeducated. The orphan and the waif must be sheltered and secured. Dengan demikian jelas bahwa para remaja yang berstatus sebagai anak tunalaras baik yang ditampung di Sekolah Formal yaitu Sekolah Luar Biasa Bagian E, di Panti Panti Sosial mapun narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan anak LP harus diberikan pelayanan pendidikan serta bimbingan sesuai dengan deklarasi tersebut. Masalah Kenakalan remaja merupakan masalah yang sangat kompleks, yang dapat menimbulkan masalah sosial dalam kerangka Pembangunan Nasional. Sehingga menuntut adanya upaya penanggulangan baik yang bersifat preventif, represif maupun rehabilitasi. Untuk menangani hal tersebut diperlukan suatu kebijakan tertentu didalam melakukan rehabilitasi para remaja, salah satu diantaranya melalui proses pendidikan melalui jalur Pendidikan Luar Sekolah. Kenyataan di lapangan pendidikan yang bermuatan pelatihan pendidikan kecakapan hidup Life skills education yang diberikan kepada anak tunalaras baik yang ditampung di Panti Panti Sosial, di Sekolah Formal yaitu Sekolah Luar Biasa Bagian E, mapun narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan LP anak, diselenggarakan secara paralel antara pendidikan formal dengan pendidikan luar sekolah, tetapi penyelenggaraan pendidikan bagi anak tunalaras akan lebih efektif apabila diselenggarakan dengan integrated model antara Pendidikan Luar Sekolah dengan pendidikan formal, artinya model ini menggabungkan kedua jalur pendidikan tersebut kedalam suatu system yang terpadu. Sistem terpadu meliputi pengintegrasian kurikulum, proses pendidikan dan pengelolaan, serta koponen- komponen lainnya dari kedua jalur pendidikan tersebut. Sistem pendidikan terpadu diharapkan akan lebih fleksibel dan akan berorientasi pada kebutuhan masyarakat dan erat relevansinya dengan perkembangan pembangunan bangsa. Mengingat ragamnya keberadaan dan latar belakang pendidikan yang telah di peroleh anak tunalaras sebelumnya, semua program PLS pada dasarnya dapat dilaksanakan dan diikuti oleh semua anak tunalaras. Dalam konteks pendidikan yang berkelanjutan, program pelatihan kecakapan hidup merupakan kegiatan yang secara khusus dikembangkan untuk warga belajar yang membutuhkan. Program ini dirancang untuk membantu warga belajar dalam meningkatkan kemampuan berwirausaha dan menguasai kecakapan vokasional tertentu sehingga menjadi terampil dan mampu hidup di masyarakat dengan layak. Program ini pun merupakan: a pendidikan berkelanjutan untuk orang dewasa; b merespon kebutuhan dan keinginan; dan c mencakup pengalaman yang diberikan sebagai sub-sistem pendidikan formal, nonformal, dan informal. Sebagai program, pelatihan kecakapan hidup dalam meningkatkan kemandirian anak tunalaras yang bertujuan agar: a. Kesehatan dan kebugaran jasmani anak nakal tetap terjaga, sekaligus menanamkan disiplin diri. Pelaksanaannya dilakukan sejak awal proses rehabilitasi secara teratur setiap pagi dan sore hari. b. Tumbuh dan terbentuknya kondisi psikis atau kepribadian klien dan mantapnya sikap mental, integritas dan disiplin diri. c. Meningkatkan kemampuan menjalankan ibadah agama, dan meningkatkan ketahanan sosial anak nakal terhadap pengaruh buruk lingkungan. d. Memulihkan dan mengembangkan tingkah laku positif anak tunalaras, sehingga mampu melaksanakan tugas, fungsi dan peran sosialnya secara wajar dan dapat menjadi relasi dengan anggota keluarga dan masyarakat dimana ia tinggal, dalam arti dapat menjalankan fungsi sosialnya secara wajar dan mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat e. Meningkatkan kemampuan anak tunalaras dalam berbagai jenis kecakapan vokasional usahakerja untuk menunjang kebutuhan masa depannya. Secara teknis dikelompokkan berdasarkan minat dan kemampuannya. Jenis kecakapan vokasional yang diselenggarakan meliputi las, otomotif, salon, elektronika, menjahit, hasta karya, komputer, mengetik, mix farming. f. Agar anak nakal dapat dipantau dan tidak terpengaruh lingkungan yang kurang baik atau pengaruh yang kurang baik dari teman sebaya. Program ini juga dimaksudkan untuk: a menumbuhkan kecakapan vokasional bermata pencaharian; b mengajarkan kecakapan vokasional ekonomi; c mendapatkan akses pada informasi baru untuk memperbaiki kualitas hidup; d menumbuhkan kesadaran kritis tenang peristiwa mutakhir di lingkungannya; e membantu mengembangkan sikp rasional dan ilmiah, f mengorientasikan pada nilai-nilai dan sikap baru yang dibutuhkan dalam pembangunan; dan g untuk hiburan dan kegembiraan diadaptasi dari Sakya, 1986: 8. Dalam program kemandirian anak tunalaras dengan menerapkan model PKH, konsep dasar yang harus dibangun adalah: a. berorientasi pada warga belajar; b. program pelatihan memberi kesadaran bahwa PKH tersebut sangat penting bagi warga belajar; dan c. memberikan manfaat yang riil dan dapat dirasakan sejalan dengan proses berlangsungnya program pelatihan. Dengan kata lain, apa yang dipelajari dalam kegiatan PKH yang berorientasi pada kemandirian, merupakan materi kegiatan yang dibutuhkan atau sesuai dengan harapan peserta pelatihan. Melalui pendekatan pelatihan tersebut, seluruh tahapan kegiatan, materi kegiatan maupun dampak akhir kegiatan, betul-betul dirumuskan dan dilaksanakan bagi kepentingan warga belajar. Pengembangan model PKH yang berorientasi pada kemandirian sangat relevan dan dapat dilaksanakan secara efektif.

2. Komponen Model

Unsur-unsur komponen model Pelatihan Kecakapan Hidup dalam Peningkatan kemandirian anak tunalaras dikembangkan setelah melalui revisi dan penyempurnaan, selanjutnya dijadikan sebagai konsep model akhir atau disebut model empirik.

a. Perencanaan

Sistem perencanaan pelatihan kecakapan hidup berbasis kemandirian anak tunalaras disusun dengan pendekatan partsisipatif, sehingga melibatkan calon peserta, pekerja sosial peksos, dan instansi terkait untuk menetapkan berbagai hal yang terkait dengan perencanaan program. Perencanaan program yang dilakukan sejalan dengan konsep tujuan dan fungsi panti sosial. Tujuan Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya. Panti Sosial sedikitnya memiliki ketiga fungsi tersebut. Namun demikian menurut Siahaan, yang dikutip oleh Tim Peneliti di Badan Pelatihan dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial Depsos RI 2003, sesungguhnya masih ada satu fungsi lagi yang ada dalam sebuah panti, yaitu fungsi pendidikan dan pelatihan. Menurutnya, hal itu mengingat bahwa dalam sebuah panti terdapat penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, baik kepada anak tunalaras secara langsung maupun kepada tenaga di luar Panti dalam meningkatkan kemampuan pelayanan kesejahteraan sosial. Sebagaimana yang dilakukan dalam pengembangan model pelatihan kecakapan hidup sebagai upaya peningkatan kemandirian anak tunalaras ini, tidak akan terjadi tumpang tindih baik dari sisi program maupun sasaran karena semua instansi yang terlibat terlebih dahulu telah melakukan koordinasi. Bentuk koordinasi yang dilakukan adalah sebelum kegiatan pelatihan berlangsung, terlebih dahulu dilakukan rapat kerja bersama yang dipimpin dan dihadiri oleh para pengurus dan pengelola panti. Hasilnya disepakati kalau program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup menjadi tanggung jawab bersama. Masing-masing instansi yang terlibat Depsos dan Depdiknas menyatakan kesediannya untuk membantu dalam hal pengelolaan dan pembinaan lanjutan. Rancangan program pelatihan kecakapan hidup yang telah tersusun dan disepakati bersama ini terdiri atas tiga jenis kecakapan yaitu perbengkelan las, teknik pendingin, dan otomotif. Sebagaimana yang juga telah diungkapkan sebelumnya bahwa ketiga jenis kecakapan ini dilatihkan dalam satu paket pelatihan atau dalam waktu yang bersamaan. Pemisahannya dilakukan hanya pada saat pemberian materi teknis atau praktik, sedang saat acara pembukaan, pemberian materi umum dan acara penutupan tetap dilakukan bersama. Dalam menyususn rancangan pengembangan program pelatihan kecakapan hidup mengandung unsur-unsur yang dapat diuraikan sebagai berikut.

b. Tujuan Pelatihan

Secara umum tujuan pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras di pusat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal di PSMP Handayani secara umum adalah pulihnya kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya. Secara khusus, program ini bertujuan untuk: 1 Meningkatkan kecakapan hidup anak tunalaras yang dapat dijadikan sarana untuk pengembangan diri dan memenuhi mata pencaharian. 2 Menyebarluaskan kecakapan akademik, kecakapan vokasional, kecakapan personal, dan kecakapan sosial melalui peningkatan kecakapan hidup. 3 Menumbuhkembangkan kreatifitas masyarakat khususnya warga belajar tunalaras dalam memecahkan permasalahan dengan memanfaatkan potensi sumber daya dan kelembagaan masyarakat. 4 Untuk dapat memulihkan kondisi psikologis dan kondisi sosial serta fungsi sosial anak nakal sehingga mereka dapat hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar di masyarakat sertamenjadi sumber daya manusia yang berguna, produktif dan berkualitas, serta berakhlak mulia.

c. Kelompok Sasaran

Kelompok sasaran program ditetapkan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh PSMP Handayani yaitu anak nakal yang mempunyai kriteria sebagai berikut : 1 Anak nakal yang berusia 10-18 tahun dan belum menamatkan pendidikan dasar 9 tahun. Bagi mereka diberikan pelayanan pendidikan setaraf Sekolah Dasar SD dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP umum. 2 Anak nakal yang berusia 16-21 tahun dan minimal telah menamatkan pendidikan Sekolah Dasar SD. Bagi mereka diberikan bimbingan fisik, mental, sosial dan keterampilan kerja. 3 Anak nakal yang berkonflik dengan hukum, meliputi : a Sedang dalam proses penyidikan oleh polisi. b Sedang dalam proses pengadilan jaksa penuntut umum. c Menjalani putusan hakim. d Setelah selesai menjalani pidana anak.

d. Sumber BelajarFasilitator

Kriteria dan kualifikasi untuk Sumber Belajar SB yang direkrut untuk program pelatihan kecakapan hidup adalah sebagai berikut: 1 Berusia 20-50 tahun 2 Tingkat pendidikan minimal SMA 3 Alumni PSMP Handayani Jakarta. 4 Mampu menjalin kerja sama dan berkomunikasi dengan baik 5 Memiliki kemampuan membelajarkan dan melatih 6 Memiliki kecakapan vokasional vokasional sesuai yang diprogramkan

e. Kurikulum

Identifikasi kebutuhan warga belajar menunjukkan ada 3 tiga aspek yang perlu dilakukan penguatan yaitu: a aspek personal, berupa ketidakmampuan anak tunalaras sebagai warga belajar dalam memecahkan masalah dan menyadari potensi yang dimilikinya; b aspek sosial, berupa keterbatasan anak tunalaras dalam hal kepribadian, sikap mental dan kemampuan anak nakal, sehingga tidak mampu melaksanakan fungsi sosialnya dalam suasana tatanan kehidupan dan penghidupan sosial keluarga dan lingkungan sosialnya; dan c aspek vokasional, berupa keinginan anak tunalaras untuk menguasai kecakapan vokasional tertentu sehingga mampu menjadi manusia yang produktif dan mandiri. Dengan memperhatikan hasil identifikasi tersebut dan mempertimbangkan kondisi masyarakat maka disusun isi kurikulum yang difokuskan pada pengembangan kecakapan individu, kecakapan sosial, dan kecakapan vokasional. Berdasarkan fokus tersebut, maka disusun kriteria isi kurikulum pelatihan kecakapan hidup berbasis kemandirian sebagai berikut: 1 Strategi pelatihan kecakapan hidup dengan berbagai jenis kecakapan selalu diarahkan untuk menggali berbagai potensi yang ada di masyarakat setempat. 2 Menjadikan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari sebagai masukan pokok pengembangan kurikulum. 3 Pengelolaan usaha mandiri sebagai fokus materi pelatihan dengan penekanan pada pengembangan kemandirian. 4 Jenis kecakapan vokasional yang dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar dan permintaan pasar. Untuk tema kurikulum, hal-hal yang dikemukakan mencakup: 1 Kecakapan akademik tentang jenis-jenis keterampilan; 2 Kecakapan vokasional tentang pembentukan dan strategi pengelolaan usaha; 3 Kecakapan vokasional tentang pengelolaanproses perbengkelan dan jasa; 4 Kecakapan vokasional tentang pemasaran; 5 Kecakapan akademik tentang pengelolaan keuangan; 6 Kecakapan personal tentang pengelolaan organisasikelompok yang terlibat dalam kegiatan usaha; dan 7 Kecakapan sosial tentang pengelolaan jiwa kepemimpinan dalam menjalankan usaha bersama.

f. Bahan Ajar dan Latihan

Bahan ajar yang dikembangkan untuk program pelatihan semuanya dituangkan dalam bentuk diktatmodul yang mencakup bahan ajar kegiatan kecakapan vokasional dan usaha bersama. Secara rinci, bahan ajar ini mencakup : 1 Modul pelatihan seri kegiatan kewirausahaan tentang proses pelayanan service dan jasa. 2 Modul pelatihan seri kewirausahaan tentang Kepemimpinan, Sumberdaya Manusia SDM dan Pengelolaan Keuangan. 3 Modul kecakapan vokasional bidang perbengkelan las, teknik pendingin, dan otomotif.

g. Media pelatihan keterampilan

Media pelatihan yang dipergunakan adalah alat tulis, modul dan bahan- bahan praktik.

h. Metode pelatihan keterampilan

Pendekatan yang digunakan dalam pengembangan model pelatihan kecakapan hiudp adalah pendekatan andragogi, partisipatoris dengan metode ceramah, diskusi, kerja kelompok dan praktik.

i. Waktu dan tempat pelatihan

Kegiatan pelatihan dilangsungkan selama dua minggu atau 12 hari penuh dari tgl 14 sampai 26 Februari 2008. Kegiatannya dibagi menjadi 2 tahap, yaitu pada uji coba tahap pertama selama 6 hari dan uji coba tahap kedua juga 6 hari. Kegiatan pelatihan dipusatkan di PSMP Handayani Jakarta, dengan jumlah jam pelajaran sebanyak 96 jam 45 menit.

j. Evaluasi akhir pelatihan

Evaluasi pelatihan kecakapan vokasional dilakukan dengan a evaluasi pra-pelatihan; b evaluasi proses pelatihan keterampilan; dan c evaluasi akhir pelatihan keterampilan. Pada dasarnya, evaluasi dilakukan pada aspek-aspek a kemampuan memahami materi dan b kemampuan mempraktikkan.

k. Pelaksanaan

Pelibatan berbagai pihak dalam proses pelatihan kecakapan vokasional menjadi penting dalam pelatihan, misalnya antara lain: lembaga pemerintah daerah melalui dinasinstansi teknis terkait, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Disnakertrans, sumber belajarfasilitator, tokoh masyarakat dan para kader organisasi kemasyarakatan. Kerja sama berbagai pihak sesungguhnya sangat diperlukan dalam program pelatihan kecakapan hidup, yaitu sejak perencanaan program sampai evaluasi program pelatihan, termasuk kegiatan monitoring, dan pembinaan berkelanjutan. Keterlibatan mereka dalam kegiatan evaluasi pelatihan kecakapan hidup merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan satu program pelatihan kecakapan hidup. Dalam banyak hal pemantauan pasca kegiatan pelatihan terabaikan yang disebabkan berbagai alasan, antara lain tidak tersedianya anggaran atau terbatasnya sumber daya manusia sumber belajar dan atau tenaga pendamping yang bertanggung jawab pada program pelatihan. Dalam pelatihan yang menganut sistem pelatihan orang dewasa, yaitu anak tunalaras sebagai warga belajar sehingga kemampuan dalam penguasaan materi selama proses dan setelah kegiatan berakhir sesungguhnya dapat diketahui oleh warga belajar sendiri.

l. Evaluasi

Evaluasi model pelatihan kecakapan hidup lebih mengedepankan pada kerja sama untuk mengetahui keberhasilan pencapaian program pelatihan kecakapan vokasional oleh warga belajar. Evaluasi pelatihan kecakapan vokasional dilakukan secara bersama-sama, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil program pelatihannya. Evaluasi proses dilakukan terhadap warga belajar, terdiri dari motivasi belajar, kerja sama, dan partisipasi warga belajar dalam proses pelatihan. Bagi sumber belajarfasilitator evaluasi tersebut bermanfaat untuk memperbaiki dan meningkatkan unjuk kerja performance sebagai pembelajar atau warga belajar, antara lain terkait dengan penguasaan materi, penggunaan media dan bahan pelatihan, metode dan fasilitassarana pelatihan, serta bimbingan selama proses pelatihan. Sedangkan evaluasi akhir pelatihan dilakukan untuk mengetahui penguasaan materi pelatihan oleh warga belajar teori dan praktik. Evaluasi pasca penyelenggaraan program pelatihan kecakapan hidup selain dilakukan oleh peneliti juga melibatkan beberapa petugas atau sumber belajar sekaligus melakukan pemantauan monitoring. Kegiatan para petugas tersebut adalah untuk melakukan pemantauan pada kemandirian warga belajar yang telah mengikuti program pelatihan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kontribusi penerapan model pelatihan pelatihan kecakapan hidup dalam menguasai kecakapan vokasional vocational skills dalam rangka meningkatkan kemandirian anak tunalaras warga belajar, kesejahteran, dan taraf hidup mereka. Model konseptual pelatihan kecakapan hidup yang dikembangkan mengacu pada pendekatan pelatihan orang dewasa adult learning ini, dalam perspektif pendidikan luar sekolah program pelatihan tersebut diimplementasikan melalui pendekatan partisipatif dan kolaboratif. Pendekatan ini juga berlaku dalam program pembinaan lanjutan setelah mereka memiliki kecakapan vokasional dan usaha. Sedangkan secara substansial pengembangan model pada program pelatihan yang dikembangkan mengarah pada munculnya kepercayaan yang melekat pada warga belajar untuk mengatur diri dalam menjalankan tugas sehari- hari karena menyadari telah memiliki kemampuan yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan. Secara umum, walaupun dalam pelatihan kecakapan vokasional lebih menekankan pada penguasan kecakapan vokasional praktis, namun tidak mengabaikan aspek kecakapan akademik secara teoretis. Dalam pelatihan kecakapan hidup orang dewasa, kegiatan belajar kecakapan vokasional praktis akan menarik bilamana materi yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan dengan metode pelatihan yang menarik pula. Karena itu model belajar dengan learning by doing dan metode pemecahan masalah problem solving methods adalah motode-metode yang dianggap sangat tepat bagi warga belajar. Untuk itu, metode pelatihan kecakapan vokasional juga akan menarik dan bermakna bagi warga belajar bilamana terdapat kesesuaian antara materi dengan jenis kecakapan vokasional yang dipilih atas dasar kebutuhan nyata kelompok sasaran program calon warga belajar melalui kesepakatan bersama. Berdasarkan analisis hasil studi eksplorasi dan analisis kebutuhan belajar anak tunalaras sebagai warga belajar, pengembangan model pelatihan kecakapan hidup dalam penelitian ini mencakup beberapa hal, di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, deskripsi model pelatihan yang dikembangkan akan mencoba menggambarkan pelatihan kecakapan hidup sebagai sistem, konsep, program dan pendekatan. Dalam penelitian ini, pelatihan kecakapan hidup dipandang sebagai penguatan untuk kemandirian anak tunalaras. Selain itu, dipaparkan juga mengenai pengembangan media dan bahan materi pelatihan menggunakan sistem penghantaran secara terintegrasi. Kedua, memaparkan potensi-potensi sumber daya yang ada di masyarakat SDA, SDM dan nilai-nilai budaya, yang menjadi basis dan sumber pelatihan warga belajar dalam rangka untuk memperoleh sumber penghasilan atau pendapatan. Sebagian sumber daya lokal dipilih atas dasar keunggulan- keunggulan komparatif dengan pertimbangan potensi ekonomi pedesaan dan perkotaan yang diarahkan kepada pelatihan ekonomi yang mampu memberikan nilai tambah. Ketiga, untuk menyosialisasikan konsep pelatihan kecakapan hidup bagi warga belajar, perlu dipilih jenis-jenis usaha ekonomi produktif melalui pengembangan model yang akan diujicobakan. Pelatihan jenis-jenis kecakapan vokasional usaha ekonomi produktif bagi kelompok warga belajar dalam penelitian dan pengembangan model pelatihan ini terbatas pada pengelolaan dan pelayanan di bidang jasa. Keempat, proses perancangan program dan bahan belajar yang menggambarkan tentang langkah-langkah kegiatan apa yang dilakukan, dengan dan bersama siapa merancang dan melaksanakan program pelatihan serta bahan belajar apa yang sebaiknya dikembangkan. Dalam proses ini, tidak lupa juga memperhatikan karakteristik warga belajar anak tunalaras sebagai kelompok sasaran, bagaimana prosesnya, apa metode dan keluaran produk yang dihasilkan. Kelima, proses kemandirian anak tunalaras melalui model pelatihan kecakapan hidup menggambarkan bagaimana memproses antara instrumen input, environment input, dan other input yang disepakati bersama untuk menghasilkan output serta outcomes, serta untuk mengetahui keberhasilan pelatihan terhadap kelompok sasaran. Peran dan tugas-tugas fasilitator dan kelompok sasaran akan dikembangkan ke dalam aktifitas pelatihan keterampilan. Pengorganisasian warga belajar dan bahan belajar, penggunaan motode pelatihan serta bimbingan lanjutan menjadi bagian yang terintegrasi dalam model pelatihan kecakapan hidup dengan pendekatan partisipatif dan kolaboratif. Program pelatihan melalui model pelatihan kecakapan hidup bukanlah suatu produk final bagi program kemandirian anak tunalaras dalam upaya mengatasi masalah ekonomi. Atas pertimbangan dan alasan tersebut, rancangan model konseptual yang disusun mempertimbangkan beberapa kemungkinan yang diperkirakan akan terjadi dan menjadi hambatan dalam proses penelitian dan pengembangan model, baik yang bersifat internal bersumber dari diri peneliti sendiri, seperti keterbatasan kemampuan dan pemahaman, antara lain: menjustifikasi secara akurat fenomena-fenomena sosial terhadap model-model pelatihan yang relatif beragam dan berubah, maupun eksternal bersumber dari peneliti, seperti administratif dan kondisi lapangan. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah persiapan yang dapat mengeliminir hambatan yang bakal terjadi, sehingga perlu adanya antisipasi dalam implementasinya.

3. Asumsi Model

Model pelatihan kecakapan hidup memiliki beberapa asumsi sebagai landasan agar betul-betul sesuai dengan karakteristik fungsional model yang dikembangkan. a. Kepemilikan kecakapan vokasional dan penguasaan faktor-faktor pendukungnya merupakan instrumen efektif untuk membentuk kemandirian sosial dan ekonomi para warga belajar. b. Warga belajar merasa dapat diterima oleh kelompoknya, yang didasari oleh adanya keyakinan terhadap kemampuannya, khususnya dalam hubungan sosial, dan merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya. Manifestasi dari keadaan ini antara lain, individu aktif menghadapi keadaan lingkungan, berani mengemukakan apa yang menjadi kehendaknya atau ide- idenya secara bertanggung jawab, dan tidak mementingkan diri sendiri melalui refleksi kolektif. c. Pelaksanaan pelatihan kecakapan hidup merupakan proses pemberdayaan empowering yang memungkinkan warga belajar mampu mengenali faktor- faktor yang menghalangi perubahan atau perkembangannya yang meliputi: Pertama individu merasa adekkuat terhadap apa yang dilakukan, hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan, kemampuan, dan kecakapan vokasional yang dimiliki. Kedua, individu merasa dapat diterima oleh kelompoknya, yang didasari oleh adanya keyakinan terhadap kemampuannya, khususnya dalam hubungan sosial, dan merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya. Ketiga, individu memiliki ketenangan sikap. Hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan dan kemampuannya. Individu merasa tenang dalam menghadapi berbagai situasi. d. Proses pelatihan kecakapan hidup memerlukan suasana saling membutuhkan, saling belajar, suasana aman, hangat, suasana saling menghargai, dan saling percaya. Model pelatihan kecakapan hidup bukanlah suatu model yang kaku akan tetapi memerlukan jaringan hubungan antara warga belajar dan sumber belajar serta bersama lingkungannya. e. Kemandirian merupakan paradigma sosial dengan tiga karakteristik, yaitu mandiri secara fisik dapat bekerja sendiri dengan baik, mandiri secara mental dapat berpikir secara kreatif dan analitis dalam menyusun dan mengekspresikan gagasan dan mandiri secara emosional nilai yang ada dalam diri sendiri.

4. Pendekatan Model