Penilaian Praktisi terhadap Rancangan Model Konseptual Persiapan

kecakapan hidup melalui pelatihan sebagai upaya kemandirian anak tunalaras sudah sesuai. Komentar yang diberikan nara sumber memberikan penekanan pada empat hal, yaitu: 1 rancangan model, media pelatihan, pemanfaatan sumber daya lokal yang terkait dengan pelatihan kecakapan hidup, dan relevansinya dengan kebutuhan anak tunalaras; 2 kerangka pikir, isi sistematika, alur dan visualisasi model; dan 3 proses pengelolaan pelatihan; serta 4 bahan dan sumber belajar. Beberapa hal yang perlu direvisi dari model pelatihan kecakapan hidup bagi anak tunalaras berdasarkan masukan dari para ahli adalah 1 visualisasi model dalam bentuk gambar disesuaikan dengan aspek-aspek komponen model pelatihan kecakapan hidup supaya lebih spesifik; 2 arah program pelatihan kecakapan hidup lebih ditekankan pada usaha untuk membangun kemandirian anak tunalaras sehingga memiliki nilai tambah dalam pemberdayaannya; dan 3 pelatihan kecakapan hidup lebih ditekankan pada vocational skills, Beberapa masukan yang berasal dari nara sumber pada model konseptual pelatihan kecakapan hidup untuk meningkatkan kemandirian anak tunalaras, kemudian dijadikan bahan perbaikan dan penyempurnaan, terutama terkait dengan pelatihan kecakapan hidup yang lebih ditekankan pada “vocational skills” dan pembentukan kemandirian.

b. Penilaian Praktisi terhadap Rancangan Model Konseptual

Komentar praktisi terhadap model konseptual yang akan dikembangkan lebih memberikan penekanan pada tiga hal, yaitu: 1 model, khususnya relevansinya dengan kebutuhan anak tunalaras yang terkait dengan memberikan bimbingan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif dalam bentuk bimbingan fisik, mental, sosial dan pelatihan keterampilan, resosialisasi dan bimbingan lanjut bagi anak nakal agar mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat serta pengkajian dan penyiapan standar pelayanan dan rujukan; 2 evaluasi dan monitoring; dan 3 bahan belajar sebagai panduan warga belajar dan fasilitatorpembimbing. Beberapa hal yang perlu direvisi dari model ini berdasarkan masukan dari para praktisi adalah memperbaiki kekurangan dalam menentukan jenis-jenis kecakapan vokasional terapan yang ekonomis disesuaikan dengan kebutuhan belajar yang dipilih dan disepakati oleh calon warga belajar dengan mempertimbangkan potensi setempat dan yang mungkin disediakan termasuk fasilitasperalatan praktik dan media pelatihan yang dibutuhkan dalam pelatihan.

c. Tanggapan Warga Belajar terhadap Desain Model Konseptual

Tanggapan terhadap rancangan model konseptual pelatihan kecakapan hidup terutama ditujukan dan diharapkan datang dari para anak tunalaras calon warga belajar yang dijadikan peserta dalam penelitian ini. Komentar calon warga belajar terhadap model konseptual yang akan dikembangkan dalam penelitian ini lebih memberikan penekanan pada tiga hal, yaitu: 1 kesesuaian model pelatihan kecakapan hidup dengan kebutuhan belajar dan potensi sumber daya yang ada di daerah; 2 bahan belajar yang mereka butuhkan; 3 fasilitatorsumber belajar, dan pembimbing. Rancangan model konseptual terlebih dahulu direvisi berdasarkan beberapa masukan yang diberikan para pembimbing, para ahli di luar pembimbing, para praktisi pelatihan PLS, dan calon warga belajar sehingga dihasilkan sebuah model konseptual yang siap untuk diimplementasikan. Sebagaimana diungkapkan dalam bab III, bahwa model pengembangan penelitian dilakukan dalam dua kegiatan I dan II. Hasil model konseptual dari pengembangan penelitian yang dilakukan pada kegiatan I, setelah divalidasi dan direvisi atau yang siap untuk diimplementasikan dapat dilihat pada gambar 4.5 sebagai berikut. Model konseptual lihat di file gambar model Gagasan model pelatihan kecakapan hidup dilatarbelakngi oleh beberapa masalah yang muncul sebagai hasil kajian lapangan melalui observasi dan studi lapangan. Permasalahan pertama berkenaan dengan input warga belajar. Warga belajar pada pelatihan kecakapan hidup berasal dari Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Mereka datang dari berbagai daerah lengkap dengan berbagai latar belakangnya. Karakteristik utama warga belajar tersebut adalah: 1 mereka mempunyai penyimpangan perilaku; 2 memiliki permasalahan dalam belajar; 3 membutuhkan pendidikan khusus; dan sebagainya. Permasalahan kedua, berkenan dengan kompetensi vokasional yang rendah. Kompetensi vokasional warga belajar tersebut hanya berkenaan dengan keterampilan yang berhubungan dengan keperluan hidup yang kurang produkif. Kompetensi vokasional yang produktif harus dimiliki oleh warga belajar agar mereka mampu memenuhi kebutuhannya sendiri secara ekonomi bahkan mampu mandiri secara wirausaha. Permasalahan ketiga berkenaan dengan latar belakang ekonomi yang beragam tetapi pada umumnya berasal dari kalangan ekonomi kurang mampu. Latar belakang ekonomi menjadi fokus perhatian penulis sebagai bahan kajian penyusunan model karena berhubungan langsung dengan tujuan dan dampak pengembangan model pelatihan kecakapan hidup. Tujuan akhir model ini adalah terbentuknya warga belajar yang memiliki kecakapan hidup dan kemandirian. Kondisi ekonomi yang kurang tentu akan berpengaruh pada karakteristik warga belajar dalam berbagai sudut pandang. Permasalahan berikutnya berkenan dengan perencanan, pelaksanaan, evaluasi, dan sumber belajar tutor juga yang kurangmemahami azas-azas pelaksanaan pelatihan. Keempat aspek tersebut tidak dikelola denganbaik layaknya kegiatan pelatihan yang harus disusun dan silaksanakan dengan sistematis. Beberapa permasalahan dan latar belakang tersebut menjadi dasar pemikiran penulis dalam mengembangkan model konseptual pelatihan kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Latar belakang tersebut menjadi dasar penyusunan program dan dasar penyusunan teknis pelatihan kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta. Program pelatihan berkenaan dengan pengembangan pada aspek: kurikulum, pendekatan, dan tujuan. Kurikulum yang dikembangkan dalam pelatihan kecakapan hidup di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani Jakarta adalah kurikulum terintegratif. Kurikulum ini merupakan sebuah program kerja yang dikembangkan berdasarkan aspek-aspek unsur-unsurnya secara terintegrasi yakni: kemandirian secara fisik, mental, dan sosial; pengembangan sarana dan prasarana pendukung pelatihan, uraian waktu, teknik evaluasi, dan sebagainya. Pendekatan yang dikembangkan adalah pendekatan pelatihan partisipatif. Pendekatan ini sangat cocok diterapkan pada anak tunalaras karena anak tunalaras memiliki penyimpangan perilaku yang berbeda dari anak biasa sehingga keterlibatan emosi dan sosialnya harus dikontrol. Pendekatan partisipatif mampu mengakomodasi karakteristik anak tunalaras sehingga memungkinkan mereka aktif dan turut berperan serta dalam pelatihan. Tujuan pelatihan adalah agar anak tunalaras memiliki kecakapan vokasional. Kecakapan vokasional yang dikembangkan melalui pelatihan ini adalah kecakapan di bidang otomotif, teknik pengelasan, dan teknik pendingin. Pada aspek teknis pelatihan berkenaan dengan manajemen, proses belajaran mengajar pelatihan, dan evaluasi serta pengembangannya. Manajemen berkenaan dengan tata laksana pelatihan. Manajemen yang dimaksud adalah manajemen dalam bidang: tata rancang personal, tata rancang materi pelatihan, tata rancang sarana dan prasarana, tata rancang keuangan, dan sebagainya. PBM berkenaan dengan teknik proses pelatihan. Evaluasi dan pengembangannya berkenaan dengan teknik penentuan model evaluasi, jenis evaluasi, instrumen evaluasi, dan teknik pengukurannya. Seluruh paparan di atas merupakan pengembangan tahap perencanaan pelatihan. Tahap perencanaan ini akan menjadi landasan pelaksanaan pelatihan. Proses pelatihan kecakapan hidup dikembangkan berdasarkan beberapa unsur yang turut berpengaruh pada pelaksanaannya. Pertama, pemberian tes awal. Tes awal diterapkan untuk mengetahui kemampuan awal warga belajar yang berkenaan dengan materi pelatihan yanag akan disampaikan. Melalui tes awal titik tolak materi akan dikembangkan sesuai dengan hasilnya. Proses pelatihan juga dipengaruhi oleh proses bimbingan fisik, mental, dan sosial yang sudah menjadi program kerja Panti Sosial. Bimbingan tersebut biasanya dilaksanakan pada pagi hari dan malam hari. Secara khusus, faktor lingkungan juga turut mempengaruhi input warga belajar. Faktor-faktor tersebut adalah: lingkungan sekitar, keluarga, ekonomi, dan sebagainya. Faktor tersebut merupakan faktor bawaan yang tidak dapat dilepaskan pada diri warga belajar. Proses pelaksanaan pelatihan diakhiri oleh pemberian tes akhir yang merupakan salah satu cara yang paling efekif untuk menguji keberhasilan pelatihan lebih jauh lagi keberhasilan rancangan model. Seluruh pelaksanaan tersebut merupakan tahap pelaksanaan model atau kegiatan inti. Gambaran pelaksanaan pelatihan tersebut pun dapat dijadikan dasar dalam merevisi program kegiatan. Revisi diperlukan pada saat menemukan bagian- bagian pelatihan yang kurang optimal. Proses pelatihan kecakapan hidup diharapkan mampu membentuk warga belajar memiliki kemandirian secara fisik, mental, dan sosial. Di samping itu, diharapkan juga dapat membentuk warga belajar yang memiliki kecakapan hidup akademik, vokasional, sosial, dan personal. Semua karakteristik warga belajar yang menjadi tujuan pelatihan tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan evaluasi. Hasil evaluasi perancangan pelatihan tersebut dapat mejadi dasar pengembangan model pelatihan kecakapan hidup. Pengembangan dapat dilakukan melalui pemberdayaan warga belajar ke bengkel-bengkel yang sudah menjalin kerja sama, mendirikan koperasi, dan sebagainya. Paparan model pelatihan tersebut merupakan dasar bagi pelaksanaan pelatihan tahap implementasi model.

C. Implementasi Model Pelatihan Kecakapan Hidup di Panti Sosial

Marsudi Putra Handayani Jakarta 1. Uji Coba Model Tahap I Kegiatan implementasi uji coba model pelatihan kecakapan hidup dalam peningkatan kemandirian anak tunalaras dilakukan melalui dua tahap. Pada uji coba tahap 1, sumber belajartutor yang didampingi peneliti lebih aktif dalam memberikan atau menyampaikan materi baik teori maupun praktik kepada warga belajar selama berlangsungnya kegiatan uji coba. Kegiatan ini dilakukan selain untuk mengetahui hasil atau kesesuaian antara konsep dengan penerapannya, juga untuk melihat kemungkinan adanya kelemahan dan hambatan yang akan segera diperbaiki. Pada uji coba tahap 2, sumber belajartutor mengurangi perannya dalam kegiatan proses pelatihan. Sumber belajar yang tetap didampingi peneliti lebih banyak melakukan pengamatan atau sebagai pemantau dan hanya sesekali memberikan arahan bila dianggap masih ada kegiatan dari warga belajar yang masih kurang sesuai. Pada tahap kedua ini lebih diarahkan agar setiap warga belajar memiliki kemandirian dan pengalaman langsung dalam melakukan setiap kegiatan.

a. Persiapan

Pada tahap persiapan, yaitu sebelum model konseptual diujicobkan atau diimplementasikan, lagkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, melakukan diskusi dengan calon warga belajar yang diikuti oleh aparatur Dinas Sosial Kota Jakarta sebagai pengelola pekerja sosial, orang tua asuh, dan instruktur. Fokus diskusi membahas tentang masalah-masalah sosial- ekonomi, termasuk masalah pendidikan anak tunalaras, pelatihan yang efektif, jalinan kerja sama dengan pihak luar para penguasaha atau pemilik bengkel, dan potensi-potensi ekonomi yang mungkin dan dapat dikembangkan. Kedua, penentuan jensi-jenis kecakapan vokasional praktis yang dijadikan materi pelatihan sesuai dengan kebutuhan belajar calon warga belajar pada program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup. Ketiga, melakukan koordinasi dengan pengelola Panti Asuhan Marsudi Putra Handayani Jakarta, dalam hal ini ditujukan pada upaya menjalin kerja sama dan penguatan kelembagaan untuk mendukung pengembangan program kemandirian anak tunalaras melalui pelatihan kecakapan hidup. Keempat, penyiapan bahan belajar. Materi-materi pelatihan yang dimasukan dalam program pelatihan keterampilan, disusun dalam bentuk bahan belajar berdasarkan kebutuhan belajar calon warga belajar. Penyiapan materi- materi bahan belajar dilakukan mulai bulan Juli sampai Agustus 2008. Peyusunan bahan belajar tertulis dilakukan melalui kerja sama dengan beberapa instansi terkait, khususnya Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan Kota Jakarta yang berkedudukan sebagai praktisi dalam penyusunan model bahan belajar. Setelah melalui diskusi dan validasi, selanjutnya bahan belajar diperbanyak sesuai dengan kebutuhan program pelatihan kecakapan hidup. Kelima, penetapan nama calon warga belajar yang akan mengikuti pelatihan kecakapan hidup. Jumlah seluruh warga belajar pelatihan sebanyak 60 orang. Keenampuluh warga belajar tersebut terbagi menjadi tiga kelompok, yakni 25 orang warga belajar kelompok kecakapan vokasional otomotif, 18 orang warga belajar kelompok kecakapan vokasional pengelasan, dan 17 orang warga belajar teknik pendingin. Keenam, penetapan waktu dan tempat pelatihan. Sebelum kegiatan pelatihan diselenggarakan, terlebih dahulu peneliti mengadakan pertemuan dengan tutorfasilitator, dan perwakilan calon warga belajar Dari pertemuan tersebut disepakati program dan jadwal kegiatan pelatihan untuk uji coba model tahap I, sekaligus menyepakati jenis-jenis kecakapan vokasional yang akan dipelajari dan menentukan tempat penyelenggaraan program pelatihan. Kegiatan program pelatihan pada tahap I disepakai mulai tanggal 14 sampai 28 Pebruari 2008. Ketujuh, persiapan peralatan pelatihan dan pelatihan, mediabahan pelatihan yang dibutuhkan dalam pelatihan, selain disiapkan sendiri oleh peneliti, juga disiapkan oleh PSMP, dan fasilitator.

b. Pelaksanaan