Kondisi Pemertahanan Bahasa Pakpak Dairi di Ranah Gerejadan Ranah Mesjid

Hal yang serupa juga terjadi pada kelompok orang tua. Penggunaan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok orang tua tidak bertahan karena alih kode. Alih kode itu terjadi ketika kelompok orang tua berbicara dengan teman-teman sesuku dihadiri pihak ketiga atau lawan bicaranya tidak bisa menggunakan bahasa Pakpak Dairi lihat data observasi, data 25. Sejalan dengan uraian di atas, Sumarsono 1990 dalam disertasi „Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan‟ mengatakan bahwa alih kode juga terjadi di ranah ketetanggaan. Alih kode itu terjadi ketika guyup loloan mengetahui kalau tetangganya bukan warga guyup Loloan. Tetapi mereka akan menggunakan bahasa Melayu Loloan ketika mereka berinteraksi dengan guyup Loloan juga. Jika dikaitkan, hasil penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Sumarsono 1990 dan sejalan dengan teori yang ada. Dapat disimpulkan bahwa kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi kelompok remaja, kelompok dewasa, dan kelompok orang tua tidak bertahan di ranah luar rumah disebabkan oleh konsentrasi tempat tinggal, migrasi, jumlah penutur, sekolah, alih kode, campur kode, dan pemerolehan bahasa pertama diduga mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi.

5.2.1.3 Kondisi Pemertahanan Bahasa Pakpak Dairi di Ranah Gerejadan Ranah Mesjid

Berdasarkan hasil penelitian, kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok remaja sudah tidak bertahan. Sedangkan kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok dewasa dan kelompok orang tua masih bertahan. Jika sesama remaja berkomunikasi di ranah gerejamesjid, mereka selalu Universitas Sumatera Utara menggunakan bahasa Indonesia, baik sesuku maupun tidak sesuku lihat lampiran data observasi, data 23, data 24, data 25 dan data 26. Penggunaan bahasa Indonesia disebabkan konsentrasi tempat tinggal, jumlah penutur, sekolah dan diduga pemerolehan bahasa pertama, yakni bahasa Indonesia lihat tabel 4.5. Selanjutnya, penggunaan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok dewasa dan kelompok orang tua masih bertahan. Dalam hal ini ranah dan interlokutor sangat mempengaruhi pemertahaanan bahasa. Di ranah gereja khusus GKPPD, mayoritas masyarakat yang beribadah adalah bersuku Pakpak Dairi walaupun ada juga yang bersuku lain. Tentunya hal ini juga mempengaruhi tingkat pemertahanan bahasa Pakpak Dairi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa jumlah penutur juga mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi. Keadaan inilah yang membuat penggunaan bahasa Pakpak Dairi masih bertahan di ranah gereja. Sejalan dengan uraian di atas, Sumarsono 1990 dalam disertasinya „Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan‟ mengatakan bahwa faktor interlokutor juga menentukan pemertahanan bahasa Melayu Loloan dalam ranah agama. Dalam pengajian, bahasa Melayu Loloan masih sangat dominan digunakan di tempat anak-anak Loloan belajar mengaji karena boleh dikatakan tidak ada anak non-Loloan. Sebaliknya, penggunaan bahasa Melayu Loloan surut ketika santrinya berasal dari warga Loloan dan bukan Loloan. Hal itu menyebabkan penggunaan bahasa Melayu Loloan terbatas pada interaksi antar santri-santri sesama Loloan dan santri-ustad sesama Loloan. Santri dan ustad Loloan akan menggunakan bahasa Indonesia jika interlokutornya santri dan ustad non-Loloan; bahkan didalam proses belajar mengajar pun ustad menggunakan Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi Universitas Sumatera Utara tidak bertahan di ranah gerejamesjid disebabkan oleh konsentrasi tempat tinggal, migrasi, jumlah penutur, sekolah, dan pemerolehan bahasa pertama diduga mempengaruhi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi. Sedangkan kondisi pemertahanan bahasa Pakpak Dairi pada kelompok dewasa dan kelompok orang tua tidak bertahan disebabkan interlokutor, alih kode dan campur kode.

5.2.1.4 Kondisi Pemertahanan Bahasa Pakpak Dairi di Ranah Sekolah