Sinkronisasi Horisontal Sinkronisasi Vertikal

melalui aspek formalprosedural yang terdiri dari metode, proses dan teknik perundang-undangan sampai menjadi aturan hukum positif agar mempunyai makna serta mendapat respek dan pengakuan yang memadai dari pihak yang terkena dampak pengaturan tersebut memerlukan landasan dan legitimasi dari aspek materiil substansial. 204

3. Sinkronisasi Horisontal

Melalui proses sinkronisasi materi muatan undang-undang akan mendukung pelaksanaan harmonisasi sehingga dapat mencegah terjadinya pengaturan ganda dan pertentangan norma antar berbagai undang-undang. Dalam sinkronisasi horisontal yang dikaji adalah peraturan perundang- undangan yang sederajat yang mengatur mengenai bidang yang sama. 205 Sinkronisasi horisontal dapat diselesaikandibantu dengan dua asas hukum yaitu: Lex Posteriori derogat legi lex Priori PeraturanUndang-Undang baru mengesampingkan peraturanUndang-Undang yang lama dan Lex Specialis derogat legi Generali Peraturan Undang-Undang yang bersifat khusus mengesampingkan PeraturanUndang-Undang yang bersifat umum. Dengan demikian sinkronisasi horisontal dilakukan dengan melihat berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horisontal juga Bidang yang sama yang dimaksudkan adalah peraturan perundangan yang memiliki kesamaan pengaturan substansi atau memiliki relevansi dengan bidang yang dikaji. 204 Ibid. hal. 223 205 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Ringkas, Jakarta: Rajawali Pers, 1985, hal. 19. Universitas Sumatera Utara harus dilakukan secara kronologis yaitu sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. 206

4. Sinkronisasi Vertikal

Sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara vertikal mengkaji apakah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan, apabila dilihat dari sudut hirarki perundang- undangan tersebut. 207 Teori berjenjang Stufen Theory dari Hans Kelsen melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida, dimana norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma akan semakin abstrak sifatnya dan sebaliknya semakin rendah kedudukannya akan semakin kongkrit. Norma yang paling tinggi menduduki puncak piramida yang disebut norma dasar Grundnorm. 208 Dengan menggunkan konsep Stufenbau lapisan-lapisan aturan menurut eselon maka seluruh sistem perundang-undangan mempunyai suatu struktur piramida mulai dari abstrak yakni groundnorm sampai yang konkret seperti Undang- Undang, Peraturan Pemerintah , dll. Jadi menurut Kelsen cara mengenal suatu aturan 206 http:www.penataanruang.nettalapan04P2singkronisasiUUBab.4, diakses pada tanggal 20 Maret 2013 207 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Loc.Cit. 208 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi Yogyakarta: Genta Publishing, Cetakan III April 2010, hlm.127 Universitas Sumatera Utara yang legal dan tidak legal adalah mengeceknya melalui logika stufenbau itu dan groundnorm menjadi batu ujian pertama. 209 Pendapat Fuller mengenai ukuran terhadap sistem hukum diletakkannya pada delapan asas principle of legality. Fuller menemukan bahwa ada delapan hal yang menyebabkan sulit terciptanya ketertiban hukum dalam masyarakat. Kedelapan hal tersebut oleh Fuller disebut dengan delapan desiderata. Delapan desiderata itu selanjutnya oleh Fuller dijabarkan sebagai persyaratan yang harus dipenuhi agar hukum yang dibentuk dapat bekerja baik dalam masyarakat. Kedelapan asas yang dinamakan principle of legality itu adalah: 210 1 Generality, Suatu system hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Yang dimaksud disini adalah, bahwa dia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc. 2 Promulgation, peraturan-peraturan yang dibuat itu harus diumumkan. 3 Prospectivity, tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian itu tidak ditolak, maka peraturan tersebut tidak bias dipakai untuk menjadi pedoman tingkah laku bagi waktu yang akan dating. 4 Clarity, peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bias dimengerti. 5 Consistency or avoiding contradiction, suatu sistem tidak boleh mengandung-peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain. 6 Possibility of obedience, peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan melebihi apa yang bias dilakukan. 7 Constancy through time or avoidance of frequent change, tidak boleh ada kebiasan untuk sering mengubah peraturan sehingga mengakibatkan seseorang akan kehilangan orientasi. 8 Congruence between official action and declared rules, harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari. 209 Ibid., hal. 128. 210 Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hal. 51. Universitas Sumatera Utara Fuller mengatakan, bahwa kedelapan asas yang diajukannya itu sebetulnya lebih dari sekedar persyaratan bagi adanya suatu sistem hukum, melainkan memberikan pengkualifikasian terhadap sistem hukum yang mengandung suatu moralitas tertentu. Menurut Fuller Sistem Hukum harus mengandung suatu moralitas tertentu. Kegagalan melahirkan system hukum yang demikian itu tidak hanya melahirkan sistem hukum yang jelek, melainkan sesuatu yang tidak bisa disebut sebagai sistem hukum sama sekali. 211

D. Sinkronisasi Antara UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan

Dokumen yang terkait

Corporate Social Responsibility Menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

0 48 152

Analisis Hukum Terhadap Pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR) Pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

1 42 169

AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 25 16

KAJIAN YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 5 16

KAJIAN YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 2 16

Analisis Hukum Mengenai Penerapan Asas Piercing The Corporate Veil Atas Tanggung Jawab Direksi Pada Sebuah Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

1 19 68

TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PENGURUSAN PERSEROAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 6 36

PELAKSANAAN CSR (Corporate Social Responsibility) SEBAGAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS (Studi Di PT. Air Mancur).

0 0 13

Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas Dalam Akuisisi Suatu Perusahaan Yang Merugikan Pemegang Saham Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

0 0 1

Implikasi Ketentuan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Peseroan Terbatas.

0 0 1