Kerangka Teori Kerangka Teori dan Konsepsi

Berdasarkan uraian pembahasan atas penelitian tersebut di atas, jelas bahwa permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian- penelitian tersebut di atas.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan pendukung dalam membangun atau berupa penjelasan dari permasalahan yang dianalisis. Teori dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan. 27 Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis. Hal ini dapat menjadi masukan eksternal bagi penulis. 28 Menurut Radbruch, tugas teori hukum adalah untuk membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulat hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam. 29 27 Satjipto Rahardjo, Mengejar Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan Teaching Order Finding Disorder, Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai guru besar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 15 Desember 2000, hal. 8. Sehingga teori tentang ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang sesuai dengan 28 M. Solly Lubis, Filsafat Hukum dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hal. 80. M. Solly Lubis menyebutkan teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dunia fisik, juga merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. 29 W. Friedman, Legal Theory, New York: Columbia University Press, 1967, hal. 3-4. Universitas Sumatera Utara objek penelitian yang dijelaskan untuk mendapat verifikasi, maka harus didukung oleh data empiris yang membantu dalam mengungkapkan kebenaran. 30 Peraturan perundang-undangan yang baik adalah, apabila ketentuan- ketentuan di dalamnya merupakan rumusan-rumusan yang selaras, serasi, dan sesuai dengan berbagai macam peraturan perundang-undangan lainnya, baik yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat yang bersifat horisontal maupun antara peraturan yang lebih rendah terhadap peraturan yang lebih tinggi yang bersifat vertikal atau hierarkhis. Hal-hal inilah yang seringkali dimaksudkan dengan suatu sinkronisasi dan harmonisasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Ada beberapa ukuran dasar agar peraturan perundang-undangan dinyatakan baik. Baik di sini dimaksudkan bahwa penaatan terhadap peraturan perundang- undangan tersebut dilakukan secara spontan sadar bukan karena ada paksaan. Paling tidak ada 4 empat dasar agar peraturan perundang-undangan dinyatakan baik, yaitu menyangkut dasar filosofis, dasar sosiologis, dasar yuridis, dan menyangkut teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Apabila perancang peraturan perundang- undangan dalam menyusun peraturan perundang-undangan memperhatikan dasar- dasar di atas, maka kaidah-kaidah yang tercantum dalam peraturan perundangundangan tersebut sah secara hukum dan berlaku secara efektif karena 30 M. Solly Lubis I, Op.Cit., hal. 27. Universitas Sumatera Utara dapat diterima secara wajar oleh masyarakat dan kemungkinan dapat berlaku untuk jangka waktu yang panjang. 31 Aristoteles dalam bukunya yang sangat terkenal, Rhetorica, menganggap bahwa hukum bertugas membuat adanya keadilan. Sesuai dengan pendapat tersebut, kebanyakan sarjana menganggap bahwa tujuan hukum pajak pun adalah bertugas memberi keadilan dalam soal pemungutan pajak. Asas keadilan ini harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsip mengenai perundang-undangannya maupun dalam prakteknya sehari-hari. Maka dari itu, syarat mutlak bagi pembuat undang- undang pajak, juga syarat mutlak bagi aparatur setiap pemerintah yang berkewajiban melaksanakannya, adalah pertimbangan-pertimbangan dan perbuatan- perbuatan yang adil pula. 32 Dalam analisis sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat digunakan beberapa teori diantaranya adalah teori dari Hans Kelsen yang dikenal dengan stufentheorie. Menurut Hans Kelsen 1881-1973, pemuka kaum positivism bahwa hukum itu adalah peraturan perundang-undangan yang tertulis. Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan Stufentheorie mengenai jenjang norma hukum, norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan. Suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Demikian 31 Ibid, hal. 18 32 R. Santoso Brotodiharjo, Op.Cit., hal. 26. Universitas Sumatera Utara seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar Grundnorm. 33 Norma dasar adalah norma yang ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dan merupakan gantungan bagi norma-norma yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada dibawahnya, sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre supposed. Dalam hal tata susunanhierarki sistem norma, jika norma dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada dibawahnya. 34 Demi kepastian hukum, suatu undang-undang tidak boleh bertentangan dengan undang- undang lainnya dan suatu peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan baik yang diatas, maupun dengan peraturan yang disampingnya. 35 Radbruch 1878-1949 menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai tiang penyanggah penegakan hukum. Ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian dan implementasi hukum yang memadai. Khusus tujuan keadilan atau finalitas yaitu menekankan dan menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Namun Satjipto Rahardjo mengingatkan bahwa masalah kepastian hukum bukan urusan undang-undang semata, melainkan lebih merupakan urusan perilaku manusia. Kepastian hukum itu menjadi masalah besar sejak hukum itu dituliskan. Sebelum itu, selama ribuan tahun, 33 Hans Kelsen, General Theory of Law and State.New York: Russel and Russel, 1945 hal. 113 seperti dikutip Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan , Yogyakarta: Kanisius 2007, hal. 41. 34 Maria Farida Indrati, IlmuPerundang-Undangan-Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Yogyakarta:Kanisius 2007 hal 41-42. 35 Ibid., hal 43 Universitas Sumatera Utara apabila kita berbicara mengenai hukum, maka kita lebih banyak berbicara mengenai keadilan. 36 Kerangka teori tesis ini juga menggunakan teori hukum Fuller yaitu delapan azas principles of legality. Fuller mengajukan suatu pendapat untuk mengukur apakah suatu saat dapat berbicara mengenai adanya suatu sistem hukum. Fuller menekankan pada isi hukum positif positive legal content, oleh karena harus dipenuhi delapan azas principles of legality antara lain: 37 a. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Yang dimaksud di sini adalam bahwa dia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc; b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan; c. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut. Membolehkan peraturan berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan berlaku waktu yang akan datang; d. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti; e. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain; f. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan; g. Tidak boleh ada kebiasan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan orang akan kehilangan orientasi. h. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari. Alasan pemilihan teori Fuller adalah bahwa prinsip kelima yang dikemukakan Fuller yang berbunyi suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain paralel atau ekuivalen dengan sinkronisasi aturan yaitu mengkaji sampai sejauh mana suatu peraturan hukum positif tertulis tersebut telah 36 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Jakarta, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal. 84-85. 37 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 51 Universitas Sumatera Utara sinkron atau serasi dengan peraturan lainnya baik secara horizontal maupun vetikal. Peraturan-peraturan juga harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti dan jelas sehingga tidak menimbulkan bermacam penapsiran. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan adalah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi suplementer, saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. 38 Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1 Sinkronisasi Hukum Vertikal Menurut Soerjono Soekanto Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah suatu peraturan perundangan-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan lainnya apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturan perundang-undangan yang ada. 39 38 http:www.penataanruang.nettalapan04P2singkronisasiUUBab.4, diakses pada tanggal 25 Maret 2013. 39 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 2003, Cet ke-7, hal 74. Universitas Sumatera Utara Dalam penelitian sinkronisasi vertikal maka yang ditelaah adalah peraturan perundang-undangan suatu bidang tertentu, didalam perspektif hierarkisnya. Sudah tentu bahwa telaah ini juga harus didasarkan pada fungsi masing-masing perundang- undangana tersebut, sehingga taraf keserasiannya akan tampak dengan jelas. Misalnya, suatu Peraturan Pemerintah yang setingkat lebih rendah dari undang- undang merupakan peraturan yang diciptakan untuk menjalankan atau menyelenggarakan undang-undang. 40 2 Sinkronisasi Hukum Horizontal Jenis penelitian ini menurut Soerjono Soekanto 41 Menurut studi yang dilakukan Burg’s mengenai hukum dan pembangunan, terdapat 5 lima unsur yang harus dikembangkan supaya tidak menghambat ekonomi, yaitu stabilitas stability, prediksi preditability, keadilan fairness, pendidikan education, dan pengembangan khusus dari sarjana hukum the special bertujuan untuk menggungkap kenyataan sampai sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi secara horizontal, yaitu mempunyai keserasian antara perundang-undangan yang sederajat mengenai bidang yang sama. Sinkronisasi Horisontal dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horisontal juga harus dilakukan secara kronologis, yaitu sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya peraturan perundang- undangan yang bersangkutan. 40 Ibid., hal. 79 41 Ibid., hal.75 Universitas Sumatera Utara development abilities of the lawyer. 42 Beberapa ahli mengemukakan tentang asas perpajakan yang harus ditegakan dalam membangun suatu sistem perpajakan, Adam Smith menjabarkannya ke dalam 4 empat ajaran atau pedoman yang disebut dengan The four canons of Adam Smith atau yang lebih popular dengan The Four Maxims. Azas-azas tersebut yang merupakan azas perpajakan, yaitu: Equality, Certainty, Convenience of Payment dan Economy in Collection. Selanjutnya Burg’s mengemukakan bahwa unsur pertama dan kedua di atas ini merupakan persyaratan supaya sistem ekonomi berfungsi. Di sini stabilitas berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Sedangkan prediksi merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan ekonomi suatu negara. Untuk memenuhi unsur-unsur yang disebutkan oleh Burg’s perangkat perundang-undangan yang mengatur tanggung jawab sosial CSR harus jelas dan sinkron sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi para pengusaha. 43 a Equality Keadilan. Prinsip keadilan merupakan satu dari prinsip utama dalam rangka pemungutan pajak, yang menjelaskan setiap warga negara berpartisipasi dalam pembiayaan fungsi pemerintah suatu negara, secara profesional sesuai dengan kemampuan masing-masing. Pada dasarnya pengertian keadilan adalah suatu pengertian yang 42 Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, Bandung: Books Terrace Library, Edisi Revisi, 2003, hal. 28. 43 Adam Smith,. An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation. Book 5th. Chicago: The University of Chicago Press, 1976, hal. 350-352. Universitas Sumatera Utara tidak mutlak. Menurut Mansury, yang mengutip pendapat Adam Smith adalah sebagai berikut: 44 Equality, bahwa pajak itu harus adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar ability to pay pajak tersebut, dan juga sesuai dengan manfaat yang diterimanya. Pembebanan pajak itu adil, apabila setiap wajip pajak menyumbangkan suatu jumlah untuk dipakai guna pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan dengan manfaat yang diterimanya dari pemerintah. b Certainty Kepastian Hukum Prinsip pemungutan pajak certainty kepastian hukum yang dikemukakan Adam Smith dimaksudkan supaya pajak yang harus dibayar seseorang harus jelas dan pasti, tidak dapat ditawar-tawar not arbitry. Kepastian hukum ini merupakan tujuan setiap undang-undang, sehingga dalam membuat undang-undang dan peraturan- peraturan yang mengikat umum harus jelas, tegas dan tidak mengandung arti ganda atau memberikan peluang untuk ditafsirkan lain. Dalam pemungutan pajak harus ada kepastian baik bagi fiskus maupun bagi wajib pajak. Wajib Pajak perlu mengetahui secara jelas dan pasti mengenai siapa saja yang akan dikenakan pajak, apa yang dijadikan obyek pajak serta besarnya jumlah pajak yang akan dibayar, juga prosedur pelaksanaannya. 44 Mansyuri, Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000, Jakarta:Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan PerpajakanYP4, 2002, hal. 11 Universitas Sumatera Utara c Convenience KemudahanKenyamanan Dalam melakukan pemungutan pajak, hendaknya pemerintah memperhatikan saat-saat yang paling menyenangkan bagi si pembayar pajak dan sederhana dalam pengadministrasiannya. Mengutip pendapat Adam Smith, Mansury menjelaskan: 45 Convenience, bahwa saat wajib pajak harus membayar pajak hendaknya ditentukan pada saat yang tidak akan menyulitkan wajib pajak, misalnya pada saat menerima gaji atau menerima penghasilan lain. Berdasarkan azas ini timbul dukungan kuat untuk menerapkan sistem pemungutan yang disebut: Pay As You Earn, yaitu bukan saja saatnya tepat, tetapi pajak setahun dipotong secara berangsurangsur, sehingga tidak terasa kepada Wajip Pajak. 45 Ibid., hal. 13 Universitas Sumatera Utara d Economy Pemungutan pajak hendaknya dilaksanakan dengan hemat jangan sampai biaya untuk memungut pajak lebih besar dari jumlah pajak yang dipungut. Asas economy ini dapat dilihat melalui dua sisi yaitu dari sisi fiskus bahwa pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya pemungutan yang dikeluarkan oleh kantor pajak dalam rangka pengawasan kewajiban perpajakan lebih kecil daripada jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan. Dari sisi wajib pajak bahwa pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya bisa seminimal mungkin. Pemungutan pajak dikatakan efisien jika cost of compliancenya rendah.

2. Konsepsi

Dokumen yang terkait

Corporate Social Responsibility Menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

0 48 152

Analisis Hukum Terhadap Pengaturan Corporate Social Responsibility (CSR) Pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

1 42 169

AKIBAT HUKUM PEMBUBARAN PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 25 16

KAJIAN YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 5 16

KAJIAN YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 2 16

Analisis Hukum Mengenai Penerapan Asas Piercing The Corporate Veil Atas Tanggung Jawab Direksi Pada Sebuah Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

1 19 68

TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PENGURUSAN PERSEROAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 6 36

PELAKSANAAN CSR (Corporate Social Responsibility) SEBAGAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS (Studi Di PT. Air Mancur).

0 0 13

Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas Dalam Akuisisi Suatu Perusahaan Yang Merugikan Pemegang Saham Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

0 0 1

Implikasi Ketentuan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Peseroan Terbatas.

0 0 1