Fuller mengatakan, bahwa kedelapan asas yang diajukannya itu sebetulnya lebih dari sekedar persyaratan bagi adanya suatu sistem hukum, melainkan
memberikan pengkualifikasian terhadap sistem hukum yang mengandung suatu moralitas tertentu. Menurut Fuller Sistem Hukum harus mengandung suatu moralitas
tertentu. Kegagalan melahirkan system hukum yang demikian itu tidak hanya melahirkan sistem hukum yang jelek, melainkan sesuatu yang tidak bisa disebut
sebagai sistem hukum sama sekali.
211
D. Sinkronisasi Antara UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas dengan Hukum Pajak Mengenai CSR 1. UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas tidak sinkron
dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan mengenai CSR
Secara hierarki kedudukan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 UUPT tentang Perseroan Terbatas adalah sejajar dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan sehingga sinkronisasi antara kedua undang-undang ini merupakan sinkronisasi horizontal. Pada tahun 2008 dilakukan perubahan
keempat kalinya atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yaitu dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008. Pada penjelasan
211
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
angka 3 Undang-undang ini disebutkan bahwa arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan tersebut adalah:
212
a. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak;
b. Lebih memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak;
c. Lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan;
d. Lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi dan transparansi; dan
e. Lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan
daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di
bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.
Terkait pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan telah mengakomodirnya dalam Pasal 6 ayat 1 huruf i,j,k,l,dan m, yaitu dengan dapat diakuinya beberapa jenis
pengeluaran sumbangan terkait kegiatan tanggung jawab sosial CSR sebagai pengurang penghasilan yang dikenakan pajak atau mendapat insentif pajak.
Pemberian pasilitas perpajakan untuk biaya tanggung jawawab sosial perusahan oleh Undang-Undang Nomor 36 tahun 2007 tentang Pajak Penghasilan masih dalam
lingkup yang terbatas. Pengaturan lebih lanjut atas kegiatan tanggung jawab sosial perusahan terbit
tiga tahun kemudian, yaitu diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh perusahan agar biaya tanggung
jawab sosial dapat dibiayakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak atau memperoleh insentif pajak, yaitu:
212
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, Penjelasan angka 3.
Universitas Sumatera Utara
1 Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya; 2
pemberian sumbangan danatau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan;
3 didukung oleh bukti yang sah;
4 lembaga yang menerima sumbangan danatau biaya memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak
Penghasilan; dan
5 sumbangan danatau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 UU PPh
tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pihak pemberi apabila sumbangan danatau biaya diberikan kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, hanya perusahan yang memperoleh laba pada tahun sebelumnya yang dapat membiayakan pengeluaran tanggung jawab sosial
perusahaan CSR atau memperoleh insentif pajak. Untuk memperoleh insentif pajak ketentuan perpajakan juga tidak memperbolehkan dana tanggung jawab sosial
disalurkan langsung kepada masyarakat, melainkan harus lembaga yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak NPWP.
Adanya syarat bahwa perusahaanWajib Pajak yang memperoleh fasilitas perpajakan harus memperoleh keuntungan secara fiskal tahun sebelumnya dan tidak
menyebapkan rugi pada tahun pajak sumbangan diberikan menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menganggap
bahwa kebutuhan dana tanggung jawab sosial perusahaan CSR diambil dari laba perusahaan secara after profit dan pelaksanaannya bersifat sukarela.
Ada dua danpak negatif yang mengancam dari cara berpikir after profit yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a Dengan mengambil argumentasi CSR sebagai after profit maka perusahaan akan
menghindari melakukan CSR sebelum masuk ke periode untung. Padahal, dampak negatif perusahaan bisa jadi sudah dimulai ketika perusahaan belum
beroperasi misalnya masa konstruksi. Sudah seharusnya CSR dilakukan oleh perusahaan sejak periode awal ia bersinggungan dengan pemangku
kepentingannya. b
Perusahaan juga bisa menghindari melakukan CSR apabila tahun sebelumnya ia mengalami kerugian. Secaralogis, perusahaan harus melakukan bisnisnya dengan
bertanggung jawab, terlepas dari apakah ia untung atau tidak. Semula eksistensi Perseroan Terbatas diatur dalam Pasal 36-56 Undang-
Undang Hukum Dagang KUHD. Dalam perkembangannya, oleh karena aturan- aturan yang terdapat dalam KUHD tersebut dianggap sudah tidak dapat menampung
dinamika dan perkembangan dunia bisnis, maka pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
213
Beberapa prinsip hukum baru diperkenalkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995,
antara lain:
214
1 Memberlakukan doktrin-doktrin baru yang apabila ditelusuri berasal dari tradisi
coomon law, misalnya doktrin piercing the corporate veil, doktrin derivative action, doktrin business judgment rule, ultra vires, doktrin corporate
opportunity.
213
Tri Budiono, Hukum Perusahaan Telaah Yuridis Terhadap Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Salatiga: Grya Media: 2011, hal. 7.
214
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2 Pengaturan terhadap pemegang saham minoritas, utamanya ketika mereka harus
berhadapan dengan demokrasi kapitalisme yang mendasarkan pada kekuatan modal.
3 Pengaturan terhadap kombinasi perusahaan, yang dapat mengambil bentuk
penggabungan merger, pengambilalihan akuisisi atau peleburan konsolidasi.
Dalam perkembangannya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan
masyarakat karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi yang sudah berkembang pesat, khususnya pada era globalisasi. Melalui
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007, telah dilakukan pengakomodasian terhadap berbagai ketentuan mengenai Perseroan Terbatas, baik berupa penambahan ketentuan
baru, perbaikan penyempurnaan, maupun mempertahankan ketentuan lama yang dianggap masih relevan. Salah satu perubahan yang ditegaskan dalam Undang-
Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah munculnya pengatauran tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan yang harus dipikul oleh
perseroan terbatas yang melakukan usaha dalam bidang eksploitasi sumber daya alam.
Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan CSR oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 yang diatur dalam Pasal 74 menyebutkan bahwa tanggung
jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan
Universitas Sumatera Utara
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan harus merancang kegiatan
tanggung jawab sosial sejak awal tahun dan dimasukkan dalam anggaran perseroan sehingga menganut konsep sebelum laba before profit.
Kewajiban pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan oleh perusahaan menurut Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sudah
melekat pada perusahaan saat awal beroperasi tanpa melihat kinerja perusahaan dan pelaksanaannya bersifat mandatory. Pembatasan pemberian fasilitas pajak atas biaya
tanggung jawab sosial perusahaan CSR oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan jo. PP No. 93 Tahun 2010 mengakibatkan
ketidaksinkronan dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam mengatur biaya tanggung jawab sosial perusahaan. Perbandingan
pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan menurut Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan Jo. PP No. 93 Tahun 2010 dapat dirinci pada tabel di bawah ini. Tabel 1
Perbandingan Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan CSR Menurut UU No. 40 Tahun 2007 Dengan UU No. 36 Tahun 2008
UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Jo. PP No. 93 Tahun 2010
Tidak mengatur standard CSR yang harus dilakukan perusahaan
Mengatur jenis biaya yang CSR yang memperoleh insentif pajak diatur di
Pasal 6 ayat 1 huruf i, j, k, l, dan m
CSR merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya bagi perseroan. Hanya perusahaan yang telah
memperoleh laba tahun sebelumnya yg dapat membiayakan biaya tanggung
Universitas Sumatera Utara
Kewajiban sudah melekat sejak perusahaan beroperasi.
jawab sosial perusahaan CSR atau mendapat insentif pajak. Perusahan yang
masih merugi tidak dapat membiayakan CSR
Hanya mewajibkan perusahaan yang bergerak danatau berkaitan dengan
sumber daya yang wajib melaksanakan CSR
Tidak ada pembedaan perusahaan berdasarkan jenis usaha yang dapat
membebankan CSR asal syarat-syarat yang ditetapkan dapat dipenuhi.
Menganut konsep before profit Menganut konsep after profit CSR
diambil dari laba perusahaan
- Untuk memperoleh Insentif pajak dana
CSR harus disalurkan melalui lembaga yang memiliki NPWP.
Tujuan dibentuknya perusahaan adalah untuk mencari laba semaksimal mungkin. Dalam rangka mengelola kekayaan perusahaan untuk memperoleh laba
dan memaksimalkan nilai perusahaan, manajemen perusahaan akan melakukan pembuatan keputusan melalui pertimbangan yang matang. Salah satu komponen
penting yang menjadi pertimbangan perusahaan adalah pajak, oleh karenanya pajak harus direncanakan dengan baik. Upaya untuk meminimalisasi beban pajak tersebut
dilakukan dengan membuat perencanaan pajak. Dengan berubahnya kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan dari yang bersifat sukarela menjadi kewajiban
dapat memicu munculnya praktik penghindaran pajak di lapangan. Perusahaan memanfaatkan ketiadaan ketentuan mengenai pelaksanaan tanggung jawab sosial
perusahaan dengan menggunakan bentuk-bentuk atau jenis tanggung jawab sosial perusahaan CSR untuk mengakomodasi pemenuhan aspek pajak.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Spicer menemukan hubungan yang signifikan antara tax fairness dan tax evasion, dimana ketika pembayar pajak
Universitas Sumatera Utara
menganggap bahwa sistem pajak adalah adil maka tingkat penghindaran pajak tax evasion akan berkurang, atau dengan kata lain pembayar pajak semakin patuh dalam
membayar pajaknya. Adanya perlakukan yang berbeda terhadap Wajib Pajak unfairness yang
berkomitmen melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan dapat mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak tax compliance dan bahkan dapat
memicu Wajib Pajak untuk melakukan upaya penghindaran pajak tax avidance. Perusahaan memanfatkan ketiadaan ketentuan mengenai pelaksanaan tanggung jawab
sosial perusahaan dengan menggunakan bentuk-bentuk atau jenis tanggung jawab sosial perusahaan untuk mengakomodasi pemenuhan aspek pajak. Perusahaan
melakukan penghindaran pajak dengan cara memilih pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat memperbesar biaya yang boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto. Karena tidak ada ketentuan yang jelas mengenai tanggung jawab sosial perusahaan, maka Wajib Pajak dapat memasukkan biaya-biaya yang lain dalam
unsur biaya tanggung jawab sosial perusahaan. Biaya tanggung jawab sosial perusahaan yang tidak mendapat pasilitas
perpajakan sangat memberatkan bagi pengusaha karena berdampak meningkatnya pengeluaran operasional perusahaan, disatu sisi adanya kewajiban pengeluaran pajak
dan disisi lainnya harus melakukan pembiayaan tanggung jawab sosial perusahaan. Pengenaan pajak atas biaya tanggung jawab sosial perusahaan akan mengurangi
porsi dana tanggung jawab sosial yang disalurkan ke masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Pemberikan insentif pengurangan pajak diharapkan mendorong pengusaha untuk semakin besar menyalurkan dana-dana CSR-nya kepada kegiatan-kegiatan
produktif yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitarnya serta tidak hanya sekedar bersifat karitatif belaka. Karena pada prinsipnya
kewajiban CSR tidak bisa diartikan secara sempit hanya sebagai bentuk penyaluran kekayaan perusahaan kepada masyarakat, namun harus diterjemahkan sebagai ikut
sertanya perusahaan untuk mengatasi berbagai persoalan sosial dimana mereka beroperasi, seperti merekrut karyawan dari masyarakat setempat, menjalin kemitraan
dengan petani atau pengusaha lokal, serta menanggulangi masalah lingkungan yang mungkin diakibatkan oleh kegiatan produksinya.
215
Dari sudut pandang negara, pemberian insentif pengurangan pajak atas tanggung jawab sosial perusahaan CSR bagi perusahaan pada praktiknya
menimbulkan suatu dilematis dalam hal penerapannya. Pada satu sisi Penghasilan dari pajak merupakan penyumbang terbesar dalam penerimaan negara di
Indonesia.
216
215
Mukti Fajar ND, Op. Cit, hal 193.
Sehingga dengan adanya pengurangan pajak atas tanggung jawab sosial perusahaan CSR maka akan mengurangi penerimaan negara atau tax expenditures,
khususnya penerimaan pajak yang berasal dari perusahaan. Sedangkan sisi yang
216
Tax Expenditure adalah hilangnya potensi penerimaan negara dari pajak yang harus dikorbankan oleh pemerintah dengan memberikan beberapa tax relief atau pengurangan- pengurangan
yang diperkenankan sebagai instrumen kebijakan fiskal untuk mencapai tujuantujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dalam implementasinya, tax expenditure ini diwujudkan dalam
bentu pembebasan, pengurangan, penyesuaian, kredit dan penangguhan. Batasan untuk menentukan besaran dari pemasukan yang hilang umumnya bersifat subyektif dan berkaitan langsung dengan
pengeluaran pemerintah. Namun, batasan itu bisa juga diperluas dengan tidak mengaitkannya secara langsung dengan pengeluaran pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
berbeda, CSR merupakan sebuah bentuk tanggung jawab moral perusahaan yang memerlukan insentif dalam pelaksanaannya sebagai suatu konsekuensi logis untuk
memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta lingkungan yang merupakan tanggung jawab mutlak dari pemerintah menurut konstitusi.
217
Ketidaksinkronan pengaturan biaya SCR antara UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan mengakibatkan hukum tidak mampu menciptakan stability, predictability dan fairness bagai para pelaku usaha. Kondisi ini dapat menghambat
pembagunan ekonomi karena tidak dapat memenuhi unsur-unsur yang disebutkan oleh Burg’s.
2. UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas tidak sinkron dengan UU Nomor 42 Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM mengenai
CSR
Pajak Pertambahan Nilai PPN adalah pajak
yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari
produsen ke
konsumen . Terkait dengan pelaksanaan kegiatan CSR, Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM tidak mengatur secara khusus, artinya atas penyerahan barang danatau jasa kena pajak tetap terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Kegiatan CSR yang banyak dilakukan di Indonesia berupa pemberian Barang Kena Pajak atau memberikan produknya secara gratis atau membagikan hadiah kepada
masyarakat sekitar terutang PPN sebesar 10 sepuluh persen dari nilai barang
217
Undang-undang Dasar 1945 Amandemen, Pasal 33 dan Pasal 34.
Universitas Sumatera Utara
yang diberikan yang termasuk dalam kategori pemakaian sendiri danatau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak, kecuali barang yang disumbangkan merupakan
barang adalah jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Demikian juga dengan pemberian jasa kena pajak tetap terutang PPN sebesar 10 sepuluh
persen, kecuali jasa yang diberikan merupakan jasa yang tidak dikenakan PPN seperti pemberian pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial dan jasa pendidikan.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah UU PPN dan PPnBM
tidak memberikan insentif pajak secara khusus terhadap penyerahan barang danatau jasa kena pajak terkait pelaksanaan tanggung jawab sosial oleh perusahaan.
Perusahan yang dalam pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial dibebani biaya tambahan sebesar 10 sepuluh persen dari nilai barang danatau jasa kena pajak
yang diserahkan. Ketentuan ini mengakibatkan adanya beban tambahan yang harus dipikul oleh perusahaan, khususnya perusahaan yang masih belum memperoleh
keuntungan disamping tidak memperoleh insentif Pajak Penghasilan atas biaya-biaya yang dikeluarkan, juga harus terbebani tambahan biaya sebesar 10 sepuluh persen
Pajak Pertambahan Nilai.
Universitas Sumatera Utara
D. Praktek Tanggung Jawab Sosial Perusahaan CSR di Indonesia dan Pengaturan Perpajakannya