PENENTUAN KOMPONEN KRITIS PENDUKUNG PROSES

pendukung proses produksi yang ada untuk menyelesaikan suatu job pekerjaan dengan suatu prosesor mesin Hendra dan Maseleno, 2004. Gambar 20. Tampilan Model Komponen Kritis Model penentuan komponen kritis proses menggunakan metode Equipment Critically Rating dimana para pakar memberikan bobot penilaian pada masing-masing kriteria dan indikator pada setiap mesin dan peralatan masing-masing proses. Bobot yang didapatkan tersebut menunjukkan tingkat kekritisan mesin dan peralatan baik dalam suatu stasiun proses maupun antar stasiun proses. Selain menggunakan bobot yang diberikan oleh para pakar, penilaian komponen kritis ini juga menggunakan data primer yang berasal dari musim giling sebelumnya. Apabila pada masing-masing stasiun diketahui kriteria yang paling kritisnya, hal tersebut dapat menjadi dasar para pengambil keputusan dalam menyusun jadwal pemeliharaan dan perbaikan mesin dan peralatan baik diluar masa giling maupun dalam masa giling. Terjadwalnya kegiatan perawatan mesin dan peralatan akan dapat menghindarkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan selama proses, dan dapat segera cepat melakukan tindakan pengendalian mesin apabila terjadi penghentian proses karena telah dipersiapkan komponen-komponen pendukung untuk segala kemungkinan kerusakan yang terjadi pada mesin dan peralatan berdasarkan bobot yang telah dipertimbangkan oleh para pengambil keputusan. Langkah pertama dilakukan pembobotan terhadap kriteria-kriteria yang diberikan yang mempengaruhi kekritisan komponen, untuk itu diperlukan langkah-langkah pendahuluan yaitu menentukan orang yang dianggap ahli dan berkompeten untuk memberikan penilaian. Pada penentuan kompnen kritis di PG Jatitujuh menggunakan pihak bagian pabrikasi dan instalasi yang berkompeten untuk mengisi kuesioner yang berkaitan dengan penilaian mesin dan peralatan kritis seperti yang ada pada Lampiran 16. Selanjutnya dicari data pendukung pengambilan keputusan kekritisan komponen, seperti data kerusakan komponen dan data jam henti. Untuk melihat kecocokan model, dilihat data apa saja yang memungkinkan untuk didapatkan atau disediakan oleh perusahaan. Langkah selanjutnya adalah penambahan bobot indikator pada kriteria yang memiliki lebih dari satu indikator. Ini dilakukan untuk menyeimbangkan pengaruh dari perbedaan jumlah indikator. Selanjutnya dilakukan pengujian terhadap kriteria utama dan indikator yang mengikutinya. Pembobotan kriteria utama dilakukan dengan metode AHP Analytical Hierarchy Process yaitu dengan perbandingan berpasangan. Setelah pembobotan kriteria dengan metode AHP dilakukan, selanjutnya adalah tahap pembobotan indikator komponen yang dimaksudkan untuk menyeimbangkan pengaruh dari perbedaan jumlah indikator pada masing-masing kriteria. Dengan demikian diharapkan bahwa perbedaan dari tingkat kekritisan akan ditentukan oleh bobot dari kriteria-kriteria yang digunakan. Level dibawah kriteria adalah indikator komponen yang merupakan penilaian terhadap keadaan mesin dan fungsi-fungsinya secara lebih spesifik. Cara memberikan penilaian pada indikator adalah secara kuantitatif atau berdasarkan jumlah kondisi yang terjadi yang kemudian dibagi menjadi peringkat-peringkat yang merupakan bobot dari masing-masing indikator. Nilai yang diberikan menunjukkan tingkat kemungkinan terjadinya kondisi yang dimaksud untuk tiap komponen. Misalnya bila nilainya 0 maka kondisi tersebut tidak mungkin terjadi, tetapi bila nilainya 100 maka kondisi itu sangat mungkin terjadi. Data pembobotan indikator kemudian dipecah kedalam data komponen dan disusun berdasarkan kriteria yang berhubungan. Data tersebut kemudian diolah dengan rumus ECR, yaitu: ECR = i k i i N b × ∑ 1 = dimana: b i = bobot masing-masing kriteria N i = nilai kriteria berdasarkan indikator-indikatornya N i = i n i i D I × ∑ 1 = , dimana I i = ukuran setiap indikator D i = bobot setiap indikator Tabel 19. Hasil Perhitungan ECR Mesin dan Peralatan Proses No. Kriteria Bobot Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Putaran 1 Keamanan 0,0900 0,0740 0,0810 0,0840 0,0850 2 Life Support 0,0750 0,0640 0,0720 0,0730 0,0780 3 Commercial 0,0980 0,1010 0,1040 0,1050 0,1030 4 Keandalan 0,1220 0,1490 0,1300 0,1300 0,1300 5 Vendor Availability 0,1030 0,1130 0,1110 0,1030 0,1110 6 Spare part lead time 0,0890 0,0760 0,0860 0,0840 0,0920 7 Applicability of condition monitoring technique 0,1310 0,1400 0,1230 0,1250 0,1290 8 Mean down time 0,1020 0,0980 0,0980 0,0960 0,0950 9 Jam henti 0,0709 0,0600 0,0750 0,0710 0,0550 10 Kapasitas 0,1100 0,1260 0,1210 0,1290 0,1210 Nilai ECR Total 81,49 75,80 79,69 76,59 72,64 1 Mesin Stasiun Gilingan Hasil perhitungan menggunakan metode ECR menunjukkan bahwa mesin dan peralatan stasiun gilingan adalah yang paling kritis dibandingkan dengan mesin dan peralatan pada stasiun lainnya sesuai dengan nilai kritis yang didapatkan yaitu sebesar 81,49. Kriteria terbesar yang merupakan faktor pendukung kekritisan mesin gilingan adalah dari segi applicability of condition monitoring technique 0,1310 seperti yang terlihat pada Tabel 19. Kedua adalah kriteria keandalan mesin sendiri memiliki bobot sebesar 0,1220; kemudian kriteria kapasitas yaitu besarnya kapasitas giling akan mempengaruhi kecepatan dan efisiensi stasiun gilingan dengan bobot sebesar 0,1100. Kemudian diikuti oleh faktor-faktor lainnya. Hal ini juga didukung oleh jumlah jam henti pada musim giling tahun 2006 oleh jumlah jam henti mesin gilingan yang paling tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya, yang menunjukkan tingkat kerusakan mesin dan peralatan proses paling tinggi. Selain ditentukan oleh masing-masing bobot kriteria, kekritisan komponen juga dipengaruhi oleh bobot dari indikator masing-masing kriteria yang secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 14. 2 Mesin Stasiun Pemurnian Stasiun pemurnian memiliki nilai ECR total komponen sebesar 75,80 dengan bobot terbesar dihasilkan oleh faktor keandalan dengan bobot sebesar 0,1490 yaitu yang paling menyebabkan kekritisan mesin dan peralatan pemurnian. Faktor kedua yang mendukung kekritisan komponen pemurnian adalah applicability of condition monitoring technique dengan bobot sebesar 0,1400; kemudian faktor kapasitas dalam posisi ke tiga dengan bobot sebesar 0,1260 yang kemudian diikuti oleh faktor-faktor lainnya. 3 Mesin Stasiun Penguapan Stasiun penguapan yang hanya terdiri dari pan-pan penguap memiliki faktor penyebab kekritisan utama yaitu keandalan dengan bobot sebesar 0,1300. Faktor pendukung kekritisan komponen penguapan yang kedua dengan bobot yang tidak berbeda jauh 0,1230 adalah applicability of condition monitoring technique; sedangkan faktor ketiga dengan bobot sebesar 0,1210 adalah kapasitas dari pan-pan penguap sendiri dimana seringkali terjadi jam henti yang disebabkan oleh pan-pan penguap yang isinya terlalu penuh. 4 Mesin Stasiun Masakan Sama seperti stasiun penguapan, faktor terbesar yang menyebabkan kekritisan komponen stasiun masakan atau kristalisasi seperti yang terlihat pada Gambar 21. adalah keandalan dengan bobot sebesar 0,1300. Faktor ke dua adalah kapasitas stasiun masakan dengan bobot sebesar 0,1290. Faktor applicability of condition monitoring technique merupakan pendukung ke tiga dalam kekritisan komponen stasiun masakan dengan bobot sebesar 0,1230 yang kemudian diikuti oleh kriteria lainnya. 5 Mesin Stasiun Putaran Tabel 19. menunjukkan hasil perhitungan ECR untuk komponen stasiun putaran dimana faktor pendukung pertama adalah keandalan dengan bobot sebesar 0,1300. Faktor ke dua adalah applicability of condition monitoring technique dengan bobot sebesar 0,1290. Faktor ke tiga adalah kapasitas komponen dengan bobot sebesar 0,1210 kemudian diikuti oleh kriteria-kriteria lainnya. 6 ECR Total Pada hasil akhir perhitungan komponen kritis, didapatkan nilai ECR total masing-masing komponen dan dari perhitungan tersebut diketahui bahwa komponen pendukung proses produksi yang paling kritis adalah stasiun gilingan dengan nilai ECR total sebesar 81,49. Komponen kritis ke dua adalah stasiun penguapan dengan nilai ECR total sebesar 79,69 kemudian berturut-turut stasiun kristalisasi masakan dengan nilai ECR total sebesar 72,05; stasiun pemurnian dengan nilai ECR total sebesar 71,30; dan yang terakhir adalah stasiun sentrifugasi putaran yang memiliki nilai ECR total sebesar 70,55. Semakin banyak jam henti mesin atau komponen suatu stasiun, akan semakin kritis komponen tersebut. Untuk itu tujuan utama perhitungan komponen kritis ini adalah agar perusahaan dapat mengetahui komponen mana yang paling kritis dan dapat memperbaiki sistem pemeliharaan dan perawatan komponen pendukung proses baik di luar masa giling maupun selama masa giling.

C. PENGUKURAN EFISIENSI PRODUKSI

Tingkat produktivitas adalah merupakan kinerja dari suatu unit produksi atau dikenal dengan sebutan Decision Management Unit DMU dalam meminimumkan input yang digunakan untuk menghasilkan suatu output dalam suatu wilayah. Tingkat produktivitas adalah konsep mikro yang mengukur kinerja antar input dan output suatu proses produksi yang akan digunakan dalam meneliti tingkat efisiensi proses produksi gula kristal. Pengukuruan kinerja suatu proses produksi dalam sektor industri manufakturing pada kurun waktu tertentu dapat menjadi indikator kemampuan perusahaan tersebut yang pada akhirnya akan menentukan pertumbuhan produksi dalam perusahaan tersebut. Aktivitas sebuah perusahaan menunjukan tentang kemampuan perusahaan itu dalam menggunakan dana-dananya secara efektif dan menunjukan seberapa cepat perputaran dari dana-dana perusahaan itu. DEA mempunyai beberapa keuntungan relatif dibandingkan dengan teknik parametrik. Dalam mengukur efisiensi, DEA mengidentifikasi unit yang digunakan sebagai referensi yang dapat membantu untuk mencari penyebab dan jalan keluar dari ketidakefisienan, yang merupakan keuntungan utama dalam aplikasi manajerial. Epstein and Henderson, 1989. Selain itu, DEA tidak memerlukan spesifikasi yang lengkap dari bentuk fungsi yang menunjukkan hubungan produksi dan distribusi dari observasi. Selain itu pendekatan parametrik sangat tergantung pada asumsi mengenai data produksi dan distribusi. Usahatani tebu termasuk usahatani yang memerlukan biaya yang relatif bervariasi, bergantung lokasi dan tingkat penerapan teknik budidaya. Untuk tanaman baru PC, biaya usahatani adalah sekitar Rp. 12,2 - Rp. 16,3 juta per ha. Secara lebih spesifik, analisis usahatani tanaman PC dengan menggunakan teknologi yang standar diterapkan di PTPN disajikan pada Tabel 20. Sumber biaya terbesar ada pada komponen pengolahan tanah dan pemeliharaan 28,5 persen, sewa lahan 28,5 persen, dan tebang angkut 20 persen. Total biaya untuk tanaman PC mencapai sekitar Rp. 15,775 jutaha. Tabel 20. Analisis Usahatani Tanaman PC, teknologi standar PTPN Uraian Nilai Rp Proporsi Biaya Pengolahan tanah dan pemeliharaan Bibit Pupuk Herbisida Tebang angkut Bunga kredit Sewa lahan Total biaya 4.500.000 1.700.000 810.000 245.000 3.150.000 870.600 4.500.000 15.775.600 28,5 10,8 5,1 1,6 20,0 5,5 28,5 100,0 Nilai produksi gula 28.500.000 Penerimaan petani 66 18.810.000 BC Ratio 1,19 Asumsi : 1000 kw tebu, rendemen 7,5, harga Rp.3.800kg Sumber: http:www.litbang.deptan.go.id Langkah pertama yang perlu dilakukan untuk melaksanakan strategi restrukturisasi industri gula adalah peningkatan efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis pabrik-pabrik gula, terutama di Jawa. Menurut Arifin, prioritas peningkatan efisiensi didasarkan pada analisis ekonomi dan simulasi efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis terhadap pabrik gula biasanya menggunakan kriteria berikut efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis adalah perbandingan antara produktivitas hablur yang dicapai oleh pabrik gula dalam ton per hektar dengan produktivitas hablur minimal yang secara teknis dapat dicapai oleh petani dan pabrik gula pada lahan sawah atau lahan kering sebesar 6 ton per hektar. Kriteria efisiensi ekonomis adalah perbandingan antara harga paritas impor sampai tingkat pabrik gula dan biaya produksi rata- rata pada setiap pabrik gula http:www.kompas.comkompas- cetak040710Fokus1138684.htm. Penelitian ini hanya menggunakan lima indikator efisiensi proses produksi dari dua belas indikator Barbiroli. Pemilihan indikator ini dilakukan berdasarkan atas penyesuaian dengan ruang lingkup penelitian dan kondisi proses produksi di perusahaan. Lima indikator Barbiroli tersebut adalah Efisiensi Siklus Bahan baku Material Cycle Efficiency : MCE, Efisiensi Siklus Energi Energy Cycle Efficiency : ECE, Efisiensi Lingkungan Produk Akhir Final Product Environmental Efficiency : FPEE, Efisiensi Pengoperasian Peralatan Statis Equipment Static Operating Efficiency :