surgawi, yang mana kebaktian itu disemarakkan dengan warna-warni musik, simbol dan perbuatan-perbuatan lainnya Why. 15:1-4.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sejarah musik di dalam liturgi telah ada yang terus berkembang sejak kebaktian Jahudi sampai kepada
kebaktian orang Kristen sampai sekarang. Untuk itu musik gereja adalah untuk gereja bukan untuk musik, maksudnya musik gereja berperan sebagai alat
pembawa, pengangkat teks bagi liturgi kebaktian Kristen dan bukan untuk disekularisasikan.
Demikian untuk tujuan seperti yang sudah disebutkan di atas, dan sesuai dengan pengalaman misi dalam pertumbuhan gereja di tanah Batak maka para
misionaris memanfaatkan musik dalam mempercepat perkembangan Gereja Batak selanjutnya. Beberapa hal yang diajarkan adalah, yakni :
a. Alat Musik Tiup
Dalam konteks tradisi umat Allah dalam Perjanjian Lama, terompet digunakan pada masa peperangan dan tiupan terompet digunakan sebagai adanya
tanda bulan baru, tahun Yobel, gerakan militer, upacara sipil, penobatan raja, puji-pujian, serta penyembahan. Pada dasarnya alat musik ini dibuat bukan untuk
mengiringi pujian, tetapi untuk memberikan tanda peringatan.
62
Seiring dengan penyebaran agama Kristen Protestan, para misionaris turut membangun sarana-sarana seperti pendidikan dengan membuka sekolah,
kesehatan dengan membuka rumah sakit dan balai pengobatan maupun membangun sarana transportasi. Hal ini mendorong berakarnya agama Kristen di
62
E. Martasudjita dan Karl Edmund, Musik Gereja Zaman Sekarang. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 2009, hal., 35-36.
Universitas Sumatera Utara
dalam budaya masyarakat Batak Toba. Perubahan itu selaras dengan konsep hidup orang Batak Toba di dunia, yaitu mencari hamoraon kekayaan, hagabeon
memiliki keturunan yang berhasil, dan hasangapon kemuliaan atau kehormatan.
Kebaktian menjadi bagian dari masyarakat Batak Toba Kristen. Perhatian masyarakat terhadap eksistensi gereja juga didorong oleh pengetahuan tambahan
terhadap pengenalan musik-musik gereja yang berasal dari Eropa. Setiap acara kebaktian gereja, jemaat dikenalkan dengan lagu-lagu melalui notasi Barat.
Bersamaan dengan itu para misionaris memperkenalkan alat-alat musik
63
seperti: trumpet, saksofon alto, saksofon tenor, trombon, dan Bariton. I nstrumen tersebut
dipakai untuk mengiringi nyanyian-nyanyian gereja. Para misionaris juga mengajarkan bagaimana cara memainkan alat musik
tersebut kepada sekelompok warga jemaat yang dianggap sungguh-sungguh mengikuti ajaran agama Kristen dan mempunyai minat dan perhatian yang tinggi
untuk bermain musik. Mereka diajar mengenal notasi musik yang ada. Melalui proses belajar yang cukup lama, akhirnya beberapa warga jemaat mahir
memainkan ensambel musik tiup tersebut. Pengetahuan tentang alat-alat musik organ dan brass sama sekali masih
baru bagi masyarakat Batak Toba, demikian juga tentang musik gereja yang bertangga nada diatonik. Instrumen musik brass yang pertama hanya terdiri dari
sebuah trumpet, yang digunakan untuk mengiringi kebaktian di gereja yang
63
Penulis juga sudah meneliti ke Gereja Ressort Balige, bahwa alat musik tersebut sudah mulai dipergunakan dalam kebaktian. Salah satu gereja yang dominan yang diperhatikan oleh
RMG dan Misionaris yang datang ke tanah Batak adalah Gereja Laguboti. Gereja Laguboti terkenal dengan bagian musik dan nyanyian, dari awal masuknya instrument musik sampai
sekarang ini.
Universitas Sumatera Utara
dimainkan oleh Berausgegeben Van D. Johansen Ruhlo, putra Nommensen sendiri, mengingat saat itu belum ada warga jemaaat Batak Toba yang dapat
memainkannya
64
. Perkembangan agama Kristen Protestan semakin lama semakin pesat dan
pertunjukan solo trumpet tidak sanggup lagi mengimbangi tingkat intensitas paduan suara jemaat, sehingga ditambahlah trumpet tersebut menjadi empat buah.
Untuk itu Johansen terpaksa harus mengajari beberapa warga untuk memainkannya, juga mengajarkan notasi balok khususnya yang tertuang dalam
Buku Logu, buku nyanyian pokok gereja HKBP
65
. Setelah penjajahan berakhir tahun 1943, para zending Jerman juga
meninggalkan Tanah Batak, namun aktivitas kerohanian tetap berjalan. Para Pendeta yang telah diajar kerohanian dan pengenalan musik oleh para misionaris
mengambil alih kepemimpinan gereja. Selain digunakan untuk kegiatan gereja, brass band juga digunakan mengiringi kegiatan-kegiatan para militer Jepang yang
hendak berperang, seperti saat pemberangkatan tentara yang hendak berperang. Menurut keterangan St. E. Pasaribu
66
, alat musik yang digunakan bukan milik gereja tetapi dibawa oleh para tentara Jepang dari negerinya.
Demikian sekilas masuknya alat musik saksofon dan lainnya dalam HKBP. Selain itu, di Simalungun juga terjadi hal sama, khususnya di Gereja
Kristen Protestan Simalungun GKPS.
64
Wawancara dengan Bapak DR. J.R. Hutauruk tanggal 25 April 2011 di Medan.
65
Ibid.
66
Wawancara dengan St. Edison Pasaribu, pada hari senin, 21 Februari 2011, Sitangka, Pearaja-Tarutung.
Universitas Sumatera Utara
Kenyataan yang dijumpai dalam melagukan nyanyian gereja dipengaruhi oleh nyanyian rakyat Simalungun, khususnya bagi orang-orang Simalungun di
pedesaan tidaklah dapat dipungkiri. Namun tidak perlu menyalahkan atau mengatakan bahwa nyanyian yang mereka lagukan tidak benar.
67
Sering terdengar isu, kebanyakan dari beberapa kalangan Pendeta yang pernah bertugas di daerah pedesaan, bahwa melagukan nyanyian gereja banyak
salahnya. Terkadang, para Pendeta itu tidak dapat mengikuti nyanyian jemaatnya. Suatu ketika tahun 1988 ketika mengikuti kebaktian bagi para anggota
partarompet peniup trumpet GKPS, seorang penginjil, P.P. Luther Purba
68
, membuat suatu ilustrasi dalam khotbahnya mengenai cara bernyanyi anggota
jemaat GKPS Marbun Lokkung dan sekitarnya yang tidak bersungguh-sungguh. Temponya tidak sesuai dengan jiwa lagunya. Misalnya lagu-lagu puji-pujian
dinyanyikan lambat tidak gembira, seharusnya cepat dan gembira. Melodinya banyak yang diubah. Singkat kata ia menghendaki kalau melagukan nyanyian
gereja haruslah benar sesuai dengan tuntutan lagu itu sendiri.
69
b. Organ