Jumlah utusan yang hadir pada sinode 2004 adalah dari 523 resort dan 13 resort persiapan. Pada sinode 2008 jumlah utusan yang hadir adalah 1067
48
dari 616 resort dan 2 resort persiapa. Tentang jumlah anggota jemaat HKBP hingga
saat ini masih bersifat dugaan. Antara 1998-2011 HKBP memberikan jumlah anggota jemaat 3.000.000 dan 5.000.000 juta jiwa. Dalam buku
“Mengembalikan Jati Diri HKBP”, Ephorus HKBP Pdt. Dr. Bonar Napitupulu membubuhkan angka 4,1 juta anggota jemaat HKBP yang tersebar dalam 26
distrik, 614 resort ditambah 14 persiapan resort dan 3.226 jemaat.
49
Sementara dalam statistik keanggotaan gereja-gereja Lutheran, bLWF Lutheran World
Federtion memberikan angka 3,5 juta anggota jemaat HKBP. Ketidakpastian jumlah anggota jemaat HKBP dalam statistiknya tidak meragukan publik, bahwa
HKBP masih merupakan gereja protestan yang terbesar di Asia Tenggara.
2.2. Sejarah Terbentuknya Paduan Suara Gerejawi
Selama Milenium pertama sebelum Masehi, kelompok-kelompok biduan di dalam peribadahan masih bernyanyi dengan satu suara unisono, sebab musik
polifon belum dikenal. Dalam berbagai ibadah umat Israel sejak zaman Perjanjian Lama, telah ada para Penyanyi misalnya kelompok Asaf, Korah, Yedutun dan
lain-lain, yang bertugas menyanyikan Mazmur maupun bagian liturgi yang bersifat respons jawaban umat. Mereka diduga bernyanyi secara unisono atau
secara responsoris berbalas-balasan antara umat dengan pemimpin ibadah atau
48
Lihat draft notulen sinode godang 2008, hlm. 2, sedang jumlah resort di ambil dari “ berita jujur taon 2004-2008, hal. 13 dalam Dok. SG:NO.06SG-59IX2008.
49
“Mengembalikan Jati Diri HKBP “,hal., 8.
Universitas Sumatera Utara
seorang penyanyi solois, atau juga secara antifonal yakni bersahut-sahutan antara dua kelompok umat penyanyi
50
. Cara menyanyi secara responsoris dan antifonal seperti itu dikemudian
hari diambil alih juga oleh jemaat-jemaat Perjanjian Baru dan dikembangkan di dalam bentuk khoros khorus. Dengan demikian, tiga jenis nyanyian yang dikenal
dalam jemaat-jemaat Perjanjian Baru, yakni mazmur psalmois, kidung puji- pujian humnois dan nyanyian rohani oidais, juga dinyanyikan dengan cara ini.
Pada masa ini belum ada kelompok paduan suara yang khusus bernyanyi di dalam ibadah. Namun menurut Pandopo
51
, sejak berakhirnya masa penghambatan gereja pada abad IV, ada begitu banyak orang menjadi Kristen. Jumlah anggota
jemaat di dalam ibadah menjadi besar sekali, dan kebanyakan orang Kristen baru itu belum tahu cara menyanyikan nyanyian liturgi yang ada. Untuk mengatasi
keadaan ini, maka para rohaniawan secara khusus bertindak sebagai kelompok penyanyi yang menyanyikan nyanyian ibadah tersebut, sekaligus untuk
membimbing para anggota jemaat yang baru itu bernyanyi. Dengan demikian mulailah cikal bakal Paduan Suara Gereja di dalam gereja. Keadaan ini
berlangsung terus sampai abad VIII. Abad IX merupakan awal yang penting bagi perkembangan paduan suara
modern SATB di dalam gereja. Ada dua faktor yang mempengaruhi perkembangan ini. Pertama, pengaruh digunakannya alat musik organ di dalam
gereja. Alat musik ini sebenarnya sudah diciptakan sejak abad III SM oleh Ktesibios, seorang ahli teknik Yunani yang hidup di kota Aleksandria pada masa
50
H.A.Pandopo, Menggubah Nyayian Jemaat: Penuntun untuk pengadaan Nyayian Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984 hal., 21-22
51
Ibid. hal., 24.
Universitas Sumatera Utara
itu. Tidak banyak informasi mengenai pengembangan dan penggunaan alat musik ini di dalam kebudayaan Hellenisme, dalam zaman gereja lama dan zaman Islam.
Pada zaman Islam, alat musik organ ini dihadiahkan oleh Sultan Harun al-Rasyid kepada Karel Agung sebagai tanda persahabatan.
52
Sejak itu, alat musik ini mulai dikenal dan digunakan di Eropa dan lambat laun mempengaruhi perkembangan
musik polifon. Kedua, mulai ditemukannya sistem notasi musik yang dikenal sebagai
sistem not balok, yang memungkinkan dikembangkannya ilmu harmoni dan musik Homofon. Sistem ini merupakan penemuan seorang biarawan pada abad
IX sekitar tahun 1000. Menurut David P. Appleby dalam Pandopo
53
ada dua manuskrip musik dari abad itu yang menjadi pegangan dalam penulisan sistem not
balok ini, yakni naskah-naskah yang berjudul Musica enchiriandis dan Scholia enchiriadis. Kedua naskah ini berisi catatan mengenai campuran bunyi-bunyi
suara sederhana dengan melukiskan prosedur yang tepat jika seseorang menyanyikan suatu bagian lain melodi pada diapson nada ke-7 atau okta,
diaspente nada ke-5, dan diasteceron nada ke-4. Bahkan menurut Appleby selanjutnya penulis manuskrip Scholia enchiriadis juga memaksudkan
kemungkinan untuk menyusun suatu komposisi musik yang terdiri atas campuran suara-suara dengan diapson ditambah diasteceron 11 nada. Hasil ini merupakan
suatu kemajuan penting, namun belum dapat digolongkan sebagai musik polifon, dalam arti suara-suara yang berdiri sendiri secara harmonis. Sekalipun demikian,
52
Atan Hamdju dan Armillah Windawati, 1984:10.
53
H.A.Pandopo, Menggubah Nyayian Jemaat: Penuntun untuk pengadaan Nyayian Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984, hal., 23.
Universitas Sumatera Utara
kata Appleby
54
, kedua manuskrip musik itu minimal telah menandai berakhirnya nyanyian unisono dan mulainya musik choral tanpa iringan musik acapella pada
parohan kedua sejarah musik keagamaan. Menurut Appleby
55
selanjutnya dengan adanya kedua faktor tersebut, maka musik polifon semakin berkembang dengan pesat. Penggunaan alat musik
organ berperan besar di dalam perkembangan ini dan menghasilkan suatu jenis musik pula yang disebut musik organum. Sampai abad XIII, musik polifon ini
telah berkembang sedemikian rupa, bukan saja sebagai lagu-lagu ibadah, melainkan juga sebagai lagu-lagu yang tinggi nilai seninya.
Dalam sejarah musik, parohan kedua dari abad XIII ini juga dikenal sebagai perode ars antiqua. Inilai periode ketika musik polifon semakin
berkembang pesat, terutama di bawah kepeloporan dua orang ahli musik dan pengarang lagu yang masyur yang bekerja di Katedral Notre Dame di Paris
Perancis, yakni Leonis dan penggantinya yang bernama Perotinus. Dengan perkembangan ini maka c mulai tumbuh dan memperoleh bentuk dan peranannya
sebagaimana yang ada sekarang. Musik polifon mencapai zaman keemasannya pada abad XVI, khususnya
antara tahun 1550-1600. Seiring dengan itu, Paduan Suara Gereja pun ikut mengalami zaman keemasan tersebut. Akibatnya musik gereja menjadi semakin
semarak dan hal ini mempengaruhi suasana peribadahan.
54
Ibid.
55
Appleby dalam H.A.Pandopo, Menggubah Nyayian Jemaat: Penuntun untuk pengadaan Nyayian Gereja Jakarta: BPK Gnung Mulia, 1984, hal., 21.
Universitas Sumatera Utara
Martin Luther dan Johannes Calvin mempunyai sikap yang kritis terhadap perkembangan ini. Sikap kritis itu berhubungan dengan pengaruh musik polifon
yang semarak itu pada ibadah gereja, sehingga ibadah gereja di masa-masa itu menjurus kepada suasana konser. Pandopo melukiskan pengaruh itu sebagai
berikut: “….Banyak seniman yang bukan rohaniawan mendapat kesempatan untuk
memperdengarkan keahliannya di dalam liturgi. Akibatnya mejadi lekas terasa. Para seniman itu ternyata sukar dikendalikan, sehingga suasana
misa lebih bersifat konser daripada ibadah”
56
Keadaan seperti itu ada pula di dalam Gereja Protestan pada masa itu.
Oleh karena itu, Johannes Calvin misalnya, menolak ekspresi sukacita yang berlebihan, yang dipicu oleh para seniman itu dengan musik polifon yang meriah.
Ia mengatakan bahwa gereja yang masih berada di dalam dunia adalah gereja yang masih berjuang ekklesia militans dan belumlah menjadi gereja yang
menang ekklesia triumphants. Oleh karena itu, seharusnya musik gereja mengekspresikan iman dari gereja yang berjuang itu dengan mengendalikan
ekspresi sukacita yang berlebihan. Sekalipun bersikap kritis terhadap penggunaan musik polifon di dalam
ibadah gereja, Luther maupun Calvin sebenarnya menyukai jenis musik ini dan peran Paduan Suara Gereja yang mengembangkannya, sejauh hal itu membantu
kelancaran dan kekhidmatan ibadah
57
Misalnya, Marthin Luther sendiri menganjurkan agar dibentuk suatu paduan suara pemuda di dalam gereja untuk
membantu terciptanya suasana ibadah yang khusyuk. Sampai kini pandangan Marthin Luther itu masih tetap dipertahankan di dalam Gereja Lutheran, yakni
56
Ibid. hal., 24.
57
Ibid hal., 24-25.
Universitas Sumatera Utara
dengan adanya tugas asasi dari Paduan Suara Gereja untuk bernyanyi secara responsoris bergilir-ganti dengan jemaat
58
. Calvin pun tetap mempertahankan adanya Paduan Suara Gereja di dalam ibadah sebagai kelompok penyanyi khusus,
yang di bawah pimpinan seorang procantor, mendukung dan membantu jemaat menyanyikan nyanyian-nyanyian ibadah dengan baik.
Perkembangan Paduan Suara Gereja yang pesat di dalam gereja-gereja di Eropa Barat dan Amerika itu pada akhirnya merambat pula ke berbagai benua
melalui pekabaran Injil yang menumbuhkan gereja-gereja baru. Dengan demikian, Paduan Suara Gereja akhirnya dikenal pula di dalam kehidupan gereja-
gereja di Indonesia, yang bertumbuh sebagai hasil pekabaran Injil gereja-gereja di Eropa dan Amerika itu.
2.3. Sejarah Masuknya Musik Gereja dalam Konteks Misi Gereja Batak